Di ruangan serba putih, seorang gadis sedang memejamkan matanya. Tubuh lemasnya terbaring di atas kasur putih dengan sedikit corak merah. Merah pekat seperti warna darah.
Duh... sakit...
Itu memang darah milik gadis itu. Sebagian rambut putih indahnya juga dilumuri cairan merah pekat itu. Matanya tertutup, tidak sanggup melihat apa yang terjadi. Mulutnya terus menahan jeritan tangis dari jeritan luka di lengan kanannya.
Lengan kanannya, mulai dari siku ke bawah berdarah hebat. Banyak, banyak sekali sampai mampu menyelimuti seluruh warna kulit tangannya.
Kumohon... hentikan...
Dia bahkan tidak bisa menangis. Matanya agak berair, dan cukup itu saja, karena jika mulutnya ikut menjerit, luka-lukanya akan terbuka dan terasa semakin sakit.
Tangan yang satunya, yang seharusnya sudah sembuh, juga masih belum bisa dia gerakkan. Bahkan, belum bisa dia rasakan; mungkin, karena lengan kanannya yang membuat indera perasanya mati.
Ayah... … siapapun... tolong...
Hingga, sesuatu yang menusuk memaksa gadis itu untuk membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah tangan merah yang sudah bukan miliknya, karena tangan itu tidak mengikuti perintahnya untuk tidak menjerit.
Rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuhnya bagai hawa dingin. Sekarang, dia bernapas dengan sangat pelan. Karena bahkan sedikit gerakkan perutnya untuk bernapas terasa begitu menyakitkan.
Aku... aku tidak ingin mati.
-=-=-
Setelah wajahnya disinari cahaya matahari yang menerobos lewat jendela kamar, Hvel terbangun dari mimpi buruknya.
Itu... mimpi itu lagi.
Dia duduk di atas kasur futon-nya dan memeluk kedua kakinya. Lalu, dengan ragu, Hvel memperhatikan lengan kanannya.
Masa laluku...
Hingga, suara ketukan pintu menarik perhatiannya. "Hvel! Kapan mau bangun?", panggil suara yang begitu familiar.
Senyuman pun terukir di wajah gadis yang rambutnya kusut itu. "Sebentar lagi, kakak."
Kakak... terima kasih karena telah memberiku kehidupan yang baru.
-=-=-
Hvel keluar dari kamarnya.
“Selamat pagi, Hvel.”
Dia menemukan kakaknya sedang duduk sendirian di samping meja makan. Semangkuk bubur terhidang di meja, asapnya menandakan kalau itu masih hangat. Selain itu, di meja ada satu mangkuk kosong dan dua cangkir teh.
"Ah... um... kenapa kakak berpakaian seperti itu?", tanya gadis itu penasaran pada sosok yang memakai armor ringan di tubuhnya dan membawa sebuah longbow di punggungnya.
"Yah, aku mau pergi kerja.", ucap Exel yang kemudian meminum seteguk teh.
"Kakak...", gadis itu kemudian duduk di samping kakaknya. "Ini belum seminggu loh!"
Exel menyimpan cangkirnya di meja. "S-soal itu... aku baru mau tanya."
Hvel tersenyum. "Tidak perlu ditanya lagi. Ganti baju kakak dan bersiaplah untuk pergi!"
"Kamu sendiri baru bangun. Gimana, sih.", ucapnya ketika menyadari penampilan 'bangun tidur' milik adiknya. Rambut Hvel kusut, belum wajah kusamnya yang masih terlihat mengantuk.
Hvel tidak menjawabnya. Dia malah mengambil gelas kedua di meja dan meneguknya. Teh, hangat dan enak.
"Hvel, bagaimana kamar barumu?", tanya orang di sebelahnya. "Kamu menyukainya?"
Gadis itu menyimpan cangkirnya kembali. "Aku... aku lebih suka tinggal disini."
Tidak ada seorang pun yang ingin tinggal di kastil terkutuk itu... Ah... kakak belum bertanya apa-apa soal masa laluku.
