
Waktu makan siang tiba, dan ruko Tokoh Jaya untuk sementara sepi dari pelanggan, memberikan saya, Jimmy, dan Evelyn kesempatan untuk duduk bersama di meja kecil di ruang belakang. Saya memesan ayam goreng dari warung kecil di seberang jalan, sebuah kebiasaan sederhana yang biasanya jadi momen kebersamaan kami. Aroma ayam goreng yang renyah dan nasi hangat mengisi udara, tapi suasana di meja terasa jauh dari kehangatan yang biasa. Evelyn duduk di hadapan saya, masih mengenakan tanktop hitam dan celana pendek yang memperlihatkan kecantikannya, tapi wajahnya pucat, matanya menunduk, seolah masih membawa beban dari kejadian kemarin dan pagi ini. Saya menatap piring, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka percakapan, tapi pikiran saya dipenuhi oleh candaan genit Dedi, petugas susu, dan tawa kecil Evelyn yang masih terngiang. Rasa cemburu dan ketidakpastian membuat setiap suapan terasa seperti pasir di mulut saya.
Saya mengambil sepotong ayam, mencoba memecah keheningan dengan suara yang saya harap terdengar santai. “Ayamnya enak, ya, Ev. Kayaknya mereka tambah bumbu baru,” kataku, tapi nada saya kaku, dan saya tahu Evelyn bisa merasakan ketegangan itu. Dia hanya mengangguk, mengunyah nasi dengan gerakan mekanis, matanya tak pernah bertemu dengan mata saya. Biasanya, makan siang adalah waktu kami bercanda, berbagi cerita tentang pelanggan atau merencanakan akhir pekan bersama Agnes, tapi hari ini, meja ini terasa seperti medan perang yang penuh keheningan. Saya menatapnya, melihat bagaimana tanktopnya menempel di tubuhnya, mempertegas lekuk payudaranya yang besar, dan tanpa sadar, pikiran saya kembali ke candaan Dedi tadi pagi. Saya merasa dadaku sesak, dan saya tahu saya tak bisa terus menyimpan keresahan ini.
“Ev,” kataku pelan, meletakkan sendok di piring, “aku… aku risih banget sama yang tadi. Si Dedi, maksudku.” Saya menarik napas dalam, mencoba mengatur kata-kata agar tak terdengar menuduh. “Dia ngomong gitu ke kamu, soal… soal susu, dan kamu cuma ketawa. Aku ngerasa nggak enak, Ev.” Saya menatapnya, berharap dia akan memahami kekhawatiran saya, tapi juga takut dia akan marah seperti semalam. Wajahnya tetap menunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepala, matanya kini menatap saya dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara kesal dan kelelahan. Saya menunggu, jantungan saya berdegup kencang, berharap dia akan setuju bahwa candaan Dedi itu tak pantas, tapi responsnya membuat saya terkejut.
Evelyn menghela napas, meletakkan sendoknya dengan gerakan yang sedikit keras, dan menatap saya dengan tajam. “Jimmy, itu cuma bercanda. Aku tahu aku cantik, dan laki-laki suka ngomong gitu. Aku udah biasa,” katanya, nadanya datar tapi penuh penekanan, seolah saya seharusnya tak membuat masalah dari hal itu. Saya terdiam, merasa seperti ditampar oleh kata-katanya. Dia melanjutkan, “Malah aku yang heran, kenapa kamu nggak bilang apa-apa tadi? Kalau kamu risih, kenapa nggak tegur dia? Aku nggak ngerti, Jim, kamu cuma diam aja setiap ada yang ngomong gitu ke aku.” Nada suaranya kini lebih tinggi, penuh frustrasi, dan saya merasa jantungan saya berhenti sejenak. Saya tak menyangka dia akan membalikkan situasi seperti ini, menyalahkan saya atas kelemahan saya sendiri.
Saya menunduk, mencoba mencari kata-kata untuk membela diri, tapi tak ada yang terucap. Pikiran saya kembali ke kejadian dengan Dedi, bagaimana dia menatap payudara Evelyn dengan penuh nafsu, dan bagaimana Evelyn tertawa kecil, seolah tak terganggu. Saya merasa cemburu, tapi juga bersalah, karena dia benar—saya tak melakukan apa-apa, sama seperti ketika preman itu mempermalukannya kemarin. “Aku… aku cuma nggak mau bikin ribut, Ev,” kataku pelan, suara saya gemetar. “Dia supplier kita, kalau aku tegur, nanti dia nggak kirim susu lagi.” Tapi alasan itu terdengar lemah, bahkan di telinga saya sendiri, dan saya tahu Evelyn bisa melihat ketidaktegasan saya. Dia menggeleng, wajahnya penuh kekecewaan, dan itu seperti pisau yang menusuk hati saya.
“Jimmy, kamu selalu begitu,” kata Evelyn, nadanya kini lebih pelan tapi penuh luka. “Kamu cuma diam, nggak pernah berdiri buat aku. Aku nggak minta kamu berkelahi, tapi setidaknya tunjukkan kalau kamu peduli.” Dia menatap piringnya, tangannya meremas serbet kain, dan saya bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca. Saya ingin membantah, ingin bilang bahwa saya peduli, bahwa saya mati-matian ingin melindunginya, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan. Saya teringat kejadian dengan preman itu, bagaimana saya membiarkan Evelyn duduk di pangkuannya tanpa melawan, dan kini, candaan Dedi yang sederhana terasa seperti cerminan dari kegagalan saya. Saya menunduk, merasa seperti laki-laki yang tak layak jadi suaminya, dan keheningan kembali menyelimuti meja.
