×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Telur Daging Cincang dalam Sandwich Generation
G
1.1K
0
0
361
0

swap_vert

Sore itu aku masih bekerja di salah satu usaha rintisan milik kakak kelasku di kampus. Mereka terdiri dari anak-anak muda berbakat, rentang usia mereka 21-30 tahun, mereka punya pikiran yang terbuka dan cukup lain dari lingkungan kuliah atau keluargaku. Dari mereka jugalah aku belajar beberapa hal penting tentang bisnis, perencanaan keuangan, manajemen hubungan. Ya, aku ikut tertarik mempelajarinya disela-sela pekerjaan paruh waktuku dan yaa tentu saja jam bimbingan tugas akhir yang tak kunjung menemui meja sidang.

Aku sedikit mengerutkan kening melihat ilustrasi roti di sebuah akun keuangan, baru mendengar rasanya, kata sandwich generation (generasi roti isi) dalam sebuah akun media sosial edukasi keuangan yang aku ikuti. Apakah mereka si sandwich generation itu orang yang suka menumpuk-numpuk pekerjaan layaknya roti isi lezat yang siap disantap di sela-sela jam kuliah? BUKAN. Aku membaca sekilas, bahwa sandwich generation adalah orang-orang yang harus menopang perekonomian keluarganya sendiri serta masa depannya disamping tetap harus menyokong kehidupan orangtuanya, kira-kira mirip-mirip telur dan daging yang terselip diantara dua buah roti. Ia tertekan, terjepit, tetapi tetap harus menjadi istimewa, paling tidak merasa istimewa lah.

Saat masih bekerja dengan kakak kelasku, rasanya aku kerap mengasihani diri karena terlahir sebagai sandwich generation. Energi yang hadir setelah mencoba berdamai dengan diri pasca-quarter-life-crisis, menjadikan aku ingin mempersiapkan masa depanku saat ini juga disamping melunasi utang-utang orang tua meski tidak juga diminta. Kadang pikiran untuk kedua hal itu membuatku sangat tertekan, sementara aku belum lulus.

Satu lain hal menyebabkan usaha rintisan kakak kelasku dibekukan. Aku memutuskan keluar. Aku tetap membayangkan bahwa aku harus fokus lulus dulu untuk segera keluar dari sandwich generation terburuk ini.

Tapi aku ternyata salah, satu-satunya orang yang jauh lebih layak mengklaim diri sebagai sandwich generation di keluargaku adalah ibuku sendiri.

Ibuku, wanita setengah abad yang telah kehilangan lebih dari 10 kilogram berat badan karena asam lambung yang nakal menganggu setiap nutrisi yang masuk, harus lari kembali terbirit-birit mencari pintu keluar. Meski kurang sehat nyatanya ibuku tetap amat dibutuhkan orang-orang di sekitarnya. Meski kadang mereka yang membutuhkan itu, tidak menghargai hak ibu untuk menolak.

Begini, aku tinggal di rumah ayah dan ibu. Di kampung ibuku, sebuah perkampungan yang memiliki kekeluargaan yang erat, kadang terlalu erat. Berbeda dengan ayah yang berasal dari salah satu kota di Jawa Barat, dengan situasi semua adik perempuan ayah bekerja, akupun ingin seperti itu, aku ingin jadi dosen.

Rumah ini ayah ibuku bangun sendiri dengan tabungan dan pinjam uang dari orang tua mereka serta adik-adik ayah. Kampung ibuku dipilih sebagai lokasi, karena tanah di sini murah sekali, hanya kurang dari delapan ratus ribu per bata (14m²). Kebetulan hanya ayahku yang bekerja secara administratif, sementara ibu JELAS bekerja juga sebagai ibu rumah tangga. Sejak kepindahan ke rumah ini, aku telah menduga bahwa orang tua ibu akan tetap tinggal di sini. Bukan karena tidak punya rumah, rumah mereka ada, dekat sekali dengan rumah kami, sayangnya diisi oleh kakaknya ibu, pamanku, yang mungkin lebih kekurangan secara finansial dibanding kami.

