Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2V8PzaQYYZ
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEIv8OlubUX
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRiy5xo1BlM
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7KlV570Gow
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5JDGCSIbTS
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcRTQQwQp6v
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlpxDFgrVrO
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6sEvaULXud
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡa6jlsfm45v
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡutLThLujL1
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkvOeOdx9ax
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZASeCxuI5Z
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuCD0NDwzr5
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0md0bUKMcW
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwlbqp08LaM
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhOWO1J4AAN
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBIhHyMSEAj
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHHn0Ks1g7e
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡllniqyF32P
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4wGSV2KTTr
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡO3TJ2rAHDV
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiwPGYDSY8o
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡALeoF0H3YQ
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEZLouJuiI3
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡg4nCEyT3T6
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsHWdTQ7HBO
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡF2BrCA6CRY
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNo2xEMFJCT
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdwGThD6tkS
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1FMezcYa0o
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBg1lu634Q1
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfb1nHDTbR0
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡO5EKEhf0ks
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoHGUdyrt8L
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJOHLSlWeMA
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmnR4d49ib3
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZr71eaSpjX
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡm5Sp8LFNxo
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ68YUyGU4Tb
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnRDTVCl16P
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOG05F0qVuw
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNQdkFTBGMm
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNyU8qmIeOr
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN9mKtWgSGQ
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyoCKyiRSVe
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPCjTGvutMo
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡp5DWGtgZTb
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡg6tisIcD64
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDL2LRc5EDk
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9GtzKmoCX4
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYRueJEew55
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJxSIYAvfny
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5BNC7nv79A
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjfauW8Udgz
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡENMlE4p0Yx
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAifMUAEbZF
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgdOdWqWfGo
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwRiMTXg5vE
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNeXPkIkZ7i
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡl2RAxpntL6
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2vqToOyMzP
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3uvWFkRnGt
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqtz37XpIZI
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYqqBmQAVxd
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAbsNbOi0eU
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCq2H4l2fUZ
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡERULhWWO6R
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqxKO6ahYnc
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiG7zX5XHsd
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsdLGO8kGsc
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxh8gqGzJPn
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡD0YHlo3lgg
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSO6KcOu5Tn
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEWv9OJSSXc
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNzFVQavwvf
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ321nRToq2d
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmz9pOiIH6o
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4k1hGvBrYA
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGCZKYtaqOK
Itulah awal mula keakraban mereka.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHoLVyz51rs
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHt47oOuTHJ
***
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYYVDSP0wXc
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnUO1iT06pB
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWlYqNIeV28
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdZSklsXTNj
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7LspJAY2YT
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHdSlpBtrIN
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRdPehEW72v
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsjwLSSSoAT
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw8Wz3cFScA
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡapkOZNBPkc
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡK9Nye9PRby
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaNJjaHHEh5
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYgm5r2Fkqj
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYHmrmXPs62
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbViSQDqUnU
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnWGbAgTreU
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
158Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBGkxzqJCoC
