1748Please respect copyright.PENANAveDXn3Qy7j
1748Please respect copyright.PENANApHx01n7c2r
Cuaca cerah, langit jingga senja. Suasana jalanan Malioboro ramai dengan pedagang kaki lima, turis, dan deretan becak. Aan dan Kha, berpakaian kasual, berjalan pelan menyusuri Malioboro sambil tertawa. Dan Aan selalu memegang tangan Kha erat.
Aan berhenti, mengusap keringat di dahi
"Beb, kakiku kayak mau copot. Udah 3 jam kita muter Malioboro...
Kha tertawa kecil, memandangnya
"Tadi siapa yang semangat bilang jalan sampai malam, ya!'?"
Ia menghela napas, tersenyum malu.
"Aku salah, deh. Tapi beneran, Beb... Aku enggak kuat lagi. Cari hotel buat istirahat, yuk?"
Kha mengangguk, menatapnya dengan lembut.
"Iya, aku juga pengen mandi air hangat. Mana tadi hujan-hujan dikit, badan jadi dingin..."
Ia mengangkat tas ranselnya, menunjuk ke arah hotel di tengah-tengah Malioboro. “Hotel Malioboro.”
"Ke sana aja, beb! Dekat, terus kayaknya ada promo akhir pekan."
Mereka berjalan ke arah hotel, tangan tetap tergenggam. Dengan di iringi suara keramaian Malioboro.
Interior hotel minimalis dengan nuansa kayu. Seorang resepsionis wanita tersenyum ramah. Lalu mereka berjalan mendekati meja resepsionis.
"Selamat sore, Pak, Bu. Mau menginap?"
Aan mengangguk, melihat daftar kamar di layar monitor.
"Iya, Mbak. Ada kamar yang view-nya ke Malioboro?"
Resepsionis mengetik cepat. “Ada, Pak. Kamar deluxe lantai 4. Ada balkon, bisa lihat keramaian jalan."
"Wah, pasti cantik pas malem!" Jawab kha dengan cepat.
"Kita ambil itu, Mbak. Satu malam saja." Aan memilih sambil menyerahkan identitasnya.
Resepsionis mengulurkan kunci kamar. Aan dan Kha saling pandang malu-malu, lalu menerimanya.
Lalu mereka di antar oleh petugas ke kamar. Setelah membuka pintu, kamar berdesain cozy dengan lampu temaram menyambutnya. Kha membuka tirai balkon, memamerkan pemandangan Malioboro yang diterangi lampu kuning dan merah. Sementara Aan melepas sepatu dengan lelah.
Kha berbalik badan dengan wajah bahagia. Sayang liat deh! Dari sini keliatan semua... pedagang lampu tempel, becak-becak... keren banget!"
Lalu ia mendekat, memeluk Kha dari belakang
"Cantiknya Malioboro masih kalah sama kamu."
"Jail!" Kha memukul pelan bahunya dengan malu-malu.
“Mandi dulu yuk.” Ajaknya.
“Hah? Berdua?
Aan tertawa melihat reaksi Kha. “Kalau kamu mau, ayo!”
“Nggak lah, kamu duluan aja. Aku mau bersihin muka dulu.”
“Oke... aku mandi duluan ya.” Ia mencium Kha sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.
Setelah Aan keluar dari kamar mandi, Kha segera masuk dan membuka shower, suara gemericik air memenuhi ruangan. Kha membasahi tubuhnya, menikmati tiap tetesan yang mengalir hangat, lalu menggosok badannya dengan sabun wangi lavender.
Setelah beberapa saat Kha keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk kimono, Aan mendekati lalu mencium Kha dengan lembut. “Cepat pakai baju, beb. Sebentar lagi makanan datang.”
Tak lama setelah Kha pakai baju, dan mengeringkan rambut, ada suara ketokan pintu.
Tok..tok..tok.. Makanan!” Suara petugas hotel terdengar dari luar.
Aan segera membuka. “Terimakasih mas.”
Mereka berdua lanjut makan dengan berbincang ringan.
