"Jangan berjalan sendirian selepas tengah malam! Kau akan bertemu dengannya dan tidak akan melihat mentari untuk keesokan harinya"
Entah sejak kapan, kalimat itu mulai menjadi trend di daerah kekuasaan kerajaan Neanthal. Setiap penduduk tahu dan bahkan membisikkan kalimat itu pada anak-anak mereka tiap malam.
Beberapa orang berkata itu hanyalah urban legend. Kisah horror yang di karang-karang oleh para orang tua agar anak gadis mereka tidak berlaku nakal dan berkeliaran di jalanan.
Namun seminggu lalu, setelah 3 mayat ditemukan terbujur kaku di tengah jalan dengan bekas cekikan, robekan memanjang dari bibir hingga ke pipi dan jari-jari yang terpotong, tidak ada lagi yang meragukan kalimat itu.
Polisi sudah bergerak, namun pelakunya masih belum terungkap. Yang bisa mereka lakukan adalah mengimbau para penduduk untuk tidak berkeliaran lewat tengah malam.
Desas-desus mulai berkembang seiring dengan lebih seringnya lagi mayat yang ditemukan. Katanya ada psikopat gila yang hidup di antara mereka. Katanya mereka yang mati dibunuh sebenarnya adalah mata-mata musuh. Katanya, katanya, katanya. Hingga sebuah kalimat baru dibicarakan sebegitu seringnya hingga menjadi trend lain.
"Jika kau berwajah cantik, kau tidak akan selamat. Laki-laki atau perempuan, perbanyak berdoa dan kurangi keluar rumah! "
°
°
°
"...begitulah kesimpulan yang telah tim kepolisian dapatkan"
Taeyong bergidik memandangi lembaran foto korban yang dijajarkan seorang detektif kepolisian didepan meja persidangan kerajaan sebagai laporan pada sang raja.
Sang pangeran mahkota menatap ke sekeliling. Dapat dilihatnya para menteri dan petinggi kerajaan juga memandangi foto-foto itu dengan wajah ngeri dan ketakutan.
Bagaimana tidak, setelah sebulan, ada dua belas mayat yang ditemukan di pinggir jalan. Laki-laki dan perempuan. Persamaan mereka hanyalah cara mereka dibunuh dan wajah mereka yang semuanya diatas rata-rata (good looking :) ).
"Dan pelakunya tidak meninggalkan jejak apapun?" Sang raja membuka suara. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya.
"maaf, tapi pembunuhan ini sangat bersih. Tidak ada sidik jari atau apapun yang merujuk pada pelaku" Detektif kepolisian menunduk malu. "kami terus berusaha menyelidikinya. Tapi untuk saat ini prioritas kami adalah mencegah jatuhnya korban tambahan". Dia mencuri pandang pada Taeyong. "terutama dari keluarga kerajaan"
"Kenapa?" Taeyong mengerjap. "Apa menurut kepolisian aku termasuk salah satu target pembunuhan? "
"Seperti yang anda tahu, Yang Mulia" sang detektif menunjuk foto-foto itu lagi. "Desas-desus yang beredar itu benar. Para korban memiliki kesamaan, mereka semua berwajah diatas rata-rata. Jeno dan kakaknya, Sungchan, untuk contohnya. "Dia menunjuk salah satu foto. "mereka adalah model ternama" Dia menunjuk foto lain. "Minho, penyanyi kafe. Mark, pebasket. Jiyeon dan Hyunjae, pasangan pebisnis. Kakak beradik Chaeyeon dan Chaeryeong. Midam, programer"
Taeyong memandangi foto-foto itu lagi. "kurasa aku tidak akan menjadi target"
"Yang Mulia--"
"Kepolisian menyembunyikan sesuatu, kan?" Taeyong memandang sang detektif. "Ada persamaan lain dari pada korban yang tidak dibeberkan kepada publik"
