Mataku perlahan terbuka, disambut langit-langit putih yang asing. Empat dinding mengurungku dalam keheningan yang aneh namun terasa aman. Siang atau malam? Entahlah. Yang pasti, dingin menyelimuti seluruh tubuhku, seperti ruangan ini membeku. Tidak ada rasa panas, tidak juga sejuk. Hanya sensasi dingin yang menarikku untuk terus berbaring.
Sudah berapa lama aku di sini? Aku tak punya petunjuk. Dengan susah payah, aku mencoba mengingat, tapi kosong. Otakku seperti baru saja direset. Tempat ini... sekilas mirip bangsal rumah sakit. Dinding putih pucat, bau antiseptik samar menusuk hidung. Tapi tunggu, aku tidak merasa sakit sama sekali. Tidak ada selang infus, tidak ada perban, tidak ada nyeri di tubuhku. Hanya... kebingungan yang menggerogoti.
Srreek.
Suara pintu berderit memecah keheningan. Langkah kaki mendekat, pelan namun pasti. Bulu kudukku berdiri. Insting menyuruhku untuk pura-pura tidur. Cepat-cepat kupejamkan mata, jantungku berdebar kencang. Bukan hanya firasat buruk, tapi juga rasa tidak berdaya yang menghimpit. Kenapa aku di sini? Apa yang akan terjadi? Rasa takut yang nyata menyerang, sebelum akhirnya sesuatu yang lain mengambil alih.
"Wah, ternyata masih ada pasien di sini, ya?" Suara lembut namun tegas seorang wanita menggema di ruangan.
Pasien? Aku? Batinku berteriak. Aku jelas-jelas tidak sakit! Tapi sebelum sempat kuprotes, kurasakan kehadiran seseorang mendekat ke ranjangku. Aroma parfum manis menyelinap ke hidungku, membuatku semakin gelisah.
"Tak perlu berpura-pura tidur, ya." Suara itu kini lebih dekat, hampir berbisik tepat di telingaku.
Dengan ragu, kubuka mataku perlahan. Dan... astaga. Di depanku berdiri seorang wanita—suster, kurasa. Seragam putih ketat membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya cantik, kulitnya mulus cemerlang seperti memancarkan cahaya lembut. Matanya tajam, menyinarkan kehangatan sekaligus mengandung sesuatu yang sulit kubaca. Senyum kecil di bibirnya membuat jantungku berdebar tak karuan.
"Eh, iya, Sus... maaf, saya..." Aku tergagap, suaraku serak seperti melawan gravitasi. Kata-kata terasa mengantri di ujung lidahku, tapi tak satu pun yang berhasil keluar dengan jelas. Jantungku berdebar kencang, bukan hanya karena rasa tertarik yang mulai menggelora di perut bawah, tapi juga rasa takut dan terpojok.
"Sst, jangan banyak bicara dulu," katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Jari telunjuknya yang ramping mendekat ke bibirku, menyentuhnya dengan lembut. Sensasi aneh menyebar melalui kulitku. "Biar aku cek dulu tubuhmu."
Sentuhannya terasa sensual, mengganggu ketenanganku. Ada kebingungan dan perlawanan internal dalam diriku. Apa yang sedang terjadi?
"Tapi, Sus, saya nggak sakit!" protesku lemah, namun tubuhku menolak untuk menolak sentuhannya. Tangannya mulai menyusuri tubuhku, dari lengan, dada, hingga menyentuh dahiku. Setiap gerakan membuatku menggigil, keringat dingin mulai membasahi kulitku. Aku, Deni, pemuda 17 tahun yang selama ini cuma tahu main bola dan nge-game, tiba-tiba merasa seperti anak kecil yang tak tahu harus berbuat apa di hadapan wanita ini.
"Ya ampun, keringatmu banyak banget. Kamu panas, ya?" tanyanya dengan nada khawatir, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat darahku mendesir.
"Ti-tidak, Sus, saya cuma..." Aku menghentikan kalimatku, pikiranku sudah kacau balau.
Tiba-tiba dia berbalik, mencari sesuatu di saku seragamnya. "Ehm, saputangan... di mana ya?" gumamnya sambil meraba-raba sakunya. Gerakannya terasa... menggoda tanpa disadari. Tangan kecilnya menyusuri lekuk tubuhnya, dari saku atas hingga ke bagian dada yang—astaga—membuatku menelan ludah tanpa sadar. Aku berusaha mengalihkan pandangan, tapi mataku memiliki kehendak sendiri.
