Ting. Suara ponselku berbunyi berkali-kali. Aku yang sedini hari sibuk menghafal berbagai macam tumpukan kertas, menghafal setiap kalimatnya, sampai tidak bisa membuka ponsel sama sekali di hari itu. Hari ini ada ujian praktek bahasa arab. Aku harus menghafalkan teks dengan tulisan yang aku pun tidak terlalu lancar membacanya.
Perjalanan ke sekolah yang biasanya melelahkan, untuk pertamakalinya selama tiga tahun, aku merasa hari ini merupakan perjalanan yang sangat singkat. Hingga seseorang yang berada di sampingku menepuk pundakku.
“sampe woy” ujar tika teman satu komplekku.
“ah, iya” “ini ongkosnya tolong” ucapku sambil memberikan uang yang di gulung-gulung seperti bakaw.
Setegang itu aku di hari ini dengan deretan jadwal ujian praktek yang sangat padat, sampai hampir lupa sarapan pagi, minta uang jajan, dan salah pakai sepatu. Hari yang begitu melelahkan. Sangat melelahkan dengan tambahan tumpukan teks yang harus di ingat untuk mendapatkan sejumlah angka di tahun terakirku di sekolah ini.
Ponselku terus bergetar sedari pagi. Dan kali ini dia bergetar sangat lama dan akhirnya dia bisa mencuri perhatianku untuk membuka, melihat ada hal penting apakah hingga dia bergetar dengan lamanya? Ah ada telfon masuk dari Sadir.
“uy, apa sih ah, kan tau lagi uprak”
Aku beranjak dari meja belajarku pergi keluar menjauhi keramaian kelas yang tak terkendali karena semua tegang dengan ujian hari ini.
“ada yang mau di anter naik gunung gede din”
“wah mantep atuh jalan-jalan” “minggu ini?”
“ga tau tah, liat kuotanya aja kali yah, nanti aku kabarin lagi!” “baca chat aku makanya. Dari tadi D weeeee ga di R R”
“hahahaha siap bos. Nanti aku baca. Nanti nya ga tau kapan hahaha” ujarku sambil tertawa meledek.
“bener atuh ih! Penting nih!”
“atuh dir! Aku lagi praktek ih kamu mah”
“oh iya atuh iya”
Aku menutup telfonnya dan beranjak masuk kedalam ruang riuh yang menegangkan itu lagi. Ya tuhan kapan ujian praktek ini berakhir.
Akhirnya tepat pukul tiga sore, bel kelas berakhir berbunyi. Dan semua ketegangan yang terjadi di hari itu berubah menjadi sorak gembira riang yang dinantikan setiap siswa. Termasuk aku. Yang sedari tadi menantikannya berbunyi bukan untuk bergegas pulang, melainkan membuka makan siangku yang tak tersentuh sedaritadi.
Sore hari, masih di dalam kelas di meja kesayanganku di sudut ruangan dekat jendela. Ya jendela kelasku yang berhiasi rangka besi, akan membuat ruangan ini seperti penjara bila pintu ruangan ditutup dan di kunci. Ruang kelas yang di penuhi monitor ini, selalu membuat orang asing tergiur untuk masuk dan mengambil apa yang bukan menjadi hak merka. Tidak aneh jika sekolah membuat ruang kelasku seperti ilustrasi penjara kelas kecil.
Perasaan yang masih sangat lelah setelah sehari penuh menjalani ujian praktek yang sangat sulit. Wajah muram yang sudak tidak bisa ditutup oleh make up. Mata lesu yang sudah merindukan hangatnya ruangan kamar di hari itu, masih harus membereskan tugas untuk praktek di esok hari.
Aku duduk sambil menghadap ke arah jendela. Memperhatikan ruang kelas yang ada di sebrang sana. Kelas unggulan yang jendelanya di hiasi oleh gantungan jendela yang elok dan tirai yang cantik, berbanding terbalik dengan kelasku. Juga pendingin ruangan yang membuat kelas itu selalu sejuk dan enak untuk di singgahi. Seseorang melambaikan tangan dari sebrang sana. Sambil berteriak dengan suara lantang.