Sang detektif mengangguk. "Benar, Yang Mulia. Kami menyembunyikannya dari publik agar tidak ada pembunuhan tiruan yang akan mempersulit penyelidikan"
Taeyong menatap sang detektif. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, kalau begitu"
Sang raja mengernyit. "Kenapa? Tidak ada salahnya waspada, Taeyong. Kau adalah pangeran mahkota. Kurasa kepolisian harus mengirim orang untuk menjagamu saat kamu keluar istana"
"Ayah" Taeyong menunjuk salah satu foto. "Aku mengenal Jeno dan kakaknya. Juga Mark dan Chaeyeon. Dan pebisnis Jiyeon, siapa yang tidak mengetahuinya? Aku mungkin tidak kenal korban lainnya, tapi apakah tidak ada yang melihat sebuah pola?" Taeyong mengetuk-ngetuk meja, dan mendengus saat para menteri dan sang raja nampak tak paham. "Mereka semua bermarga Lee. Iya kan, detektif? "
Sang detektif mengangguk. "benar, Yang Mulia. Para korban-meski tidak semua berhubungan darah- memiliki marga yang sama"
"Margaku Jung. Jadi kepolisian tidak perlu mengkhawatirkan ku, kan? "
"Taeyong tunggu" Sang raja menyadari sesuatu. "Tunanganmu--"
Taeyong mengangguk. "Kalau pola pembunuhan ini berlanjut, tunanganku akan ada dalam bahaya. Dia bermarga Lee dan berwajah diatas rata-rata. Dan jika terjadi sesuatu padanya, aku akan mengirim seluruh anggota kepolisian kepada algojo"
Sang raja berdehem. "Kirim orang dari kepolisian untuk melindungi tunangan putra mahkota. Kau sudah dengar apa yang dikatakan Taeyong tadi"
Sang detektif mengerjap, kemudian mengangguk cepat-cepat. "baik, yang Mulia. Perintah anda akan segera dilaksanakan"
°
°
°
"TAEYOOOONG!"
"Tunggu--nona Joohyun!"
Perempuan yang berlarian di sepanjang koridor istana itu membalik badan, menatap salah satu pelayan yang mengejarnya. "Apa?" Joohyun merengut. "Kemana Taeyong?"
"Yang Mulia sedang belajar memanah di halaman belakang, nona"
Joohyun mendesis kesal. "Aku sudah jauh-jauh naik tangga dan ternyata dia di halaman? Kenapa sih istana ini luas sekali?!" rutuknya (namanya juga istana ya pasti luas)
"Eh perlu saya panggilkan, nona?" Sang pelayan nampak salah tingkah. Dia kan dari tadi sudah mengejar perempuan itu untuk memberi tahu nya agar tidak usah naik tangga karena sang pangeran ada di halaman, namun di abaikan (yang waras sabar)
"Boleh. Tolong ya" Joohyun tersenyum.
"Aku akan di kamar biasa, suruh saja dia ke sana"
"Baik, nona" Sang pelayan buru-buru berlalu untuk melaksanakan perintahnya.
Joohyun memandangi hingga sang pelayan tak terlihat lagi, sebelum kembali menyusuri koridor istana. Dia berbelok ke salah satu sudut dan berdiam lama di situ. "Kurasa tidak sopan mengintai tunangan pangeran mahkota sampai sebegitu nya, kan?" Joohyun tersenyum saat sosok yang sejak tadi mengikuti nya terkaget.
Sosok yang mengikutinya itu berpenampilan sama seperti pelayan kerajaan yang lain yang mondar-mandir di sekitar koridor, namun Joohyun sudah merasa bahwa ia diawasi sejak menginjakkan kaki keluar dari rumah.
"Siapa kau? Polisi?"
"Saya inspektur Lee Chaeyeong dari Divisi satu" sosok itu menunjukkan kartu identitas Kepolisian nya.
