Hvel sangat bersyukur karena bisa kembali pulang bersama sang kakak. Hidup-hidup.
Setelah ‘menurunkan’ kakaknya di atas kasur futon, Hvel duduk di samping kasur. Exel masih belum sadar. Sekali lagi, Hvel mengecek denyut nadi di tangan kanan kakaknya untuk memastikan...
Tidak ada...?
...
Iya, tidak ada...!
Karena panik, dia pun memastikan detak jantung kakaknya. Ada, pelan. Begitu pelan hingga tangannya tidak bisa merasakannya, tetapi telinganya bisa. Pasti karena kelelahan. Dia, secara teknis, sudah melampaui batas kemampuan sihir angin miliknya. Selain menggunakan tenaga dorongan untuk menjaga tubuh kakaknya agar tetap terbang, Hvel juga harus menggerakkan angin itu secara hati-hati.
Kakak... cepat bangun....
Melepaskan rasa penat sekaligus panik miliknya, dia mengistirahatkan kepalanya ke tubuh kakaknya. Itu juga agar telinganya mampu mendengar detak jantung kakaknya lebih jelas lagi.
Tapi Hvel masih dihantui oleh perasaan tidak enak. Dia tidak terlalu paham soal ilmu medis, dan sekarang, asumsi-asumsi aneh mulai merasuki pikirannya.
Bagaimana kalau kakak koma? ... Apa kakak sedang pingsan?
"H-hei, Hvel?"
Karena panggilan lembut kakaknya, Hvel menoleh. Dia memeluk erat kakaknya seperti ketika memeluk ayahnya dulu.
"Kakak... syukurlah...!"
Dialog yang sama seperti dulu, ketika Hvel kembali bertemu dengan ayahnya sepulang dia bekerja. Karena pekerjaan ayahnya yang begitu berbahaya, Hvel selalu bersyukur ketika ayahnya bisa pulang hidup-hidup.
--"Ayah.... syukurlah...!"
Exel merasa sedikit terganggu, tapi setelah melihat kedua tangannya diperban, dia pun menyadari kalau tangannya itu kaku dan sulit untuk digerakkan. Terutama yang kanan.
"H-hvel! B-bangun! Kamu ngapain, sih?"
"Gak mau... disini... hangat..."
"Kamu berat, tau."
"Biarin..."
Hingga... suatu hari ayahnya pulang dalam keadaan yang tidak biasa...
Hvel cukup pintar untuk tahu apa itu kematian. Dia, pun, menghadiri upacara pemakaman ayahnya.
“Kakak...?”
“Hm?”
“Kakak... aku... aku tidak mau kehilangan kakak..."
“Tenang saja.”
Sesuatu yang lembut mengelus rambut Hvel. Hingga dia sadar itu adalah tangan kiri kakaknya. Hvel hanya bisa tersenyum kecil.
-=-=-
Exel frustasi karena tangan kanannya dan jari-jemari di tangan kirinya tidak bisa digerakkan. Apalagi untuk mencoba bangkit dari kasur. Tubuhnya tidak merespon perintah dari pikirannya dengan baik
Yah, dia harus akui, jika hal ini lebih baik daripada mati. Tunggu dulu, apa benar ini dunia nyata? Maksudnya, ini bukan di alam baka atau semacamnya, kan?
Dia memutuskan untuk bertanya pada satu-satunya orang lain yang ada disini. “Hvel, apa yang terjadi?”
Perlu sekitar lima detik sebelum akhirnya dijawab. “Kakak hampir mati. Aku... aku mencegahnya.”, ucapnya sambil menoleh.
Jadi begitu, adikku sendiri yang menyelamatkanku.
“Terima kasih ya, Hvel.”, ucap Exel sambil menepuk kepala adiknya dengan tangan kiri yang untungnya masih bisa dia gerakkan. Hanya jari-jemarinya yang sulit untuk diperintah.
Hvel memindahkan pandangannya, wajahnya sedikit memerah. “Itu... wajar...”
Sekarang, muncul banyak pertanyaan baru di benak Exel. Pertama, bagaimana cara dia diselamatkan? Lalu, bagaimana cara tubuhnya dibawa kesini? Dan terakhir, yang paling penting, apa alasan kejadian tadi pagi?
“Hvel, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Pagi ini...”
“Sebelum itu... kakak... aku mau pindah kesini. Boleh... ya?”, tanya gadis itu pelan.
Maksudnya, pindah rumah?
“Tentu saja boleh--”
Sebelum Exel mengakhiri kalimatnya, Hvel sudah bangkit dan langsung berlari keluar kamar.
“--Kamu ini adikku, kan.”, pungkas laki-laki itu meski terlambat.
Kenapa dia ini?
Hampir lima menit berlalu sebelum akhirnya pintu kamar Exel kembali diketuk, lalu dibuka. Gadis tadi kembali membawa benda bulat, putih seperti bola besar... itu kasur futon yang ‘digulung’.
J-jadi, maksudnya pindah kesini itu...!
“J-jadi, maksudnya pindah kesini itu...!”
Pikiran dan mulutnya sinkron.
