330Please respect copyright.PENANAvIy2P7QY2B
Namaku Budi, umurku 15 tahun. Aku tinggal bersama kakakku, Alin, yang lebih tua tiga tahun dariku. Kami berdua hidup di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah ini nggak terlalu besar, tapi cukup nyaman buat kami berdua.
Sejak kecil, kami sudah terbiasa hidup tanpa banyak perhatian dari orang tua. Pak Hendra, ayah kami, seorang supervisor di sebuah perusahaan besar. Kerjaannya bikin dia jarang di rumah. Kadang pulang larut malam, kadang nggak pulang sama sekali karena harus dinas ke luar kota.
Ibu kami, Bu Sari, adalah seorang perawat di rumah sakit. Jadwalnya lebih gila lagi. Kalau kena giliran jaga malam, dia bisa nggak pulang dua atau tiga hari. Bahkan kalau sedang di rumah pun, seringnya dia tidur karena kelelahan.
Dulu waktu kecil, aku sering nangis karena ngerasa sendirian. Tapi semakin besar, aku mulai terbiasa. Lagipula, aku punya Alin.
Alin adalah satu-satunya orang yang selalu ada buatku. Kakakku itu nggak kayak kakak-kakak lain yang suka nyuruh-nyuruh atau galak. Dia lebih kayak sahabat daripada kakak. Kami sering nonton film bareng—kadang horor, kadang anime. Kami juga suka main game di HP masing-masing sambil nyemil di depan TV.
Kalau malam-malam aku lapar, aku tinggal gedor pintu kamarnya dan bilang, "Mi instan?"
Dia pasti langsung bangkit dan bilang, "Kuy."
Tapi, meskipun hidup kami kelihatan normal, ada satu hal yang selalu bikin aku sedikit nggak nyaman.
Rumah ini.
Entah kenapa, sejak kecil aku selalu merasa ada yang aneh.
Kadang, kalau aku sendirian di rumah, aku mendengar suara langkah kaki dari arah atap. Bukan suara tikus. Suaranya terlalu berat untuk seekor hewan.
Kadang pintu kamar suka kebuka sendiri pelan-pelan, seolah ada yang berdiri di baliknya dan mengintip. Pernah suatu malam aku melihat pintu itu bergerak sedikit demi sedikit, tapi waktu aku periksa, nggak ada siapa-siapa.
Kadang, lampu di koridor redup sendiri, padahal nggak ada yang nyentuh saklarnya.
Aku pernah cerita ke Alin soal ini, tapi dia cuma ketawa.
"Kamu kebanyakan nonton film horor, Bud," katanya.
Aku nggak tahu. Mungkin dia benar. Mungkin aku cuma parno.
Tapi ada satu kejadian yang sampai sekarang aku nggak bisa lupa.
Suatu malam, waktu aku masih kelas enam SD, aku terbangun di tengah malam karena haus. Aku keluar kamar menuju dapur buat ambil air. Rumah kami gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan yang masuk lewat jendela.
Waktu aku berjalan melewati ruang tengah, aku melihat seseorang berdiri di depan pintu rumah.
Aku kira itu Ibu yang baru pulang kerja. Tapi saat aku perhatikan baik-baik… orang itu tidak bergerak sama sekali.
Dia hanya berdiri di sana, membelakangiku.
Aku memanggil pelan, "Ibu?"
Orang itu tidak menjawab.
Aku mulai merasa aneh. Langkahku mundur perlahan.
Dan saat aku berkedip, orang itu sudah hilang.
Begitu saja. Seolah tidak pernah ada.
Aku tidak pernah cerita soal ini ke Alin. Aku takut dia nggak bakal percaya.
Tapi setelah malam itu, aku selalu merasa… ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang diam-diam memperhatikan kami.
Dan aku tidak tahu sejak kapan, tapi Alin juga mulai berubah.
Dulu dia suka nonton horor. Sekarang, dia nggak mau sama sekali. Dulu dia selalu keluar kamar kalau aku panggil. Sekarang, kadang aku gedor-gedor pintunya berkali-kali, tapi dia nggak jawab.
Aku mulai merasa… dia juga takut.
Tapi dia nggak mau bilang apa-apa.
Dan aku baru menyadari satu hal.
Kami berdua mungkin sudah terbiasa hidup tanpa orang tua.
Tapi kami tidak pernah benar-benar sendirian di rumah ini.
Bersambung ke Part 2…
Malam itu, hujan turun dengan deras. Aku dan Alin duduk di ruang tengah, menonton TV sambil makan mi instan.
"Kamu besok ada tugas nggak?" tanya Alin, menyuap mi ke mulutnya.
"Ada sih, tapi gampang," jawabku santai. "Kakak sendiri?"
"Ada laporan buat kuliah."
Aku mengangguk. Alin kuliah sambil kerja part-time di sebuah kafe dekat kampusnya. Mungkin itu juga alasan dia sering kelihatan capek belakangan ini.
Kami melanjutkan makan tanpa bicara, menikmati suara hujan di luar.
Tok. Tok. Tok.
Kami berdua terdiam.
Ada suara ketukan pelan di depan rumah.
Aku dan Alin saling pandang.
"Siapa ya?" bisikku.
Alin meletakkan mangkuknya dan berdiri. "Mungkin Ibu baru pulang," katanya, berjalan ke arah pintu.
Aku mengikutinya dari belakang.
Tapi sebelum Alin sempat membuka pintu, aku melihat sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
Di bawah pintu… tidak ada bayangan siapa pun.
Kalau memang ada orang yang mengetuk, seharusnya ada bayangan kaki terlihat di celah bawah pintu.
Tapi yang kami lihat hanya kegelapan.
