Cinta....
Banyak hal yang kita lakukan dengan cinta. Setiap orang berhak memilikinya tanpa memperdulikan usia, jabatan, bahkan derajat sekalipun. Cinta itu abstarak, sulit di prediksi. Ibarat kata, kita mau bepergian tetapi tak tahu mau ke mana kita pergi tetapi ketika di jalan, kita akan menemukan sesuatu secara tiba - tiba yang membuat kita tertarik. Seperti cinta, sesuatu yang dadakan menerpa hati kita ketika kita menemukan hati yang membuat kita tertarik. Cinta itu abstrak.
497Please respect copyright.PENANAcj1BYJHRqT
Pria berambut gondrong menatap sebuah rumah di sebuah komplek. Matanya semakin pedih, hatinya terasa babak belur dan pikirannya menyiratkan kebencian. Rangga Ardian Sanjaya. Nama yang tampan bukan. Orang - orang memanggilnya Rangga. Pria yang kalem dan santai, itu kata tetangga sekitar. Memiliki wajah tampan namun penampilannya jauh dari wajah yang menghiasinya. Wajah tampan itu sangat kontras dengan keadaan hidupnya yang serba kekukarangan.
Menatap kembali rumah itu. Kejadian cukup cepat dan tak terduga. Malam itu Rangga pulang ngedate bersama kekasihnya, Tiara. Di depan rumah ini kejadian buruk malam itu terjadi. Pria setengah tua berdiri tegap dengan mata melotot menyiratkan keangkuhan dan ketidaksukaan terhadap Rangga.
"Tiara masuk!" perintahnya tegas tanpa tedeng aling.
Tanpa perlawanan Tiara memgikuti perintah Ayahanya. Berjalan tertunduk lesu, ia akan tahu apa yang akan terjadi. Hujatan - hujatan yang terlontar dari mulut Ayah yang membuat perih di hati siapa pun yang mendengarkannya pasti akan tahu betapa cadasnya kata - kata itu. Tiara melirik Rangga sesaat, khawatir dengannya. Rangga sepertinya juga sudah tahu apa yang di katakan nanti oleh Ayah Tiara.
"Saya ingin bicara dengan kamu, anak miskin!" tegas, lugas, dingin. "Untuk kali ini saya ijinkan kamu masuk rumah saya. Kamu belum pernah kan, menginjak kaki di rumah megah nan elegen milik saya. Kamu takkan pernah milikinya.
Hinaan pedas membahana memonohok hati Rangga. Namun ia mencoba bersabar dengan sikap Ayah Tiara.
"Dia orang tua, Ngga. Sabar, jangan di lawan. Anggap ini sebuah ujian." batin Rangga mencoba untuk bersabar dengan sikap dan kelakuan Ayah Tiara. Rangga tak mau melawan orang tua. Meski bukan Ayahnya ia tetap menghormatinya seperti ia menghotmati Ayahnya sendiri.
"Mari."
Satu langkah kaki Rangga mrnginjak halaman depan rumah Tiara. Berdebar? Rangga merasakan sedikit berdebar. Seperti manusia kere pada umumnya, ia merasa gerogi ketika pertama kali masuk tumah sebesar istana presiden ini.
Rumah Tiara bergaya khas Eropa yang di sisi kanan dan kiri rumah di apit oleh rerumputan halus seperti karpet. Blandar besi besar dan panjang terpampang dengan motif corak naga. Siapa pun yang melihatnya pasti terkesima. Di perumahan ini, rumah Tiara yang paling besar dan elegan. Pujian - pujian dari tetangga selalu mengalir setiap saat dan membuat Dirgha dan Diana bersikap sombong.
Di teras rumah Tiara terdapat dua buah kursi sejajar yang di pisahkan oleh meja bundar berbentu jaring - jaring cat putih. Di atas meja terdapat vas beserta bunga lily kesukaan Tiara.
"Silahkan duduk"
"Tunggu sebentar"
Dirgha masuk ke dalam rumah.