Hvel menggelar kasur lipat itu sambil membalas, “Aku ini Magus ahli, loh. Ini... demi keselamatan kakak sendiri.”
“Alasan macam apa itu? Aku ini bisa... bisa...”
Ucapannya terhenti. Lalu, tiba-tiba adiknya tertawa.
“Bisa apa?”, tanya gadis itu sambil tersenyum. Lalu, setelah berbaring di kasur yang sudah digelar itu, dia melanjutkan, “Aku sudah mengalahkan dua orang tadi sendirian.”
A-apa?!
Exel beruntung kepalanya masih bisa menoleh. Dia melihat adiknya yang sudah telentang di kasur futon baru, tepat di samping kasur yang dia tempati.
Tentu saja. Sekarang Exel mengingatnya. Pria petir dan pria pengguna jarum merah. Untuk bisa menyelamatkan dirinya, Hvel pasti melakukan sesuatu pada mereka.
Kamu kuat ya, Hvel.
-=-=-
Suasana tidak pernah setenang ini. Kakaknya masih belum bisa bangun dari kasur. Karena itu, setelah beberapa saat yang bagai selamanya itu, akhirnya keheningan dipecahkan oleh laki-laki yang terus Hvel perhatikan sejak tadi.
"Hvel, tolong ambilkan kapur di meja itu.", pinta kakaknya yang masih terbaring lemah di atas kasur futon.
"Untuk... apa?", tanya Hvel dengan penasaran.
"Yah, untuk menggambar lingkaran sihir.", kakaknya membalas.
Jadi... kakak itu... Magus?
"Tidak ada gunanya kusembunyikan lagi. Seperti kamu, aku juga bisa sihir. Nah, karena jari-jariku masih kaku, gambarkan lingkaran sihir di tanganku, ya!"
"Aku mengerti sih... tapi, sihir apa yang kakak bisa?"
"Penyembuh. Nah, untuk contoh gambarnya, lihat buku di meja itu."
Hvel berdiri, membuat selimut di kasur futonnya acak-acakan. Di atas satu-satunya meja di ruangan ini, dia menemukan banyak kapur berbentuk balok kecil. Ada juga mangkuk yang berisi bubuk putih... dari kapur. Tapi, perhatiannya tertuju pada sebuah buku kuno. Jilidnya terbuat dari perkamen yang bisa dibilang mahal, dan dengan tulisan tangan yang terlihat begitu familiar, disana tertulis...
Sihir pengendalian waktu?
Sihir milik ayahnya.
"Kakak... ini...", ucapnya seraya memindahkan pandangannya dari buku tadi ke arah kakaknya.
"Ya. Aeon bilang, itu sihir seperti milik ayah dulu.", balas kakaknya.
Lalu... Hvel teringat suatu kejadian.
--"Ayah! Ayah! Lingkaran sihir apa yang ada di tangan ayah?!"
--"Hvel, gadis cantik sepertimu sebaiknya jangan menjadi penyihir."
--"Tapi, ayah!"
Wajah gadis itu kembali dihiasi oleh senyuman. Hvel mulai membuka buku itu dan membacanya.
"Kakak... nanti ajari aku ya?"
"Boleh saja. Jadi, kapan kamu mau -- hei, sakit!"
"Ah... maaf."
Hvel tiba-tiba menarik tangan kiri kakaknya. Menggunakan kapur yang sudah dibubukkan, dia mulai menggambar. Dengan tangan kecilnya, lingkaran pun tergambar di punggung tangan kakaknya.
"Simbol waktu. Tempus. Kamu tahu?", tanya Exel sambil mencoba memperhatikan adiknya yang, dengan seriusnya terus menoleh secara bergantian ke arah buku dan tangannya.
"Kakak tenang saja.", ucap adiknya tanpa kehilangan fokus.
Hvel menggambar sebuah simbol sesuai harapan kakaknya. Simbol waktu, atau disebut Tempus.
"Tanganmu dingin sekali."
"Tangan kakak hangat, loh...”
Menggambar simbol magis bukanlah hal baru bagi Hvel. Dia tentu pernah menggambarnya, hanya saja, karena sudah lama tidak melakukannya, dia pun harus menghapus beberapa kesalahan dan memperbaiki gambarnya.
“Selesai. Bagaimana?"
"Gambaranmu bagus. Sekarang... " Exel kemudian menggumamkan sesuatu. Lingkaran kapur itu sesaat bersinar karena telah dialiri Mana, membuatnya aktif.
Hvel sedikit kagum. Yah, dia bisa menggunakan sihir tanpa perlu menggambar lingkaran... jadi, bisa dibilang dia lebih ahli dari kakaknya.
"Selesai. Tangan kiriku sudah baikan.", ucap Exel sambil menggerak-gerakkan jari-jari di tangan kirinya dengan bebas.
Hvel tidak bisa menahan senyumnya. "Sekarang kemarikan tangan kanan kakak!"
Masih berbaring, Exel membalas, "Nanti lagi! Sihir waktu itu tidak bisa digunakan berulang kali secepat itu!"
"Oh... begitu..."
"Iya, begitu. Nah, sampai besok, Hvel."
