Malam merangkak pelan, menyeret bayangan panjang di lantai marmer ruang keluarga. Televisi menyala, memuntahkan tawa kalengan dari acara komedi murahan. Danu, suamiku yang baik hati dan polos, tergeletak di sofa, matanya terpaku pada layar, seolah-olah dunia ini hanya terdiri dari lelucon yang sudah direkam. Tangannya sesekali menggaruk perutnya yang buncit, gerakan yang entah mengapa selalu membuatku bergidik. Aku duduk di sebelahnya, punggungku terasa kaku, padahal sofa ini empuknya minta ampun. Pikiran-pikiranku melayang, jauh dari tawa palsu itu, melintasi dinding-dinding rumah megah ini, mencari sesuatu yang hilang.
“Hahaha, lihat itu, Rina! Orang itu jatuh terpeleset kulit pisang lagi!” Danu menunjuk layar, tawanya meledak, “Hahahaha!”
Aku hanya tersenyum tipis. Senyum yang terasa seperti topeng di wajahku. Topeng yang kupakai sejak lama, menutupi kehampaan yang menganga di dalam diriku. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, gairah yang harusnya membara di antara kami, padam begitu saja. Bahkan, entah mengapa, setiap sentuhan Danu terasa seperti sentuhan seorang paman yang terlalu akrab, bukan seorang suami yang seharusnya membuat jantungku berdebar. Dia baik, terlalu baik, mungkin itu masalahnya. Kebaikan yang datar, tanpa kejutan, tanpa api.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Dayat. Sopir pribadi kami. Aku melirik Danu, memastikan dia masih asyik dengan tawa palsunya. Jemariku bergerak cepat, membuka pesan.
“Nona, saya sudah selesai membersihkan garasi. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
Aku tersenyum simpul. Senyum yang kali ini terasa lebih jujur, lebih nakal. Dayat. Pria tua itu. Usianya mungkin sudah kepala lima, rambutnya beruban di sana-sini, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tajam, di balik kerutan-kerutan di sudut bibirnya, yang selalu membuatku penasaran. Dia tidak seperti Danu. Dayat punya aura misterius, semacam bara yang tersembunyi di balik kesopanannya.
“Dayat,” panggilku, suaraku sedikit lebih keras dari biasanya.
Danu menoleh, alisnya terangkat. “Ada apa, Sayang? Jangan-jangan kamu mau nambah AC di garasi lagi?”
Aku tertawa, tawa yang kali ini cukup meyakinkan. “Bukan, Sayang. Aku cuma mau minta tolong Dayat ambilkan charger ponselku di kamar. Aku lupa taruh di mana.”
Danu mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Ya sudah, minta tolong saja. Dia kan memang disewa untuk bantu-bantu kita.”
Aku bangkit, melangkah ke arah Dayat yang berdiri di ambang pintu ruang keluarga, menunduk hormat. Dia mengenakan seragam sopirnya, kemeja putih bersih dan celana kain hitam, tapi entah mengapa, hari ini seragam itu terlihat sangat pas di tubuhnya yang masih tegap.
“Dayat, bisa tolong ambilkan charger ponselku di kamar? Aku lupa taruh di mana,” kataku, suaraku kubuat sesopan mungkin, tapi mataku berbicara lain. Mataku menari-nari, mengunci pandangannya, seolah mengirimkan kode rahasia yang hanya kami berdua pahami.
Dayat mendongak. Sorot matanya yang tajam itu menangkap pesan di mataku. Sebuah kilatan kecil melintas, kilatan yang berisi pemahaman, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesopanan. Bibirnya sedikit terangkat, senyum samar yang nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat perutku bergejolak.
“Baik, Nona. Akan saya ambilkan,” jawabnya, suaranya rendah dan serak, membuat bulu kudukku meremang.
Dia berbalik, melangkah menuju tangga. Aku mengikutinya, pura-pura mengambil minum di dapur. Aku bisa merasakan tatapan Danu di punggungku, tapi aku tidak peduli. Jantungku berdebar lebih kencang sekarang, bukan karena takut, tapi karena antisipasi.
