×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
You
R
7.4K
0
0
725
0

Prolog

-International Hospital-


Seorang wanita dengan jubah dokter duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung ke jendela. Kedua telapak tangan wanita itu menutupi wajahnya. Rambut wanita itu tampak kusut dan acak-acakan. Sesekali ia menghembuskan nafas beratnya. Melihat penampilannya seperti sekarang ini semua orang tahu jika ia berada dalam masa sulit. Seolah ada beban berat yang sedang ia pikul di kedua pundaknya.

Drrtt....

Tubuh wanita itu tersentak kaget kemudian merogoh saku celananya cepat. Wanita itu mengangkat wajahnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Kedua mata hazel milik wanita itu bergerak membaca nama yang tertulis pada layar ponselnya. Setelah mengenali siapa yang menghubunginya, wanita itu menerima panggilan tersebut lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.

‘-Adikku tersayang-’

“Hallo?” sapa wanita itu lebih dulu.

“Kakak?” panggil seseorang di ujung sana.

Wanita itu mengangguk, “Iya, ini kakak. Kenapa menelpon?” jawabnya.

“Apa kakak lembur lagi? Bisakah kakak pulang?”

Wanita yang sedang mengangkat telepon itu melirik jam tangannya sekilas. Ia tidak sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wanita itu mendekatkan kembali ponselnya ke telinga.

“Kakak akan pulang, kenapa?” ucap wanita itu memandangi jalanan yang ada di luar.

“Renal dan Denny lapar. Saat pulang nanti bawakan kami makan malam, yah?” pinta seseorang itu manja.

Wanita itu tersenyum membayangkan bagaimana ekspresi wajah sang adik jika sedang meminta sesuatu padanya seperti yang dilakukannya saat ini. Lagi, kepala wanita itu kembali mengangguk untuk yang kedua kalinya.

“Iya, tunggu saja kakak di rumah”

“Benarkah? Awas kalau bohong!”

Wanita itu berdiri, ia merapikan pakaiannya kemudian berjalan ke luar gedung tempatnya bekerja. Wanita itu terus berjalan menapaki bahu jalan dengan ponsel yang terus melekat di telinganya. Tidak jarang ia tertangkap sedang tersenyum-senyum sendiri

“Renal mau makan apa?” tanya Yura berhenti di persimpangan.

“Martabak telur”

“Bagaimana dengan Denny?”

“Roti bakar rasa keju”

“Oke, siap! Tunggu kakak di rumah ya? Jangan tidur!” ucap Yura menutup sambungan ponselnya.

Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyeberangi jalan. Ia sengaja menuju area persimpangan ini, karena di sini ada banyak pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam makanan termasuk makanan yang diinginkan oleh kedua adiknya tadi. Wanita dengan senyum cerah di wajahnya itu mendatangi kedai-kedai yang menjual makanan pesanan adiknya. Setelah mendapatkan kedua makanan itu ia kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja.

“Permisi, bisa tolong lihatkan jadwalku? Apa aku bisa pulang cepat malam ini?” tanya wanita itu kepada seorang suster di meja resepsionis.

“Dokter Yura Anastasya....,” suster itu menggeleng, “Tidak ada namamu dalam daftar jaga malam hari ini” beritahu suster itu.

“Baiklah, terimakasih suster”

Wanita yang bernama Yura Anastaya itu berbalik. Ia menuju tempat di mana mobilnya di parkirkan. Senyum wanita itu terus saja menghiasi wajahnya. Parasnya yang cantik semakin bertambah cantik dengan kehadiran senyumnya itu.

Beep-beep....

Klakson mobilnya menyala. Wanita itu membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam sana. Ia menyalakan mesin mobilnya lalu kemudian melajukan sedan putihnya itu ke jalanan kota yang mulai sepi. Beberapa menit kemudian, sedan putih milik dokter wanita itu melambat dan berhenti di depan sebuah rumah.

“Kakak datang!” seru Denny berlari membukakan pagar rumah mereka.

Yura menurunkan kaca mobilnya. Ia tersenyum pada adik kecil yang berlari menyambut kedatangannya. Wanita itu memarkirkan mobinya ke garasi, tidak lupa ia menutup pagar rumah mereka kembali sebelum masuk ke dalam rumah untuk berkumpul bersama kedua adiknya tersebut.

“Kakak pulang!” teriak Yura mengangkat bungkusan plastik yang ia bawa.

“Horeee!!! Martabak-Roti bakar-Martabak-Roti bakar” ucap Renal dan Denny bersahutan.

Kedua adiknya itu sudah duduk rapi di meja makan. Sementara Yura mencari piring untuk menyajikan makanan yang ia bawa. Setelah menyajikan makanan kesukaan dua adiknya itu, Yura bergabung bersama mereka di meja makan. Ia menyaksikan bagaimana lahapnya kedua adiknya itu dalam menyantap makanan kesukaan mereka.

“Kalian suka?” tanya Yura.