“gimana ujiannya?”
“susah” ujarku.
“sini kesini” sambil melambaikan tangan memberi perintah agar aku menemuinya.
Aku berjalan menghampiri ruang kelas itu. Membawa ponselku yang sedaritadi tak aku buka padahal ada seseorang yang sedang menunggu kabar penting dariku.
“udah makan?” ujar Fatih. Anak kelas unggulan yang menduduki peringkat 3 se-angkatan.
Ya, aku memang dekat dengan dia. Sampai bahkan aku seperti berpacaran dengan dia. Tapi itu tidak mungkin. Anak berprestasi mana mungkin pacaran. Kita hanya sekedar dekat saja.
“udah tadi, makan batagor. Kamu udah makan?. Eh mau pulang jam berapa?”
“apa? Nebeng?”
“hehehe tau aja”
“bentar lagi. Temenin dulu angkut ini ke kantor. Nanti aku tebengin” sambil menunjuk ke arah piano milik sekolah.
“idiiiiihh masa nyuruh bawa yang ginian ke cewe? iya da aku teh apaan!”
“kan digotong ber dua. Ga ada orang lagi soalnya makanya aku manggil kamu”
“ih dasar”
“mau bantuin engga?”
“iya iya, awas yah anter sampe rumah”
“iya, osoi”
Osoi adalah panggilannya terhadap aku. Berasal dari bahasa jepang yang artinya dalah lambat. Ya, aku adalah orang yang lambat dari segi apapun. Menangkap pelajaran atau gerak tubuhku dalam melakukan sesuatu. Panggilan yang berarti buruh tapi masih untuk pendengaranku.
Aku protes untuk membantunya karena jarak antara kelas unggulan dan ruang kantor yang sangat jauh. Bahkan kamu harus melewati lapang volley dan bulutangkis untuk sampai di ruang guru. tapi aku tak bisa menolaknya lagi. Kita mulai berjalan melewati jalur berputar dari kelas unggulan menuju ruang guru yang membuat aku tergopoh-gopoh mengankut piano yang super besar ini untuk dikembalikan ke tempatnya.
“berat tau ih”
“bentar lagi. Cepet dong osoi”
“yey kan tau aku osoi, yaudah ga usah protes!” ucapku judes kepadanya.
“dini kawaii, nanti aku teraktir minum yaaa” ujarnya sambil tersenyum meliat ke arahku dengan muka memelas.
Tinggi badannya yang sangat jauh dari aku membuat aku menumpu beban berat mengangkut piaono ini. Kalau di lihat dari kemiringan, mungkin kita berada di tingkat kemiringan yang berbahaya. Karena tubuhku dan dia bagaikan jari kelingking dan jari manis. Hebat bukan?
Akhirnya sampai juga di ruang guru. Didalam ruangan hanya ada beberapa guru saja yang masih sibuk dengan tugas mereka.
“eh kalian belum pulang?” ujar ibu heni guru bahasa Indonesia kelas kami.
“belum bu, lagi beres-beres kelas dulu abis latihan padus tadi” ujar faith.
“oo iya kalau gitu ibu duluan ya, Assalamualaikum”
“waalaikumsalam” ucap kami berdua serempak.
“sini duduk dulu, istirahat dulu” ucap Fatih sambil menepuk-nepuk kursi yang ada disebelah piano besar yang menyusahkan itu.
Aku duduk disitu sambil terus mengamati ruang guru yang sesak dengan meja kerja dan kertas yang bertumpuk di setiap masing-masingnya. Jujur saja, selama tiga tahun aku bersekolah disini, aku jarang sekali masuk ruang guru. Dalam tiga tahun ini mungkin bisa di hitung jari berapa kali aku masuk ke ruangan ini. Jadi aku bagaikan orang asing yang mencari seseorang dan memperhatikan tiap detile barang dan apapun yang ada disitu.
