Aku masih terduduk di kasur yang basah, napasku ngos-ngosan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mimpi itu... ya Tuhan, terasa begitu nyata. Tubuhku masih bergetar, jantungku berdegup kencang, dan celanaku—astaga—basah kuyup, bukan cuma karena siraman air dari Kak Lisa. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pikiranku masih dipenuhi bayang-bayang suster itu. Wajahnya, sentuhannya, dan... ya, semua yang terjadi di mimpi itu. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir gambar-gambar itu dari otakku.
“Deni! Cepetan, mandi! Udah siang, lho!” Teriakan Kak Lisa dari ruang tengah membuatku tersentak. Aku buru-buru bangun, meraih handuk yang tergantung di dinding, dan berlari ke kamar mandi. Air dingin yang menyiram tubuhku sedikit membantu menenangkan gejolak dalam diriku, tapi pikiranku masih kacau. Aku, baru saja mengalami mimpi basah yang... entah kenapa, terasa lebih nyata dari biasanya.
Selesai mandi, aku berdiri di depan cermin kecil di kamar mandi. Wajahku yang masih polos, tapi dengan sedikit bayang-bayang jenggot tipis di dagu, memandang balik ke arahku. Aku mencoba tersenyum, tapi malah merasa canggung. “Apa-apaan sih tadi itu?” gumamku pada diri sendiri. Aku tahu aku sedang berada di fase hidup yang aneh—di mana tubuhku seolah punya kehendak sendiri, dan pikiranku dipenuhi hal-hal yang... yah, tak pernah kubicarakan dengan siapa pun, bahkan temen-temen dekatku.
“Deni! Makan dulu, nanti keburu dingin!” Teriakan Kak Lisa lagi. Aku buru-buru mengenakan kaus dan celana pendek, lalu berjalan ke ruang makan. Di meja sudah tersaji nasi goreng sisa semalam, dengan telur mata sapi yang menggoda. Kak Lisa duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya, sementara Mama tampak sedang menyapu di teras depan. Aku sempat memperhatikan Mama dari belakang, gerakannya menyapu terlihat anggun, dan lekuk tubuhnya di balik daster tipis selalu bisa membuat pikiranku jadi aneh-aneh. Gue nggak boleh mikir kayak gini ke Mama, batinku berusaha menepis pikiran nakal itu.
“Ka, tadi kenapa sih nyiram aku segala?” tanyaku sambil menarik kursi dan mulai menyantap nasi goreng.
Kak Lisa menoleh, senyum kecil yang nyebelin muncul di wajahnya. “Lah, kamu kebo banget! Udah dibangunin Mamah dari tadi, ga bangun-bangun. Aku sampe harus ambil gayung, lho. Lagian, kamu ngigau apa sih tadi? Kedengeran sampe ruang tengah.” Aku perhatikan Kak Lisa yang hanya mengenakan kaus usang dan celana pendek super ketat, memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus. Ada sesuatu yang nakal tapi menarik setiap kali melihat Kak Lisa seperti ini, meskipun dia adalah kakak kandungku sendiri. Sial, kenapa pikiran gue jadi begini terus sih?
Aku langsung tersedak. “Hah? Ngigau? Ngigau apa?” Aku berusaha terlihat santai, tapi wajahku pasti sudah merah padam.
“Entah apa, pokoknya aneh-aneh. Kayak manggil-manggil suster gitu,” kata Kak Lisa sambil terkekeh. “Mimpiin cewek, ya? Jangan-jangan udah punya pacar, nih!”
“Apaan sih, Ka! Ga ada apa-apa!” Aku buru-buru mengalihkan perhatian ke piringku, mencoba menyembunyikan rasa malu. Kak Lisa cuma tertawa, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Aku menghela napas lega, tapi di dalam hati, aku masih gelisah. Apa iya aku ngigau sejelas itu? Ya Tuhan, kalau sampai ketahuan apa yang aku mimpikan...
Sore itu, aku memutuskan untuk keluar rumah, sekadar jalan-jalan ke lapangan dekat rumah. Mungkin udara segar bisa membantu menjernihkan pikiranku. Di lapangan, temen-temenku sudah pada kumpul—Rudi, si tukang gombal; Bima, yang selalu bawa bola basket kemana-mana; dan Tika, cewek tomboy yang entah kenapa selalu bikin aku salah tingkah tiap dekat-dekat.
“Deni, lo kenapa sih? Muka lo kayak abis ketemu hantu,” tanya Rudi sambil melempar bola basket ke arahku. Aku menangkapnya dengan canggung, hampir saja bolanya jatuh.
“Ga apa-apa, cuma kurang tidur,” jawabku asal, berusaha mengalihkan perhatian dengan melempar bola ke ring. Tapi lemparanku melenceng jauh, dan Bima langsung ketawa ngakak.
“Bro, lo lagi mikirin cewek, ya? Lemparan lo ampe segitu kacaunya!” Bima nyengir lebar, bikin aku pengen nimpuk dia pake bola.
Tika, yang selama ini cuma duduk di pinggir lapangan sambil ngunyah permen, tiba-tiba nyeletuk, “Deni, lo beneran lagi mikirin cewek, ya? Ceritain dong, siapa? Atau jangan-jangan lo mimpi basah tadi malem?” Dia tertawa, dan aku merasa darahku naik ke kepala.
“Apaan sih, Tik! Ga ada yang kayak gitu!” protesku, tapi suaraku kedengeran gemetar. Tika cuma nyengir, matanya yang cokelat itu seolah bisa lihat menembus kepalaku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, takut dia beneran bisa baca pikiranku.
Malam harinya, aku kembali ke kamarku, mencoba fokus mengerjakan PR matematika, tapi pikiranku terus kembali ke mimpi tadi pagi. Suster itu... kenapa rasanya begitu nyata? Dan kenapa aku ngerasa aneh tiap dekat Tika tadi sore? Aku menghela napas, menutup buku pelajaranku, dan memandang langit-langit kamar. Mungkin ini yang orang bilang masa puber—fase di mana segalanya terasa membingungkan, penuh gejolak, dan... yah, penuh godaan.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Notifikasi dari grup WhatsApp temen-temen. Rudi ngirim meme mesum yang bikin aku nyaris tersedak lagi. Tapi di bawah meme itu, ada pesan dari Tika: “Den, lo beneran ga mau cerita? Aku denger lo ngigau soal suster tadi pagi dari Kak Lisa. 😏”
Aku menatap layar ponsel, jantungku berdegup kencang. Apa aku harus cerita? Atau ini cuma jebakan Tika yang iseng? Yang jelas, malam ini aku tahu aku nggak bakal bisa tidur nyenyak.
20Please respect copyright.PENANA7ivhLaoT0F