Suara gemericik hujan mulai terdengar. Aan menatap langit, lalu menatap Kha. Mereka terdiam sesaat, hanya suara rintik hujan dan gemerlap Malioboro.
“Makasih ya, beb. Udah mau jalan-jalan bareng aku. Kita habiskan malam ini berdua sebelum besok kita kembali ke Jakarta.”
Kha hanya mengganguk lalu menyandarkan kepala di pundaknya.
Aan mencium kening Kha, lalu turun ke bibir, Aan melumat habis bibir kekasihnya itu. Beberapa menit berlalu mereka melepaskan ciuman lalu berpindah ke atas ranjang kemudian tertidur.
Tengah malam tiba dengan pelan. Hujan masih setia menemani Malioboro, mengalunkan irama rintik yang memecah sunyi. Di balik tirai kamar hotel lantai empat, Kha terbangun oleh desiran angin yang menyelinap lewat celah balkon. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan remang cahaya lampu jalan yang tersaring lewat kaca. Tubuhnya terasa hangat, terlindungi oleh selimut tebal, ada yang berbeda dengan tidurnya malam itu.
Lelaki itu tidur dalam posisi miring, wajahnya menghadapnya. Nafasnya teratur, tenang, seolah dunia tak punya hak untuk mengganggu. Kha menahan desahan. Hujan seperti mencuri semua suara, meninggalkan ruang bagi detak jantungnya yang tiba-tiba berdesir kencang. “ini tidak adil” Bagaimana mungkin Aan bisa terlihat begitu damai, sementara dirinya merasa seluruh darahnya mengalir dalam irama yang kacau?
Dia mengamati detail wajah Aan, alis yang sedikit berkerut meski dalam tidur, hingga bibir yang selalu menggoda dengan senyum nakalnya. Tangannya, tanpa disadari, sudah bergerak mendekati pipi Aan. Tapi ia menghentikannya di udara. “Tidak. Ini terlalu...”
Namun hujan seolah membisikkan sesuatu. Rintik nya yang tak terburu-buru, seakan memberi keberanian. Perlahan, Kha membiarkan jemarinya menyentuh rambut Aan yang berantakan. Lembut. Hangat. Seperti sutra yang dialiri listrik. Aan tak terbangun, hanya mengerang pelan, membuat dadanya sesak.
Lalu, tanpa berpikir lagi, tangannya menyelinap di balik selimut.
Udara dingin kamar kontras dengan kehangatan kulit Aan yang terpapar. Ujung jarinya menyentuh perutnya yang rata, merasakan denyut halus di bawah permukaan. Aan bergerak sedikit, membuat Kha hampir menarik tangan. Tapi lelaki itu hanya membalikkan badan, kini telentang. Selimut turun hingga ke pinggang, memperlihatkan perut yang rata.
“Ini gila,” Kha menggigit bibir. Tapi tubuhnya sudah bergerak sendiri. Telapak tangannya kini menelusuri garis otot Aan, dari ulu hati hingga ke pinggul, seolah memetakan setiap lekuk yang selama ini hanya ia lihat dari balik kaus ketat. Aan menghela napas dalam tidur, dan Kha merasakan getar itu melalui ujung jarinya. Tak terasa tangan Kha sudah di atas celana boxer Aan dan memainkan penis dari luar.
"Beb..."
Suara Aan tiba-tiba pecah dalam parau, membuatnya kaku. Tapi matanya masih terpejam. “Mimpi?”
Jantung Kha berdebar kencang. Tak tahu harus lari atau tetap di sana. Tapi Aan, dalam setengah sadar, tiba-tiba menarik lengannya. Dengan satu gerakan halus, Kha terseret ke pelukannya. Hidungnya kini menempel di leher Aan, menghirup wangi aroma tubuh Aan.
"Jangan pergi..." gumam Aan, suaranya serak.
Kha tak bisa bernapas. Tapi tangan Aan sudah merangkulnya erat, telapak panasnya menempel di punggungnya. Perlahan, ia menyerah. Kepalanya bersandar di dada Aan, mendengar detak jantung mereka yang mulai menyatu. Di luar, hujan masih turun, tapi dalam pelukan ini, waktu seolah berhenti.