Fatih yang sedaritadi duduk di sampingku, mulai beranjak dan menghampiri piano yang tadi kami bawa. Memposisikannya dengan benar. Menghubungkannya ke listrik dan mulai bermain sebuah irama pemanasan.
“dengerin ya din” ucapnya singkat.
“emang mau mainin lagu apa?”
“apa aja yang penting kamu suka” sambil menatapku dengan tatapan meledek.
Deg! Hatiku langsung membeku. Menahan tawa yang berakhir dengan senyum masam. Kau tau pesarasaanku saat itu? Kaget. Senang. Bahagia. Pingin ketawa. Pokonya campur aduk. Aku langsung membatu. Tak ada sepatahpun yang keluar dari mulutku saat itu. Aku hanya menatapnya dan membalas senyumnya. Serentak suasana langsung hening. Dia masih terus menatap aku.
“seneng ya?” “hahahaha” dia tertawa lirih. Meledek aku yang mulai berwajah merah.
“yaudah mainin aja” ujarku sambil memukul pundaknya dengan ringan.
Alunan piano mulai berdendang. Instrument yang dia maikan adalah salahsatu dari sekian lagu favorit aku yang selalu aku putar setiap pagi sebelum kelas mulai. Hmmm dia tau banget selera aku. Bahkan aku penasaran, berapa lama dia berlatih instrument ini sampai hari ini dia menampilkannya di depan aku.
“horeeeeee” ujarku dengan suara lantang dan refleks memberikan tepuk tangan ketika instrumen yang dia mainkan sudah berakhir.
“yu ah pulang” ujarnya sambil bangkit dari kursinya.
“ih, bentar dulu kenapa? Mainin satu lagu lagi dong”
“udah sore ah. Hayu pulang” ucapnya sambil melepaskan penghubung ke listrik antara piano.
“bagus, bagus. Aku suka lagu nya”
“iya lah tiap hari aku denger kamu lagi dengerin lagu itu”
“ciiieeeee merhatiin” ujarku sambil menunjuk hidung nya dan tersenyum.
“apa sih ah” balasnya sambil tersenyum.
Senyumnya yang manis, yang selalu aku suka dari dia. Tapi kalau dia senyum, mata yang otomatis tertutup, membuatnya menjadi bahan olokan teman-teman wanitanya yang lain.
“kamu kalo senyum jangan merem. Nanti orang pergi semua kamu ga tau” kataku sambil tertawa.
“bodo amat” balasnya singkat.
Kita pergi kembali menuju kelas untuk mengambil barang yang masih ditinggalkan disana. Kami terus bercanda sepanjang lorong sekolah hingga kelas unggulan. Ya diantara kami berdua memang tidak ada hubungan apa-apa. Tapi kita seperti pacar yang saling melengkapi antar satu dengan yang lainnya.
Sesuai janji, dia mengantar aku tepat di depan rumahku. Walau arah rumah kami sebenarnya berlawanan, tapi aku selalu ikut nebeng bareng dengan dia sampai angkutan selanjutnya. Pengecualian hari ini, karena aku sudah membantu dia, aku mendapat traktiran tebengan gratis sampai depan rumah.
“makasih ninjin”
“iya sama-sama. Udah gih masuk”
“iyaaaa bye”
“yu Assalamualaikum”
Aku juga sama seperti dia, punya nama panggilan yang mengejek dalam bahasa jepang. Ninjin yang artinya wortel karena dia takut dengan wortel. Ntah lah apa yang dia takutkan dari wortel. Tapi itu menjadi bahan olok-olokan teman-teman sekelasnya. Dan akupun menggunakannya tapi dengan bahasa lain. Hehehe…
Setiba dirumah aku tak langsung menuju toilet untuk mandi, tapi merebah di atas kasur sambil senyam-senyum sendiri. Kau tau rasa bahagia memenangkan lotre ratusan juta? Mungkin perasaanku ini lebih dari itu. Hanya perlakuan singkat namum membekas hingga hari ini. Satu hari yang melelahkan namun ditutup dengan suasana yang sangat menggembirakan. Bahkan takan kulupakan.