Tiba-tiba, saputangan itu terjatuh ke lantai. Dengan gerakan yang tampak tidak disengaja, dia menunduk untuk mengambilnya. Posisinya... ya Tuhan, menungging tepat di depanku. Seragamnya yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Aku merasa darahku mendidih, tubuhku bereaksi dengan cara yang tak bisa kukendalikan. Di bawah sana, sesuatu mulai terbangun, setengah tegang, dan aku hanya bisa berdoa dia tidak menyadarinya.
"Maaf, ya, lama ambilnya," katanya sambil kembali mendekat, saputangan di tangannya kini mengelap keringat di dahiku. Gerakannya pelan, teliti, dan matanya tak pernah lepas dari mataku. Tatapannya penuh gairah, seolah menantangku untuk bereaksi.
Aku menahan napas, berusaha untuk tidak salah tingkah, tapi... astaga, kancing atas seragamnya ternyata terbuka satu, memperlihatkan sedikit belahan yang membuat kepalaku pening.
"Su-sus, itu... kancingnya..." Aku menunjuk dengan tangan gemetar, berusaha memperlihatkan kesopanan.
Dia menoleh ke bawah, lalu tersenyum nakal. "Oh, ini? Kamu perhatiin banget, ya?" Tanpa kusangka, dia malah membuka satu kancing lagi di bagian bawah. "Gimana kalau begini? Suka?"
Aku tergagap, merasa seperti ikan yang kehabisan air. "Ha... Sus, maksudnya apa...?" Namun, tubuhku memberikan jawaban yang lebih jujur di bawah sana. Aku sudah tidak bisa menyembunyikan apa yang kini berdiri penuh, menegang di balik celana.
"Tuh, kan, ini yang kutunggu-tunggu," bisiknya sambil tersenyum licik. Tangannya tiba-tiba merayap, menyelinap memasuki celanaku. Aku tersentak, napasku tersengal.
"Sus, ini... aduh, pelan-pelan, Sus!" Aku merasa otot-ototku menegang, otakku menjadi kosong. Sensasi itu terlalu kuat, terlalu nyata.
"Mau lebih dari ini?" tanyanya dengan nada menggoda, tangannya terus bergerak, membuatku semakin tak berdaya.
"Aduh, Sus, ini... enak banget, tapi..." Aku menggigil, mencengkeram seprai dengan erat. "Ahh, Sus, aku nggak tahan... mau... mau keluar...!"
"Kau terpilih," bisiknya tepat di telingaku, suaranya menyihir seperti melodi. "Kita akan melewati ini bersama." Ada beban tersembunyi dalam kalimat itu, sebuah takdir yang terasa berat di pundakku. Terpilih untuk apa? Kutukan? Takdir? Ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
BBYAAAAARR!!!
Aku tersentak bangun, melompat dari tempat tidur dengan napas terengah-engah. Tubuhku basah kuyup, bukan hanya keringat, tapi juga air yang menyiramku tiba-tiba. Di depanku berdiri Kak Lisa, memegang gayung dengan ekspresi kesal bercampur geli.
"Deni! Bangun, kebo! Udah jam berapa ini?!" bentaknya, namun kutangkap ada senyum kecil di sudut bibirnya.
"Ha... ha... iya, Ka, aku bangun..." Aku masih merasa linglung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Mataku melirik ke bawah—celanaku basah, tapi bukan hanya karena air yang disiramkan Kak Lisa. Astaga, mimpi basah lagi. Aku menatap 'junior'-ku dengan perasaan aneh. Benda ini... kenapa akhir-akhir ini selalu begini? Aku tidak bisa mengontrolnya.
"Buruan mandi! Tadi Mamah udah coba bangunin, ga bangun-bangun. Ngigau apa sih lo, sampe senyum-senyum sendiri?" tanya Kak Lisa sambil berbalik menuju pintu. Bahkan hanya melalui mimpi, kurasakan diriku kotor dan bersalah.
"Iya, deh, Ka, aku mandi dulu..." jawabku lemah, berusaha menyembunyikan rasa malu yang membakar.
Kak Lisa meninggalkan kamarku, meninggalkanku menatap kasur yang basah dengan perasaan campur aduk. Apa-apaan sih mimpi tadi? Dan kenapa rasanya begitu... nyata? Suster itu... wajahnya... mirip Bu Vina? Pandanganku tertuju pada buku biologi di meja, dan ingatan akan Bu Vina, membuatku merasa kaget sekaligus malu.27Please respect copyright.PENANAubVfUjo2Tk