Akhirnya dia setuju.
Entah karena merasa tidak enak karena telah ‘berprasangka’ atau karena kilauan emas yang begitu menggoda. Atau mungkin karena ‘reputasi’ yang dia inginkan? Yah, ketiganya digabungkan juga alasan yang valid. Kalian belum pernah lihat di berita soal gadis kecil yang jahat bukan?-- uh, baiklah, dia pernah lihat.
Sebanyak apapun Exeleion ingin menyesali keputusannya, persetujuan itu tidak bisa dibatalkan.
Bos baru itu terus menyeretnya ke segala penjuru kota, dan setiap kali mereka sampai di suatu tempat tertentu, gadis itu berharap kalau Exeleion akan memberi penjelasan soal tempat itu. Gadis kecil itu seharusnya menyewa pemandu wisata, bukan seorang pemanah.
Sekarang dia memikirkannya lagi, 25 koin emas selama tujuh hari memang bukan upah yang biasa. Setelah dia diseret ke restoran mahal untuk ‘makan siang’ bersama, dia tahu betapa kaya-nya gadis itu. Tentu dia menolak, sebagai orang asing dan sebagai laki-laki yang berusia tujuh belas tahun. Walaupun... sifat memerintah bos nya itu benar-benar natural, sepertinya si gadis memang terbiasa menyuruh-nyuruh orang lain.
Kemari atau aku akan memecatmu!
Atau begitulah kira-kira yang dia katakan.
Tapi Exel sudah bisa menebak pola pikir miliknya. Dia memberi harga mahal, dan juga menaruh harapan tinggi apapun yang dibelinya itu, sesuai keinginan pribadinya. Mungkin agak menjengkelkan, tapi selama ada uang dan persetujuan, seharusnya tidak ada yang protes ‘kan? Exel benar-benar berterima kasih pada siapapun yang mengajarkan pola pikir ini pada bos-nya.
Baiklah, Nona, akan kucoba memenuhi ekspektasi Nona.
Mereka berdua tidak banyak bercakap-cakap lagi setelah makan, paling cuma pertanyaan iseng bos kecil-nya seperti, Tempat apa ini?, Apa kamu pernah kesini?, Kenapa disini begitu ramai?
Dan Exel pun menjawab semuanya sesuai yang ia ketahui, meski terkadang tidak sesuai harapan si penanya.
Terus begitu hingga matahari hampir terbenam, tapi tentu masih banyak sisi kota yang belum mereka kunjungi. Mungkin gadis itu berniat melakukannya besok, karena perintah pertamanya secara harfiah adalah, Tunjukkan padaku seisi kota!
“M-malam ini?!”, tanya Exeleion. Gadis itu tidak pernah berhenti membuat dia terkejut.
Mereka telah berjalan-jalan selama hampir lima jam... tapi tidak ada satupun tanda-tanda kelelahan dari gadis kecil itu. Malahan, senyumannya masih sama seperti tadi siang.
Nona benar-benar memiliki ekspektasi yang tinggi.
Mereka berdua sedang melalui jalanan yang agak sepi... yah, situasi apa yang kalian harapkan di saat matahari terbenam seperti ini? Sejak tadi siang, mereka memang menarik tatapan-tatapan aneh dari orang sekitar. Tentu saja, baik Exel maupun bos-nya sama-sama menganggap hubungan mereka hanya sebagai hubungan profesional atas dasar kontrak. Sejak awal bertemu, gadis kecil itu memang menunjukkan sikap kedewasaan yang patut Exeleion puji, tidak seperti gadis berusia sepuluh tahun pada umumnya-- tunggu.
Sedewasa apapun sikapnya, gadis itu tetap terlihat seperti anak kecil. Di siang hari mungkin aman-aman saja, tapi, di malam hari... Oh, Tuhan.
“Apa ada masalah?”, tanya suara bos-nya yang lembut.
Mereka sedang rehat sejenak dengan duduk di sebuah bangku panjang dipinggir jalanan kota. Mereka memang duduk di samping satu sama lain, tapi Exel sudah mengambil jarak terjauh untuk menghindari prasangka orang-orang terhadap dirinya.
Mungkin begini rasanya punya adik ya?
“Saya hanya sedikit lelah, Nona.”, ucapnya sambil mencoba agar terdengar profesional.
“Baiklah, kita istirahat sebentar.”, perintah si gadis seperti biasa.
Sejak tadi kaki Exel memang meringik untuk berhenti. Dia pun mengira kalau gadis itu juga merasakan hal yang sama. Keduanya berhasil menyembunyikan rasa letih mereka dengan baik, walau pada akhirnya, gadis itu duluan yang menghampiri bangku ini dan duduk disini.