“ha? Aku lupa si Sadir” “yabai”
Aku lupa kalau dia menunggu kabar dariku >_< . Saking senangnya aku saat itu aku lupa kalau ada orang yang sedang menunggu kabar penting dariku. Lekas aku cas ponselku ku. Setelah dia menyala. Menunggu jaringan terhubung ke wifi dan bam! 100+ pemberitahuan masuk ke ponselku. Pasti dari Sadir, bukan dari siapa-siapa lagi. Karena Fatih jarang memberikan kabar kepadaku, mau itu pesan atau bahkan telfon. Kami hanya berhubungan di sekolah saja.
Aku langsung telfon Sadir. aku adalah orang yang tidak suka baca pesan yang panjang. Lebih baik menelfon berjam-jam daripada membaca sebanyak tulisan yang ada di Koran.
“halo Sadir?” “sorry baru pulang aku”
“iya din, udah dibuka belum grup nya?”
“udah dir, aku buka aja, heheheh. Abis males ah, banyak banget pesannya”
“iya intinya mereka anak bogor. Satu orang orang sini. Namanya Aran. Dia ajak temen-temennya buat naik gunung gede via gunung putri sama kita. Kita yang guide mereka. Gitu sih. Itu di grup lagi rame bagi-bagi tugas. Simaksi udah beres aku udah daftarin tadi”
“oo gitu ya? Terus kamu dapet KTP aku dari mana?”
“tadi aku ke umi. Untung lagi ada di rumah. Aku minta ke umi”
“idih emang dia punya kopian KTP aku yah? Dari mana?”
“taaaau, Tanya sendiri lah kan umi kamu oon”
“hehehe maklum abis uprak bahasa arab. Kaya yang ga tau aja bahasa arab kaya gimana”
“mantap ya din wkwkwkwk” dengan nada meledek.
“eh san, tau ga?”
“ya engga lah kan belum dikasih tau oon”
“ih kamu maaaahhhh…. Iya iya gini… aku tadi di mainin piano sama Fatih aaaaaaaa” ujarku sambil dengan nada yang meninggi dan sedikit berteriak. Aku juga reflek bangun dari kasurku dan melompat kecil turun dari kasur.
“idih gitu doang seneng amet”
“iya lah, kamu sih ah masa ga ngerasain sih. Coba kalo kamu di mainin piano sama cewe yang kamu suka? Pasti seneng kan?”
“hmmmmmm engga juga” ujarnya lurus.
“ih kamu mah ngeselin ah. Udah ah mau mandi bye”
Aku langsung mengakhiri panggilan telfon ku dan pergi beranjak dari kasur.
Air hangat yang membuat ketenangan dalam tubuhku kembali, membuat aku tak ingin beranjak dari dalam bathtub. Otakku terus berimajinasi betapa romantisnya Fatih memperlakukan aku walaupun dia tidak pernah tau bahwa ada seseorang yang terbawa persaan oleh perlakuannya itu.
Saat pertama aku kenal dia. Waktu itu kelas satu semester akhir. Aku masih ingat persis kejadiannya. Saat aku sedang di ruang IT, tepat pukul empat setelah sekolah mulai sepi dari aktifitas siswa. Aku masih diam menatap layar notebook ku dan memutar film favoritku. Film anime yang sangat terkenal hingga saat ini, bahkan rattingnya melebihi film-film bolliwood di dunia, dia juga bisa merebut otakku untuk terus menonton tiap episode nya.
“rame ya?” sebuah suara tiba-tiba berbisik di telingaku. Ya, dia Fatih. Dia berdiri tepat di belakangku. Badannya tinggi, perawakannya kurus, kulitnya putih, rambutnya sedikit gondrong waktu itu. Dan mata nya terpejam saat dia senyum.
