
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di https://lynk.id/finalfantasy (lebih mudah dan lebih murah)192Please respect copyright.PENANAgz6EDJ9ayF
----------------------------------------------------------------------------------
Rendi keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggang, rambutnya basah dan kulitnya terasa segar setelah air dingin membilas sisa-sisa keringat dan rasa bersalah dari momen di kasur tadi. Pukul 19:30 malam, kamarnya yang kecil diterangi lampu neon pucat, dan di luar jendela, langit sudah gelap pekat, hanya sesekali terdengar suara motor lewat dan qasidah samar dari masjid terdekat. Dia mengenakan kaus longgar dan celana pendek, lalu duduk di meja kecilnya, menatap laptop tuanya yang berderit saat dinyalakan. Pikirannya masih terpaku pada Tante Dian—tank top tipis, goyangan payudaranya, dan senyum genit yang bikin dia grogi seharian. Meski badannya capek, tugas mengedit video untuk OnlyFans nggak bisa ditunda, apalagi setelah telepon Dian tadi yang penuh arahan.
Di samping laptop, ada secangkir teh hangat yang masih mengepul, aroma manisnya bercampur dengan bau minyak dari sepiring pisang goreng yang dibawakan ibunya tadi. “Makan, Ren, biar kuat ngedit,” kata Bu Sari sebelum kembali ke dapur, suaranya penuh kasih, nggak tahu kalau anaknya sedang bergulat dengan video syur. Rendi menghela napas, mengambil sepotong pisang goreng, dan menggigitnya pelan, rasa manis dan renyah itu sedikit menenangkan, tapi nggak cukup untuk mengusir bayangan Dian dari kepalanya. Dia membuka software edit video, lalu menghubungkan kamera ke laptop, file-file syuting tadi siang muncul di layar, thumbnail-nya menunjukkan Dian yang tersenyum ke kamera, tank top-nya memperlihatkan lekuk payudaranya yang montok.
Rendi menyesap teh, jari-jarinya ragu-ragu saat mengklik file pertama—take “dribble dada” yang Dian goyangkan payudaranya dengan ritme menggoda. Video itu mulai diputar di layar, suara Dian yang lembut, “Kalian suka Tante nakal, ya?” terdengar jelas di headphone yang dia pakai supaya ibunya nggak dengar. Rendi berusaha fokus, memotong bagian awal yang terlalu panjang, menyesuaikan durasi seperti arahan Dian—lima menit per klip, nggak terlalu pendek. Tapi setiap gerakan Dian, setiap goyangan yang bikin puting coklat mudanya mencuat di balik kain tipis, bikin tangannya berhenti sejenak. Dia menelan ludah, merasa hasrat tadi siang muncul lagi, tapi kali ini dia menggigit bibir, berusaha tetep profesional meski dadanya berdebar.
Dia beralih ke take “loncat-loncat”, yang payudara Dian bergoyang lebih liar, beberapa kali tank top-nya melorot, meski Rendi udah hapus bagian yang terlalu eksplisit seperti Dian minta. Dia menambahkan watermark “DianPramesti” di sudut video, font putih sederhana yang nggak mengganggu, sambil mengingat peringatan Dian soal pencuri konten. Teh di cangkir mulai dingin, tapi Rendi nggak peduli, matanya terpaku pada layar, kadang tersenyum kecil karena bangga—dia yang ngedit ini, dia yang pegang video ini duluan sebelum ribuan cowok di Instagram Dian lihat. Tapi ada juga rasa bersalah, tahu ibunya di ruang sebelah nggak akan nyangka anaknya lagi ngedit sesuatu yang jauh dari “video YouTube” yang dia bayangin.
Saat jarum jam mendekati pukul 21:00, Rendi menyelesaikan dua klip, menyimpannya dengan hati-hati di folder berpassword di laptopnya. Dia mengunyah pisang goreng terakhir, menatap layar yang sekarang kosong, dan termenung. Langit di balik jendela masih gelap, cuma ada lampu jalan yang berkedip samar. Pikirannya masih di apartemen Dian tadi siang—aroma parfumnya, sentuhan bahunya saat dia benarin tali tank top, dan janji broadcast OnlyFans yang bikin dia penasaran sekaligus cemas.