Joohyun terkekeh. "Ternyata aku sepenting itu ya, sampai kepolisian mengirim seorang inspektur untuk melindungi ku" Dia bersidekap. "Aku tidak mau diawasi"
"Ini untuk keselamatan anda sendiri, nona"
"Keselamatanku?" Joohyun memutar bola mata malas dan tertawa dalam hati. "Baik. Silakan ikuti aku kemana-mana. Tapi kuharap kau tidak berdiri di depan pintu kamar saat aku dan Taeyong ada di dalamnya" Joohyun tersenyum jahil, lanjut berjalan di koridor hingga mencapai satu ruangan. "Atau kau akan mendengar sesuatu"
Wajah sang inspektur memerah dan Joohyun terbahak
°
°
°
"Kenapa, sayang?"
Joohyun merengut memandangi Taeyong yang masih menenteng alat panah nya ke dalam kamar. "Kamu kan, yang menyuruh orang kepolisian mengikutiku kemana-mana?"
Taeyong tertawa, menaruh alat panah dan busurnya di lantai kemudian mendekati Joohyun dan memeluknya. "Aku merindukanmu" (ew)
"Jangan peluk-peluk. Aku masih marah" Joohyun menggeliat (kayak cacing. G) berusaha melepaskan diri dan merengut menatap Taeyong.
"Oh ayolah. Ini untuk keselamatanmu juga"
Joohyun nyaris memutar bola mata. "Aku tidak akan menjadi target, Taeyong. Kupastikan itu"
"Kamu tidak tahu, tapi para korban memiliki banyak kesamaan denganmu"
Tidak mungkin aku tidak tahu. Batin Joohyun. "Terserahlah. Tapi rasanya aku tidak punya privasi lagi. Bahkan di istana ini saja aku masih diikuti"
"Aku akan melarang mereka mengikutimu jika kamu sedang di sini. Bagaimana?" Tawar Taeyong. Joohyun mempertimbangkan hal ini sebentar, sebelum kemudian mengangguk. "Sekarang boleh aku peluk?"
"Kamu cuma mau peluk?" Joohyun tersenyum jahil. "Sayang sekali, padahal hari ini aku pakai parfum baru, lho" (hmmm memancing)
Taeyong menyeringai. "Berarti boleh cium-cium?"
Joohyun mengendikkan bahu dan memasang wajah polos. "Aku kan tidak pakai parfum di bibir. Apa yang mau kamu cium?"
"Astaga" Taeyong tertawa rendah (?) "Joohyun ku nakal, ya" (ok skip)
(bisa²nya tulis ka yang beginian)
°
°
°
"Inspektur-- siapa tadi namamu?"
"Inspektur Lee Chaeyeong, nona"
"Nah, itu" Joohyun mengangguk-angguk. "inspektur, mau mampir ke rumahku?"
Sang inspektur mengerjap "maaf saya hanya ditugaskan untuk menjaga anda"
"Setidaknya bisakah kau mengecek kan kondisi rumahku dulu? Orang tuaku sedang keluar kota. Bisa saja ada sesuatu, kan?" Joohyun tersenyum. "Lagipula dengan keadaan seperti ini, jika ada yang menyerang, aku tidak bisa membela diri" Joohyun menunjuk kakinya, mengisyaratkan cara berjalannya sedikit pincang.
Perempuan itu membuka pintu rumahnya dan membiarkan sang inspektur masuk duluan untuk mengecek ruangan-ruangan di dalamnya. "Tolong cek kamarku dulu, aku mau ganti baju"
Chaeyeong mengangguk, masuk ke dalam ruangan di sebelah kanan dan keluar lagi tak lama kemudian. "Aman, nona"
Joohyun mengangguk, masuk ke dalam kamar dan membiarkan sang inspektur berjaga di luar.
Perempuan itu terkekeh kecil saat membuka laci nakasnya, mengambil sarung tangan dan sebuah stun gun. "Seorang Lee yang berwajah di atas rata-rata?" Dia tertawa pelan, bersembunyi di balik pintu dan kemudian menjerit, berusaha membuat suaranya terdengar panik dan ketakutan.