“ah, iya rame” balasku singkat.
“itu bukan yang minggu ini ya? Kalo yang minggu ini …..” dia menceritakan alur cerita film yang launching di minggu ini. Tapi aku tak terlalu memperhatikannya karena film yang sedang aku putar di notebook ku tidak aku stop dan terus berjalan. Dan akhirnya aku tidak terlalu fokus dengan apa yang dia ucapkan.
“oh gitu ya. Aku masih ketinggalan 8 minggu hehehe. Jadi masih nyicil buat download film nya. Ini masih sisa empat film lagi yang lagi di unduh”
“padahal aku ada banyak loh. Dari episode satu kalo mau?”
“eh serius? Mau dong” ujarku sumringah karena memang mengunduh film dengan kapasitas yang besar membuat aku menjadi penghuni ruangan ini sejak awal masuk di sekolah.
“sini, ada flasdiks?”
“ada, ada. Aku minta empat film yang ini aja. Ga usah dari satu juga lagian banyak banget hehehe”
“oke, besok aku balikin ya” “eh iya ngomong-ngomong kelas apa?”
“sepuluh G”
“oh oke, aku sepuluh F” “Fatih” ujarnya sambil tersenyum. Lagi-lagi matanya terpejam saat dia tersenyum.
“ah oke, aku dini”
Dia pergi dengan Flasdiksku di tangannya. Flasdiks yang bergantungan kunci lonceng itu, terus berbunyi seakan meminta tolong kalau dia sedang di culik. Aku terus menatapnya hingga pergi jauh tak terlihat lagi.
Ya begitulah pertemuan pertamaku dengan dia. Membuat aku terus dibayangi olehnya. Setiap hari setiap paginya, kita berbicara tentang film anime yang sedang menjadi buah bibir saat itu. Aku merasa cocok dengannya. Terlebih lagi hanya aku perempuan yang suka anime. Mungkin aku adalah manusia langka menurutnya.
Setiap hari kami terus dekat. Sekarang tidak hanya membicarakan tentang anime tapi kami mulai memperlajari bahasanya. Ya bahasa Jepang. Kami masuk grup di sebuah jejaring sosial yang sama. Kedekatan kami menyebar di seluruh sekolah. Sampai seorang guru menegurku hanya untuk menanyakan hal itu. Maklum, dia anak dari kelas unggulan yang terus meraih peringkat terbaik seangkatan.
Berteman dengan aku yang tak pernah masuk peringkat kelas sama sekali. Bukankah hal yang aneh?. Banyak yang iri dengan aku? Oh tentu banyak. Bahkan aku pernah mendapatkan pesan terror dari beberapa nomer telfon yang aku tak tau. Aku tak pernah mengadu ataupun bercerita apapunya kepada dia. Karena dengan mengenalku saja, mungkin merupakan hal buruk untuknya. Tapi Fatih tetap berprilaku baik terhadap aku, walaupun banyak hal yang sangat menggagunya sejak dia mengenalku.
Setiap pagi, kami selalu bertemu tempat parkir. Selalu menyapaku duluan di pagi hari. Aku merasa senang masuk ke sekolah ini. Rasa lelah perjalanan yang aku tempuh berjam-jam lamanya, semua hilang seketika saat melihat dia.
Tiba-tiba…
“din telfon tuh” ujar suara di balik pintu toilet.
“siapa? Angkatin dong!. Bilangin lagi mandi gitu”
“dari Sadir. ah angkat aja sendiri” “buka pintunya nih”
Dia adikku. Satu kamar dengan nya membuat aku tak punya tempat privasi selain di dalam toilet. Terkadang dia membantu. Terkadang dia mengesalkan. Dia selalu mengankat panggilan di telfonku dan berkata yang aneh-aneh pada seseorang di balik telfon itu. Kali ini dia baik.