Setibanya di atas, aku menunggu di depan pintu kamarku. Pintu yang selalu tertutup rapat, menjaga rahasia-rahasia di dalamnya. Dayat muncul dari lorong, langkahnya tenang, tanpa terburu-buru. Dia menatapku, dan kali ini, senyumnya lebih jelas. Senyum yang penuh arti.
“Masuk saja, Dayat. Mungkin ada di meja rias, atau di nakas samping tempat tidur,” kataku, suaraku berbisik, nyaris tak terdengar.
Dia mengangguk, membuka pintu. Aku mengikutinya masuk, menutup pintu di belakang kami, pelan, nyaris tanpa suara. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang menembus jendela. Aroma lavender dari lilin aromaterapi yang kubakar tadi sore masih samar tercium, bercampur dengan aroma maskulin Dayat yang entah mengapa, sangat memabukkan.
Dayat berdiri di tengah ruangan, membelakangiku, mencari charger. Aku berjalan mendekat, langkahku pelan, seperti kucing yang mengendap-endap. Tanganku terangkat, menyentuh punggungnya. Otot-ototnya terasa kaku di bawah seragamnya.
“Bukan di sana, Dayat,” bisikku, suaraku serak. “Mungkin di tempat lain.”
Dia berbalik, perlahan. Matanya menatapku, dalam, penuh gairah yang tersembunyi. Kilatan itu kembali, lebih terang, lebih berani. Wajahnya yang berkerut, dengan garis-garis waktu yang terukir, entah mengapa terlihat sangat seksi bagiku.
“Nona Rina,” bisiknya, suaranya nyaris seperti desahan.
Aku tidak menjawab. Tanganku meluncur ke dadanya, merasakan detak jantungnya yang cepat. Jemariku membuka kancing kemejanya, satu per satu. Dia tidak bergerak, hanya menatapku, napasnya memburu. Kemeja putih itu terbuka, memperlihatkan kulit cokelatnya yang berkerut, dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana. Aku bisa melihat otot-otot yang masih kuat di bahunya, di lengannya.
“Anda yakin tidak apa-apa, Nona?” bisiknya lagi, suaranya tercekat.
Aku tersenyum, senyum yang penuh goda. “Aku yakin, Dayat. Sangat yakin.”
Tanganku melingkar di lehernya, menariknya mendekat. Bibirku menyentuh bibirnya, pelan, menggoda. Bibirnya terasa lembut, namun ada kekuatan yang tersembunyi di baliknya. Ciuman itu semakin dalam, semakin panas. Aku bisa merasakan tangannya melingkar di pinggangku, menarikku rapat ke tubuhnya.
Napas kami memburu, bercampur dalam keheningan kamar. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang menggila, berpacu dengan detak jantungnya. Sensasi ini, gairah yang membakar ini, sudah lama sekali tidak kurasakan. Danu, suamiku, tidak pernah bisa membuatku merasakan hal ini. Dia terlalu lembut, terlalu pasif. Dayat berbeda. Dia punya api, bara yang tersembunyi di balik kesopanannya.
Ciuman itu semakin liar, semakin menuntut. Jemariku menarik rambutnya yang mulai beruban, merasakan teksturnya yang kasar. Dia mengerang pelan, suara yang membuat seluruh tubuhku merinding. Tangannya merayap naik, membelai punggungku, lalu turun ke pinggulku, meremasnya dengan lembut.
Aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan, setiap sensasi. Ini bukan hanya tentang seks, ini tentang pelepasan. Pelepasan dari kekangan, dari kehampaan, dari topeng yang kupakai setiap hari. Ini tentang menemukan kembali diriku, gairah yang kupikir sudah mati.
Dayat mengangkatku, menggendongku ke tempat tidur. Tubuhku terasa ringan di tangannya. Dia meletakkanku perlahan di atas ranjang, lalu menindihku, bibirnya masih mencari bibirku. Napasnya hangat di wajahku. Aku bisa merasakan tubuhnya yang kekar menempel di tubuhku, merasakan setiap lekuk dan ototnya.
“Nona Rina,” bisiknya di antara ciuman, suaranya serak, penuh hasrat.