Di balik kaca jendela Tiara memperhatikan Rangga. Sedih hati yang dirasakan. Betapa sulit perjalanan cintanya dengan Rangga. Dari dulu sampai sekarang Tiara belum merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan Tiara selalu sesaat, ketika ia berulang tahun. Kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan masing - masing, sehingga tak memiliki waktu untuk mengurus Tiara. Dari kecil,Tiara kurang perhatian dari mereka, tapi Tiara beruntung memiliki pengasuh yang sayang dan perhatian. Tiara memanggil Mbok Tari, wanita setengah tua bisa di bilang setara usianya dengan Bunda. Dia di tinggal mati oleh suaminya dan anaknya. Awal Mbok Tari bekerja di sini karena keberuntungannya bertemu Tiara kecil di jalan. Waktu itu Tiara kecil tersesat di jalan. Mbok Tari menemukannya dan langsung berinisiatif mengembalikkan kepada orang tua Tiara. Awalnya kebingungan juga karena ia baru kenal kota Jakarta.
Semula Diana menuduh Mbok Taru menculiknya, karena kejujuran Tiara, ia mengatakan yang sebenarnya bahwa Mbok Tari yang menemukannya. Mbok Tari juga menagatakan dia berasal dari kampung, datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di sinilah Mbok Tari tawaran pekerjaan oleh Diana. Tiara kecil jingkrak - jingkral senang lalu memeluk Mbok Tari.
"Tiara, masuk!" perintah Ayah tegas. Mengagetkannya dari belakang. Dirgha sekarang menggenggam sebuah berkas. Tiara menatap dengan curiga yang di gemggan Ayah. Dari situ perasaan Tiara campur aduk, bertambah khawatir.
"Kamu enggak dengar perkataan Ayah!"
Tiara mendesah, "baik Ayah."
Mau tidak mau Tiara meninggalkan tempat ini. Langkahnya berat. Ada beban di kedua jenjang kakinya. Darah mendesir kaku, ketakutan meendominasi batinnya.
Setelah Tiara menghilang, Dirgha lalu menemui Rangga di teras depan. Sebuah berkas warna coklat di lempar ke atas meja, Rangga sedikit terkejut lalu menatap Dirgha sesaat menanyakan secara tersirat: apa maksudnya ini.
"Buka dan baca!" Dirgha sembari duduk di kursi sebelah Rangga. Sorot mata yang angkuh dan tajam menerpa halaman rumah.
Suara kertas yang beradu dengan kulit jemari Rangga. Ia membaca dalam hati tulisan besar hitam tebal bagian atas SURAT PERJANJIAN PENJAUHAN. Rangga sedikit curiga namun ia tepis itu sementara waktu. Dengan cermat Rangga membaca kata demi kata yang tertulis di kertas itu. Raut wajahnya teekadang santai terkadang juga memberengut. Genggaman tangan semakin erat ketika ia membaca di akhir kalimat: Ini ada cek 50 juta sebagai gantinya kamu meninggalkan Tiara. Itu cukup buat biaya hidupmu yang serba kekurangan.
Darahnya mendesir hebat membaca surat perjanjian ini, namun Rangga harus bisa mengontrolnya. Ia selipkan kertas itu ke dalam berkas coklat, lalu menutup dengan lembut. Alangkah hinanya Rangga di mata Dirgha. Rangga tak menyangka dapat surat perjanjian yang memalukan ini.
"Bagaimana?"
"Udah jelaskan? Uangnya bisa kamu ambil sekarang juga." sembari menulis di kertas cek. Rangga hanya mengamati dan merasa bodoh melihat kegilaan manusia kaya materi seperti Dirgha yang mempermalukan dirinya seperti ini.
"Ini. Ambil."
"Maaf Om." Rangga menyambut lalu menaruh kertas cek diatas meja, "meski saya miskin tapi saya masih punya harga diri."
Dirgha tergelak kaget.
"Cinta saya dan Tiara tak bisa di ganggu gugat apapun alasannya. Karna cinta saya tulus tanpa main - main."
"Tau apa kamu tentang cinta!" potong Dirgha.
"Orang miskin yang diinginkan dari orang konglomerat seperti saya ini hanya uang. Iya kan. UANG!"
"Kamu itu miskin struktu...."
"Cinta bukan uang Om!" potong Rangga cepat. "Om bisa melakukan aja dengan uang, tapi tidak dengan cinta. Cinta bukan barang yang bisa dibeli oleh apapun. Termasuk dengan uang sekali pun. Cinta itu milik hati."
"Kamu!!" Dirgha geram mengepal tangannya. Rangga melirik tangan Dirgha. "Sekarang keluar dari rumah saya!
"Keluar!" teriaknya keras.
Tanpa jawaban Rangga berjalan meninggalkan rumah Tiara. Ia tak habis pikir dengan orang kaya. Kenapa segala sesuatunya uang jadi nomer satu. Uang menjadi prioritas. Cinta bisa dibeli? Itu sangat bodoh dan naif. Love not money.
