"Ayah, tolong biarkan aku membantumu."
Lelaki tua itu terdiam oleh tindakan putrinya. Ia tiba-tiba datang ke perusahaannya meminta bertemu dengannya secara langsung, dan mengatakan hal yang ambigu dengan nada datar sambil tersenyum.
"Lily, siapa yang menyuruhmu membolos?" Ia berusaha merespons dengan tenang gadis di depannya.
Gadis itu mengenakan gaun putih polos dengan ransel. Rambut pirang bergelombang tergerai sampai ke pinggangnya. Wajah kecilnya memiliki mata hijau tosca gelap. Suaranya kecil, halus tapi jernih.
"Masalahnya, aku tidak bisa melanjutkan sekolahku jika Ayah menandatangani perjanjian dengan perusahaan Alfteur." Suaranya tenang dan ada senyum kecil di bibirnya.
Lelaki itu menjadi lebih terkejut dengan kalimat itu, kerutan wajahnya bertambah saja. "Bagaimana kamu tahu perjanjiannya?" Mata gadis itu memberikan tatapan tegas meskipun ia tersenyum ketika dia menatap ayahnya.
Kenji merasa itu konyol. Putrinya yang bodoh yang suka membolos sekarang bahkan mempunyai tatapan layaknya seorang pemimpin. Ia tidak bisa mengganggap hal ini lebih dari hal konyol.
"Jangan menandatangani surat-surat itu." Suara gadis itu dalam. Namun pria itu tampak tidak peduli dengan kata-kata kosong itu.
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerja, kemudian berkatan perlahan, "Lily, kamu tidak perlu mengkhawatirkan masalah perusahaan, sebaliknya sebaiknya kamu menjadi murid yang baik di sekolah dan menjadi anak berprestasi." Pria itu menghela napas, "Bukan dengan membolos seperti ini."
Lily sedikit mengeratkan giginya, telapak tangannya mengepal meskipun tidak sebersitpun ekspresi kesal menggantikan senyum kecilnya.
Ia menghela napas, menambah senyuman pada bibirnya.
"Oke. Aku akan melakukannya jadi jangan menandatangani apapun dengan itu."
"Lily, aku tidak tahu seberapa jauh pengetahuanmu tentang ini ataupun kesalahpahaman yang membuatmu kemari hari ini."
"Tapi, jika kamu mengkhawatirkan perjanjian itu, maka hentikan. Seperti yang Ryan katakan, kita akan menuju rekonsiliasi, perdamaian." Dia menjelaskannya perlahan, berpikir mungkin anak perempuan kesayangannya tidak mengerti.
"Itu benar, kita tidak akan membuat skandal tahunan itu berlangsung selamanya, jadi kita akan menyelesaikannya di sini, setelah menandatangani ini." Seorang pria jangkung berusia 20-an berjalan santai memasuki ruangan sambil memegang folder coklat muda dan mengangkatnya ke udara, menunjukkannya ke Lily sembari mengucapkan kata terakhir.
Lily tidak terkejut dengan kehadirannya. "Kamu sudah mendengar semuanya, Ryan, jadi biarkan aku membaca surat-surat itu. Aku akan membuktikan kata-kataku." Ini adalah kesalahan besar untuk percaya bahwa kakak tirinya itu akan memberikannya folder coklat itu. Ryan tertawa atas tindakannya.
"Jangan bersikap seperti itu, kamu lucu. Apa? Kamu ingin aku memberimu ini?" Ia tidak sungkan menunjukkan ekspresi untuk mengejeknya.
"Kamu kecil, bukankah kamu baru mencapai 12 tahun ini? Apa yang kamu tahu selain makan permen? Oh, apakah mungkin.. kamu sudah membaca novel di atas umur sehingga kamu bermimpi menjadi pemecah masalah di perusahaan ini?" Ryan berhenti tertawa dan melanjutkan kata-katanya dengan kasar, "Kamu sangat cantik namun sangat bodoh."
"Novel? Bodoh?" Ia tidak mengerti, tapi ia paham ia baru saja memperoloknya di depan Ayahnya. Ryan melanjutkan tawa kecilnya.