Exel tersenyum lega. "Syukurlah. Jadi, apa rencanamu siang ini?"
“Rahasia.”, ucapnya sambil tersenyum.
-=-=-
Angin yang berembus membuat tubuh Exel sedikit gemetar karena kedinginan.
Exel sudah memakai scarf cokelat favoritnya, tapi masih saja kedinginan. Lalu, dia melihat Hvel yang tidak kedinginan sama sekali meski tidak mengenakan baju yang tebal. Gadis itu masih dengan pakaian hitamnya, dan dia mengenakan jubah hitamnya dengan cara yang berbeda dari kemarin. Yah, singkatnya, dia terlihat lebih baik hari ini.
Mereka sedang di kota. Hvel terus menyeret kakaknya ke tempat yang dia inginkan. Pertama, dia berhenti di sebuah penjual kembang gula untuk membelinya. Tentu saja, dia membelikan untuk kakaknya juga.
Sekarang Exel terpikir, kenapa adiknya bisa memiliki begitu banyak uang? Yah, dia pun memutuskan tidak baik untuk mengira-ngira -–berprasangka-- dan memilih untuk menunggu saat yang tepat untuk bertanya langsung pada adik kecilnya.
“Kakak, cepat kesini!”, perintah gadis itu sambil melihat dengan penasaran ke arah luar kota, seolah ada sesuatu disana.
Exel berpikir sejenak. Gadis itu mengajaknya keluar gerbang kota. “Tapi, Hvel--”
Tangan Exel ditarik oleh adiknya. Lembut dan dingin, seperti waktu itu.
“--Jangan keluar kota, bahaya!”, Exel melengkapi kalimatnya walau terlambat.
Adiknya tidak memedulikan peringatan itu. “Kakak, cepatlah!”, ucapnya sambil terus menarik tangan Exel.
Tubuh Exel terpaksa mengikuti langkah gadis itu. Sebanyak apapun dia ingin menahan adiknya agar tidak keluar kota, sebanyak itu juga keinginannya untuk tidak mengganggu kebahagiaan Hvel.
Lagipula, bahaya di luar kota pasti bisa aku tangani.
-=-=-
Syukurlah, aku belum terlambat.
Rencananya berhasil. Kakaknya sudah dia seret ke luar dinding kota. Mereka berdua terus berjalan, menuju ke area pepohonan. Hutan tanpa nama di luar kota Ris Emerald.
Akhirnya, Hvel melepaskan tangan kakaknya. “Kita sampai!”, ucapnya bersemangat.
“Ada apa sih, di hutan?”, tanya Exel sambil memastikan keadaan sekitar.
Maafkan aku, kakak.
Hvel lalu mengambil jarak dari kakaknya. Sebelum membalikkan badannya, dia sempat mengucapkan sesuatu dengan begitu cepat.
“--- ---- --- ---- -------- ------ ---- ---------”
Tapi, itu bukanlah sebuah kalimat. Mulutnya bergerak begitu cepat, dan itu, adalah cara pengucapan mantra sihir. Setelah hampir selesai, gadis itu menoleh ke Exeleion.
“Ada ap--” Laki-laki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan, lalu jatuh tersandung kakinya sendiri.
Angin lembut berembus kencang. Lembut, menenangkan, dan sejuk.
“Hvel---” ucapnya seraya menutup kedua matanya lalu terlelap.
Kakak... kakak cuma akan tertidur.
“Selamat malam, kakak.”, ucap Hvel sambil tersenyum. “Nah, keluarlah!”, perintahnya dengan serius setelah menghilangkan senyuman tadi. Entah pada siapa. Dia menoleh ke arah pepohonan setelah mengatakan itu.
“Selamat siang, Nona Muda.”, balas sebuah suara.
Pemilik suara itu kemudian menunjukkan diri. Dua orang. Laki-laki berusia dua puluh-an dan orang di sebelahnya yang seluruh tubuhnya tertutup jubah hitam.
Setelah memastikan mereka benar orang yang kemarin, Hvel membalas mereka, “Aku serahkan pada kalian. Jangan lakukan hal aneh, mengerti?”