------------------------
Pukul 21:15 malam, kamarnya hening kecuali derit kipas angin dan suara qasidah samar dari luar. Dia baru saja menutup software edit video, berniat meregangkan badan sebelum lanjut edit klip berikutnya, saat ponselnya berdering pelan di samping cangkir. Layar menunjukkan nama “Tante Dian” lagi, membuat jantungannya berdetak lebih kencang. “Dua kali telpon dalam satu malam?” gumamnya, tangannya sedikit gemetar saat mengangkat telepon, berharap ibunya di ruang tamu nggak dengar apa-apa.
“Halo, Ren! Lagi apa, nih? Udah mulai edit, kan?” sapa Dian di ujung telepon, suaranya ceria dan penuh energi, seolah nggak capek meski hari ini penuh syuting. Rendi tersenyum kecil, suaranya serak tapi berusaha santai. “Halo, Tan. Iya, lagi edit, nih. Udah selesai dua klip, tinggal beresin yang lain. Tante apa kabar? Kok belum tidur?” tanyanya, mencoba basa-basi sambil menggosok tengkuknya. Dian terkekeh, suaranya lembut. “Tante? Baru selesai skincare, nih, biar besok syuting tetap glowing, hihihi. Eh, kamu udah makan malam belum? Mama masak apa tadi?” Rendi menjawab pelan, cerita soal telur balado ibunya, dan Dian menimpali dengan cerita lucu tentang dia yang tadi nyaris bakar dapur pas coba masak mie. Obrolan ringan itu bikin Rendi sedikit rileks, meski pikirannya masih setengah di video syur yang dia edit.
Tiba-tiba, nada Dian berubah jadi lebih serius, penuh semangat. “Oh iya, Ren, Tante baru aja broadcast ke follower Instagram Tante, loh. Bilang kalau Tante bakal bikin akun OnlyFans. Responnya rame banget, apalagi followernya kan kebanyakan cowok,” katanya, terkekeh, tapi ada kebanggaan di suaranya. “Coba kamu masuk grup broadcast-nya, deh, biar tahu apa kata mereka. Tante masukin nomor kamu tadi, harusnya udah masuk. Lihat sendiri, seru banget!” lanjutnya, nadanya menggoda. Rendi menelan ludah, jantungannya berdetak kencang. “S-Sekarang, Tan?” tanyanya, suaranya tergagap, tapi Dian cuma bilang, “Iya, sekarang! Tante tunggu kabar, ya, Ren. Jangan lupa editannya!” sebelum menutup telepon, meninggalkan Rendi dengan ponsel yang masih hangat di tangan.
