Yeah dalam hati Hannah bersyukur sudah memilih tempat duduk paling pojok dan yang paling jauh dari jangkauan pengunjung lain di bistro dengan Old Hollywod deesign yang sedap di pandang ini. Tak sesedap kalimat yang barusan di dengarnya
Menangis di tempat umum adalah satu dari sekian banyak hal yang membuat sebagian orang merasa gak nyaman setengah mati, termasuk dirinya. Tapi tak ada pilihan lain mengingat keadaan lagi gak pas untuk menahan efek dari sekian banyak rasa yang lagi bergejolak di hati, pikiran, bahkan batinnya.
Kesel, sedih, marah, you name it.
Bibir Hannah bergetar, rentetan harapan yang sudah terlanjur melambung tinggi sedari berbulan - bulan lalu, jatuh pasrah begitu aja. Dia bahkan bisa merasakan cairan di pelupuk matanya hampir setinggi gunung Himalaya. Sedikit saja, sedikit lagi.
Wajahnya memerah menahan tangis. Tangannya mengepal keras sampai kebal, saking kerasnya sampai telinganya yang baru saja mendengar kenyataan yang mengobrak – abrik perasaannya ikutan kebal. Baru ia sadar cetakan kukunya menyeruat di buah – buah telapaknya.
“Maaf..maaf..maaf...aku bener – bener nyesel, Hannah.” suara Joshua menarik Hannah ke realita. Lagi. Nadanya terdengar sungguh – sungguh, gelap. Ingin sekali saat itu Hannah menampar wajahnya sendiri untuk memastikan kenyataan yang sudah seperti bom atom ini adalah...
Kenyataan.
Tapi melakukan itu sama saja dengan mengunyah air. Tidak ada gunanya. Yang ada malah bikin dirinya kelihatan bodoh.
Lelaki bertubuh tegap yang sekarang duduk menghadapnya tak mampu menatap mata Hannah, entah takut atau tak tega. Ia bersembunyi menunduk menghindari tatapan perempuan mungil di hadapannya itu. Untuk urusan fisik tak ada yang harus di gentari olehnya, dia bisa membekap Hannah hanya dengan kurang dari seperempat tenaganya, dan ia yakin kurang dari dua menit, cewek itu akan kehabisan nafas.
Tapi sekarang bukan itu urusannya, dia merasa bersalah kepada perempuan itu. Bahkan tak terbayang olehnya seberapa dalam kepahitan yang di alami oleh sosok berambut panjang hitam mengkilap itu sekarang. Matanya ikutan perih begitu melihat air mata meleleh di pipinya dan bungkam sepertinya pilihan yang tersisa saat ini meski banyak hal yang ingin ia utarakan. Dia pun sekarang merasa dirinya adalah seorang pengecut karena tak mampu berkata apa – apa.
Mau gimana lagi, mulutnya memang terasa kaku. Pita suaranya bak cuti, lidahnya pun kelu.
Dia tidak pernah menyesal bertemu dan jatuh cinta kepada Hannah. Dia bahkan bersyukur atas Hannah. For the God’s sake he’s madly in love with her. Tapi mengapa harus melalui jalan ini, oh Tuhan apa rencana-Mu. Apa gak ada cara lain yang tidak melibatkan air mata, melibatkan kemungkinan untuk di benci gadis itu.
Well...
Tolol kalau memepertanyakannya kepada Tuhan, jelas – jelas semuanya adalah salahnya sendiri.
Kali ini dia benar berharap kalau saja dia bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya sebelum kebohongannya menggunung, dan kalau saja dia tidak pernah berniat jail pada Adam, sahabatnya, juga kalau saja dia yang menjadi korbannya bukan gadis polos seperti Hannah.
Klise?
Emang. Tapi beneran deh, kalau aja..
Giliran hembusan nafas Hannah yang terdengar, dalam pikirannya melayang – layang wajah itu. Wajah yang selama berbulan – bulan ini menjadi teman dalam kesehariannya. Alis tebal yang hampir menyatu mengatasi mata almond yang tajam namun teduh itu, lekuk bibir, hidungnya, garis wajah tegas mebingkai semuanya. Ah..Hannah hampir gila karenanya.
Tapi sekarang wajah itu ada di hadapannya.
Vino. Biasanya Hannah memanggilnya, sosok yang ternyata di rangkai sedemikian rupa untuknya, yang terlanjur menjadi bagian dari skenario hidupnya, terlanjur sangat penting untuk hari – harinya, terlanjur ia sayangi setengah mati, dan hari ini ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri..Sosok itu ada di depan matanya, menatapnya seakan asing..Bahkan barusan memperkenalkan dirinya dengan nama lain.