“Apa Nona keberatan kami menggunakan kekerasan?”, tanya orang berjubah hitam yang hanya mulut dan hidungnya saja yang bisa dilihat jelas.
“Ya, aku keberatan”, tegas gadis itu.
“Tapi--”
Sebelum dilanjutkan, si jubah hijau menyela perkataan temannya. “Tidak masalah. Rogue, serahkan padaku.”, ucapnya santai.
“Bagus. Sampai jumpa lagi.”, ucap gadis itu sambil membalikkan badan.
Hvel kembali ke arah kota. Sebelum dia melangkah lebih jauh, orang tadi kembali bertanya.
“Nona Muda, apa di kota ada pemanggilan roh?”, tanya pria tadi dengan sedikit khawatir.
Pertanyaan itu berhasil membuat Hvel tersenyum. Dia tahu apa maksud pertanyaan itu. “Sayangnya, aku belum ingin mati.”, ucap gadis itu dengan senyuman yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri.
Tunggu aku, kakak.
Tanpa menoleh kebelakang lagi, dia melanjutkan langkahnya.
-=-=-
Hvel kembali serius. Dia punya sebuah misi sekarang.
Sekesal apapun dirinya pada kakek, dia tidak ingin membuat pria tua itu naik darah. Karena pastinya, pria tua itu tidak akan senang ketika pion terbaiknya pergi berkhianat.
Aku... aku harus apa?
Dia sudah menggunakan sihir untuk menghilangkan dirinya. Tidak ada orang yang bisa melihatnya sekarang. Dan, dengan kemampuan mengendap-endapnya, tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Lalu, dengan satu sihir lagi, dia sudah menyembunyikan ‘bau’ dirinya.
Hal yang sama yang selalu Hvel lakukan sebelum mulai membunuh.
Teknik seorang assassin yang sudah gadis itu sempurnakan. Sebagai seorang assassin danseorang Magus, Hvel adalah pion terbaik yang dimiliki kakeknya. Ya, dirinya cuma sebuah pion.
Apa aku bisa menang melawan kakek?
Kebingungan menghantui pikiran gadis yang sedang menyusuri kota tanpa bisa dilihat orang lain itu. Sosok pria pemimpin keluarga Wailwood itu. Hvel tidak ingin melawan pria itu. Dia sudah tua, mungkin; tapi, seluruh kastil Wailwood ada di bawah perintahnya.
Karena itu... aku tidak boleh membuat kakek marah.
Dia tidak terlalu fokus pada orang-orang di sekitarnya, atau objek lain selain pikirannya. Dia lupa kalau tujuan awalnya kesini adalah untuk mencari dan membunuh Magus lain... sebelum mereka membunuh dirinya.
Tapi... kakak... aku... aku ingin hidup disini.
Dan sebagai hasilnya, Hvel hanya berdiri mematung di dekat taman kota. Terima kasih pada tubuhnya yang tidak terlihat, dia bisa merenung dengan tenang.
Jadi... apa yang akan kulakukan?
-=-=-
Exel tiba-tiba terbangun.
Hal terakhir yang dia ingat adalah adiknya mengucapkan mantra sihir padanya... dan itu membuatnya tertidur.
Kenapa dia-- tunggu.
Kedua tangannya terikat ke belakang tubuhnya, melingkari sesuatu yang bundar-- seperti sebuah batang pohon. Sementara kedua kakinya diikat dengan tali yang lumayan kuat. Exel masih beruntung karena mulutnya tidak disumpal apa-apa.
“Hei!”, seru laki-laki itu pada dua pria di depannya. Sontak, keduanya menoleh.
“Selamat siang, Tuan Pemanah.”, ucap pria berjubah hijau tanpa ekspresi yang berarti.
“Kau diam saja disitu sampai adikmu kembali.”, ucap figur berjubah hitam dengan nada yang membuat Exel tidak yakin untuk menganggapnya ‘pria’.
“A-apa maksudnya ini? Dimana adikku?”, tanya Exel seraya mencoba melepaskan ikatan di tangannya.
