Bagian 11
Kasih Sayang di Malam Sunyi
Satrio kembali ke rumah sakit setelah memastikan semua kebutuhan istrinya, Rustini, sudah terpenuhi. Ia juga membawa beberapa perlengkapan untuk Sripah, ibu mudah terangganya , yang setia menemani Rustini selama masa pemulihan pasca operasi sesar. Langkahnya terasa ringan meskipun hari sudah larut. Baginya, kelelahan tak ada artinya dibanding kebahagiaan melihat istri dan anaknya dalam keadaan baik.
Saat tiba di kamar inap, jarum jam hampir menunjukkan pukul 12 malam. Lampu ruangan diredupkan, menciptakan suasana yang tenang. Rustini terlelap di ranjang, wajahnya terlihat damai meskipun tubuhnya masih lemah. Perasaan haru menyelimuti Satrio. Ia berjalan mendekat, lalu dengan lembut mencium kening istrinya.
Rustini terjaga, matanya mengerjap pelan sebelum menatap Satrio dengan senyum lemah. "Mas..." bisik Rustini dengan suara pelan sambil meraih tangan suaminya dan mengecupnya penuh cinta. Satrio membalasnya dengan kecupan lembut di bibir, seolah ingin menyampaikan betapa ia bersyukur istrinya telah melewati semua ini dengan selamat.
Satrio terkejut saat mendapati ruangan itu hanya berisi Rustini yang terbaring di ranjang. Ia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Sripah.
"Sripah mana, Sayang?" tanyanya, suaranya penuh kebingungan.
Rustini menghela napas pelan, lalu menjelaskan, "Dia ada di ruang isolasi, Mas. Menunggui bayi kita."
Satrio mengangguk paham. Ia tahu betapa Sripah, tetangga mereka yang sudah seperti keluarga, sangat peduli pada mereka. Meskipun usianya hanya tiga tahun lebih tua dari Rustini, Sripah selalu bersikap keibuan, perhatian, dan setia membantu sejak awal kehamilan Rustini.
"Mas, temui dia , ya. Mungkin ada yang dia perlukan," pinta Rustini.
Satrio tersenyum kecil, lalu meraih tas berisi pakaian ganti yang sebelumnya dipesan Sripah. "Iya, aku ke sana sekarang. Kamu istirahat saja."
Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju ruang isolasi. Hatinya dipenuhi harapan sekaligus sedikit kegelisahan. Bayinya lahir prematur, dan meskipun dokter bilang kondisinya stabil, tetap saja ada kekhawatiran yang mengganjal.
Sesampainya di ruang isolasi, Satrio menemukan Sripah duduk di kursi di samping inkubator, matanya terfokus pada bayi mungil yang terbaring di dalamnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi penuh kelembutan.
"Srip," panggil Satrio pelan.
Sripah menoleh dan tersenyum tipis. "Oh,Pak Satrio sudah kembali?"
Satrio mengangguk dan menyerahkan tas yang dibawanya. "Ini pakaian yang kamu pesan tadi."
Sripah membuka tas yang dibawa Satrio, memeriksa isinya dengan teliti. Ada baju ganti, handuk kecil, dan beberapa perlengkapan lain yang ia pesan sebelumnya. Namun, begitu tangannya mengacak lebih dalam, wajahnya berubah. Ia menghela napas dan menoleh ke Satrio dengan tatapan sedikit kesal bercampur pasrah.
"Pak Satrio… kamu nggak bawa celana dalam dan BH yang aku pesan?" tanyanya, suaranya pelan tapi jelas.
Satrio mengerutkan kening, lalu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Hah? Nggak ada, ya? Aku kira semuanya udah masuk ke tas itu."
Sripah menghela napas panjang, mencoba menahan tawa kecil yang bercampur rasa jengkel. "Ya mana aku bisa cuma pakai baju saja? Aku udah bilang tadi, celana dalam dan BH juga penting.Sudah tiga hari tidak ganti rasanya gatal dan lengket"
Satrio yang masih agak lelah hanya bisa tersenyum kaku. "Maaf, Sripah… Aku tadi buru-buru, mungkin kelupaan masukinnya."