Aku hanya bisa mengerang, menjawabnya dengan desahan. Tanganku bergerak ke bawah, membuka ikat pinggangnya, lalu menarik ritsleting celananya. Celana itu melorot, memperlihatkan pahanya yang kekar. Aku bisa merasakan sesuatu yang keras dan panas menyentuh pahaku.
Dia melepas kemejanya, lalu menarik kausku ke atas. Kaus itu terlempar ke lantai, lalu braku menyusul. Aku bisa merasakan tatapannya pada payudaraku, tatapan yang penuh gairah. Jemarinya menyentuh putingku, memutarnya perlahan. Sensasi itu membuat seluruh tubuhku bergetar.
“Ah…” desahku, tanpa bisa menahannya.
Dia mencium leherku, lalu turun ke dadaku, menghisap putingku dengan lembut. Lidahnya bermain-main di sana, membuatku menggila. Aku mengerang lagi, mencengkeram rambutnya.
“Dayat… lebih cepat…” bisikku, suaraku nyaris tidak keluar.
Dia mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya berkilat, penuh pengertian. Dia melepas celananya, lalu celana dalamnya. Kini, kami berdua telanjang, kulit kami bersentuhan, panas dan bergetar.
Dia menindihku lagi, tubuhnya menempel erat. Aku bisa merasakan kejantanannya yang keras dan panas menyentuh selangkanganku. Dia menggesek-gesekkannya perlahan, menggoda, membuatku semakin tidak sabar.
“Anda yakin, Nona?” bisiknya lagi, suaranya sedikit ragu, namun matanya penuh hasrat.
Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Ya, Dayat. Sangat yakin. Masuklah.”
Dia tersenyum tipis, lalu perlahan mendorong kejantanannya masuk ke dalam diriku. Sensasinya luar biasa. Rasa sakit yang samar, bercampur dengan kenikmatan yang membakar. Aku mengerang, mencengkeram punggungnya.
“Ah… Dayat… ya…”
Dia mulai bergerak, perlahan pada awalnya, lalu semakin cepat, semakin dalam. Setiap dorongannya membuatku melayang, membawa pergi semua kekosongan yang selama ini kurasakan. Aku bisa merasakan otot-ototnya menegang, mendengar napasnya yang memburu.
“Ugh… Nona… ah…”
Kami bergerak dalam irama yang sama, irama gairah yang membakar. Ranjang berderit pelan, mengikuti setiap gerakan kami. Aku tidak peduli jika Danu mendengarnya. Aku tidak peduli pada apa pun sekarang. Hanya ada aku dan Dayat, dan gairah yang membakar kami.
“Lebih cepat, Dayat… lebih cepat!”
Dia mengikutiku, mendorong lebih dalam, lebih cepat. Setiap dorongan terasa seperti sengatan listrik, membuat seluruh tubuhku bergetar. Aku bisa merasakan klimaks yang mendekat, gelombang panas yang membakar.
“Ah! Ah! Dayat! Aku… aku…”
Tubuhku menegang, lalu meledak dalam gelombang kenikmatan. Aku menjerit, jeritan yang tertahan, namun penuh kelegaan. Dayat juga mengerang, lalu membenamkan wajahnya di leherku, tubuhnya bergetar.
Kami terdiam sesaat, napas kami masih memburu. Aku memeluknya erat, menikmati kehangatan tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya penuh kelembutan, dan sesuatu yang lebih dari sekadar gairah.
“Terima kasih, Nona,” bisiknya.
Aku tersenyum, mengusap pipinya yang berkerut. “Tidak, Dayat. Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih sudah membuatku merasa hidup lagi.”
Dia tersenyum tipis, lalu mencium dahiku. Kami berbaring diam, menikmati kebersamaan ini. Keheningan kamar itu terasa nyaman, penuh dengan rahasia yang baru saja kami ciptakan.
Tiba-tiba, suara Danu terdengar dari bawah, memanggil namaku. “Rina! Kamu di mana, Sayang? Aku mau nambah popcorn!”
