866Please respect copyright.PENANAyW160LRlMC
Aku Sasmita Ayu, seorang anak tunggal dari keluarga yang berada.
Menginjak akhir masa remaja, tubuhku berkembang dengan baik. Sangat baik malah. Meskipun tergolong langsing kecil mungil, tetapi di area tertentu badanku cukup berisi. Sehari-hari aku sering memakai baju oversize dan jilbab.
Begini sudah membuatku cukup nyaman dari tatapan lapar lelaki hidung belang. Mau bagaimana lagi, pantat dan dadaku yang berukuran besar sulit ditutupi dengan pakaian biasa.
Tahun ini aku melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri di luar kota. Sebulan sebelumnya aku bernegosiasi alot dengan Mama Papaku, membuahkan keputusan dengan syarat aku harus mengambil program studi pilihan mereka. Serta ditemani Pak Sarip. Keputusan ini dibuat karena aku dianggap belum berani kemana-mana sendirian, padahal aku merasa baik-baik saja.
Pak Sarip pria 49 tahun, sopir yang mengantarkanku ke sana-sini sejak kecil, intensitas pertemuan kami yang sering membuatku lebih dekat dengannya daripada dengan orangtuaku sendiri. Wajahnya sedikit berewokan dan bermata tajam, berbanding terbalik dengan senyum hangat yang selalu diulasnya kepadaku.
Fisiknya tinggi besar, cukup berisi dengan lemak-lemak terutama di perutnya yang sedikit buncit. Kulitnya cokelat gelap khas bapak tua di kampung, tetapi yang paling aku suka adalah penampilannya tetap bersih.
Singkat kata, aku dan Pak Sarip mengambil kos yang bersebelahan yang merupakan kos campur. Bedanya hanya dari segi harga dan fasilitas. Jika kos ku cukup luas dengan kamar mandi dalam, sebuah dapur kecil, sebuah sofa panjang sepaket dengan mejanya, kos Pak Sarip memiliki fasilitas yang lebih sederhana.
Tapi aku lupa kalau tidak bisa tidur ketika malam hari hujan deras. Jadi, aku meminta ditemani Pak Sarip, itupun setelah aku berusaha keras mengabaikan rasa malu. Awalnya hanya sekali dua kali perlahan menjadi lebih sering. Kedekatan kami dimulai dari sana.
Sering bertukar canda tawa satu sama lain, tentang aku yang merasa kesepian di rumah, tentang Pak Sarip yang merasa memiliki teman cerita lagi selepas istrinya meninggal 15 tahun lalu.
Ikatan emosional kami semakin kuat, begitupun reaksi tubuh kami terhadap satu sama lain. Sentuhan fisik seperti rangkulan ringan, ciuman kepala atau sekadar senggolan bahu menjadi sangat normal di antara kami.
Semua dilakukan dengan dalih rasa sayangnya terhadap gadis yang diasuhnya sejak kecil, sementara aku sendiri memang menganggapnya sebagai sosok ayah yang peduli padaku.
Sampai akhirnya, di suatu malam Pak Sarip mengungkapkan kalau dirinya tengah menyukai seorang perempuan. Momen itu menjadi titik balik hidupku, ketika menyadari rasa sayangku padanya bukanlah sebagai majikan ke sopir, bukan pula dari gadis ke ayahnya. Melainkan sayang sebagai seorang perempuan ke lelakinya. Seketika itu juga aku patah hati untuk pertama kalinya.
Seminggu ini aku berusaha menghindarinya. Aku ingin mempertahankan sedikit saja sisa kewarasanku dari kemungkinan jatuh hati pada lelaki tua itu.
Di sisi lain, reaksi tubuhku pun menunjukkan sesuatu yang berbeda. Setiap berdekatan dengan Pak Sarip aku sering merasa panas. Seolah tubuhnya mengeluarkan aura yang begitu memikat. Kedutan serta rasa nyeri di kemaluanku memicu lelehan lendir yang cukup banyak.
Aku duduk di sebuah gazebo taman kota. Nanti malam usiaku bertambah. Seperti biasa, aku menghabiskan waktu seorang diri di hari ulang tahunku.
Aku tahu posisiku tidak lebih penting dari pekerjaan Mama Papa. Tidak ada yang peduli dengan hari spesial ku, tidak ada ucapan ulang tahun, tidak ada pelukan kasih sayang. Aku selalu merasa sendirian.
