Prolog
Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.
184Please respect copyright.PENANAR12KPfmaq2
Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.
184Please respect copyright.PENANARfGf2OAgjv
Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
184Please respect copyright.PENANATtmzpwcOvi
Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.
184Please respect copyright.PENANAQIVms9heTj
Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.
184Please respect copyright.PENANAztFu7AD2tG
Dan di sinilah semua dimulai kembali.
184Please respect copyright.PENANAZ61ahzk0Jg
184Please respect copyright.PENANAihrpsjXZCF
184Please respect copyright.PENANAqU4VFgZLnv
Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan
184Please respect copyright.PENANAR1X2fCzvcL
Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.
184Please respect copyright.PENANAlWPeIBh8zq
Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”
184Please respect copyright.PENANAH80D3TYP34
Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.
184Please respect copyright.PENANA3q7thzIM0L
Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.
184Please respect copyright.PENANA5ZzL7sqFsI
"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.
184Please respect copyright.PENANAcpncG6ozWN
"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.
184Please respect copyright.PENANATHyBWXjVTq
Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."
184Please respect copyright.PENANAHucgQCbIMp
Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.
184Please respect copyright.PENANAfrlrotPDpn
"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.
184Please respect copyright.PENANAXVPCwWMc4V
"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."
184Please respect copyright.PENANAq6YGCS88kQ
Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
184Please respect copyright.PENANAOLTTqsSbLP
Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.
184Please respect copyright.PENANAX1rZg0Vzps
Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.
184Please respect copyright.PENANAf5ByPkExBg
Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
184Please respect copyright.PENANAn1CeE7EC1F
"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"
184Please respect copyright.PENANAf7rdZWPBuI
Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"
184Please respect copyright.PENANA4w8Y0eIFPR
"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."
184Please respect copyright.PENANA8Y5nxAjaJN
Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."
184Please respect copyright.PENANAjiQdqassz5
Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.
184Please respect copyright.PENANALeO3Gb2F5f
"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.
184Please respect copyright.PENANAaGmxH17b9Y
Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."
184Please respect copyright.PENANAnh1d03vFWz
Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.
184Please respect copyright.PENANAloY99z4Hd7
Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.
184Please respect copyright.PENANAGz8vrp5Qun
Desi sudah bersama orang lain.
184Please respect copyright.PENANADMukAq6MRQ
Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.
184Please respect copyright.PENANATLV5eKdGoL
Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."
Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga
184Please respect copyright.PENANATI8MhSAu3G
Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.
184Please respect copyright.PENANA0szSPYP6cx
"Vis, boleh ngobrol?"
184Please respect copyright.PENANAPZKuWKrEm6
Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.
184Please respect copyright.PENANAOPKwJDYmwG
"Tentu, Des. Ada apa?"
184Please respect copyright.PENANAgvpkXuGgUC
Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.
184Please respect copyright.PENANAEcHdvR3SbE
"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."
184Please respect copyright.PENANAdPYrPjYD86
Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.
184Please respect copyright.PENANA5toL1lX95z
Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.
184Please respect copyright.PENANAj85B4U7L2w
"Vis," katanya pelan.
184Please respect copyright.PENANAjgDIArBC7W
"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.
184Please respect copyright.PENANA4k85NmndqM
Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.
184Please respect copyright.PENANAXXPo9ZsEc4
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."
184Please respect copyright.PENANAv4vAZWTfiW
Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.
184Please respect copyright.PENANAKRV1t4t6z3
"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."
184Please respect copyright.PENANAaGkcfdTij3
Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.
184Please respect copyright.PENANAIzth8X25tI
Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."
184Please respect copyright.PENANARjXS8Tci39
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.
184Please respect copyright.PENANA4H1jJFb2ZO
"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."
184Please respect copyright.PENANAiIRXRdAE1h
Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"
184Please respect copyright.PENANApJwfIoxVH4
Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."
184Please respect copyright.PENANAUdmANbENVq
Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.
184Please respect copyright.PENANAdImYIODX39
"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."
184Please respect copyright.PENANASAdcWP9Kdt
Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.