Aan sedikit menurunkan badannya, perlahan, ia membuka mata. Pandangannya langsung bertemu, Tangannya, yang dari tadi terpaku di punggung Kha, mulai bergerak. Ujung jarinya menyusuri tulang belakangnya, naik turun, seperti memainkan melodi yang hanya mereka berdua yang paham.
Kha menggeliat pelan.
“Sayang… kamu… sudah bangun?” suaranya bergetar, malu bercampur panik.
Aan tak menjawab. Alih-alih, ia menggunakan tangan kirinya untuk menahan dagu Kha, bibir yang sedikit terbuka, dan pipi yang memerah. “Cantik,” pikirnya.
“Sejak tadi,” bisiknya, suara serak karena terlalu lama diam.
Kha mencoba menoleh, tapi Aan menahannya.
“Kenapa… kenapa enggak bilang kalau kamu sudah bangun dari tadi?”
“Aku ingin lihat seberapa jauh kamu berani.”
Kalimat itu menggantung di udara, dibelah oleh deru hujan yang semakin deras. Kha menelan ludah, tangan gemetarnya mencengkeram sprei. Aan tak memberi waktu baginya untuk berpikir. Dengan gerakan lambat, ia membalikkan posisi mereka kini Kha di bawahnya, terperangkap antara lengan dan tubuhnya.
“Sa.. sayang...”
“Shh…” jarinya menempel di bibir Kha, mematikan semua protes. “Aku sudah lama ingin melakukan ini.”
Nafasnya panas, menari di kulit Kha. Tangan kanannya merayap dari pinggang Kha, menyusuri lekuk tubuhnya yang gemetar, hingga berhenti di pahanya. Kha menghela nafas pendek, jemarinya mencengkeram bahu Aan.
“Kamu yakin?” tanya Aan, suaranya parau. Ini bukan main-main. Ia perlu memastikan.
Kha tidak menjawab dengan kata-kata. Tangannya yang gemetar menyelip ke belakang leher Aan, menariknya turun. Jarak mereka tinggal sehelai rambut.
“Aku tidak mau ini cuma jadi kenangan,” bisik Kha, napasnya berdesir.
Aan menutup celah di antara mereka. Bibirnya menyentuh bibir Kha dengan pelan, seperti mencicipi rasa dari sesuatu yang ia idamkan lama. Kha menjawab dengan desahan lembut. Pikirannya mendadak liar, tangan meraih rambut Aan, menariknya lebih dalam. Hujan di luar seolah mengamini, derasnya semakin menjadi, menenggelamkan erangan dan desahan yang mulai lepas dari keduanya.
Aan tak terburu-buru. Setiap sentuhan ia berikan penuh kesadaran, ciuman di leher, gigitan lembut di bahu. Ia ingin mengingat semuanya, aroma tubuhnya, bunyi desahannya yang dipendam, cara jemari Kha mencakar punggungnya saat ia masuk ke dalam dirinya.
“Say... Aah…” panggilan itu terpotong oleh rintih.
Ia menjawab dengan gerakan yang lebih dalam, memastikan setiap inci Kha tahu bahwa ini bukan sekadar nafsu. Ini tentang dua jiwa yang akhirnya berani jujur, di tengah malam yang menyimpan seribu rahasia.
Ciuman Aan turun ke leher, lalu perlahan ia mulai membuka kancing baju Kha satu persatu hingga terlepas menyisakan Bra yang membalut gundukan hangat.
Ia menciumi dari luar, tangannya mencoba meremas lalu mencari kaitan dan tanpa menunggu lama bra sudah terlempar ke lantai. Dua bongkahan payudara terpampang di depannya lembut seolah mengisyaratkan untuk segera di sentuh.
Jantungnya mulai berdegup kencang, ia melirik Kha yang masih terpejam menikmati proses itu. Dengan lahap ia melumat payudara, menggigit kecil putingnya. Lalu memberi tanda merah di sekitar gundukan itu. Lama ia bermain di payudara Kha, Aan meremas gemas kadang memilin putingnya.