Merogoh ponsel di tas, aku mendapati nama Pak Sarip menempati bagian teratas yang menghubungiku. Ada tumpukan pesan menanyakan aku dimana dan puluhan missed calls.
Aku ingin mengamankan hatiku dari perasaan berharap lebih. Bagaimanapun juga Pak Sarip akan tetap baik padaku.
Tapi aku juga tidak ingin membuatnya khawatir seperti ini. Sebagai gantinya, aku mengabarkan posisiku sekarang agar pria itu bisa menjemputku.
Langit sudah gelap saat Pak Sarip berlari menyongsoku di bawah hujan. "Dek Ayu, astaga!" lirihnya seraya bergegas memelukku. Aku membeku saat merasakan kecupan lama di puncak kepalaku.
"Bapak khawatir banget. Adek keluar sendiri, nggak bilang mau kemana, nggak pulang-pulang padahal udah mau gelap." Lagi, kecupan itu menyusul.
Aku berusaha melepaskan diri, "tadi pingen jalan-jalan aja, suntuk di kosan. Udah mending kita segera ke mobil, Pak, dingin banget ini."
Lelaki tua itu menurutiku. Tangan kirinya merangkul pundakku sementara yang lain memegangi payung untuk kami berdua.
Sepanjang jalan menuju parkiran mobil, aku merasakan kecupannya beberapa kali di pelipisku. Aku sendiri tidak berusaha menjauh, karena mungkin aku juga menginginkannya.
Lelaki ini, memberiku afeksi lebih hangat daripada orangtuaku sendiri.
Tiba di kamar kos, aku tidak bisa berkata-kata melihat nuansa kamar yang remang. Lampu hias kekuningan dipasang di sana-sini. Barang-barang yang berserakan tadi pagi sudah dirapikan. Dan di atas meja kecil itu ada sebuah kue blackforest kecil dan vas berisi setangkai mawar merah, hanya saja lilin angka 19 itu tidak menyala.
Aku menoleh penuh tanya ke Pak Sarip, yang kudapati sedang menggaruk-garuk belakang kepalanya. Bibirnya melengkungkan senyum malu.
Dia yang menyiapkan semua ini? Tentu saja, tidak ada orang lain yang memiliki akses ke kamar kos ku selain dia.
Tiba-tiba, cuplikan memori saat bersama Pak Sarip datang silih berganti, tidak pernah ada orang yang memperhatikanku sedemikian tulusnya selain dia. Aku tidak sendirian, lelaki tua di depanku telah menemani momen-momenku selama ini.
Bergegas ke arahnya, aku rasakan tubuh tingginya menegang saat kupeluk. Aku mendongak memberikan senyum paling indah yang kupunya, "makasih banyak, Bapak."
Aku mengecup pipinya cepat. Lantas terdiam, dia pun terdiam.
Duh, apa yang baru saja aku lakukan?
Untungnya Pak Sarip peka untuk segera mengalihkan topik ke kue kecil di atas meja.
Aku melepas kerudung, kemudian memilih untuk segera memotongnya untuk dinikmati berdua.
"Soal kado Bapak nggak nyiapin apa-apa. Bingung, orang Dek Ayu udah punya semua. Jadi, Bapak mau mengabulkan dua permintaan Dek Ayu malam ini sebagai ganti kado ulang tahun."
Pria ini, pria selembut ini. Bagaimana aku tidak semakin berharap?
Detik ini, aku sudah memutuskan. Entah bagaimana akhirnya nanti, aku hanya ingin mengusahakan agar momen-momen kami tak ada habisnya.
"Beneran dua, ya? Bapak harus janji pokoknya. Aku punya satu permintaan, sisanya disimpan buat nanti."
"Janji," ucapnya meyakinkan.
Aku menarik tangannya menuju tempat tidur, mengabaikan tatapan bingungnya.
"Aku pingen Bapak cium aku malam ini. Bukan sebagai sopir ke majikan, bukan juga sebagai ayah ke anak." Mendongak, kutatap lekat mata hitamnya.
"Tapi, cium aku sebagai seorang lelaki yang mencintai wanitanya," bisikku pelan.
Mata Pak Sarip berkedip cepat, bibirnya membuka menutup tapi tidak ada suara yang keluar.