Bak larva panas yang akan melayangkan nyawa hanya dengan menyentuhnya, Vino hanya ada dalam wujud dan kemasannya saja. Namun segala isinya ada pada Joshua . Orang yang mengarang sosok Vino, menyalahgunakan foto – foto Adam, sahabatnya.
“Jadi...Vino, itu kamu..” suara lirih Hannah kali ini terdengar seperti klakson panjang kereta yang hampir melindas korbannya.
Joshua itu sontak mendongak, menunggu kalimat yang akan keluar selanjutnya. Takut – takut ia menatap Hannah, matanya memohon. Memohon untuk perempuan itu berhenti menangis, tapi kemudian dia menggeleng pelan. Percuma, kalau memang Hannah ingin menangis, menangislah...Dia tidak berhak memintanya berhenti, meskipun air mata Hannah ibarat air cuka yang menyiram luka terbukanya.
Satu detik. Dua detik.
Kalimat Hannah tak kunjung datang.
Oh demi Tuhan, kalo aja gak membayangkan reaksi Hannah yang mungkin akan menamparnya bertubi – tubi, ia sudah menarik perempuan itu ke pelukannya, menenggelamkan wajah mungilnya di dadanya dan mengucapkan maaf beribu – ribu kali. Apapun untuk menebus semuanya.
“Sebenarnya..” Joshua membuka suara, pandangannya terbuka. Ia melihat Adam yang menatapnya penuh arti, sementara Hannah masih dengan ekspresi yang sama, “Waktu itu niatnya cuma mau ngejailin Adam. Jadi, aku pake foto dia, terus...aku liat ada kamu..Akhirnya, aku coba chat..” penjelasan Joshua terputus, ia menghela nafas. Kata – kata yang sudah ia persiapkan selama perjalanan tadi ke sini nyangkut di teggorokan. Terlebih ketika menyadari ekspresi Hannah, yang hampir enggan menatapnya.
“Hannah,” suara berat Adam tiba – tiba menyeruak. Menyadari suara yang memanggil namanya berbeda, Hannah menengok pada Adam.
Pandangannya terserobok mata Adam yang menatapnya lekat – lekat. Sekujur tubuhnya bergetar, dalam hatinya memuja sejadi – jadinya mata itu sekaligus ingin mencongkelnya mengingat mata itu bukan milik Vino. Demi matahari yang lagi terik – teriknya di luar sana, sumpah mati dia hanya ingin VINO.
“Saya ngerti perasaan kamu...” Adam terbata – bata, menatap mata Hannah yang terus berair membuatnya mau gila. Seumur – umur dia paling tak bisa melihat perempuan menangis, dia melirik Joshua dengan pandangan ingin membunuh. Sahabatnya ini memang terkenal jail dari dulu. Tapi kali ini, lumayan menyusahkan orang lain.
Dari cerita Joshua tadi malam, Hannah cewek yang 5 tahun di bawahnya itu masih polos – polosnya dan gampang di bikin percaya, sekarang begitu lihat dengan mata kepala sendiri menghadapi Hannah ibarat dia serorang ayah yang batal mengadakan pesta ulang tahun ke 17 buat anaknya.
Aneh rasanya ngebayangin dia di posisi bapak – bapak, tapi dia lebih merasa aneh lagi sama Joshua yang bisa jatih cinta sama anak kecil begini.
Sekarang dia cuma ingin membantu Joshua memperbaiki semuanya, bukan karena dia memaafkan perbuatan kutu kupret itu, tapi karena gak tega sama Hannah.
Sayangnya apa yang harus dia katakan sekarang tercekat oleh air mata cewek itu, dan ketika hampir mengutarakan niat baiknya itu, kalimat lain malah mencelat dari bibirnya, “Jadi Joshua udah cerita semuanya sama saya, waktu itu dia..kanniatnya..ya...jail...yaaa..soo..Hey! Can’t you just stop crying?” Adam terburu – buru menyelesaikan kalimat terakhirnya, sehingga terdengar seperti perintah.
Efek sampingnya ekspresi Hannah mendadak berubah, dia menarik nafasnya diikuti suara ingus yang batal meler,lalu menatap cowok itu dengan pandangan tersinggung. menyipitkan matanya dan menggeleng kepalanya pelan tak habis pikir.
Kedua laki – laki dihadapannya menatapnya tak enak, Joshua memijit – mijit jidatnya sendiri. Sementara Adam mengutuki bibirnya, pita suaranya, lidahnya segala macam yang membuat kalimat itu terjun bebas dan mendarat dengan tidak halus.
Srettt. Hannah melempar napkin dari pangkuannya kemeja, memundurkan bangkunya dan berdiri, “I've had enough..” katanya lalu melangkah lebar – lebar keluar dari bistro yang bernama Marlene itu.
ns 172.69.6.90da2