Sripah berdiri dari kursinya, meraih pakaian ganti yang dibawa Satrio. Ia menatapnya dengan ragu sebelum akhirnya berkata, "Satrio, aku mau ganti baju dulu, ya… tapi, ya gitu…"
Satrio tersenyum jahil. "Tanpa daleman?" godanya pelan.
Sripah mendengus, wajahnya memerah. "Udah, jangan komentar macam-macam! Kamu tungguin bayinya dulu. Aku nggak lama."
Satrio terkekeh, tapi ia menurut. Ia beralih mendekati inkubator, mengawasi bayinya yang masih tertidur dengan napas pelan dan lembut. Sementara itu, Sripah keluar menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.
Beberapa menit kemudian, Sripah kembali ke ruang isolasi. Langkahnya sedikit ragu, merasa aneh karena tidak memakai dalaman. Begitu melihatnya masuk, Satrio otomatis tersenyum lagi.
Sripah langsung menatapnya tajam. "Kenapa senyum-senyum begitu?" bisiknya ketus.
Satrio mengangkat alis, masih dengan ekspresi menggoda. "Nggak apa-apa. Cuma keliatan beda aja," ujarnya santai.
Sripah mendengus, lalu melipat tangan di dada. "Udah, sana balik ke istrimu. Jangan ganggu aku di sini."
Satrio tertawa kecil, tapi menurut. "Iya, iya. Besok aku pastikan beli daleman baru buat kamu."
Sripah hanya mendengus pelan, lalu duduk di kursinya. Meskipun awalnya malu, ia tahu Satrio tidak bermaksud jahat. Di tengah kelelahan menjaga bayi mereka, momen kecil ini justru memberi sedikit hiburan yang membuat segalanya terasa lebih ringan.
Malam pun terus berlalu, dan di ruang isolasi itu, harapan serta kasih sayang tetap menyelimuti mereka.
Satrio duduk di samping ranjang istrinya, menggenggam tangannya dengan lembut. Rustini menatapnya dengan mata penuh kelelahan, tapi juga dengan kasih sayang.
"Bagaimana kondisi bayi kita, Mas?" tanyanya pelan.
Satrio tersenyum menenangkan. "Alhamdulillah, baik-baik saja. Masih dalam perawatan intensif, tapi dokter bilang keadaannya stabil. Sripah juga terus memberi susu setiap dua jam sekali."
Rustini mengangguk pelan, lalu menghela napas. "Kasihan Sripah, Mas. Dia sudah banyak membantu kita. Mas harus memastikan segala kebutuhannya terpenuhi, ya."
Satrio mengangguk. "Iya, tadi aku juga sempat ngobrol sebentar sama dia. Oh iya, ada kejadian lucu," katanya sambil terkekeh.
Rustini menaikkan alis. "Apa?"
Satrio tersenyum lebar. "Aku lupa bawain pakaian dalamnya. Katanya udah tiga hari nggak ganti, rasanya gatal dan lengket."
Rustini langsung menutup mulutnya, menahan tawa. Matanya berbinar nakal. "Ya ampun, Mas. Kasihan banget dia! Besok jangan lupa belikan, ya."
Satrio ikut tertawa. "Iya, iya. Besok aku pastikan beli. Warna apa sekalian pesen?" godanya sambil membisikan sesuatu ke telinga istrinya.
Rustini mencubit lengannya pelan. "Dasar Mas ini!." sambil menatap suaminya dengan alis terangkat. "Maksudnya… aku harus godain Sripah?" tanyanya, setengah tidak percaya.
Satrio terkekeh, matanya berbinar jahil. "Iya, biar seru dikit. Kan kasihan dia udah tiga hari nggak ganti daleman, terus malu-malu pas aku kasih tahu."
Rustini menggeleng sambil tersenyum. "Mas ini ada-ada aja. Nanti dia makin malu, lho."
Satrio mengangkat bahu santai. "Ah, nggak apa-apa. Toh dia udah deket sama kita. Anggap aja hiburan kecil "
Rustini tertawa kecil, lalu menyipitkan mata. "Oke, tapi kalau dia marah, Mas yang tanggung jawab, ya?"
Satrio mengacungkan jempol. "Siap, yang penting besok pagi kita kasih sedikit hiburan buat dia."