"Dek, kayaknya kamu kecapekan. Bapak tinggal, ya, hujannya udah agak reda juga." Dia hendak bangkit tapi aku berhasil mencegahnya.
"Bapak udah janji tadi," aku mencoba mengeluarkan suara manja, seraya menggoyangkan genggaman tangan kami.
Pak Sarip kembali mendaratkan pantatnya ke atas kasur, "iya, tapi bukan yang kayak gini. Nggak disaat Bapak sendiri nggak yakin sama pertahanan diri Bapak-"
"Aku nggak minta Bapak menahan diri, loh."
"Dek-"
Sanggahannya terhenti mendapatiku nekat duduk di atas pangkuannya. Kedua lenganku melingkari lehernya.
Kami mengunci pandangan, lantas tanpa kata bibirku dibungkam oleh kecupannya yang lembut. Hanya menempel lama, tanpa lumatan.
Aroma kelelakiannya memenuhi indra penciumanku. Bukan sejenis wangi yang mahal, tapi ketika menghirupnya aku merasa ini wangi yang akan menjadi canduku.
Pak Sarip melepaskan bibirku, menggantikannya dengan kedua kening kami yang menyatu. "Tanpa kamu minta, Bapak udah lama menganggap kamu sebagai wanita."
Aku tersenyum, lalu bibirku benar-benar diciumnya. Bibirnya melumat bibir atasku sementara aku membalas melumat bibir bawahnya. Aku melenguh pelan. Kedua lengannya memeluk pinggangku erat seakan memastikan kalau ini nyata.
"Emmhhh... shh... emmhhh...."
Tubuhku direbahkannya ke kasur, dia menindihku. Ciuman ini membuatku lumer sampai merasa tidak berdaya.
Aku semakin melenguh.
Semakin lama, ciuman Pak Sarip semakin menuntut dan keras.
"Pakk... emmmhhh... ben... tarrh...." tanganku menepuk-nepuk pundaknya meminta kesempatan bernapas.
Dia melepaskan bibirku. Kemudian menyurukkan kepalanya ke leherku, disusul kecupan hangat sampai aku merinding.
"Itu tadi luar biasa, Dek..." napasnya terengah-engah.
"Itu tadi ciuman pertamaku," liriku pelan.
"Bapak tahu." Lelaki ini memberi kecupan di telingaku. "Makasih, ya."
Aku balas mengecup lehernya sebagai jawaban. Pak Sarip melenguh.
"Dekk..." Dia menghirup leherku keras-keras. "Izinin Bapak nyium kamu lagi, ya."
Ciumanku di bibirnya sebagai jawaban.
Awalnya hanya kecupan-kecupan ringan, tetapi berubah menjadi lumatan yang menuntut. Lidah kami bergulat, saling mengecap rasa mulut satu sama lain.
"Emmhhh... mmhhh... ahhh..." Perpaduan saliva kami sampai menetes mengaliri daguku.
"Mmmhh... emmhhh... sshhh...."
Lenguhan kami bersahutan. Aku sadar tubuh kami sudah tidak berjarak. Beberapa kali Pak Sarip menggesekkan tubuhnya di atasku. Hasratku semakin terbakar.
Ini bahaya, bibir kami yang menyatu tapi serasa jiwaku yang porak-poranda. Aku semakin ingin dimilikinya.
Napasku memburu begitu tautan bibir kami terlepas. Pak Sarip rebah ke samping tubuhku.
"Bapak, lihat sini coba." Aku mengelus lehernya, mencoba menghubungkan hati kami lewat tatapan mata. Aku tersenyum lembut, "permintaan kedua, Ayu pingen dimiliki Bapak malam ini. Semua yang ada di Ayu, Ayu serahin ke Bapak."
"Adek..." bisiknya tercekat. Remasan tangannya di pinggangku menguat.
"Ambil keperawanan Ayu, masuki Ayu, buat Ayu dan Bapak puas. Ini permintaan yang harus Bapak tepati."
Lelaki di hadapanku tiba-tiba membalikkan badan. Erangannya terdengar begitu frustasi.
Beringsut mendekat, aku memeluknya dari belakang. Kepalaku yang tanpa hijab mendusel ke lehernya yang berkeringat, nyaman sekali.