Rangga kembali ke peredarannya sekarang. Membayangkan kejadian itu membuatnya cukup makan hati. Ia masih bersabar dengan kejadian itu dan ia belum kapok. Rangga mencoba lagi meluluhkan hati kedua orang tua Tiara. Rangga harus berusaha terus pantang menyerah.
Hendak ia melangkah mendekati rumah itu tiba - tiba berhenti sebuah mobil Pajero di rumah Tiara. Rangga terus memperhatikan. Muncul pria berambut rapi dengan setelan kemeja biru dilapisi jas hitam, beserta bawahan panjang senada warna jas. Pria itu tampak elegan dan modis.
"Siapa pria itu?" batinnya.
Pria itu membuka pintu sebelah kanan mobil. Mata Rangga melebar mata ketika muncul sosok yang Rangga kenal keluar dari mobil.
"Tiara."
Melihat Tiara sedang berjalan dengan pria lain, hati Rangga remuk tanpa toleransi. Serpihan luka merasuk ke hati yang paling dalam. Sungguh nista tak terungkapkan dengan kata - kata. Tapi relung hati membisikkan untuk tetap tenang, tak berburuk sangka. Mungkin hanya teman, batinnya.
497Please respect copyright.PENANAiq1kvSytty
©ReadEnjoy
497Please respect copyright.PENANAGMTBiskfow
"Rangga!" batinnya.
Sekujur tubuhnya merasa kaku sempurna. Mulutnya membisu tak dapat berbuat apa - apa. Teriak pun sangat sulit, lidahnya kelu. Mata itu terus menatap mata yang lain. Mata itu selalu di rindukan setiap saat. Mata itu juga menjadi mengapa ia selalu tenang jika di dekatnya. Tapi setelah kejadian malam waktu itu, semua berubah. Tiara jarang bertemu dengan Rangga. Ayah melarangnya keluar, dan sebagai gantinya pria yang sekarang disampingnya yang menjaga Tiara. Ayah menjodohkan Tiara dengan pria ini. Namanya Ervando Ginarsa, orang kaya anak dari sahabat Ayah. Tiara tidak sangat setuju dengan perjodohan ini, tapi harus bagaimana lagi ia tak bisa melawan. Tiara takut kena karma karena tak menuruti kata - kata orang tua. Tapi di lain hati ia merasa berada di zaman Siti Nurbaya dengan perjodohan yang sangat absurd.
"Kamu kenapa melamun?"
Tiara menggeleng cepat, "tidak."
Singkat jawaban Tiara. Ia terkesan cuek dengan Ervando. Meski begitu Ervando tetap tenang. Tahu apa yang harus dilakukannya. Lama - lama akan runtuh juga sikap Tiara kepada dirinya. Yakinnya.
"Salam buat Ayah dan Bunda kamu."
"Ya."
"Aku kembali ke kantor lagi. Bye."
Mobil Pajero berjalan cepat sampai menghilang di tikungan. Tiara menghela nafas panjang, merasa lega. Manusia sok kaya itu sudah pergi. Tiara kemudian mengedarkan pandangannya ke arah lain. Mata itu bertemu kembali namun kali ini ia melihat Rangga berjalan menghampirinya. Sempat ada kekakuan diantara mereka namun mata mereka saling berkomunikasi.
"Rangga, Tiara." ucap mereka bersamaan di imbangi dengan senyuman mereka.
"Kamu duluan." Rangga berkata.
Kaku kembali, hening juga menemani mereka. Rangga menatap serius penuh tanda tanya. Wajah kekasihnya tertunduk. Lama sekali Tiara tak bersuara hingga akhirnya Rangga berinisiatif memulainya.
"Tadi siapa?"
Pertanyaan itu sudah Tiara duga. Pertanyaan yang sulit Tiara jawab. Bibirnya bergetat ingin menjawab namun tak berkuasa, terlalu rekat bibirnya yang tertutup. Seperti terkunci oleh bebatuan yang membebani bibirnya.
"Dia teman." menatap Rangga dengan senyum. Tiara tahu senyuman ini palsu, ia terpaksa melakukan ini. Tiara tak ingin Rangga kecewa. Ia sayang Rangga namun keadaan yang sulit diterima..
"Maafin aku, Rangga."
ns3.148.250.110da2