“oke makasih” ujar ku singkat. Sambil sedikit beranjak dari dalam bathtub.
“yah mati” “ada apa sih nelfon terus” ujarku di dalam hati.
Aku membuka grup di sebuah aplikasi chat. Grup itu terdiri dari tujuh orang. Aku melihat foto profil mereka satu-persatu. Hmmmm ada yang membuat aku tertarik dari salahsatu merka. Bukan Sadir! melaikan seseorang dengan potret sedang bersepedah gunung. Dengan pemandangan hutan mangruf, jalan setapak dari kayu yang berukuran kurang lebih satu meter saja dan potret wide yang di ambil oleh si pemilik akun chat itu.
“oh anak bikers ya” pikirku sejenak sambil memperhatikan foto profil nya.
Tubuhku mulai melemas, menyuruhku untuk beranjak keluar dari dalam toilet. Aku keluar dan bersiap untuk menunaikan ibadah di sore hari.
Setelah aku selesai dengan urusanku, aku mulai bermalas-malasan karena esok hanya ada satu ujian praktek saja. Dan aku sudah menyelesaikannya tadi saat masih di sekolah. Aku adalah orang yang tidak bisa belajar di malam hari. Jadi aku mempersiapkan semua ujian pada saat dini hari. Sekitar jam tiga atau empat subuh.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur kesayanganku sambil membuka ponsel dan melihat grup untuk pendakian yang akan datang. Aku scrol sampai ke bagian atas dari percakapan grup bermaksud mancari waktu penentuan untuk pendakiannya.
- Uno : jadi nya kapan?
- Ijol : ga tau nih masih nunggu kabar
.
.
.
- Sadir : tangga 12 maret ya. 12-13 maret jadinya. Udah di daftarin. Tujuh orang ya. Oke done.
- Aran : satu orang lagi siapa Dir?
- Sadir : Si Dini. Temen guide. Dia yang pegang kompor sama P3K.
- Aran : oo gitu ya oke sip.
“Hmmmmm, jadi dia bawa aku karena dia ga punya kompor gas untuk naik gunung. Dasar Sadir” ujar batinku meledek kepada Sadir.
Ting. Sebuah pesan masuk melintas di pemberitahuan ponselku. Aku lihat ternyata itu dari nomer yang tidak aku ketahui.
- +620896574…. : Assalamualaikum teh*.
- Aku : Waalaikum salam.
“hmmmm foto profil nya engga asing. Ternyata dia Aran. Anak grup yang nanti mau mendaki bareng ke gunung gede” ujar ku di dalam hati.
- +620896574…. : teh nanti sama cowo doang emang gapapa?
- Aku : aku udah biasa hehehe. Mending kalo ini Cuma bertujuh. Waktu itu pernah sepuluh orang. Aku cewenya sendiri. Hehehe
- +620896574…. : wah gitu ya? Berpengalaman berarti ya?
- Aku : maksud nya?
- +620896574…. : engga hehehe
“apa sih, nyebelin banget” ujar ku kesal.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ponsel berdering dari sebuah aplikasi yang memberikan sebuah pengingat.
“a yabai*, hari ini ada war aku belum apa-apa lagi. Aaaaaahhhhh”
Ya, selain aku menyukai anime dan film-film jepang lainnya, aku juga menyukai main game. Game yang sedari dulu aku mainkan adalah game perang COD. Sekarang lavel game ku sudah mencapai tahap gold. Bahkan banyak sekali teman laki-laki aku yang menawarkan harga tinggi untuk game ini. Tapi aku tidak pernah berfikiran untuk menjualnya.
Waktu terus berjalan. Haripun mulai larut, mataku mulai meredup dan sudah mulai menyerah dengan cahaya ponsel. Waktu menunjukan pukul dua belas pas tengah malam. Aku mulai memposisikan diri untuk beristirahat. Mempersiapkan diri untuk menjalani ujian praktek esok hari.78Please respect copyright.PENANAyXfgm6Vkj1