"Aku yang minta, aku yang minta untuk dimiliki Bapak."
"Nggak, Dek, Bapak nggak mau merusak kamu." Pak Sarip membalikkan tubuh ke arahku, tangan kanannya mengelus pipiku lembut. "Sekalipun Bapak pingen sekali memiliki kamu, Bapak takut nantinya bakal kecanduan dan nggak bisa lepas dari kamu."
Aku merasa bahagia mengetahui dia juga menginginkanku sedemikian hebat. "Jadi, Bapak juga pingen, kan?"
"Bapak sayang sekali sama Dek Ayu, pingen memiliki Dek Ayu, pingen bareng-bareng terus sama Dek Ayu."
"Aku juga pingen sama Bapak. Kita udah dewasa, Ayu juga ngerti resikonya."
"Tapi, Dek, sekali mulai Bapak nggak bisa berhenti di tengah jalan nantinya."
"Udah dibilang, Ayu nggak minta Bapak berhenti."
Dia tampak terdiam lama sekali, sampai dahinya berkerut. Jempolku bergerak mengusapnya.
"Oke, Bapak akan mulai pelan-pelan. Tapi Dek Ayu harus ingat ini semata-mata bukan untuk memenuhi permintaan tadi, tapi karena kita sama-sama menginginkan."
Aku tersenyum manis sampai mataku menyipit.
Entah siapa yang memulai, bibir kami menyatu kembali seakan enggan lepas. Tubuhku direbahkannya ke kasur. Pak Sarip bergerak menindihku tapi tidak sepenuhnya karena salah satu tangannya menopang berat tubuhnya.
Suara decapan lidah terdengar liar di ruangan ini ditingkahi suara erangan kami. Aku ingat Ibu Kos pernah menyampaikan kalau kamar ini kedap suara. Semoga saja desahan kami tidak sampai terdengar keluar.
"Aahhh...." desahanku lepas saat merasakan tangan Pak Sarip menangkup payudaraku. Lama-lama belaian tangannya berubah menjadi remasan.
"Ahh... Bapakkhh... gelii...."
"Bajunya dilepas ya, Dek," pinta Pak Sarip.
Aku menurutinya. Pria tua ini terdiam mengamatiku ketika tubuhku hanya dalam balutan celana dalam dan bra hitam.
Pak Sarip bergantian menatap wajah lalu ke payudaraku, lalu ke bagian kewanitaanku. Sorotnya penuh damba, membuatku merasa dipuja sedemikian hebatnya.
"Maluu, ihhh... Lihatinnya jangan begitu..." Aku berusaha menutupinya, tapi tangan Pak Sarip dengan sigap mencegah.
Pria di atasku ini tersenyum menenangkan. Bibirku kembali dilumat, kali ini lebih lembut. Perlahan aku rasakan tangannya menyusup masuk ke celana dalamku.
Tubuhku menggelinjang saat tangannya membelai bibir vaginaku. Kedutannya semakin keras.
"Basahh...." komentarnya menggoda. Gesekan tangan Pak Sarip semakin liar, seolah sedang menjelajahi bibir bawahku. Setiap lipatannya digesek oleh jemarinya yang kasar, tidak peduli rambut kemaluanku yang cukup rimbun. Cairan kewanitaanku pun semakin membanjir.
Tubuh Pak Sarip kini berbaring miring. Tanganku dituntun menyentuh kejantanannya yang mengeras.
"Diusap ya, Dek, kenalan dulu biar nggak kaget."
Tanganku meraba-raba gundukannya. Astaga, pentungan sebesar ini mana bisa masuk ke dalamku.
Ciuman kami terlepas sesaat hanya untuk memberi kesempatan mengambil napas di sela memadu kasih. Sementara kedua tangan kami tengah mengeksplorasi kemaluan satu sama lain.
"Arghh... terusin, Dekhh...." erangan Pak Sarip terdengar begitu jantan dan seksi. Efek dari tanganku yang semakin berani mempermainkan alat kelaminnya.
"Bapak boleh buka?" Aku mengangguk malu, pasti yang dimaksud adalah sisa pakaian yang menempel di tubuh kami.
Dia melepas pakaiannya lebih dulu baru kemudian dalamanku. Kini, kami sama-sama bugil di bawah remang-remang lampu.