Adik...? Exel teringat perkataan ayah angkatnya dulu.
Dia punya seorang adik perempuan yang usianya setahun lebih muda darinya. Ayah angkatnya dulu pun mengingatkan untuk segera mencari si adik kalau Exel sudah ‘dewasa’. Satu-satunya petunjuk yang ditinggalkan oleh ayah angkatnya adalah kata Wailwood.
Tidak mungkin Nona ini, ya...?
Kehidupan keluarga Exel memang rumit... ibu kandungnya pulang ke negeri asalnya ketika dia masih bayi, lalu ayah kandungnya pergi ke negeri itu untuk menjemput isterinya ketika ia berusia tiga tahun... dan belum kembali sampai sekarang. Itulah setidaknya yang diceritakan ayah angkatnya sekaligus teman ayah kandungnya. Exel memercayainya, tentu saja, karena orang itu tidak pernah mengatakan kebohongan selama jadi ayah angkatnya.
Itulah mengapa Exel tidak ambil pusing soal keluarganya. Dia ingin menjalani hidupnya dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan, itu saja. Dan mungkin, suatu saat nanti dia akan mencari adiknya. Dan memanggil kembali ayah angkatnya... menghidupkannya kembali. Yah, walaupun itu bertentangan dengan keinginan beliau...
--Aku ini sebuah roh, jadi aku tidak perlu makan, minum, atau tidur.
Suara tegas milik sosok laki-laki berusia dua puluh tahunan terbayang di pikiran Exel. ‘Roh’ itu yang menjadi ayah angkat Exel, tapi semasa dia ‘hidup’, dia selalu menolak untuk dipanggil ayah.
--Cukup panggil aku ‘Aeon’.
Dia bukan manusia, dan secara teknis dia bukan makhluk dari dunia ini. Dia sudah lama mati, dipanggil kembali ke dunia ini sebagai ‘roh’ melalui ritual sihir tertentu.
--Satu hal lagi, aku ini orang yang bisa melakukan sihir.
Yah... Aeon tidak pernah berbohong, jadi dia memang seorang penyihir. Walaupun, berbeda dengan stereotipikal penyihir di masyarakat dan di pikiran Exel yang ‘kejam’, Aeon benar-benar sebuah pengecualian.
-=-=-
Hari ini adalah hari terbaik bagi gadis kecil itu.
Bertahun-tahun lamanya dia belum pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Secara teknis dia tidak peduli lagi kalau orang ini adalah kakaknya atau bukan, yang jelas, dia benar-benar baik.
Ketika hidup di kastil, orang-orang baik padanya karena alasan tersembunyi. Tentu saja kali ini juga karena alasan tertentu, tapi entah mengapa, dia merasa tidak ada maksud tersembunyi dari laki-laki bernama Exeleion ini. Setidaknya, dia jujur soal ketertarikannya dengan uang.
--Malaikat kecilku, kemarilah!
Bukan, bukan hanya karena uang. Seperti ketika sang ayah memanggil dirinya, Exel tersenyum seperti itu. Karena wajah mereka yang mirip, dan yah, hanya ada satu alasan kenapa mereka bisa mirip.
--Hvel, kamu punya seorang kakak laki-laki. Dia tinggal di negeri Velum.
Sang ayah tersenyum semudah Exeleion tersenyum. Seolah itu adalah sifat alami mereka ketika melihat orang yang mereka kenal. Tentu saja, tidak ada senyuman untuk orang asing.
--Namanya Exeleion. Kamu setahun lebih muda darinya.
Diantara kenangan-kenangan sang ayah, momen-momen itulah yang terukir paling jelas di hati gadis kecil itu. Ketika sang ayah menceritakan segala hal soal kakaknya dengan antusias. Tentu saja, itu karena penyesalan sang ayah. Kalau saja dia membawa si kakak ke kastil, mungkin mereka bisa hidup bersama.
Atau tidak.
Kastil Wailwood bukanlah tempat untuk keluarga yang mencari kebahagiaan. Sang ayah tahu hal ini, karena itu, niatan awal kedatangan sang ayah adalah untuk menjemput Hvel dan sang ibu. Meskipun, pada akhirnya dia gagal. Hvel bersyukur setidaknya dia bisa hidup bersama sang ayah. Tapi itu, membuat sang kakak hidup sendirian.
“Aku... aku lupa soal sesuatu.”, gadis itu beranjak dari tempat duduknya. “Mungkin terlambat, tapi namaku Hvel Enma.”, ucapnya sambil tersenyum ramah.
Apa... apa ‘Aeon’ memberi tahu tentang ‘Enma’?
Perlu beberapa detik hingga Exeleion menunjukkan ekspresi terkejut. Jelas sekali, dia juga sedang melamun. Tadinya.