Rendi buru-buru membuka Instagram, tangannya sedikit gemetar saat mencari grup broadcast yang Dian maksud. Begitu masuk, dia disambut ratusan pesan dari follower Dian, mayoritas akun laki-laki dengan foto profil macam-macam—ada yang pamer mobil, gym, atau cuma selfie buram. Komen-komen itu berderet cepat, penuh nada genit dan nggak sabar. “Mbak Dian, kapan upload yang lebih hot? Tank top kemarin udah bikin ngiler!” tulis akun @RudiGanteng88
, disusul emoticon api. “Baju ketat lagi dong, Dian, yang transparan kayak di story dulu!” komen @Joko_Macho
, bikin Rendi memerah ingat tank top tadi siang. Ada juga yang lebih berani, seperti @BOSS_Arif
yang nulis, “OnlyFans-nya ada konten spesial, kan? Gue bayar berapa pun!” Rendi merasa campur aduk—bangga karena dia yang rekam video itu, tapi juga canggung baca komen-komen yang begitu terbuka, apalagi yang nyeletuk soal “kencan berbayar” kayak @DaniPlayboy
: “Dian, kalo buka slot date, gue duluan ya, hehe.”Deretan komen terus bertambah, ada yang sopan kayak “Cantik banget, Mbak Dian, pasti laku OnlyFans-nya!” dari @Rian_BaikHati
, tapi kebanyakan genit dan penuh godaan. “Bikini dong, Dian, atau lingerie, gue siap subscribe!” tulis @Tomi_Hunter
, disusul puluhan like dari akun lain. Rendi men scrolling dengan mata membelalak, nggak nyangka antusiasme cowok-cowok ini begitu besar, apalagi banyak yang sebut-sebut penampilan Dian di FTV dulu atau story Instagramnya yang seksi. Ada komen yang bikin Rendi nggak enak, kayak @Irfan_Kaya
yang nulis, “Kapan buka DM buat private session, Dian? Nama besar loh!” Rendi tahu itu cuma bercanda, tapi dia merasa aneh, apalagi tahu dia yang megang video asli sebelum mereka semua lihat. Dia menutup Instagram, napasnya berat, pikirannya penuh dengan campuran kagum, cemburu, dan tekanan untuk bikin editan yang bikin komen-komen ini “puas”.
------------------------------------
Rendi menutup aplikasi Instagram di ponselnya, layar kembali ke tampilan wallpaper sederhana berupa foto pantai dari liburan keluarga tiga tahun lalu. Kamarnya masih hening, hanya suara kipas angin yang berdengung pelan dan aroma teh dingin yang tersisa di cangkir. Pukul 21:30 malam, laptop di mejanya menunjukkan klip video Tante Dian yang belum selesai diedit, tapi pikirannya kini dipenuhi deretan komen genit dari grup broadcast Instagram. Cowok-cowok itu, dengan nada penuh godaan dan antusiasme, seolah berebut ingin jadi yang pertama lihat konten OnlyFans Dian. Rendi merasa dadanya sesak, ada perasaan aneh yang menggelitik—bibit cemburu yang nggak dia sadari, seperti nggak rela keindahan dan keseksian Tante Dian, yang dia rekam sendiri dengan susah payah, dinikmati ribuan orang asing. Tapi dia buru-buru menggeleng, mencoba menepis pikiran itu; ini kan cuma kerja, dan Dian sendiri yang pengen kontennya laku.
Dia menatap ponsel lagi, jari-jarinya ragu-ragu saat membuka chat dengan Tante Dian. Komen-komen tadi—“baju transparan dong,” “private session kapan,” “gue bayar berapa pun”—masih berputar di kepalanya, bikin dia merasa seperti menyimpan rahasia yang terlalu besar. Dalam hati, dia ingin Dian tetep jadi tante yang cuma dia kenal, yang ngelus bahunya sambil kasih uang jajan, bukan bintang OnlyFans yang jadi idaman cowok-cowok itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ini proyek mereka, dan Rendi tahu dia nggak punya hak untuk protes. Dia menarik napas dalam, lalu mengetik pesan singkat: “Tan, udah lihat grup broadcast-nya. Rame banget, ya. Mudah-mudahan konten pertamanya laku keras!” Dia menekan kirim, berharap nada pesannya terdengar netral, meski dalam hati ada sedikit rasa nggak ikhlas.
Ponselnya bergetar hampir seketika, dan nama Dian muncul dengan balasan: “Hihihi, iya, Ren, Tante juga kaget! Makasih doanya, ya. Kamu udah berapa klip selesai edit?” Rendi tersenyum kecil, lega karena Dian nggak nanya soal reaksinya ke grup broadcast. “Dua klip udah, Tan. Lagi lanjutin yang ketiga. Besok pagi selesai, deh,” balasnya, jari-jarinya mengetik cepat, berusaha fokus ke kerjaan. Tapi saat meletakkan ponsel, bayangan Dian di video—goyangan payudaranya, senyum genit, dan tank top yang melorot—kembali muncul, dan cemburu itu menyelinap lagi. Dia nggak suka mikirin cowok-cowok itu bakal ngeliat hal yang sama, mungkin dengan pikiran yang lebih liar dari fantasinya tadi malam.