Sesuai dugaan, sang inspektur yang khawatir mendengar jeritannya langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan, tak menyadari Joohyun yang bersembunyi di bali pintu dan menyetrumnya dengan stun gun hingga ambruk.
"Mengirim seorang Lee yang berwajah diatas rata-rata untuk menjadi pengawalku? Kepolisian sepertinya berbaik hati mencarikanku korban" Dia terbahak, menyeret tubuh sang inspektur ke ruangan sebelah.
Di sana ia menjajarkan plastik besar di lantai sebelum membaringkan tubuh sang inspektur, melilitkan kawat di lehernya dan mencekik nya kuat.
Sang inspektur tersedak bangun, terkejut menatap Joohyun. "Kau--!"
"Ups" Joohyun terkekeh. "Sudah bangun ya? Padahal lebih baik jika kau masih tak sadarkan diri, lho. Sakitnya lebih tidak terasa" Dia tersenyum, menarik kawat yang melingkar di leher wanita itu kuat-kuat dan baru berhenti saat napas tersenggalnya berhenti.
Perempuan itu dengan cepat mengambil pisau dan menoreh bibir hingga pipinya, sebelum menelanjangi wanita itu dan menggantikan bajunya.
Sambil bersenandung, dia mengoleskan peroxyde ke seluruh tubuh sang inspektur agar tidak ada DNA yang bisa terdeteksi, kemudian memakaikannya baju lain.
"Selesai" Joohyun menepukkan tangannya bangga. "Tinggal bakar bajunya dan buang mayatnya di pinggir jalan utama"
°
°
°
"Permisi, saya dari kepolisian"
Joohyun menguap lebar kemudian tersenyum sopan pada seorang detektif polisi yang berdiri di depan pintunya. "Ya?"
"Saya ingin menanyakan alibi anda pada kemarin malam pukul delapan. Dimana dan apa yang anda lakukan?"
Joohyun nampak berpikir sebentar. "Aku pulang dari istana lalu masuk rumah, berganti baju dan tidur"
"Apa ada saksi yang bisa membenarkan ucapan anda?"
"Penjagaku, inspektur Chaeyeong atau siapa itu namanya. Kau bisa tanya dia. Kepolisian mengirimnya untuk menjagaku"
"Masalahnya, nona" Sang detektif nampak putus asa. "Dia lah yang kami temukan tewas pagi ini di pinggir jalan utama"
"Hah?!" Joohyun membelalak, terlihat kaget dengan meyakinkan. "Bagaimana bisa? Setelah mengantar ku dia langsung pulang. Kapan? Kenapa dia tewas?"
"Dugaan kami, ini sama seperti sebelum-sebelumnya. Ini pembunuhan ke tiga belas untuk sebulan ini"
"Astaga...." Joohyun menggigiti kukunya. "Kenapa dia bisa sampai terbunuh..."
"Maaf, nona. Karena tidak ada saksi, alibi anda tidak bisa dibuktikan"
Joohyun merengut. "Kau menuduhku membunuhnya? Kau bilang ini sama seperti pembunuhan sebelum-sebelumnya. Alibiku dapat dibuktikan di semua kejadian sebelumnya!"
"Bukan begitu, tuan. Hanya saja kami--"
"Lepaskan dia, detektif"
Baik Joohyun dan sang detektif kepolisian menoleh ke asal suara, dan nona manis itu tersenyum miring.
"Pangeran mahkota Taeyong"Sang detektif membungkuk padanya.
"Apa kau tahu siapa dia, detektif?" Taeyeon merangkul pinggang Joohyun yang mati-matian menahan senyum. "Kau menuduh tunanganku, calon ratumu, sebagai pembunuh hanya karena alibi nya untuk tadi malam tidak dapat dibuktikan?"
