Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
202Please respect copyright.PENANA4T6ErwIejG
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
202Please respect copyright.PENANApDWvf03afe
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
202Please respect copyright.PENANA6PnqUIiId9
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
202Please respect copyright.PENANAoUIUIzfsys
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
202Please respect copyright.PENANAC6SJRfzG5y
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
202Please respect copyright.PENANAHkH1ev6e2m
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
202Please respect copyright.PENANAo3BsMtXa2e
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
202Please respect copyright.PENANAyRCv9vf2Gs
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
202Please respect copyright.PENANAM8y26qN6Ys
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
202Please respect copyright.PENANAqMIPPX86FX
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
202Please respect copyright.PENANAmr0cnwYrvB
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
202Please respect copyright.PENANAxGKq5vLPTb
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
202Please respect copyright.PENANAsPYxV5EYo3
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
202Please respect copyright.PENANAlwOsESAi2D
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
202Please respect copyright.PENANAvVaGHONcwA
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
202Please respect copyright.PENANA7Pd0aUXXhF
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
202Please respect copyright.PENANABuc0VtHJ6D
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
202Please respect copyright.PENANAxRPJ9qjmf5
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
202Please respect copyright.PENANAZGYE3bpaG8
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
202Please respect copyright.PENANAOknevG8MK2
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
202Please respect copyright.PENANAFKmQXKkKOs
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
202Please respect copyright.PENANArFtABKMrQu
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
202Please respect copyright.PENANAJL68Y1ocV6
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
202Please respect copyright.PENANAljyOx517mW
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
202Please respect copyright.PENANAZojgdicB9r
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
202Please respect copyright.PENANA0ifIxQ6noW
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
202Please respect copyright.PENANAsA0sQEpHqu
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
202Please respect copyright.PENANA6P0yfokNEj
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
202Please respect copyright.PENANAwMhHBrn2qV
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
202Please respect copyright.PENANAUiduXuQ1wR
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
202Please respect copyright.PENANAJh7aH23ZIs
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
202Please respect copyright.PENANADAmFg8ONR9
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
202Please respect copyright.PENANAopfWo52BeJ
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
202Please respect copyright.PENANAHGfTlR9E1H
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
202Please respect copyright.PENANAFr7s10eWjt
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
202Please respect copyright.PENANAdt5wPdS5Up
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
202Please respect copyright.PENANAesVMS2HuzV
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
202Please respect copyright.PENANAg0iQj7b5Zb
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
202Please respect copyright.PENANA2sBao7dO6A
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
202Please respect copyright.PENANAL4MdiSh89r
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
202Please respect copyright.PENANAmAsSbxJ3Sh
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
202Please respect copyright.PENANA0o9SjRPjJT
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
202Please respect copyright.PENANA54ngpwwLWi
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
202Please respect copyright.PENANAen2Ud3oFKy
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
202Please respect copyright.PENANAzOuhOX7ygS
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
202Please respect copyright.PENANAwq7KWEBvm4
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
202Please respect copyright.PENANAvr8RanSxVZ
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
202Please respect copyright.PENANAiLHRdCjjcd
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
202Please respect copyright.PENANACyN4XHH9lo
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
202Please respect copyright.PENANAv9U12MvUDh
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
202Please respect copyright.PENANA4vzZ8hFyz1
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
202Please respect copyright.PENANAoK04px2xBD
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
202Please respect copyright.PENANAbalERvayq7
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
202Please respect copyright.PENANAonEJsyYSNe
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
202Please respect copyright.PENANAEwVe2UuIXv
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
202Please respect copyright.PENANALQzBo3ntpu
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
202Please respect copyright.PENANAXgxWLSlIJI
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
202Please respect copyright.PENANAm53GnT2H00
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
202Please respect copyright.PENANAu2sDxvKA7P
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
202Please respect copyright.PENANAs7edsmSBhb
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
202Please respect copyright.PENANAohDhFcXaiu
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
202Please respect copyright.PENANAU1ayWEB7YA
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
202Please respect copyright.PENANAnABJFbYSXN
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
202Please respect copyright.PENANAw6kyI4kWmm
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
202Please respect copyright.PENANAK1ZaWOWnWQ
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
202Please respect copyright.PENANArXweot57Xj
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
202Please respect copyright.PENANAOHJrimNzg6
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
202Please respect copyright.PENANANi3qIA6R6k
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
202Please respect copyright.PENANAAPUqEijx10
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
202Please respect copyright.PENANAEbXN4w7W70
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
202Please respect copyright.PENANABZSkr2wW7W
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
202Please respect copyright.PENANAG1r96BeVKO
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
202Please respect copyright.PENANAdlg7Vs6Pzo
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
202Please respect copyright.PENANAjLa42b3MS1
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
202Please respect copyright.PENANAixdWyFbq6S
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
202Please respect copyright.PENANArt24EWYJrx
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
202Please respect copyright.PENANAHl2NSgjjRq
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
202Please respect copyright.PENANALwwygZ34tC
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
202Please respect copyright.PENANANEsQcfaKZu
Itulah awal mula keakraban mereka.
202Please respect copyright.PENANAhwtKa1j7fg
202Please respect copyright.PENANAbJuY5UZUnJ
***
202Please respect copyright.PENANAj5p3BNkXdO
202Please respect copyright.PENANAr2vOu9wI8g
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
202Please respect copyright.PENANAnAB7sBSpp5
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
202Please respect copyright.PENANAD1IMIXvcgs
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
202Please respect copyright.PENANAg6bSzTjTyB
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
202Please respect copyright.PENANAUVExfREZKa
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
202Please respect copyright.PENANAwoNfAhAiuM
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
202Please respect copyright.PENANAqwxglv0Cfz
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
202Please respect copyright.PENANAj7aYDhR1H1
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
202Please respect copyright.PENANAPZoYF6sPIt
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
202Please respect copyright.PENANACCDoswhdwc
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
202Please respect copyright.PENANApgTmWlxqfK
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
202Please respect copyright.PENANAafCQmxfLIA
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
202Please respect copyright.PENANAc0gRCAsN9V
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
202Please respect copyright.PENANAX6m79r3vIB
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
202Please respect copyright.PENANAAfGSIzwVOK
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
202Please respect copyright.PENANA85XAQGXXWA