“Dia sedang berperang di--”
Belum selesai figur hitam itu menjawab, dia disela oleh rekannya, “Jangan dijawab, Rogue. Kita harus menghargai privasi klien.”
“Perang? Perang apa?”, tanya Exel sekali lagi.
Hvel... sebenarnya ada apa?
Dia mencoba mengalihkan perhatian mereka untuk mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya; tapi sayang, ikatan itu terlalu kuat untuk dilepas.
“He, Rogue, sepertinya ikatanmu longgar.”, ucap pria berjubah hijau mengacuhkan pertanyaan Exel tadi.
“Tenang saja, tangannya masih terikat.”, jawab figur hitam itu pelan.
Exel tidak yakin menganggap figur hitam itu ‘seseorang’ atau bukan. Cuma hidung dan mulutnya yang terlihat jelas; sisanya, tertutup oleh jubah hitamnya.
Belati, Longbow dan quiver kesayangannya tergeletak beberapa meter dari tempatnya diikat. Tidak bisa digapai. Kalau begini, tidak ada cara lain selain menggunakan sihir. Sepertinya, mereka berdua belum tahu kalau Exel adalah seorang Magus.
Ulang.
Perut Exel melilit bukan main. Perasaan ingin muntah memenuhi tubuhnya, tanda bahwa dia telah berhasil menyelesaikan sihirnya. Hal ini selalu terjadi, tentu, karena sihir yang dia gunakan memutar balikan waktu.
Ulangi, Ulangi, Ulangi, Ulangi.
Angin berembus, mengusap tubuh Exel dengan lembutnya. Tapi sekarang, dia yang baru bangun tidur belum bisa tidur kembali.
Kemudian, Exel melihat si jubah hijau sudah tertidur lelap, sesuai harapannya; karena tadi adalah sihir untuk mengulang apa yang dilakukan oleh Hvel. Dia memutar kejadian masa lalu di masa sekarang. Atau begitulah setidaknya yang dia mengerti.
“Sihir yang merepotkan. Untungnya, aku tidak bisa mengantuk.”, ucap suara milik orang yang Exel lupakan... karena suara itu berasal dari belakang tubuhnya.
Sial. Kapan dia kesana?
Figur hitam itu kemudian memasuki pandangan Exel. “Sudahlah, menyerah saja. Sihir apapun itu tad--”
“---CISM!”
Sesuatu, seseorang, berteriak dengan lantang.
Cahaya putih, terang meski di siang hari, menghalangi pandangan Exel seutuhnya. Dia terpaksa memejamkan kedua matanya karena terlalu silau.
Setelah reda, tiga orang, dua pria dan satu wanita menghampiri Exel yang masih terikat di batang sebuah pohon.
“Roh sialan!... ... Hei kau, kau baik saja?”, tanya wanita yang membawa busur panah besar di kedua tangannya. Sebuah Greatbow.
“I-Iya...”
“Jangan takut. Kami adalah pemburu roh. Incaran kami adalah si jubah hitam tadi.”, ujar salah satu pria yang membawa pedang besar. Dia juga yang kemudian melepaskan ikatan Exel.
Exel tersenyum lega. “Terima kasih banyak.”
“Maaf ya, tapi kami sedang terburu-buru.”, ujar wanita tadi.
Aku tidak percaya keberuntungan, tapi terserah!
Tanpa memberi salam atau ucapan perpisahan, ketiga ‘pemburu roh’ itu pergi menuju arah kota. Langkah mereka begitu cepat, bahkan Exel tidak akan bisa mengikuti mereka tanpa menggunakan sihir. Ah, pasti mereka juga seorang Magus.
Tunggu. Hvel --adikku-- dia juga bisa sihir!
Exel berpikir sejenak. Pemburu roh yang tiba-tiba menyelamatkannya juga seorang Magus. Incaran mereka, roh hitam itu juga berkata sesuatu soal perang.
Jangan bilang, di kota sedang berlangsung ritual pemanggilan roh?!
...
Hvel!
ns 172.69.6.237da2