Desahan Kha semakin tak beraturan ketika ia mulai menyusu bergantian, tangannya pun tak di biarkan diam.
“ahhh... Sayang...” erangan Kha membuatnya semakin bernafsu.
Bibirnya turun menyusuri perut rata Kha, menjilat setiap inci lalu sampai pada bagian vagina ia mencium dari luar celana dalam hingga membuat Kha menggeliat.
Tak perlu menunggu persetujuan, Aan sudah melepaskan pakaian bawah Kha. Kini terlihatlah vagina yang berwarna pink mulus tanpa bulu. Sejenak Aan menciumi dan menjilat klitoris sebelum akhirnya dia kembali ke atas melumat bibir Kha.
Jarinya ia masukan ke lubang vagina , lalu di kocoknya lembut. Setiap kali Kha mengerang Aan langsung menutupnya dengan lumatan. Semakin keras kocokan jarinya semakin keras pula erangan yang keluar.
“Beb... Kamu siap?”
Kha hanya memanjangkan desahanya.
Aan mengatur posisi. Meregangkan kedua paha Kha lalu dengan pelan ia mulai memasukan penis ke vagina milik Kha.
Kha menjerit, meremas sprei.
“Sakit, Beb?”
Kha tak menjawab. Hanya anggukan kecil dan desahan yang keluar dari bibirnya.
“Sakit sebentar aja, Beb. Tahan ya”
Tubuh Kha mengejang ketika Penis masuk sepenuhnya ke dalam vagina.
Lalu Aan bernafas lega, dan mulai mengerakkan tubuhnya.
Gerakan maju mundur di iringi suara rintihan yang kini sudah berubah menjadi desahan nafsu.
“Ahhhh. Nikmat, Beb.” Suara aan terdengar semakin memanas.
Ia mempercepat gerakannya hingga menimbulkan goyangan di payudara Kha. Ia mengigit puting kuat-kuat dan semakin cepat, semakin tak terkendali.
Sebelum pada puncaknya, Aan mencabut penis dan meminta Kha untuk membalikan badan, kini posisi Kha menunging, memperlihatkan pungung dan vagina Aan mengambil posisi di belakang Kha. Lalu memasukan kembali penis ke vagina Kini lebih mudah dari sebelumnya.
Tak perlu menunggu lama, penis telah masuk sepenuhnya. Ia gerakan lagi maju mudur sambil meremas bokong Kha.
Payudara yang mengantung dan mengayun menambah sensasi di gerakan Aan.
Semakin cepat gerakan itu lalu... “Akh...” erangan tanda klimaks pun memenuhi ruangan kamar bercampur dengan suara hujan di luar sana.
Seketika Aan terkulai lemas di sebelah Kha.
“Terimakasih sayang.” Sambil mencium kening Kha.
Mereka berpelukan di balik selimut. Selang beberapa saat Kha yang merasa masih ingin menikmati malam itu.
Menaiki tubuhnya, lalu menciumi setiap lekuk hingga sampai di penis yang sudah mengeras lagi.
Kha sedikit memberi gigitan lembut sebelum akhirnya memasukan Nya ke dalam Vagina.
Kali ini Kha yang bergerak. Aan menikmati setiap gerakan sambil meremas payudara yang juga ikut bergerak naik turun.
Aan mendesah membuat Kha semakin mempercepat goyangannya. “Aku nggak tahan, beb.”
Aan ingin mencapai puncak untuk kedua kalinya. Di tarik tubuh Kha hingga posisi terlentang lalu di masuka penis ke dalam vagina di dorongnya kuat.
“Akh... Sayang.” Suara Lha bergetar.
Aan mengerakkan tubuhnya maju mundur semakin lama semakin cepat... Hingga pada akhirnya.
Untuk kedua kalinya ia mencapai puncak, menyalurkan kenikmatan ke dalam tubuh Kha.
Mereka berdua berpelukan, menikmati malam yang tersisa dengan di iringi hujan yang tak kunjung reda seolah mengerti.
1748Please respect copyright.PENANAuWkGL3F5LP