"Iya... selamat malam, kakak."
-=-=-
Tidak jelas apa yang terjadi malam itu di kota. Setelah pertarungan antara dirinya dan gadis berambut putih tadi, Lucia merasa beruntung kalau dia masih bisa hidup.
“Padahal, aku ingin mati.”, ucapnya pada diri sendiri.
Setelah puas menatap bulan sabit melalui kaca jendela, dia pun menutup matanya dan tidur.
-=-=-
“Disini banyak jejak Mana. Tapi sepertinya, tidak ada yang mati. Kita pergi saja.”, ucap gadis berjubah merah pada orang di belakangnya.
“Baik.”, angguk gadis dengan baju zirah putih.
Mereka berada di antara puing-puing rumah yang hancur akibat ledakkan sihir.
-=-=-
"Tidak bisa tidur, kakak?", tanya sebuah suara yang berasal dari sisi lain ruangan.
Exel yang memang masih membuka kedua matanya membalas, "Yah. Kamu juga?"
"Um... Kenapa kakak kembali ke kota? Aku sudah mencegahnya, pagi ini... ah... um... soal itu... maaf."
"Tentu saja untuk mencarimu."
"E-eh?"
"Kamu sendiri, kenapa datang ke kota?"
"Karena... perintah... seseorang."
“Seseorang?! Siapa?”
Exel yang membelakangi suara itu akhirnya berbalik. Dia agak terkejut ketika melihat adiknya sudah sejak tadi menghadap ke arahnya.
“Kakek.”, ucap gadis itu pelan sekali seraya membuang pandangannya. Dia kemudian membuka mulutnya, hanya untuk menutupnya sedetik kemudian.
Dia menyembunyikan sesuatu.
“Kenapa dengan kakekmu?”, tanya Exel untuk mencoba memahami adiknya.
“Aku...”
Exel menunggu cukup lama untuk lanjutan kalimat itu, tetapi sama sekali tidak ada lanjutannya.
“Pemanggilan roh. Benar, kan?”, tanya Exel dengan begitu yakin.
Mata Hvel ditatap kakaknya dengan tajam, sehingga Hvel harus membuang pandangannya sekali lagi. Dia diam tanpa memberikan jawaban.
"Hvel,”, ucap kakaknya dengan lembut. “Siapa yang ingin kamu hidupkan kembali?”
Hvel masih tidak menjawab.
Exel tersenyum, meski tidak dilihat oleh adiknya. “Aku tidak akan melarangmu atau apa. Aku cuma penasaran, siapa orang yang berharga bagimu, sampai-sampai kamu rela melakukan ini.”
Mata Hvel akhirnya kembali menatap kakaknya. Wajahnya berubah menjadi bingung, tapi sebelum dia bisa menjawab, dia kembali ditanya.
“Ibu? Atau Ayah?”
Hvel ternganga. Matanya seolah membesar, dan akhirnya, suara pelan keluar dari mulutnya, “Bukan... bukan mereka...”
“Lalu, siapa?”
Pertanyaan itu membuat Hvel bingung. “Aku tidak kenal siapa roh yang akan kupanggil. Lagipula... aku tidak punya relik untuk memanggil kembali ayah... atau ibu.”
Sekarang, giliran Exel yang mengerutkan alisnya karena kebingungan. “Relik? Relik apa?”
“Tentu saja untuk memanggil... Ah... kakak... tidak tau?”
“Aku cuma tau kalau pemanggilan roh itu bisa menghidupkan orang mati. Selebihnya, a--”
“Kakak cuma tau luarnya saja.”
“--... baiklah, jelaskan bagian dalamnya.”, ucap Exel singkat agar ucapannya tidak disela lagi.
“Ini akan panjang, loh.”, ucap gadis itu seraya menatap kakaknya serius.
“Akan kudengar.”, balas Exel dengan cepat.
Setelah menghela napas, Hvel mulai menjelaskan, “Pemanggilan roh adalah ritual sihir tingkat tinggi yang mengorbankan sebuah kota untuk bisa--”
“Me-mengorbankan? Apa maks--”
Hvel memberi kakaknya tatapan tajam, menghentikan ucapan tadi. Dia lalu melanjutkan, “Untuk bisa berhasil. Banyak Magus akan datang ke kota yang dimaksud untuk merebut sihir pemanggilan itu. Makanya... para Magus akan membunuh satu sama lain di kota... seperti hari ini.”
Exel yang ingin berkomentar mengurungkan niatnya setelah melihat kalau adiknya masih belum selesai.
“Makanya, kakak seharusnya tidak masuk ke kota.”, ucap Hvel dengan nada menyimpulkan.
“Kalau begitu, ayo kita mengungsi.”, ajak Exel setelah menyadari kalau adiknya sudah selesai.
Hvel menguap, lalu menjawab seraya menarik kain selimut untuk menutup hidung dan mulutnya, “Kita tidak akan bisa keluar kota.”
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa?”
Pertanyaan itu tidak dijawab. Saat Exel menoleh, ternyata adiknya sudah tertidur.
Yah, selamat malam.
ns 172.70.100.68da2