Rendi bangkit dari kursi, berjalan ke jendela kamar yang menghadap gang sempit di luar. Lampu jalan berkedip samar, dan suara qasidah dari masjid udah berhenti, diganti keheningan malam yang cuma sesekali dipecah bunyi klakson motor. Dia menatap langit gelap, mencoba memahami kenapa dia merasa begini. Tante Dian bukan cuma tante baginya sekarang—dia kayak bintang yang dia bantu ciptain, tapi juga sesuatu yang dia nggak mau bagi. “Apaan sih, Ren, ini cuma kerja,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba nyanyi-nyanyi pelan biar pikirannya jernih. Tapi dalam hati, dia tahu perasaan itu nggak gampang hilang, apalagi dengan broadcast Dian yang bakal bikin lebih banyak orang haus sama konten mereka.
Kembali ke meja, Rendi menyesap sisa teh yang udah dingin, lalu membuka laptop lagi. Layar menunjukkan frame Dian yang sedang loncat-loncat, payudaranya bergoyang di balik tank top tipis, dan watermark “DianPramesti” sudah rapi di sudut. Dia menghela napas, jari-jarinya mulai memotong bagian yang nggak perlu, menyesuaikan transisi supaya klip terlihat mulus. Meski cemburu itu masih ada, dia merasa sedikit bangga—dia yang megang video ini duluan, dia yang bikin jadi keren sebelum orang-orang itu lihat. “Kalau laku, Tante seneng, aku juga dapat duit,” katanya dalam hati, mencoba fokus ke sisi praktis. Tapi setiap kali Dian tersenyum ke kamera di layar, ada tusukan kecil di dadanya, tahu bahwa besok, ribuan mata bakal menikmati apa yang dia rekam dengan tangannya sendiri.
Rendi menutup klip ketiga, menyimpannya dengan hati-hati, lalu meregangkan tangan. Dia melirik ponsel, pesan terakhir dari Dian masih terbuka, dan dia membayangkan tante-nya yang mungkin lagi cek Instagram, ketawa-ketawa baca komen cowok-cowok itu. “Mudah-mudahan laku, Tan,” gumamnya pelan, kali ini lebih tulus, meski cemburu itu masih bersemayam di sudut hatinya.
192Please respect copyright.PENANAjb9jtt427R
--------------------------
Rendi baru saja mematikan layar laptopnya setelah menyelesaikan editan ketiga, tubuhnya terasa berat dari capek dan pikiran yang penuh dengan Tante Dian serta komen-komen genit di grup broadcast Instagram. Pukul 22:00 malam, kamarnya hanya diterangi lampu meja kecil, dan suara malam di luar jendela sudah sunyi, cuma sesekali terdengar suara motor lewat gang. Dia meraih ponsel, berniat membalas pesan terakhir Dian lalu tidur, tapi sebelum dia sempat menutup WhatsApp, notifikasi baru muncul dari “Tante Dian”. Pesannya singkat tapi bikin jantungannya berdetak: “Ren, kayaknya kamu mengkhawatirkan sesuatu, ya? Tante kok punya firasat kamu nggak baik-baik aja. Apa kabar?” Rendi menatap layar, tangannya membeku, nggak nyangka Dian bisa peka sampai begitu dari sekedar pesan singkatnya tadi.
Dia menarik napas, mencoba tenang, lalu mengetik balasan. “Halo, Tan, aku baik-baik aja, kok. Cuma capek, habis edit tiga klip. Tante apa kabar? Masih melek?” tulisnya, berusaha terdengar santai meski dadanya sesak. Dian membalas cepat, “Tante? Lagi nonton drama Korea, nih, tapi kepikiran kamu. Kayaknya tadi pesenmu agak beda, Ren. Capek doang apa ada apa? Ceritain dong ke Tante.” Rendi tersenyum kecil, merasa hangat karena perhatian Dian, tapi juga grogi karena nggak mau ketahuan soal cemburu yang dia rasain. “Nggak ada apa-apa, Tan, beneran. Cuma mikirin besok harus bangun pagi kirim editan. Tante jangan begadang, loh,” balasnya, berharap basa-basi ini cukup untuk ganti topik.
