Bagian 5
Hartini, seorang wanita berusia 38 tahun, merasa sedang berada di puncak kehidupannya. Meski telah melahirkan dua anak, ia masih merasa penuh gairah dan bersemangat dalam menjalani hubungan dengan suaminya, Hardi. Namun, ada satu masalah yang mengganggu pikirannya belakangan ini, yaitu ketidakpuasan yang dirasakannya saat berhubungan intim dengan suaminya.
Setiap kali Hartini mengharapkan keintiman yang lebih dari Hardi, suaminya selalu memberi alasan kelelahan, merasa terlalu capek karena rutinitas pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Hartini merasa jengah dengan jawaban yang terus menerus itu. Ia tahu bahwa Hardi sangat menyayanginya, tetapi ada keraguan yang mulai menghinggapi dirinya. Ketika ia merasa bahwa usianya yang kini menginjak 38 tahun adalah masa puncak dari gairah hidupnya, ia merasa tidak mendapat respons yang sesuai dari suaminya.
Suaminya yang terkadang terlihat lesu dan kurang bergairah membuat Hartini merasa terabaikan. Sebagai seorang wanita yang masih merasa penuh semangat dan gairah, ia menginginkan lebih dalam hal keintiman dan kedekatan emosional, namun ketidakhadiran Hardi dalam hal ini semakin membuatnya terpuruk. Kebutuhan emosional dan fisiknya seakan tak dihargai oleh suaminya.
Sementara itu, Hardi tidak menyadari bahwa ketidakmampuannya untuk memenuhi harapan Hartini dalam aspek tersebut dapat merusak kedekatan mereka. Alih-alih memberikan perhatian lebih dalam menjalani kehidupan berumah tangga, ia terjebak dalam rutinitas yang membuatnya merasa lelah dan terabaikan. Keengganannya untuk membuka diri tentang masalah ini semakin memperburuk hubungan mereka, menciptakan ketegangan yang tak terucapkan antara keduanya.
Malam itu, Hartini sudah mempersiapkan segalanya. Ia mengenakan lingerie merah yang jarang ia pakai, menyemprotkan parfum lembut di leher dan pergelangan tangannya, serta memastikan suasana kamar terasa lebih intim dengan lilin aroma terapi yang menyala redup. Ia ingin sekali merasakan kembali gairah yang dulu pernah membara antara dirinya dan Hardi.
Saat Hardi masuk kamar, Hartini langsung mendekatinya, menyandarkan kepalanya di dada suaminya, tangannya mengusap lembut, mencoba membangkitkan gairah yang semakin lama terasa asing. Hardi sempat menoleh dan tersenyum tipis, seolah memahami maksud istrinya.
Tanpa banyak kata, mereka mulai melakukannya. Namun, baru saja semuanya dimulai, bahkan sebelum Hartini benar-benar merasakan sesuatu, Hardi sudah mencapai klimaksnya. Napasnya memburu sebentar, lalu ia menarik napas panjang dan berbalik badan.
"Capek, Tin…," gumamnya lirih sebelum terlelap begitu saja.
Hartini terdiam, menatap punggung suaminya yang kini sudah terlelap dalam tidurnya seolah tak terjadi apa-apa. Dadanya sesak oleh rasa kecewa yang tak bisa diungkapkan. Ia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin dingin.
"Apa aku harus terus begini?" batinnya.
Ia merasa marah, kesal, tapi juga sedih. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Rasanya seperti ia sendirian dalam pernikahan ini, berjuang sendiri untuk sesuatu yang bahkan suaminya tak lagi pedulikan. Dengan hati hampa, Hartini memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari kehangatan yang seharusnya ia dapat dari orang yang ia cintai.
Malam itu, Hartini merasa lebih kesepian daripada sebelumnya.
Bagian 6
Sripah duduk di tepi ranjang, memandangi Norman yang baru saja merebahkan diri di sebelahnya. Malam semakin larut, tapi pikirannya penuh dengan keresahan. Sudah berbulan-bulan Norman tidak membawa pulang uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Beras di dapur sering habis sebelum waktunya, tagihan listrik menumpuk, dan anak-anak mulai bertanya kapan mereka bisa membeli baju baru.