Aku terpesona melihat tubuhnya, tegap dan gelap seakan menunjukkan dominasinya atas tubuhku. Bagian dada hingga perutnya ditumbuhi bulu halus, turun ke bawah lagi memperlihatkan rambut yang cukup tebal. Penisnya mengacung keras sedikit bengkok, berwarna hitam dan dipenuhi urat-urat yang menonjol.
"Cantik sekali," lirihnya menatap lama kedua payudaraku, vagina yang basah dan wajah sayu ku.
"Ayu milik Bapak sekarang," ujarku menegaskan kepasrahan.
Tubuhnya membungkuk guna mempertemukan bibir kami kembali. Lalu ciumannya perlahan bergerak ke bawah meninggalkan jejak kecupan di kulit leherku yang panas. Pak Sarip berhenti lama di depan payudaraku.
Tiba-tiba mulutnya meraup puting kananku, sementara yang lain diremas oleh tangannya. Aku mengeluarkan erangan tak terkendali.
"Ahhhh... Pakhhh.... uhhh...."
"Iya, Sayang?" balasnya lembut. Bibir dan tangannya tetap konsisten mengerjai payudaraku.
Puas dengan gunung kembar, kecupan Pak Sarip turun ke bawah sepanjang perut hingga inti tubuhku yang berkedut basah sejak ciuman pertama kami.
"Dibuka, ya, Dek?" Dia meminta izin melebarkan kedua pahaku meskipun sudah melihatku yang tengah menahan malu. Rasanya seperti dikuliti oleh tatapannya yang panas. Begitu terbuka, begitu merasa diinginkan.
"Akhhh... Bapakhh...." Tanpa aba-aba lidahnya membelai di bawah sana. Jemariku meremas rambut kepalanya sebagai respon.
Kepalaku sudah pusing oleh kenikmatan. Tak perlu waktu lama cairan cintaku menyembur keras, yang kemudian dihisap sukarela oleh Pak Sarip di bawah sana.
Aku terengah-engah menatap bibirnya yang terlihat basah oleh cairan nafsuku.
"Bapakhh...." Kutarik tengkuknya dan kucium bibirnya, balasannya datang tak kalah liar.
Dia menyatukan kening kami.
"Dek, Bapak masuk, ya?" pintanya pelan. Kedua kelamin sudah bergesekan di bawah sana, memicu lenguhan kami bersahutan. "Bapak janji bakal pelan-pelan."
Sudah tidak ada jalan kembali, kami sama-sama dibakar oleh hasrat asmara. Persenggamaan ini sudah tak terhindari.
Kuelus tengkuknya pelan, kedua lenganku mengalungi lehernya. "Masuki Ayu, Ayu percaya sama Bapak."
Perpaduan lendir dari orgasmeku dan cairan precumnya membuat gesekan kelamin kami semakin basah. Kepala penis Pak Sarip perlahan mulai menembus masuk.
"Akhh...." Aku memekik kecil seraya memejamkan mata menahan perih.
"Apa Bapak berhenti aja, Dek? Bapak nggak tega lihat kamu kesakitan begini." Suaranya diliputi rasa khawatir.
Aku semakin mengeratkan pelukan. Mencegahnya menjauhkan diri. "Jangan, Ayu rela memberikannya untuk Bapak, khusus buat Bapak aja."
Melihatku gigih bertahan, Pak Sarip pun melanjutkan proses penetrasi kemaluannya ke dalam kemaluanku.
"Dek, lihat Bapak. Nggak papa, sakitnya cuma sebentar." Pandanganku dan Pak Sarip bertemu, pria ini ingin momen penyatuan tubuh kami pertama kalinya agar penuh keintiman dan perasaan.
"Bapak sakiittt..." Air mataku lolos begitu merasakan vaginaku seperti dirobek oleh penis besarnya.
"Ssttt... Maaf ya, Sayang, sakitnya cuma sebentar." Keningku dikecup lama, kemudian kedua mata, hidung, pipi, lalu bibir diikuti lumatan lembut.
Pak Sarip mengalihkan perhatianku dengan remasan di kedua buah dada.
Dia tetap diam selama beberapa saat, demi memastikan aku tidak kesakitan. Lantas dia perlahan menarik penisnya hingga hanya menyisakan kepalanya saja, kemudian didorongnya kembali hingga ke pangkal.