Aku dan Dayat saling pandang, mata kami dipenuhi kaget, namun juga sedikit geli. Dayat tersenyum nakal.
“Sepertinya suami Anda sudah lapar lagi, Nona,” bisiknya.
Aku tertawa pelan, tawa yang sedikit serak. “Sepertinya begitu. Cepat, Dayat. Kita harus kembali ke dunia nyata.”
Kami bangkit, dengan gerakan yang masih sedikit kaku. Dayat memakai kembali celananya, lalu kemejanya. Aku juga memakai kembali kaus dan celana pendekku. Kami merapikan ranjang secepat mungkin, menghilangkan jejak-jejak gairah yang baru saja terjadi.
“Rina! Aku sudah capek nunggu popcorn!” suara Danu terdengar lagi, lebih keras.
“Iya, Sayang, sebentar!” aku membalas, suaraku kubuat seceria mungkin.
Dayat sudah rapi, berdiri di ambang pintu, menunduk hormat. “Saya permisi dulu, Nona. Selamat malam.”
Aku mengangguk, mataku menatapnya penuh arti. “Selamat malam, Dayat. Dan… terima kasih lagi.”
Dia tersenyum tipis, lalu keluar dari kamar. Aku menunggu beberapa saat, memastikan dia sudah jauh, lalu aku membuka pintu, melangkah keluar.
***
Aku turun tangga, senyumku sudah kembali ke wajahku, topeng yang sempurna. Danu sudah duduk di sofa lagi, memakan popcorn dari mangkuk besar.
“Lama sekali, Sayang. Kamu ngapain saja di atas?” tanyanya, mulutnya penuh popcorn.
Aku duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalaku di bahunya. “Aku cuma bersih-bersih kamar sedikit, Sayang. Tadi Dayat bantu aku cari charger.”
“Oh, begitu. Enak ya punya sopir yang rajin. Kamu mau popcorn? Ini enak lho!” Dia menyodorkan mangkuk kepadaku.
Aku mengambil sebutir popcorn, memasukkannya ke mulut. Rasanya hambar. Tapi aku tersenyum, tawa palsu itu kembali ke wajahku.
“Enak, Sayang,” kataku, suaraku kubuat sesenang mungkin.
Danu mengangguk-angguk, kembali fokus pada televisinya. Aku menatapnya, pria polos yang tidak tahu apa-apa. Rasa bersalah itu muncul, samar, tapi cepat kutepis. Apa yang kulakukan tadi, bukan karena aku membencinya. Tapi karena aku butuh sesuatu yang lebih. Sesuatu yang Danu, dengan segala kebaikannya, tidak bisa berikan.
Malam itu, aku tidur di samping Danu, tubuhku masih merasakan sisa-sisa sentuhan Dayat. Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan itu memenuhi pikiranku. Senyum Dayat, tatapan matanya yang tajam, desahannya, erangannya. Semua itu terasa nyata, lebih nyata dari kenyataan yang kujalani setiap hari.
***
Beberapa hari berikutnya, rutinitas kembali seperti biasa. Danu sibuk dengan pekerjaannya, aku sibuk dengan urusan rumah tangga, dan Dayat sibuk mengantar-jemput, membersihkan mobil, dan sesekali membantu urusan rumah. Namun, ada sesuatu yang berubah. Sebuah ketegangan yang menyenangkan, sebuah rahasia yang kami berdua bagi.
Setiap kali Dayat lewat, matanya akan menangkap mataku. Sebuah kilatan kecil, sebuah senyum samar, sebuah pesan tanpa kata. Aku akan membalasnya dengan tatapan yang sama, sebuah undangan yang tak terucap. Permainan kucing-kucingan ini terasa mendebarkan.
Suatu sore, Danu sedang ada rapat penting di luar kota. Aku sendirian di rumah. Kesempatan emas. Aku duduk di ruang keluarga, membaca majalah, tapi pikiranku melayang. Dayat sedang membersihkan halaman belakang. Aku bisa mendengar suara sapu berdesir di aspal.
Aku bangkit, berjalan ke belakang. Dayat sedang menyapu daun-daun kering, punggungnya sedikit membungkuk. Rambutnya yang beruban terlihat berkilauan di bawah sinar matahari sore.