Rumah masa kecil ibu dan keluarganya, entah dipinjamkan pada keluarga pamanku, atau diberikan saja sebagai warisan kakek, entahlah aku tidak tahu tentang itu. Intinya nenek dan kakekku memang tinggal di sini menjaga kami. Kakek dulu sebagai pamong desa, memiliki pendapatan yang cukup untuk dirinya dan istrinya, nenekku dari ibu. Namun sejak kakek meninggal, nenekku tidak ada pemasukan apapun kecuali bantuan pemerintah dan ada individu yang berbaik hati, sehingga untuk makan dan kebutuhan sehari-hari lebih sering dari ibuku, yang tidak lain anak perempuannya yang memiliki lima anak sekolah serta kuliah dengan pemasukan hanya satu, pemberian suami 3-5 juta rupiah per bulan dengan delapan orang tanggungan. Kadang kakaknya nenek pun menginap dan meminta diurus jika sakit oleh ibu, kadang pula kakaknya ibu meminjam uang, pada kami yang juga kekurangan.

Kasih ibu memang sepanjang masa. Ibuku tidak mungkin melupakan ibunya. Tapi dalam kondisi ini yang kutahu, ibu terpaksa dan harus berjuang meski kadang tidak ada yang menghargai. Aku tidak pernah keberatan soal itu, karena toh setiap manusia dijamin rezekinya oleh Sang Pencipta. Namun, sikap seolah tanpa sekat membuatku gerah.

Sikap seolah tanpa sekat yang kumaksud adalah istilah saja. Seringkali ibu heran mengapa masakan ibu kurang dari separuh sementara keempat anaknya belum makan (satu anak telah menikah, namun di masa pandemi, si sulung kakakku dirumahkan sementara sehingga meminta bantuan orang tuanya, yaitu ibu dan ayahku). Ternyata hidangan itu telah dibungkus dan diberikan pada sepupuku, oleh nenek, tanpa izin pada ibu, karena nenek selalu merasa apa yang di rumah ini adalah miliknya juga. Paman atau sepupuku bebas sekali keluar masuk rumah kami tanpa mengetuk pintu sekalipun dengan alasan ini adalah rumah neneknya juga. Kadang, mereka membuka pintu saat kami sedang belajar dan tidak ingin diganggu. Merekapun tak pernah segan membuka dan mengobrak abrik isi kulkas jika ingin sesuatu di dalamnya, jangan tanya aku apakah mereka izin dulu atau tidak, mengucapkan maaf dan terimakasih saja seperti hilang dari kepala mereka.

Ayah sebagai pemilik rumah seringkali sepemikiran denganku. Kami memang kadang berdebat, sama-sama memiliki pendapat yang keras, tapi pada dasarnya kami sepemikiran, terutama tentang privasi itu ada dan sekecil apapun harus dihargai, bukan karena nilainya, tetapi makna untuk orangnya. Jika seseorang melihat dan ingin sekali mengambil sebuah apel di meja makan rumah ini dan kebetulan orang itu masih keluarga ibu/ayah "ah cuma apel paling berapa sih?" Sambil dimakan, telah habis dimakan, atau justru diberikan kepada oranglain mengatasnamakan dirinya sendiri. Jika saja bertanya dulu "Eh, aku boleh coba apelnya?" mungkin si pemilik apel yang belum tentu ibuku, seperti anak-anak atau suaminya mungkin, akan memberi pertimbangan apel yang sudah ditentukan timingnya mau kapan dinikmati boleh atau tidak ya diberikan seluruhnya atau ah mau dibagi dua untuk dinikmati bersama, ini akan lebih baik dibanding meminta tanpa izin serta diakhiri dengan kesan merendahkan.

Ini bukan tentang itungan atau tidaknya. Tapi tentang saling menghargai. Karena menjadi 'telur dan daging' yang istimewa dalam sebuah sandwich generation, perlu ketabahan agar bisa tetap mendukung lapisan roti bagian atas (orang tuanya), apalagi bagian bawahnya (anak-anak). Aku harap, aku bisa menjadi isian sandwich yang lebih baik karena persiapan keuangan yang lebih matang sebelum matang. Jadi, kalau sudah lebih mapan, mungkin respect dari keluarga ibu yang agak 'lupa' caranya izin, maaf, dan makasih akan sedikit bertambah pada keluarga kami, tidak cuma ya memberi ya dicibir.

Entahlah apakah jika keluarga ini mapan dan kaya rasa, mereka menghargai atau justru semakin tidak tahu diri? Kurasa memang ketegasanlah yang akhirnya membatasi privasi antar keluarga. Bukan mengajarkan kami anak-anaknya ibu untuk pelit dan itungan, sekali lagi bukan, tapi untuk sama-sama belajar menghargai kepemilikan atas sesuatu. Saling bantu bukan berarti saling tabrak privasi kan ya?

favorite
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X