Mereka berdua tertawa pelan, merasa sedikit lebih ringan meskipun masih dalam masa pemulihan dan perawatan bayi mereka. Malam itu pun berlalu dengan kehangatan kecil yang membuat segalanya terasa lebih menyenangkan.
Satrio tersenyum hangat, merasa beruntung memiliki istri yang begitu pengertian. Malam itu, meski lelah masih menyelimuti mereka, setidaknya ada sedikit tawa yang membuat semuanya terasa lebih ringan.
Pagi itu, Sripah duduk di kursi dekat ranjang Rustini, masih merasa sedikit canggung setelah semalaman tidur tanpa dalaman. Satrio duduk di samping istrinya, siap menyaksikan aksi Rustini yang sejak tadi sudah bersiap menggoda Sripah.
"Sripah," kata Rustini dengan nada jahil, "gimana rasanya tidur semalaman tanpa daleman?"
Sripah langsung menoleh dengan tatapan tajam. "Rustini! Jangan mulai deh," katanya dengan wajah sedikit memerah.
Satrio yang melihat situasi itu langsung menimpali. "Iya, Sripah. Katanya semalaman gelisah, bener nggak? Ada angin sepoi-sepoi masuk, ya?" godanya sambil terkekeh.
Sripah mendengus kesal. "Kalian ini ada-ada aja. Udah, jangan bahas itu lagi!"
Tapi Rustini tak menyerah. "Eh, tapi beneran, lho. Aku sama Mas Satrio sampai kasihan ngebayangin kamu tidur sambil merapatkan kaki terus."
Satrio ikut menambahkan, "Iya, iya, kalau jalannya jadi lebih pelan dari biasanya, aku ngerti kok."
Sripah makin sebal. Wajahnya semakin merah, dan akhirnya, karena tak tahan dengan godaan mereka, ia berdiri, mengangkat sedikit roknya hingga hampir ke lutut sambil berkata, "Udah ya, puas? Nih, nggak ada dalemannya beneran!"
Rustini dan Satrio langsung tertawa terbahak-bahak melihat Sripah yang akhirnya menyerah dan membalas godaan mereka.
Sripah mendengus, tapi akhirnya ikut tertawa kecil sambil menggeleng. "Dasar pasangan jahil! Udah, udah, sekarang fokus aja sama bayinya. Aku cuma bantu di sini, bukan buat digodain tiap hari!"
Rustini menyeka air matanya karena terlalu banyak tertawa. "Iya, iya, maaf, Sripah. Tapi serius, nanti siang Mas Satrio bakal beliin daleman baru buat kamu, biar nggak kena angin lagi."
Sripah mendelik ke arah Satrio. "Jangan sampe lupa! Kalau nggak, aku mogok nungguin bayi kalian!"
Satrio mengangguk cepat. "Siap, Bos! Aku langsung beli yang paling nyaman buat kamu."
Akhirnya, pagi itu berubah jadi penuh tawa dan kehangatan di tengah situasi serius di rumah sakit. Sripah memang malu, tapi setidaknya, dia merasa lebih dekat dengan Rustini dan Satrio—pasangan yang meski jahil, tetap memperhatikannya dengan baik.
Pagi itu, Sripah memutuskan untuk mandi di kamar mandi dalam ruangan tempat Rustini menginap. Setelah beberapa hari menjaga bayi di ruang isolasi, akhirnya ia bisa sedikit menyegarkan diri.
Sementara itu, di ranjang, Rustini bersandar dengan nyaman sementara Satrio duduk di sampingnya, memijat kakinya dengan lembut. Rustini menikmati pijatan itu, lalu tiba-tiba tersenyum iseng.
"Mas," bisiknya pelan.
"Hm?" Satrio menoleh.
Rustini mendekat dan berbisik dengan nada jahil, "Coba intip Sripah yang lagi mandi, deh!"
Satrio langsung membelalakkan mata. "Hah?! Kamu serius, Tin?"
Rustini menahan tawa melihat reaksi suaminya. "Ya ! Coba mas,nanti aku ceritain bentuknya seperti apa?"
Satrio mendengus dan menggeleng. "Duh, ada-ada saja."