"Semm... pithhh...." erang Pak Sarip di telingaku.
Gerakan itu diulanginya entah berapa kali, yang jelas tempo yang aku rasakan semakin cepat. Rasa sakit dan perih tadi digantikan oleh kenikmatan asing yang sulit ditolak.
"Ahhh... uhhh... Bapakhhh... emmhhh...."
"Arhhhh.... arhhhh... Dekhhh... arghhh...."
Pertemuan kelaminku dan Pak Sarip memberikan sensasi yang menakjubkan, intim, dan penuh gairah. Suara yang ditimbulkannya juga semakin nyaring.
Plokk... plokk... plokk... plokkk....
"Uhhh... ahhhh... ahhhh... ahhh...."
"Arghh... yahhh... arhhh... arhhh...."
Kedua kakiku melingkari paha Pak Sarip. Aku rasakan vaginaku juga semakin membanjir, bahkan cairan nafsu terasa mengalir hingga ke celah pantatku. Akibatnya, gesekan penisnya dan dinding vaginaku menjadi semakin lancar.
Selagi pinggulnya bergerak mencari kepuasan duniawi untuk kami berdua, tangan Pak Sarip meremas-remas payudaraku. Terkadang menjepitnya sampai memutar-mutar gemas.
"Arghhh... uhhh... arhhh... Dekkhhh...."
Plokk... plokk... plokk... plokk....
"Ahhh... shhhh... uhhh... ahhh...."
Genjotan Pak Sarip semakin dipercepat, apalagi setelah dia mendengarku memekik keras sewaktu penisnya menyentuh titik paling sensitif di vaginaku. Sepertinya pria ini berhasil menemukan g-spot yang dicarinya.
Ciuman Pak Sarip begitu penuh gairah sekaligus kelembutan yang tak bisa disembunyikan. Saat bibir kami terlepas, benang saliva beruntaian memanjang, tatapannya intens menembus jiwaku.
"Ba... pakhh... mauhh... pipiss..." Aku mengeluarkan desahan penuh kenikmatan, entah ekspresi macam apa yang tertampil di wajahku sekarang.
"Iyahh... Pipiss aja, Dekhh.... Pipisin kontol Bapakhh...."
Hujaman penisnya semakin kencang, aku tak sanggup lagi menahan kewanitaanku yang berkedut liar. Kedua tanganku sedari tadi berkeliaran meremas apa saja yang bisa kuraih dari tubuhnya. Lengan, punggung, pantat, tak lepas dari jamahanku.
"Aarhhhh... Pipisshh Bapakhhh...." Aku hampir menjerit begitu mendapatkan orgasme yang luar biasa. Untung saja bibir Pak Sarip segera membungkamku.
"Emhhh... Sebentar ya, sebentar lagi, Dek, Bapak nyusul..." Genjotan penisnya semakin menggila. Menciptakan bunyi kecipak basah yang menggairahkan. Aku sudah antara sadar dan tidak sadar. Kenikmatan ini seakan menerbangkanku ke nirwana.
Entah berapa kali dorongan dan tarikan lagi, kejantanan Pak Sarip terasa membesar dan berkedut-kedut. Peluh yang membasahi wajahnya berjatuhan ke arahku.
Plokk... plokk... plokk... plokk....
"Dekkhh... Bapak keluar, Sayangghhh...." Pak Sarip menekan keras penisnya ke dalam hingga menyentuh pintu rahim, seolah tidak mau lepas dari tubuhku.
Dia mengerang keras, disusul tubuhku yang bergetar hebat mengeluarkan orgasme ketiga. Cairan kami menyatu di rahimku, bibirku refleks melengkungkan senyum, hangat rasanya.
Pak Sarip menciumku lembut. Sepanjang persenggamaan kami, aku merasa sangat dipuja olehnya. Begitupun aku yang begitu mendamba dirinya.
"Itu tadi hadiah ulang tahun yang paling indah," ujarku pelan.
Kami berbaring berhadapan dengan tubuh saling menempel, tautan kelamin kami juga belum terlepas. Entahlah, rasanya sangat nyaman.
"Itu tadi juga hadiah paling indah buat Bapak, makasih banyak, Dek," ungkapannya diikuti dengan kecupan lama di keningku.
866Please respect copyright.PENANAkeBVpGxRLo
to be continue.
ns3.12.165.112da2