Tapi Dian nggak gampang dialihin. Pesan berikutnya bikin Rendi menelan ludah: “Ren, jujur deh sama Tante. Kamu cemburu, ya, kalau orang-orang di broadcast tadi bisa lihat badan Tante di OnlyFans?” Pertanyaan itu seperti petir, langsung bikin wajah Rendi memerah. Dia menatap ponsel, jari-jarinya ragu di atas keyboard, nggak tahu harus jawab apa. “Apaan sih, Tan, cemburu? Nggak lah, aku kan cuma kameraman,” balasnya cepat, mencoba ketawa lewat emoticon, tapi dalam hati dia tahu itu kedengeran lelet. Dian nggak berhenti, malah membalas dengan nada menggoda, “Hihihi, jangan bohong, Ren. Tante tahu kok, keponakan Tante pasti nggak rela Tante dilihat banyak orang. Matamu tadi siang beda, loh, pas Tante goyang-goyang.” Pesan itu diakhiri emoticon kenyit, bikin Rendi semakin gelagapan.
Rendi menggosok tengkuknya, merasa terpojok. Dia bisa bayangin Dian di apartemennya, mungkin duduk di sofa dengan piyama, ketawa kecil sambil ngetik pesan ini. Cemburu yang tadi dia coba tepis sekarang terasa nyata, dan dia nggak bisa bohong lagi. “Oke, Tan, jujur... aku nggak cemburu-cemburu banget, tapi... ya, agak takut aja kalau semua orang bisa lihat kecantikan Tante, badan Tante, gitu,” ketiknya, jari-jarinya gemetar, lalu buru-buru nambah, “Bukan takut sih, cuma... kan Tante spesial, aku nggak mau orang-orang itu ngerasa mereka bisa... ehm, deket sama Tante.” Dia menekan kirim, napasnya tertahan, menyesal tapi juga lega karena akhirnya jujur.
Dian membalas dengan pesan panjang, suaranya seolah terdengar meski cuma tulisan. “Aduh, Ren, manis banget sih kamu. Tante tersanjung, loh, keponakan Tante sayang sama Tante, hihihi. Tenang, ya, ini cuma konten, Tante tahu batasnya. Orang-orang itu cuma bisa lihat, tapi yang bantu Tante bikin ini kan kamu. Tante nggak bakal lupa itu.” Pesan itu diakhiri emoticon hati, bikin Rendi tersenyum kecil meski wajahnya masih merah.
--------------------------------
Rendi masih terduduk di kasurnya, ponsel di tangan, wajahnya merah setelah chat jujur soal cemburunya ke Tante Dian. Pesan terakhir dari Dian, penuh emoticon hati dan kata-kata hangat, bikin dadanya terasa ringan, meski pikirannya masih kacau. Pukul 22:15 malam, kamarnya hanya diterangi lampu meja, dan suara malam di luar jendela cuma sesekali dipecah bunyi motor lewat. Dia baru mau mematikan ponsel untuk tidur, berharap bisa istirahat dari hari yang penuh drama, saat notifikasi WhatsApp dari Dian muncul lagi. Rendi membuka pesan itu, dan matanya membelalak membaca kalimat yang bikin jantungannya hampir copot: “Ren, kalau kamu bantu Tante dan penjualan konten OnlyFans ini bagus, kamu boleh nikmatin tubuh Tante sepuas kamu, kok. Hihihi.” Emoticon kenyit di akhir pesan itu seperti tamparan genit yang bikin Rendi membeku.