“Dayat,” panggilku.
Dia menoleh, matanya langsung menangkap mataku. Senyum itu muncul lagi, senyum rahasia kami.
“Ya, Nona?”
“Sudah selesai membersihkan halaman?”
“Hampir, Nona. Tinggal sedikit lagi.”
“Bagus. Aku mau minta tolong lagi.”
“Apa itu, Nona?”
Aku berjalan mendekat, suaraku kubuat serendah mungkin. “Aku mau kamu pijat kakiku. Kakiku pegal sekali setelah seharian jalan-jalan.”
Dayat menatapku, alisnya sedikit terangkat. Matanya berkilat nakal. “Pijat kaki, Nona? Bukankah itu pekerjaan tukang pijat?”
Aku tertawa pelan. “Tidak apa-apa. Aku lebih percaya kamu. Lagi pula, kamu kan sudah tahu kakiku seperti apa.”
Dia tersenyum, senyum yang penuh arti. “Baik, Nona. Kalau itu yang Anda inginkan.”
Kami kembali masuk ke rumah, menuju kamarku. Pintu tertutup rapat. Aku duduk di sofa di sudut kamar, mengangkat kakiku. Dayat berlutut di depanku, tangannya memegang kakiku. Jemarinya yang kasar namun terampil mulai memijat telapak kakiku. Sensasi itu membuatku merinding.
“Ah… itu enak sekali, Dayat,” desahku.
Dia tidak menjawab, hanya terus memijat. Tangannya naik, memijat betisku, lalu pahaku. Sentuhannya semakin berani, semakin menggoda. Aku bisa merasakan gairahku mulai membara lagi.
“Nona Rina, apakah Anda yakin hanya ingin pijatan kaki?” bisiknya, suaranya serak.
Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Tentu saja tidak, Dayat. Aku ingin lebih.”
Dia tersenyum, senyum yang penuh kemenangan. Tangannya bergerak cepat, membuka ritsleting celana pendekku, lalu menariknya ke bawah. Celana itu melorot, memperlihatkan celana dalamku.
“Nona, Anda sangat cantik,” bisiknya, matanya menatapku penuh hasrat.
Aku tersipu, namun juga merasa bangga. Dia melepas kemejanya, lalu menarik kausku. Kami kembali telanjang, kulit kami bersentuhan, panas dan bergetar. Dia mendorongku ke ranjang, menindihku, bibirnya mencari bibirku.
Ciuman itu panas, liar, penuh hasrat yang tak tertahankan. Tanganku menarik rambutnya, mencengkeram bahunya. Dia mengerang, membenamkan wajahnya di leherku, menghisap kulitku.
“Ugh… Nona… Anda membuat saya gila…” bisiknya.
Aku tertawa pelan, tawa yang penuh kemenangan. “Itu bagus, Dayat. Aku ingin kamu gila karenaku.”
Dia mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya berkilat, penuh api. Dia mendorong kejantanannya masuk ke dalam diriku, kali ini tanpa ragu. Sensasinya luar biasa, kenikmatan yang membakar.
“Ah! Dayat!”
Dia mulai bergerak, cepat dan dalam. Setiap dorongannya membuatku melayang, membawa pergi semua kekosongan yang selama ini kurasakan. Aku bisa merasakan otot-ototnya menegang, mendengar napasnya yang memburu.
“Ugh… Nona… ah…”
Kami bergerak dalam irama yang sama, irama gairah yang membakar. Ranjang berderit pelan, mengikuti setiap gerakan kami. Aku tidak peduli pada apa pun sekarang. Hanya ada aku dan Dayat, dan gairah yang membakar kami.
“Lebih cepat, Dayat… lebih cepat!”
Dia mengikutiku, mendorong lebih dalam, lebih cepat. Setiap dorongan terasa seperti sengatan listrik, membuat seluruh tubuhku bergetar. Aku bisa merasakan klimaks yang mendekat, gelombang panas yang membakar.