Alin tampak menyadari hal yang sama. Tangannya berhenti di gagang pintu.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan itu terdengar lagi. Tapi kali ini… lebih pelan. Lebih ragu-ragu.
Seperti seseorang yang tahu kami ada di dalam… tapi tidak ingin kami membukakan pintu.
"Kak…" suaraku tercekat.
Alin mundur satu langkah. Aku bisa melihat wajahnya pucat.
Kami tidak bergerak. Tidak bicara. Hanya berdiri di sana, menunggu.
Dan setelah beberapa detik yang terasa sangat lama…
Suara ketukan itu berhenti.
Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda siapa pun di luar.
Alin menarik napas dalam. "Kita balik ke kamar," katanya cepat.
Aku mengangguk.
Malam itu, aku tidur dengan pintu kamar terkunci.
Tapi aku masih bisa mendengar suara hujan… dan entah kenapa, aku merasa seseorang masih berdiri di depan rumah kami.
PART 3
Keesokan paginya, semuanya terasa normal lagi.
Aku bangun pagi seperti biasa, sarapan sendirian karena Alin masih tidur. Aku juga tidak membahas soal ketukan tadi malam. Mungkin hanya orang nyasar, atau iseng, pikirku.
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiranku.
Pagi itu, aku berjalan melewati kamar Alin. Pintu kamarnya sedikit terbuka.
Aku melongok ke dalam dan melihat kakakku masih tertidur. Tapi yang menarik perhatianku adalah cermin besar di sudut kamarnya.
Aku tidak ingat Alin pernah punya cermin sebesar itu.
Cerminnya tinggi, hampir setinggi pintu. Bingkainya berwarna hitam, sedikit usang seperti barang tua.
Aku mengernyit. Sejak kapan dia beli cermin itu?
Aku ingin bertanya nanti, tapi saat aku melanjutkan langkah menuju dapur… aku melihat sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti.
Alin masih tertidur di ranjangnya.
Tapi di dalam cermin… dia sedang duduk, menatap ke arahku.
Aku langsung membalikkan badan ke kamarnya.
Alin masih terbaring diam, selimutnya menutupi setengah tubuhnya. Dia sama sekali tidak bergerak.
Aku menoleh lagi ke cermin.
Kini, bayangan Alin di dalam cermin juga sedang tidur.
Aku mundur selangkah, lalu berlari ke dapur tanpa menoleh lagi.
Aku tidak ingin tahu apa yang baru saja kulihat.
Part 4: Alin yang Berbeda
Hari-hari berlalu, tapi aku merasa ada yang berubah dari Alin.
Dia lebih pendiam dari biasanya. Dia jarang keluar kamar. Bahkan ketika aku mengajaknya nonton TV, dia hanya menjawab pendek, "Nggak, aku capek."
Dan ada satu hal yang benar-benar membuatku takut.
Setiap kali aku melihatnya dari sudut mataku, aku merasa… ekspresinya berbeda.
Bukan Alin yang biasanya.
Senyumnya lebih lebar dari biasanya, tapi hanya bertahan sesaat.
Kadang, aku merasa dia tidak berkedip sama sekali ketika menatapku.
Aku mencoba mengabaikannya. Mungkin dia memang capek, pikirku.
Tapi malam itu, aku melihat sesuatu yang menghapus semua keraguanku.
Aku terbangun tengah malam karena haus. Aku keluar kamar dengan langkah pelan, menuju dapur.
Saat melewati kamar Alin, aku berhenti.
Pintunya terbuka sedikit.
Dan dari celah itu… aku bisa melihat Alin berdiri di depan cerminnya.
Dia berdiri diam di sana, menatap pantulannya sendiri.
Aku hampir memanggilnya, tapi sesuatu membuatku membeku di tempat.
Di dalam cermin… bayangannya tidak mengikuti gerakannya.
Aku menahan napas.
Alin—yang asli—miringkan kepalanya sedikit.
Tapi bayangannya tidak bergerak sama sekali.
Aku mundur perlahan, lalu kembali ke kamarku.
Malam itu, aku tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhku, berharap pagi segera datang.
Part 5: Yang Berdiri di Pintu
Besoknya, aku tidak tahan lagi. Aku bertanya ke Alin saat sarapan.
"Kak, kamu beli cermin itu kapan?"
Alin mengangkat wajahnya. "Cermin apa?"
Aku menelan ludah. "Cermin di kamarmu."
Alin menatapku beberapa detik, lalu tersenyum kecil. "Aku nggak pernah beli cermin, Bud."
Aku merinding. "Tapi… aku lihat ada di kamarmu."
Dia hanya diam.
Lalu, dengan suara pelan, dia berbisik, "Mungkin bukan aku yang bawa ke sana."
Aku langsung berhenti makan.
"Kak… maksudmu apa?" tanyaku takut-takut.
Alin hanya tersenyum lagi. Kali ini, senyumnya terasa sangat salah.
Part 6: Jangan Biarkan Dia Masuk
Malam itu, aku mendengar suara langkah kaki di rumah.
Awalnya aku pikir itu Alin. Tapi suara itu terdengar lebih berat.
Aku menarik selimut lebih erat, berusaha mengabaikan suara itu.
Tapi kemudian… ada suara lain.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan di pintu kamarku.
Aku membeku.
Lalu suara Alin terdengar dari luar.
"Bud… boleh aku masuk?"
Aku ingin menjawab, tapi suaraku tercekat.
Sesuatu terasa salah.
Aku menoleh ke samping tempat tidurku…
Dan melihat Alin sedang tidur di sana.
Aku menahan napas.
Kalau Alin ada di sini…
Lalu siapa yang berdiri di balik pintu kamarku?
Bersambung ke Part 7 !
ns216.73.216.82da2