Perjalanan
Dari jendela kereta, Maya memandangi pemandangan yang berlari cepat di luar. Sawah hijau membentang luas, dihiasi dengan pepohonan palem yang menari dalam hembusan angin. Setiap detik yang berlalu membawa kenangan indah dari perjalanan yang telah lama ia rencanakan. Perjalanan ini bukan hanya sekadar liburan, tetapi juga pencarian jati diri.
Maya memutuskan untuk pergi ke desa kelahiran neneknya, sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Neneknya sering bercerita tentang betapa indahnya kehidupan di sana—bagaimana langit di malam hari berbintang cerah, dan daun-daun jatuh mengubah warna seperti pelukisan alam.
Sesampainya di halte kereta, Maya disambut oleh udara segar dan aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Dia mengambil napas dalam-dalam, merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Dengan langkah mantap, Maya berjalan menuju desa yang terletak beberapa kilometer dari sana.
Di jalan setapak yang dikelilingi oleh hijau pepohonan, Maya bertemu dengan seorang ibu tua yang sedang duduk di teras rumahnya. Ibu itu tersenyum lebar, seolah merasakan kehadiran Maya yang membawa aura segar. Maya menghampiri dan memperkenalkan diri.
“Selamat datang, Nak. Apa yang mencarimu di sini?” tanya ibu itu, suaranya lembut dan penuh kehangatan.
“Aku mencari akar keluargaku,” jawab Maya, “ini adalah tempat nenekku lahir.”
Ibu tersebut menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha membaca cerita di balik mata Maya. “Ah, desa ini memiliki banyak cerita untuk diceritakan. Izinkan aku menunjukkanmu tempat-tempat indah.”
Maya mengangguk dengan semangat. Sejak saat itu, perjalanan Maya di desa tersebut tidak hanya sekadar eksplorasi fisik, tetapi juga perjalanan batin. Ibu tua itu, yang diperkenalkan sebagai Bu Surya, membawanya menyusuri jalur-jalur kecil, memperkenalkan Maya pada berbagai cerita dan tradisi lokal.
Mereka berjalan melewati ladang padi, di mana petani menyiram tanaman sambil menyanyikan lagu rakyat. Bu Surya mengisahkan bagaimana nenek moyang mereka bekerja keras dan menjaga kelestarian alam. Maya merasa terhubung lebih dalam dengan akarnya. Setiap cerita yang didengar membuat hatinya bergetar, menyadari betapa kayanya warisan budaya yang belum pernah ia cicipi.
Suatu malam, Bu Surya mengajak Maya melihat bintang-bintang. Mereka duduk di atas atap rumah, mendengarkan suara malam dan melihat langit berbintang. Bu Surya mulai bercerita tentang mitos-mitos lama yang menyelimuti bintang-bintang di angkasa. Maya terpesona, membiarkan imajinasinya melayang ke tempat-tempat yang jauh.
“Bintang-bintang adalah petunjuk, Nak. Mereka menunjukkan jalan hidup dan pilihan yang harus kita ambil," kata Bu Surya. "Terkadang, kita perlu melihat ke atas untuk menemukan arah yang benar.”
Maya terdiam, merenungkan kata-kata tersebut. Dia menyadari bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan tempat, tetapi juga tentang menemukan diri sendiri. Dia mulai memahami bahwa akar, tradisi, dan sejarah adalah jembatan yang menghubungkannya dengan masa lalu dan memberi makna pada masa depan.
Setelah beberapa hari di desa, Maya merasa lebih kuat dan berenergi. Bu Surya memberikan Maya sebuah kalung yang terbuat dari daun kering dan benang, lambang perjalanan dan harapan. “Setiap kali kau merasa kehilangan arah, ingatlah bahwa ada banyak bintang di langit menunggu untuk kau lihat,” kata Bu Surya sambil tersenyum.
Dengan penuh rasa syukur, Maya meninggalkan desa itu. Dia tidak hanya pulang dengan kenangan indah, tetapi juga dengan kekuatan untuk menjelajahi hidupnya sendiri. Dalam setiap perjalanan yang akan datang, ia pasti akan membawa pelajaran berharga dari Bu Surya dan desanya. Perjalanan Maya baru saja dimulai, dan dia tahu, di mana pun ia pergi, bintang-bintang akan selalu membimbingnya.