“Ah! Ah! Dayat! Aku… aku…”
Tubuhku menegang, lalu meledak dalam gelombang kenikmatan. Aku menjerit, jeritan yang tertahan, namun penuh kelegaan. Dayat juga mengerang, lalu membenamkan wajahnya di leherku, tubuhnya bergetar.
Kami terdiam sesaat, napas kami masih memburu. Aku memeluknya erat, menikmati kehangatan tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya penuh kelembutan, dan sesuatu yang lebih dari sekadar gairah.
“Terima kasih, Nona,” bisiknya.
Aku tersenyum, mengusap pipinya yang berkerut. “Tidak, Dayat. Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih sudah membuatku merasa hidup lagi.”
Dia tersenyum tipis, lalu mencium dahiku. Kami berbaring diam, menikmati kebersamaan ini. Keheningan kamar terasa nyaman, penuh dengan rahasia yang baru saja kami ciptakan.
***
Beberapa bulan berlalu, dan hubungan rahasia kami semakin dalam. Setiap ada kesempatan, kami akan bertemu di kamarku, atau di tempat-tempat tersembunyi lainnya di rumah ini. Gairah di antara kami tidak pernah padam, malah semakin membara. Aku merasa hidup, merasa diinginkan, merasa menjadi diriku sendiri. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan bersama Danu.
Danu tetaplah Danu. Suamiku yang polos, baik hati, dan tidak tahu apa-apa. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan acara televisi favoritnya, dengan dunianya sendiri. Dia tidak pernah curiga, tidak pernah bertanya. Kadang-kadang aku merasa kasihan padanya, tapi rasa kasihan itu cepat tertutup oleh gairah yang Dayat berikan padaku.
Suatu malam, Danu pulang larut. Aku sudah menunggunya di kamar, berbaring di kasur. Dia masuk, melemparkan tas kerjanya ke kursi, lalu melepas kemejanya.
“Capek sekali hari ini, Sayang. Rapatnya panjang sekali,” keluhnya, lalu merebahkan diri di sampingku.
Dia memelukku, mencium keningku. Sentuhannya terasa hambar. Aku membalas pelukannya, mencoba merasakan sesuatu, tapi tidak ada. Hanya kekosongan.
“Kamu sudah makan, Sayang?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, tadi makan di kantor. Kamu sudah tidur?”
“Belum. Menunggumu.”
Dia tersenyum, lalu memejamkan mata. Aku menatap langit-langit, pikiranku melayang. Dayat. Aku sedang memikirkan Dayat. Memikirkan sentuhannya, ciumannya, gairah yang dia berikan padaku. Perutku bergejolak.
Tiba-tiba, Danu bergerak. Dia titik badan, menghadapku. Mata terbuka, lihat.
“Rina,” bisiknya.
“Ya, Sayang?”
“Aku ingin kamu.”
Jantungku berdebar. Bukan karena gairah, tapi karena kaget. Ini jarang terjadi. Danu jarang sekali memulai.
Aku tersenyum tipis. “Tentu, Sayang.”
Dia mencium bibirku, pelan. Ciuman itu terasa datar, tanpa gairah. Tangannya memegang rambutku, lalu turun ke pinggangku. Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan Dayat, mencoba merasakan gairah yang sama. Tapi tidak bisa.
Dia membuka bajuku, lalu mencium leherku. Aku menahan napas. Aku bisa merasakan kejantanannya yang mulai menekan menyentuh pahaku. Dia mendorongku ke kasur, menindihku.
“Rina, kamu wangi sekali malam ini,” bisiknya. “Wangi apa ini?”
Jantungku mencelos. Wangi apa? Wangi lavender? Atau dayat wangi? Aku baru saja bertemu Dayat tadi sore. Kami… kami habis bercinta di garasi, di balik tumpukan kardus. Aku buru-buru mandi, tapi apakah masih ada sisa
KARYA CERSEKS KU YANG LAIN:
(TUKANG URUT LANGGANAN RINA)
https://karyakarsa.com/netorare/aku-dan-tukang-urut-langganan
(TOREN AIR YANG BOCOR)
https://karyakarsa.com/netorare/rina-dan-toren-yang-bocor-episode-1
ns216.73.216.209da2