Sepi. Langit gelap masih menggantung pagi itu, sedang Rana telah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Menyalakan saklar lampu, menaruh tasnya, lalu mengambil peralatan kebersihan, seperti sapu dan serokan. Tanpa sempat melepas sweater abu-abu bergambar kepala kelinci di tubuhnya yang mungil, Rana mulai membersihkan kelasnya.
Mulai dari dekat pintu, barisan tempat duduk Rana dan kawan-kawannya. Sampah-sampah dari laci meja ia tumpahkan keluar. Bagian yang ditempati para lelaki paling banyak sampahnya, entah kenapa. Semua sampah ia kumpulkan di ambang pintu, lalu di buang ke tong sampah yang tersedia di depan kelas. Rana rasa cukup piketnya sampai di situ, biar selebihnya dilanjutkan oleh anggota piket yang lain. Meletakkan alat bersih-bersih di bagian pojok belakang, lalu mematikan saklar lampu karena matahari sudah menerangi ruang kelas.
“Sebelah sini udah aku sapu, ya. Yang sana belum.” Tunjuk Rana ke barisan 3 dan 4 pada fadila, rekan piketnya yang baru saja tiba.
“Oke.”
Rombongan burung beranjak dari sarang untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Mentari perlahan menunjukkan eksistensinya di langit. Begitu pula dengan langit yang sudah membiru. Lengang, tanpa hiasan awan yang menggantung di bawahnya. Rana selalu suka suasana yang pagi suguhkan untuknya, tenang dan teduh. Memang benar kata orang, hidup ini sebenarnya sederhana, yang membuatnya terkadang kelihatan rumit adalah isi kepala kita sendiri. Terlalu memikirkan yang bukan-bukan. Melebih-lebihkan yang kecil. Mengecilkan yang besar. Seperti jatuh cinta saja, belum apa-apa sudah khawatir ditolak, khawatir disangka mengganggu, khawatir ketahuan, lalu dijauhi begitu saja. Padahal belum tentu begitu.
Akan lebih menyenangkan kalau kita menikmati apa yang sedang dirasakan, sekali pun itu terlihat buruk. Terlalu fokus pada hal buruk, sampai lupa kalau baik dan buruk selalu beriringan hadirnya.
Jatuh hati dan patah hati sepaket, bukan?
“Ngelamunin gue, lo, ya?” Tak terasa, satu persatu teman kelasnya sudah berdatangan, Buman sudah duduk manis di sebelah Rana, lengkap dengan sweater abu-abu dengan tulisan ‘findmuck’ di bagian depan.
Ganteng banget, Angkasa!
“Pede amat, bwang.”
“Ada tugas, gak?”
“Ada.”
“Apaan?”
Menyayangi gue, Bum.
“Itu nyalin catetan materi komunikasi bisnis ke buku tulis. Belum ngerjain, kan, lo? Nih gue pinjemin buku paketnya. Dari halaman 251 sampe 256.” Rana menaruh buku yang lumayan tebal itu di hadapan Buman.
“Gokil. Banyak banget ini dah. Bu Refa emang gak kira-kira kalo ngasih tugas.” Buman mulai menarikan jemarinya di atas buku tulis yang tidak disampul cokelat.
“Buruan, keburu bel, Bum.”
“Dih, lo ngikutin gue, ya, pake sweater abu-abu!” Buman memandangku dengan curiga.
“Gue dateng duluan, ya, daripada lo. Emang lo kira cuma lo doang yang punya?”
Iris mata Buman indah sekali, cokelat karamel. Belum lagi jika terkena sedikit bias cahaya matahari, seperti saat ini. Salah satu nikmat Tuhan yang tidak bisa didustakan.
Semesta, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk dekat dengan Buman. Bisa berbincang---kadang saling mengejek, membantu, dan memandangnya dari dekat pun sudah sangat cukup. Pintaku tidak banyak, cuma meminta supaya Buman tidak jauh-jauh dari jangkauanku.
“Eh, Ran, jangan suka sama gue, ya?”