Mereka berdua tertawa pelan. Namun, tepat saat itu, Sripah yang baru selesai mandi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia melihat Rustini dan Satrio tertawa-tawa, lalu mengernyit curiga.
"Ada apa sih? Kok ketawa-ketawa?" tanyanya.
Rustini masih menyembunyikan senyum nakalnya. "Nggak, nggak… cuma Mas Satrio tadi hampir melakukan sesuatu yang gila."
Sripah menatap mereka bergantian. "Apa?"
Satrio buru-buru berdiri. "Nggak ada, Srip! Nggak ada apa-apa!" katanya cepat.
Rustini terkikik, sementara Sripah menyipitkan mata. "Kalian ini pasti habis rencanain sesuatu jahil, ya? Jangan aneh-aneh deh!"
Satrio mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. "Nggak jadi Srip,rencana jahilnya,kkeburu mandimu selesai"
Rustini akhirnya tertawa lepas, sementara Sripah menggeleng dengan tawa kecil. "Memang apa rencananya,kok sampai telat?"
Rustini langsung menyela. "Mas Satrio mau mengintipmu saat mandi, Srip!"
"Katanya milikmu tembem dan lebat"lanjut Rustini
"Aduh,mbak Tini ada-ada saja,malu didengar orang"protes Sripah
"Apa bener,Pak Satrio mau ngintip aku"lanjut Sripah
"Nggak kok,Srip"jawab Satrio singkat
"Ayo gak usah malu-malu pak.Nggak usah ngintip-ngintip,ini aku bukain mumpung gak pakai celana dalam"goda Sripah.
Rustini terkekeh mendengar percakapan mereka.Akhirnya, pagi itu dipenuhi tawa dan kehangatan di antara mereka. Rustini memang jahil, tapi di tengah situasi serius di rumah sakit, candaan kecil seperti ini membuat semuanya terasa lebih ringan.
Satrio duduk santai di kursi dekat Sripah, memperhatikan bagaimana perempuan itu menyantap sarapannya dengan lahap. Senyum jahil mulai muncul di wajahnya, merasa ini waktu yang pas untuk sedikit menggoda.
"Pak ini kenapa sih dari tadi senyum-senyum sendiri?" Sripah melirik curiga sambil tetap mengunyah.
Satrio menyandarkan tubuhnya, menatap Sripah dengan ekspresi iseng. "Saya cuma kepikiran satu hal, Sripah…"
Sripah mengangkat alis. "Apaan lagi?"
Satrio terkekeh. "Tadi waktu mandi, gimana rasanya… tanpa daleman?"
Sripah hampir tersedak. Ia buru-buru meneguk air dan menatap Satrio dengan ekspresi antara malu dan kesal. "Pak! Kok itu dibahas lagi sih?"
Satrio mengangkat bahu santai. "Lha, kan saya cuma nanya. Siapa tahu ada sensasi beda. Lebih bebas, lebih adem, atau gimana gitu?" godanya sambil menahan tawa.
Sripah menyipitkan mata, lalu memasang ekspresi jahil. "Oh, gitu ya, Pak? Kalau penasaran, coba aja sendiri. Besok pas mandi, jangan pakai daleman juga!"
Satrio pura-pura berpikir sambil mengusap dagunya. "Wah, ide bagus juga tuh. Tapi jangan-jangan malah ketagihan?"
Sripah mendengus dan menggeleng. "Astaga, Bu Rustini ini gimana sih, kok bisa punya suami jahil begini?"
Satrio tertawa lepas. "Makanya, Sripah harus hati-hati kalau Rustini ikutan jahil. Bisa-bisa kamu yang kewalahan."
Sripah meletakkan sendoknya dan menatap Satrio dengan senyum miring. "Udah, Pak. Jangan banyak ngomong, saya mau makan dulu. Jangan ganggu!"
Satrio mengangkat tangan menyerah. "Baik, baik, silakan menikmati sarapanmu, Ibu Tanpa Daleman."
Sripah melotot tajam, tapi tak bisa menahan tawa yang akhirnya keluar juga. Pagi itu, meskipun lelah dan sibuk menjaga bayi, tetap diwarnai candaan yang membuat segalanya terasa lebih ringan..
77Please respect copyright.PENANAK0LekYreCs