Dia ingin membela dirinya, dia menoleh, melihat ke Ayahnya -mencari pertolongan layaknya anak seusianya yang ingin dibela- Menyadari bahkan ayahnya tidak melakukan apa pun untuk membela atau bahkan menghentikan mereka, senyum yang memang palsu itu menghilang ia memalingkan wajahnya, "Apakah aku pergi ke sini hanya untuk pertunjukan?" gumamnya kecil, Dia menyeringai kecil tetapi lebih tinggi dia kemudian tertawa sedikit.
"Aku mengerti, aku tidak ada urusan lagi. Aku sudah memperingatkan." Lily tersenyum miring menyebarkan aura dingin yang bahkan membuat Ryan terpaku diam. "Kalau begitu, aku harus mengucapkan selamat tinggal, bukan? Bukankah itu yang kamu inginkan, Ayah?" Dia tertawa kecil, menyadari kehadirannya itu sama sekali tidak diharapkan ataupun membuat senang. "Kalau begitu hati-hati."
Lily tetap berjalan dengan elegan keluar dari ruangan direktur.
"Apa yang salah dengan kelakuannya hari ini?" Ryan melihat ke arah di mana gadis muda itu pergi. "Ini ayah, setelah kamu menandatanganinya, semuanya akan lebih mudah." Dia berjalan ke meja direktur dan meletakkan folder cokelat di atasnya.
Direktur, Kenji Hogward, dia merasa ada sesuatu yang ganjil. Tetapi melihat bagaimana ekspresi Ryan yang penuh keyakinan, dia sudah melupakannya dan mendengus, "Jangan merendahkan dia seperti itu, dia berharga bagiku." Ia mengatakannya dengan halus, kemudian membuka folder dan mulai membacanya.
"Bagaimana mungkin? Bahkan Ayah tidak melakukan apa pun untuk setidaknya membuatnya merasa lebih baik." Ryan duduk di sofa dengan nyaman dan menyilangkan kakinya.
"Jika aku melakukannya, dia hanya akan menjadi anak manja yang tidak bisa apa-apa." Matanya fokus pada kertas-kertas itu dan menandatanganinya satu per satu.
"Untuk seorang ayah, anda kurang berpengetahuan." Merasa disinggung, ekspresinya berubah dan kepalanya memandang ke arah Ryan. "Seorang anak perempuan memang sering dimanjakan. Meskipun seperti perkataanmu tadi, apakah anda pernah sekali saja memanjakannya?" Ryan tersenyum sedikit, "Atau anda hanya menganggapnya berharga karena dia satu-satunya peninggalan dari Nyonya Angel?"
Ryan terkekeh melihat ekspresi ayahnya. "Kamu benar-benar kurang ajar."
"Huh, memang. Sekarang aku akan memanjakan pacarku." Ryan berdiri dan berjalan ke arah pintu. "Jangan hanya bermain-main dengan gadis-gadis."
"Hehe," Ryan hanya terkekeh dan meninggalkan ruangan.
***
Lily menenangkan dirinya, memperhatikan aliran air di sungai sembari minum sebotol soda.
Dia tahu hal apa yang bisa beberapa kertas kecil dalam folder coklat itu lakukan. Tetapi, saudara tirinya yang bodoh, dan ayahnya yang sudah tua hanya berpikir bahwa semua itu akan membawa kedamaian dan membuat bisnis mereka lebih mudah mengalir. Dia tidak bisa menahan tawa. Dia menjadi gila dengan tawa yang berlebihan - tertawa bahwa dia bahkan tidak berusaha keras untuk menghentikan ayahnya, menertawakan betapa bodohnya saudara lelakinya, menertawakan betapa sengsaranya mentalnya- Tetapi tidak ada yang benar-benar menyadarinya karena tawanya tidaklah bersuara. Tawa yang pilu.
Teleponnya tiba-tiba berdering, dia berhenti tertawa dan mengambil telepon, melihat ID dan menjawabnya dengan riang. "Rudy, aku luang hari ini, ayo kita kejar tikus dan bantu aku dengan klien yang cerewet hehe."
Penelepon mengetahui sesuatu yang ganjil dari bagaimana Lily menjawab panggilannya. "Oke, tunggu aku di tepi sungai."
StarryRibbon: Hayo yang suka bolos haha.120Please respect copyright.PENANAX01pP2OMxv