Dadanya langsung sesak, perasaan campur aduk membanjiri pikirannya—bingung, senang, kaget, malu, semua bercampur jadi satu. Dia menatap pesan itu berulang-ulang, nggak yakin apa maksud Dian. Apa ini cuma godaan nakal seperti biasa, atau serius? Bayangan Dian dengan tank top tipis, goyangan payudaranya, dan aroma parfum floralnya langsung muncul, bikin tangannya gemetar. “Apaan sih, Tan, ngomong gitu,” gumamnya sendiri, wajahnya panas. Dia ingin balas, tapi jari-jarinya cuma mondar-mandir di atas keyboard, nggak tahu kata-kata apa yang pas. “Hihihi, Tante bercanda, kan?” ketiknya, tapi nggak dikirim, takut kedengeran bodoh. Atau mungkin, “Tan, jangan gitu, aku malu,” tapi itu juga nggak tepat. Akhirnya, dia memutuskan untuk telepon, berharap bisa dengar suara Dian dan pastiin apa ini cuma main-main.
Rendi menekan tombol panggil, ponselnya mendengung, tapi setelah beberapa detik, nada sambung berhenti, dan pesan otomatis muncul: “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan.” Dia mengerutkan kening, coba lagi, tapi hasilnya sama. “Serius, Tan, matiin HP?” katanya pelan, merasa seperti kena prank. Tiba-tiba, dia membayangkan Dian di apartemennya, duduk di sofa dengan senyum nakal, sengaja mematikan ponsel setelah ngetik pesan itu, seolah tahu persis Rendi bakal panik. Godaan ini terasa begitu khas Dian—genit, penuh teka-teki, dan bikin dia nggak bisa tidur nyenyak. Rendi menjatuhkan diri ke kasur, ponsel masih di tangan, napasnya berat, pikirannya penuh dengan campuran hasrat dan rasa bersalah yang makin rumit.
Dia menatap plafon kamar, lampu neon pucat bikin bayangan samar di dinding. Pesan Dian masih terbuka di layar ponsel, dan setiap kali dia baca ulang, dadanya berdebar lebih kencang. Bagian dirinya yang senang nggak bisa bohong—bayangan “nikmatin tubuh Tante” bikin fantasinya liar lagi, mengingatkan dia pada momen tadi malam saat dia mengocok sambil nonton video syuting. Tapi rasa malu dan bingung lebih besar; Dian tante-nya, dan meski proyek OnlyFans ini bikin batasan mereka kabur, tawaran itu terasa terlalu jauh. “Tante pasti bercanda,” katanya, mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi nada genit Dian di pesan itu, ditambah HP yang dimatikan, bikin dia ragu. Dia membayangkan Dian ketawa-ketawa sendiri, tahu keponakannya lagi gelagapan, dan itu bikin Rendi tambah kesal sekaligus penasaran.
Akhirnya, Rendi mematikan ponsel, meletakkannya di meja, dan menarik selimut. Dia tahu dia nggak akan balas pesan itu malam ini—terlalu riskan, dan dia nggak mau buru-buru ngomong sesuatu yang bakal bikin situasi makin aneh. Besok, saat kirim hasil editan, mungkin dia bisa pura-pura nggak baca pesan ini, atau tanya langsung apa maksud Dian, meski dia nggak yakin punya nyali. Kamarnya hening, cuma suara kipas angin yang berdengung, tapi pikiran Rendi berisik dengan bayangan Dian—tubuhnya yang montok, senyumnya yang menggoda, dan tawaran yang bikin dia nggak bisa tidur. Malam itu, Rendi tahu dia bakal gelisah, terjebak antara perasaan yang nggak seharusnya ada dan proyek yang udah bikin hidupnya berubah drastis.
192Please respect copyright.PENANAlCFKvPzWlj
192Please respect copyright.PENANA5kbxhAnNaI
TO BE CONTINUED
----------------------------------------------------------------------------------192Please respect copyright.PENANAo6KnAriMnp
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di https://lynk.id/finalfantasy (lebih mudah dan lebih murah)
----------------------------------------------------------------------------------
ns18.216.64.93da2