Dua adiknya itu mengangguk bersamaan. Yura tersenyum. Ia sangat bahagia bisa berkumpul bersama adik-adiknya seperti sekarang ini, membuat dirinya lupa dengan rasa letihnya. Sungguh kebahagiaan yang sederhana. Kedua tangan Yura terulur mengusap puncak kepala adik-adiknya tersebut.

“Kakak mau?” ucap Denny menawarkan roti bakar miliknya.

Yura menggeleng, “Makan saja semuanya, kakak mau mandi dulu. Jangan lupa cuci piringnya nanti!” ucap Yura berjalan menuju kamarnya.

Byurr....

“Ah.... segarnya!” ucap Yura merasakan buliran air yang menyentuh kulitnya lembut.

Tidak tanggung-tanggung, kakak dua adik itu menghabiskan waktu selama lima belas menit di dalam kamar mandi. Ia sangat menyukai dinginnya air yang mengenai tubuhnya hingga sulit baginya untuk berhenti. Puas dengan ritual mandinya, wanita itu segera mengenakan piyama. Ia tidak langsung tidur melainkan pergi ke ruang tengah untuk bergabung kembali bersama kedua adiknya itu.

“Apa yang kalian tonton?” tanya Yura pensaran.

“Transformers” jawab Renal cepat.

Yura menggeleng pelan. Ia menyentil kepala bagian belakang Renal, “Nonton TV terus, sekolahmu bagaimana?” tanya Yura gemas.

“Akh, sakit!” pekik Renal memegangi kepalanya, “Besok minggu, jadi apa salahnya malam ini begadang” lanjutnya.

Yura menganga, ‘Aaah benar juga!’ pikir Yura.

“Denny, Renal? Selesaikan PR kalian terlebih dahulu!” ucap Yura merebut remote TV dari tangan Renal.

“Aaaah, kakak jangan di ganti!” teriak Denny mencoba merebut remote TV darinya.

Yura segera berdiri, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar adik kecilnya itu tidak bisa mengambil remote itu darinya. Ia bahkan berdiri di atas sofa agar Denny kesusahan saat menjangkaunya. Sayangnya ekspektasi Yura hancur, adik-adiknya itu saling bekerja sama untuk merebut remote TV darinya. Yura tidak bisa menahan remote itu lebih lama lagi. Kedua adiknya itu menyerangnya dengan mendorongnya ke belakang.

“Ini remotenya, jadi berhentilah mendorongku!” ucap Yura menyerahkan remote itu pada adiknya.

Rumah yang sempat ramai karena teriakan mereka itu kini kembali sunyi begitu adik-adiknya mendapatkan kembali remote TV-nya. Yura tersenyum-senyum sendiri melihat kedua adiknya yang sudah kembali pada posisi awal mereka. Adik laki-lakinya itu berbaring di atas hambal yang menghadap ke TV 32” miliknya. Beginilah suasana rumah mereka. Sangat tenang dan damai serta di penuhi oleh kebahagian.

“Hoaam....”

Yura berlalu memasuki kamarnya. Wanita itu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kedua mata hazel itu masih setengah terbuka memandangi langit-langit kamarnya. Seulas senyum getir tercetak di wajahnya.

‘Kami selalu sebahagia ini mah, akan selalu seperti ini’, suara isi hati Yura mengalun di udara.

Semenjak perceraian kedua orang tuanya lima tahun yang lalu, adik-adiknya itu kini tinggal bersama Yura. Mengingat usia Yura yang terpaut jauh dari dua adiknya itu membuatnya terlihat seperti seorang ibu dua anak. Yura tidak masalah dengan semua itu, yang ia tahu hidup kedua adiknya itu tercukupi dan yang terpenting mereka tetap melanjutkan sekolah mereka. Satu lagi, mereka juga tidak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua mereka, karena saat ini Yura-lah yang akan memberikan kasih sayang seorang ibu kepada Renal dan Denny.

Yura, Renal dan Denny jelas merindukan kedua orang tuanya tersebut. Tapi kerinduan itu tidak bisa ia ucapkan mengingat kondisi mereka yang sekarang. Ketiga kakak-beradik itu tidak mengetahui dimana kedua orang tuanya itu berada. Keduanya berpisah dan  menjalani hidupnya masing-masing meninggalkan tiga orang anak yang masih membutuhkan banyak kasih sayang dari mereka.

‘Ma? Bagaimana kabarmu sekarang? Apa mama makan dengan baik?’

Yura memejamkan kedua matanya perlahan. Teringat dengan kenangan indah di masa lalu membuatnya meneteskan air mata. Wanita itu menangis dalam tidurnya. Kenangan bahagia bersama kedua orang tuanya dulu meninggalkan lubang besar di hatinya. Membuat wanita itu menutup pintu hatinya dari pria manapun. Ia takut jika pria yang datang padanya nanti akan menyakiti hatinya juga seperti apa yang mama rasakan.





favorite
0 likes
Be the first to like this issue!

X