Bagian 7
Pagi di Balai Desa Randumulyo
Pagi itu, Balai Desa Randumulyo ramai oleh ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan Posyandu kelas balita. Suara anak-anak bercampur dengan obrolan para ibu, menciptakan suasana khas desa yang hidup.
Hartini, meskipun usianya hampir empat puluh tahun, masih terlihat segar dan menawan. Dengan kebaya sederhana namun anggun, ia melangkah masuk ke Balai Desa. Tatapan beberapa ibu lainnya sempat meliriknya, sebagian dengan kekaguman, sebagian lagi dengan sedikit iri.
Satrio, yang hari itu bertugas mengawasi jalannya acara sebagai perangkat desa, memperhatikan Hartini yang sibuk membantu mencatat data anak-anak yang hadir. Ketika momen memungkinkan, ia mendekati Hartini dengan senyum khasnya.
"Wah, Bu Hartini, meskipun sibuk tetap kelihatan segar dan ceria. Apa rahasianya?" goda Satrio sambil melirik sekilas ke arah Hartini.
Hartini menoleh, lalu tersenyum penuh arti. "Ah, Pak Satrio bisa saja. Mungkin karena selalu merasa muda di dalam hati," jawabnya dengan suara lembut namun menggoda.
Satrio tertawa kecil. "Kalau begitu saya harus banyak belajar dari Bu Hartini, supaya tetap segar meskipun tugas di balai desa banyak sekali."
"Bisa, Pak. Ada cara-cara tertentu yang bisa membuat seseorang tetap semangat dan bertenaga,"Hartini membalas dengan nada yang sedikit lebih dalam. Tatapannya menembus langsung ke mata Satrio, seolah ada makna tersembunyi di balik kata-katanya.
Satrio merasa sedikit terganggu dengan getaran aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ia berdeham pelan, berusaha mengendalikan diri. Namun, Hartini tampaknya menikmati permainan ini.
Di tengah percakapan mereka, seorang ibu memanggil Hartini untuk membantu menimbang bayi. Hartini pun beranjak, tetapi sebelum pergi, ia berbisik pelan, cukup dekat hingga hanya Satrio yang bisa mendengar:
"Pak Satrio, kalau butuh energi tambahan, saya selalu siap membantu… kapan saja."
Kemudian, ia berjalan pergi, meninggalkan Satrio yang terdiam. Matanya mengikuti langkah Hartini yang anggun, sementara pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Apakah ini hanya gurauan biasa? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata?
Satrio berusaha mengalihkan perhatian dengan kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi bayangan Hartini dan ucapannya terus terngiang di benaknya.
Saya bisa menambahkan lebih banyak detail emosional dan suasana untuk memperkuat ketegangan cerita. Berikut versi yang lebih kaya akan deskripsi dan konflik batin:
Bagian 8
Sripah berdiri di depan pintu rumah Satrio, menunggu dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ketika pintu akhirnya terbuka, yang muncul adalah Rustini.
Wajahnya masih memerah, napasnya sedikit tersengal, dan rambutnya tampak acak-acakan. Meski sudah mencoba merapikannya dengan tangan, sisa-sisa gairah yang baru saja ia lewati bersama Satrio masih begitu jelas. Sripah tak bisa mengabaikan aroma tubuh Rustini yang bercampur dengan keringat, menguar samar ke udara. Itu bukan bau kelelahan biasa—itu aroma kepuasan seorang wanita yang baru saja ditenangkan oleh suaminya.
Rustini tersenyum, senyum yang mengandung rasa puas. Tapi di mata Sripah, senyum itu terasa seperti tamparan.
“Oh, Sripah…”Rustini menyapa dengan suara lembut, tapi ada sedikit sisa kelelahan di sana. “Butuh uang, ya?”
Sripah menelan ludah, menundukkan pandangan sejenak, lalu mengangguk. “Iya, Bu. Suami saya belum pulang, jadi saya mau pinjam dulu. Nanti saya kembalikan kalau sudah ada rejeki.”