"Bukan begitu, pangeran. Saya--" Sang detektif menelan ludah melihat tatapan Taeyong padanya, kemudian membungkuk, "saya salah. Maafkan saya, Yang Mulia, Nona Joohyun"
"Pergilah"
"Taeyong--!" Joohyun memeluk tunangannya erat. "Aku takut sekalipun penjagaku terbunuh, bagaimana kalau sebenarnya pembunuhnya dekat denganku semalam? Aku takut kalau aku korban selanjutnya--"
"Ssh tenang ya?" Taeyong mengalir helaian coklat tunangannya. "Kamu akan aman, aku janji" Taeyong menggenggam tangan Joohyun dan mengecupnya. "Tidak ada yang akan terjadi padamu"
Joohyun mengangguk, menyeka air matanya dengan punggung tangan sebelum menyadari luka di tangannya.
Deg...
Sialan, Joohyun membatin. Aku tidak melihat luka ini semalam-- Apa dia berhasil melukaiku? Bagaimana kalau ada serpihan kulitku di kuku nya? Mati aku jika mereka menyelidiki kuku wanita itu.
"Aku menginap, ya?" Taeyong menawarkan. "Atau kamu mau tidur di istana sampai orang tua mu kembali?"
"Aku ke istana saja. Kurasa lebih aman di sana. Kamu akan melindungi ku, kan?"
"Tentu saja, sayang. Tentu saja"
°
°
°
Joohyun gelisah. Sedari tadi perempuan itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.
"Bodoh, Joohyun bodoh!" Dia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia tidak melihat luka itu semalam?
"Apa aku harus kabur?" Joohyun memikirkan. Dia bisa kamu dari wilayah kerajaan dan memulai hidup baru di tempat lain dengan identitas palsu.
Joohyun melihat beberapa pelayan sedang bergerombol membicarakan sesuatu dan bergosip. Joohyun dengan sengaja lewat di dekat mereka, berusaha mendengarkan.
"Kasihan sekali korbannya, ya? Pembunuhnya memang tidak punya hatii!"
"Benar, untuk apa sampai merobek mulut dan memotong jari tangan semua korban? Kurasa pembunuhnya gila"
Joohyun mengerjap mendengarkan. Jari tangan korban dipotong... Dia tidak pernah melakukannya. Dia memang merobek mulut semua korbannya, namun tidak pernah memotong jarinya. Jika buka dia, siapa yang melakukannya? Apa setelah Joohyun membuang mayat semalam, ada yang datang dan merusak mayat? Mungkin orang gila yang mempunyai kelainan, Joohyun meyakinkan dirinya sendiri.
Joohyun memutuskan kembali ke kamar Taeyong. Oke, abaikan dulu tentang siapa yang merusak mayat korban. Setidaknya semua jari korban dipotong, jadi sekalipun ada serpihan kulitnya di kuku sang inspektur semalam, tidak ada yang akan mengetahuinya. Joohyun menghela napas lega, dia mungkin harus berterima kasih pada orang itu.
"Astaga, aku gelisah sekali sampai berkeringat" Joohyun memutuskan untuk mandi. Dia menggunakan kamar mandi di kamar itu dan keluar sambil bersenandung, kemudian menepuk dahinya sendiri. "Ah iya. Aku lupa membawa baju ganti. Apa ku pinjam punya Taeyong saja?"
Dia membuka lemari pakaian besar milik Taeyong dan mulai memilih pakaian, sebelum didengarnya pintu kamar terbuka dan seseorang mengalungkan lengan di pinggangnya. "Taeyong?"
"Hm" Taeyong berdehem, menaruh dagunya di bahu Joohyun.
Joohyun melanjutkan mencari pakaian yang sekiranya pas di tubuhnya, sebelum lengannya menyenggol kotak hingga jatuh terbalik. "Oh astaga. Maaf. Kuharap isinya bukan perhiasan atau barang lain yang bisa rusak" Dia mengambil kotak itu dan tercekat melihat isinya.
Puluhan potongan jari yang masih segar, seperti diawetkan.
"Kamu suka, Joohyun?"
•••END•••
ns 172.69.58.80da2