“S-saya Exeleion, seperti yang Nona ketahui”, balasnya sambil memikirkan sesuatu. Ah, dia sepertinya melupakan sesuatu.
-=-=-
Gadis itu masih menatap dirinya sedari tadi. Sepertinya dia berharap kalau Exel melakukan sesuatu...
Enma? Apa aku salah dengar?
Selama yang dia ingat, dia tidak pernah salah mendengar kata. Telinganya masih berfungsi sebagaimana mestinya.
“Ah... um... kamu belum menyebutkan nama keluargamu.”, kata si gadis sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
Mungkin, ada banyak Enma diluar sana.
“Exeleion Enma. Secara kebetulan nama keluarga kita--”
“Sama?”, sela Hvel sambil tersenyum lebar dan menutup kedua matanya. Reaksi ini, seperti yang Exel ingat, adalah reaksi penuh kebahagiaan.
Sekarang dia ingat, kalau gadis itu kemari untuk mencari keluarganya.
“N-nona, mungkin hanya kebetulan”, ucapnya dengan mencoba terdengar meyakinkan.
“Bukan, bukan kebetulan.”, jawab Hvel sambil menggelengkan kepala. “Biar kutebak, apa ayah kandungmu bernama Kallen Enma?” Dia masih belum menghilangkan senyuman itu, atau membuka kedua matanya.
“B-benar. Tapi, bagaimana--”
“Ayah sendiri yang bercerita padaku...” kali ini, matanya terbuka lagi. Senyuman pun mengecil, tapi masih belum hilang. “Soal kamu, Aeon, dan... banyak...”
Dia bahkan tahu soal Aeon?
Semua bukti sudah diberikan. Apa mungkin gadis ini sebenarnya sudah mengorek segala informasi soal laki-laki bernama Exeleion? Apa mungkin gadis bernama Hvel sampai bertindak sejauh itu?
Tentu saja tidak.
Lagipula... kalau dia memang adiknya, seharusnya dia berusia enam belas tahun.
“Sudah larut... bagaimana kalau kita kerumahmu?”, tanya Hvel masih dengan senyuman itu.
“T-tapi, N-nona...” Exel benar-benar tidak tahu kata apa yang harus dia keluarkan. Lalu, darimana dia tahu kalau Exel punya rumah?
“Apa ada masalah?”, tanya gadis itu. “Kamu punya rumah, ‘kan?”
“B-bukan itu!”
-=-=-
Semuanya berjalan sesuai rencana Hvel.
Karena itu, dia tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi. Ekspresi terkejut kakaknya itu membuat dirinya ingat pada sang Ayah. Ketika sesuatu yang terjadi tidak sesuai perkiraan. Sedih, tapi di satu sisi, dia senang karena sekarang dia bisa dengan yakinnya memanggil Exeleion dengan panggilan ‘Kakak’.
“Lalu... kenapa, kak?”, tanyanya dengan begitu yakin.
Aeon. Aeon tidak mungkin bohong. Karena itu, Exel sangat percaya kalau sang adik hanya setahun lebih muda darinya.
“A-aku masih ragu”, ucapnya pelan. “Sekarang, adikku seharusnya berusia--”
“--Enam belas tahun, kan?”, sela Hvel dengan bersemangat.
Hvel tentu saja menyadari pemilihan kata yang berbeda, ‘keformalan’ perlahan hilang dari kalimat kakaknya. Itu berarti satu hal, kan?
“Benar. Lalu...”, ucapnya dengan ragu. “...apa aku punya lebih dari satu adik?”
Hvel mengedipkan matanya beberapa kali. Dia mengira, kakaknya akan menanyakan ‘berapa usiamu, Hvel?’. Tentu saja, dia mewarisi sifat anti-prasangka sang ayah. Pertanyaan tadi memiliki banyak arti. Pertama, dia sudah percaya Hvel itu adiknya. Kedua, dia tidak menganggap Hvel sebagai adik pertamanya, yang menurutnya harus berusia enam belas tahun. Ketiga, dia... dia tidak menganggap Hvel berusia enam belas tahun.
Tentu saja, pertanyaan diajukan untuk memastikan sesuatu.
“Ayah hanya punya dua orang anak.”, balas Hvel sambil menaruh tangan di dagunya.
“B-begitu ya.”, ucapnya sambil mengangguk. “Jadi, Nona memang adikku”, lanjutnya tanpa ekspresi yang berarti. Mungkin itu terkejut ditambah bingung? Apa... apa dia tidak senang ketika adiknya kembali?
Yah, setidaknya kakaknya sudah percaya. Misinya berhasil, dan Hvel memberi senyuman puas untuk itu.
ns 172.71.254.131da2