Rustini tersenyum lagi, kali ini lebih tenang. “Nggak usah sungkan. Nanti Satrio mampir ke rumahmu pas lewat ke balai desa.”
Saat nama itu disebut, Sripah refleks melirik ke dalam rumah, mencari sosok pria yang selama ini menjadi topik perbincangan diam-diam di hati para perempuan desa.
Tidak ada suara langkah kaki Satrio, hanya kesunyian singkat yang diisi dengan napas Rustini yang masih belum sepenuhnya normal.
Sripah tersenyum tipis, tapi di dalam dadanya ada sesuatu yang bergetar. Ia berusaha terlihat wajar, tapi matanya sempat menelusuri leher Rustini yang masih memerah, mungkin karena sentuhan atau ciuman seseorang.
“Baik, Bu. Saya tunggu.”
Ia berbalik perlahan, melangkah pergi, tapi dalam kepalanya, bayangan Rustini yang tampak begitu puas tidak bisa hilang.
Hatinya terasa kosong. Sudah berbulan-bulan ia tidak merasakan kehangatan seorang suami. Sudah lama ia tidak mendengar suara dirinya sendiri memohon ampun di tengah malam.
Sementara di dalam rumah itu, ada seorang pria yang mampu memberikan semuanya.
Angin siang berhembus pelan, tapi dada Sripah terasa semakin sesak.
Baik, saya bisa mengembangkan cerita ini dengan lebih banyak konflik emosional dan drama sosial tanpa unsur yang terlalu vulgar. Berikut kelanjutannya:
Sore itu, Satrio berjalan santai menuju ke Balaidesa dan mampir ke rumah Sripah. Rambutnya masih sedikit basah, sisa dari mandi keramas sebelum berangkat. Sripah, yang sudah menunggu di teras, langsung memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Wah, rambutnya masih basah, Pak Satrio. Habis mandi atau habis apa?" godanya, suaranya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
Satrio hanya tersenyum tipis, berusaha tidak menanggapi terlalu jauh. "Ya, habis mandi, Bu. Kan tadi,banyak debu jadi keramas untuk ngilangin ketombe."
"Ketombe atau apa pak"balas Sripah sambil tersenyum genit.
"Oh,ya masuk dulu pak" lanjut Sripah mempersilakan Satrio duduk di bangku kayu depan rumahnya. Rumah sederhana itu tampak sepi, anak-anaknya masih bermain di luar, dan suasana sore membawa angin yang berhembus lembut.
"Jadi, Bu Sripah mau pinjam uang berapa?"tanya Satrio akhirnya, mencoba menjaga pembicaraan tetap pada tujuannya.
Sripah terdiam sejenak, menatap tangan kasarnya yang saling menggenggam di pangkuan. "Nggak banyak, Pak. Sekadar buat beli kebutuhan dapur sama bayar utang di warung. Suami saya belum kirim uang dari perantauan."
Satrio mengangguk, lalu mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. "Ini, Bu. Nggak usah diburu-buru balikin. Kalau suami sudah kirim, baru diganti."
Sripah menerima uang itu dengan dua tangan, lalu menatap Satrio dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada rasa terima kasih, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang tak pernah ia katakan, tapi selalu terasa setiap kali Satrio ada di dekatnya.
"Makasih pak,kalau lama bayarnya ditagih ya Pak "katanya pelan, seolah kalimat itu memiliki makna tersembunyi.
Satrio hanya tersenyum lagi, tidak ingin menangkap makna lebih dari ucapan itu. Baginya, membantu tetangga adalah hal biasa. Tapi di hati Sripah, kebaikan Satrio terasa lebih dari sekadar bantuan.
Saat Satrio berpamitan dan melangkah pergi, Sripah menatap punggungnya yang kokoh dengan perasaan yang semakin sulit ia kendalikan.
Di satu sisi, ia tahu batasnya. Tapi di sisi lain, hatinya menolak untuk diam.
Dan angin sore yang bertiup seolah membawa bisikan-bisikan yang tak bisa ia abaikan.