184Please respect copyright.PENANAkGK2KDdNUX
Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."
184Please respect copyright.PENANAwoc8ByQzgi
Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.
184Please respect copyright.PENANAgiRT6rrWOo
Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.
184Please respect copyright.PENANA9O2nINzKmT
Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.
184Please respect copyright.PENANADdHrmOoBQI
"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.
184Please respect copyright.PENANA5T1mD4lTr7
Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta
184Please respect copyright.PENANA69vgIoHcIa
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.
184Please respect copyright.PENANANuuKHOQW5V
Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.
184Please respect copyright.PENANAq3lAzJmYFw
Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.
184Please respect copyright.PENANATEkWezh80n
"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."
184Please respect copyright.PENANASG9GGjAieM
Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.
184Please respect copyright.PENANA3LdaUNEj60
"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."
184Please respect copyright.PENANASkM0Js8xru
Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."
184Please respect copyright.PENANAlC0LRBSrw4
Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."
184Please respect copyright.PENANAd54ogpDyJA
Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.
184Please respect copyright.PENANAKxFf0ukFQR
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.
184Please respect copyright.PENANABHhkqS7u5Q
"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."
184Please respect copyright.PENANAcyKGrTY0He
Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.
184Please respect copyright.PENANARFbFqdnFo3
"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.
184Please respect copyright.PENANAYSesSZhB0b
Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
184Please respect copyright.PENANAJ8Uwm8khTY
"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.
184Please respect copyright.PENANAMv09rUQjSj
Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"
184Please respect copyright.PENANAB8izuZQqKv
Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."
184Please respect copyright.PENANA1vXitYr8pf
Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."
184Please respect copyright.PENANA2S6lSEjn5D
Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.
Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah
184Please respect copyright.PENANApKHKX1luZw
Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.
184Please respect copyright.PENANAlgfYQPrhUX
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.
184Please respect copyright.PENANAp48WRPAyNx
Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?
184Please respect copyright.PENANARxC16nkqgk
Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.
184Please respect copyright.PENANARC9zQx1dmz
Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.
184Please respect copyright.PENANAlntJGOvGCV
"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.
Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."
184Please respect copyright.PENANAZXt7Sd9p8n
Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.
184Please respect copyright.PENANAcN4wHsgegK
Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:
184Please respect copyright.PENANAKzI9Q6G6mR
"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."
184Please respect copyright.PENANAM4SlIhVt5Y
Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.
184Please respect copyright.PENANA0DxAFT3mtD
Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
184Please respect copyright.PENANAXacYJrQsIS
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.
184Please respect copyright.PENANA4LkME5rQh4
Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru
184Please respect copyright.PENANAa41i7bbnsO
Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.
184Please respect copyright.PENANA2Psowcj0S5
Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.
184Please respect copyright.PENANAWuoaIn8g6d
Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
184Please respect copyright.PENANAIoDWyGOLGa
"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.
184Please respect copyright.PENANAfqq4pc4APP
Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"
184Please respect copyright.PENANAEa1rW8ZSri
Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."
184Please respect copyright.PENANAqF7T0VfeWt
Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"
184Please respect copyright.PENANAeUM3I7ZwTF
Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.
184Please respect copyright.PENANA3IYFalSq09
Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.
184Please respect copyright.PENANAvU8JmxY8fY
"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.
184Please respect copyright.PENANAIqskmwfDte
"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.
184Please respect copyright.PENANAQNZJbzDIwM
Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.
184Please respect copyright.PENANAizUwc013QC
Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.
184Please respect copyright.PENANA4fiGK6lcjq
184Please respect copyright.PENANAiRF8Zu4URu
---
184Please respect copyright.PENANAFKKKTNxNFd
Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang
184Please respect copyright.PENANAtGMGdPsikp
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.
184Please respect copyright.PENANAhPZdAAOyU4
Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.
184Please respect copyright.PENANA482C1fQPTu
Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.
184Please respect copyright.PENANASXv34KFtMj
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.
184Please respect copyright.PENANAeluEan7QtT