Namun, di tengah semua itu, Norman tetap saja meminta hal yang sama setiap malam. Ia mengulurkan tangannya, merayap mendekati Sripah, menginginkan kehangatan yang dulu begitu mudah diberikan istrinya.
"Sripah… sini, temani aku," bisiknya, suaranya penuh harapan.
Sripah menghela napas panjang. Ia mencintai suaminya, dulu ia selalu setia dan memberikan yang terbaik. Tapi kini, hatinya mulai jengah. Bagaimana mungkin Norman meminta haknya sebagai suami, sementara kewajibannya tidak pernah ia penuhi?
"Norman, aku capek," jawab Sripah singkat, membelakangi suaminya.
"Bilang saja kau sudah tidak sayang aku," gumam Norman dengan nada tersinggung.
Sripah menggigit bibirnya, menahan kekesalan yang sudah lama mengendap di dadanya. Ia berbalik, menatap Norman dengan mata yang dipenuhi kekecewaan.
"Bukan begitu, Mas. Aku ini istrimu, tapi aku juga manusia. Aku butuh makan, anak-anak butuh sekolah, rumah ini butuh listrik. Setiap hari aku pusing memikirkan bagaimana harus bertahan, sementara kamu tidak berusaha mencari solusi. Tapi setiap malam, kamu masih bisa meminta hal yang sama dariku. Aku tidak bisa, Mas. Aku tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja."
Norman terdiam. Ia tahu istrinya benar. Ia tahu ia sudah gagal sebagai kepala keluarga. Tapi, ia juga merasa kehilangan. Sripah bukan lagi wanita yang dulu selalu lembut dan penuh kasih sayang. Ia kini seperti orang lain, dingin dan jauh.
Malam itu, mereka tidur saling membelakangi, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Sripah bertanya-tanya sampai kapan ia harus bertahan, sementara Norman mulai takut kehilangan sesuatu yang berharga—bukan hanya kedekatan fisik, tapi juga hati istrinya yang perlahan menjauh.
Norman sudah pergi merantau selama berbulan-bulan. Katanya untuk mencari nafkah yang lebih layak, agar Sripah dan anak-anaknya tidak lagi kekurangan. Namun, bagi Sripah, kepergian suaminya justru membuka luka baru: kesepian yang semakin hari semakin sulit ia tahan.
Di usianya yang masih 35 tahun, gairahnya belum padam. Justru, di saat-saat tertentu, tubuhnya merindukan sentuhan, kehangatan, dan kedekatan yang dulu pernah ia nikmati. Namun, yang ada hanyalah kesunyian. Ranjang yang dingin, kamar yang sepi, dan malam-malam panjang yang terasa hampa.
Setiap kali gairah itu muncul, ia hanya bisa berusaha sendiri. Ia mencari cara untuk meredam gelora yang tak tersalurkan. Awalnya, ia merasa bersalah. Bagaimana mungkin ia melakukan ini, sementara suaminya berjuang di tempat jauh? Tapi semakin lama, ia mulai berpikir: Norman meninggalkannya tanpa kepastian, dan ia harus menghadapi semuanya sendirian.
Satu malam, setelah anak-anak tertidur, Sripah berbaring di kamarnya, menarik napas panjang. Gairah itu datang lagi, mengusik pikirannya, membuat tubuhnya gelisah. Ia tahu tak ada yang bisa dilakukan selain memenuhi kebutuhannya sendiri. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ia melakukannya sampai akhirnya tubuhnya lelah dan pikirannya tenang.
Namun, setiap kali semuanya berakhir, Sripah hanya bisa menatap langit-langit kamar dengan perasaan kosong. Apa ini akan terus seperti ini? Sampai kapan ia harus mengandalkan dirinya sendiri? Sampai kapan ia harus menunggu Norman yang belum tentu pulang membawa perubahan?
Dalam sunyi, Sripah mulai bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ia masih bisa bertahan? Atau justru takdirnya akan membawanya ke arah yang lain?
ns216.73.216.192da2