Saya mencoba mengalihkan pikiran, mengambil sepotong ayam dan mengunyahnya tanpa rasa, tapi pikiran saya terus kembali ke respons Evelyn. Dia bilang dia biasa dengan komentar seperti itu karena dia cantik, dan itu membuat saya bertanya-tanya—berapa sering hal seperti ini terjadi tanpa sepengetahuan saya? Apakah dia memang sering bercanda dengan laki-laki lain, atau dia hanya berusaha menutupi rasa takutnya dengan sikap santai? Saya menatapnya, melihat bagaimana tanktopnya menempel di tubuhnya, memperlihatkan lekuk payudaranya yang besar, dan tali bra yang kembali tersingkap sedikit saat dia mengangkat tangan untuk meraih gelas air. Kecantikannya, yang selalu jadi kebanggaan saya, kini terasa seperti sumber masalah yang tak bisa saya kendalikan, dan itu membuat saya semakin cemburu dan tak berdaya.
Evelyn tak banyak bicara setelah itu, hanya mengunyah makanannya dengan gerakan pelan, matanya sesekali melirik ke luar jendela, seolah ingin melarikan diri dari percakapan ini. Saya tahu dia terluka, bukan hanya oleh candaan Dedi, tapi oleh kelemahan saya yang terus-menerus dia rasakan. Saya ingin meminta maaf, ingin bilang bahwa saya akan berubah, tapi setelah pertengkaran semalam dan kegagalan saya menghadapi preman, saya tahu kata-kata saya tak lagi punya bobot. Saya menatap piring, mencoba mencari keberanian untuk melanjutkan percakapan, tapi setiap kali saya membuka mulut, rasa bersalah menutupnya kembali. Saya merasa seperti laki-laki yang terus gagal, dan setiap momen seperti ini hanya mempertegas betapa jauhnya saya dari suami yang Evelyn harapkan.
Saya teringat Agnes, putri kami yang sedang di sekolah, tak tahu tentang ketegangan yang kini merobek keluarga kami. Saya selalu bangga pada prioritas kami untuk pendidikannya, tapi kini, ancaman preman dan ketidakmampuan saya menghadapi situasi seperti tadi pagi membuat saya takut bahwa kami harus mengorbankan mimpinya. Saya melirik Evelyn lagi, melihat bagaimana dia duduk dengan anggun meski tanpa semangat, tanktopnya sedikit basah karena keringat, membuatnya tampak semakin menawan. Tapi kecantikannya kini terasa seperti beban, bukan hanya karena perhatian laki-laki seperti Dedi, tapi karena saya tak bisa melindunginya dari dunia yang melihatnya sebagai objek. Saya menunduk, merasa cemburu dan rendah diri bercampur menjadi satu, seperti racun yang perlahan menyebar di hati saya.
Makan siang berlalu dalam keheningan yang canggung, hanya suara sendok yang berdenting dan deru kendaraan di luar yang memecah kesunyian. Saya mencoba mencari topik lain, sesuatu yang bisa membawa kami kembali ke kehangatan yang dulu, tapi setiap kata yang terlintas terasa hampa. “Ev, nanti kita coba pikir lagi soal preman itu, ya,” kataku pelan, berharap bisa mengalihkan percakapan ke masalah yang lebih besar. Tapi Evelyn hanya mengangguk, tak menjawab, dan saya tahu dia masih memikirkan kata-kata saya tadi, tentang keresahan saya yang tak saya dukung dengan tindakan. Saya menatapnya, melihat bagaimana rambut panjangnya jatuh di bahunya, dan merasa seperti orang asing di hadapan wanita yang saya cintai. Saya tahu saya harus bertindak, tapi keberanian itu terasa begitu jauh dari jangkauan saya.
-------------------------
Makan siang di meja kecil ruang belakang ruko Tokoh Jaya telah usai, tapi ketegangan di antara saya, Jimmy, dan Evelyn masih terasa seperti awan gelap yang tak kunjung pergi. Piring-piring kosong dengan sisa ayam goreng dan nasi masih berserakan di meja, aroma bumbu yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar di udara yang pengap. Evelyn duduk di hadapan saya, tanktop hitamnya yang ketat dan celana pendek di atas lutut memperlihatkan kecantikannya yang selalu membuat saya kagum, tapi juga semakin menegaskan jarak di antara kami. Saya menatapnya, mencoba mencari keberanian untuk membahas pertanyaan yang sudah lama menggerogoti hati saya, terutama setelah candaan genit Dedi tadi pagi dan sikap Evelyn yang seolah mewajarkannya. Rasa cemburu dan rendah diri bercampur, membuat saya merasa seperti laki-laki yang tak layak di sisinya. Saya menarik napas dalam, berharap kata-kata yang akan keluar tak akan memperburuk keadaan, tapi hati saya sudah menduga bahwa percakapan ini akan sulit.
Saya memandang Evelyn, yang kini sibuk merapikan piring, gerakannya cepat seolah ingin menghindari kontak mata. “Ev,” kataku pelan, suara saya gemetar karena beban emosi yang menumpuk, “aku mau tanya sesuatu. Apa… apa karena aku nggak pernah bisa lindungin kamu, makanya kamu nggak mau dekat sama aku lagi? Maksudku, beberapa bulan ini… kita nggak pernah… kamu tahu, berhubungan.” Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap silabel terasa seperti mengorek luka yang sudah lama membusuk. Saya menunduk, tak berani menatap matanya, takut melihat kekecewaan atau, lebih buruk lagi, ketidakpedulian. Pikiran saya dipenuhi rasa takut bahwa dia memang sudah tak lagi melihat saya sebagai suami, hanya sebagai seseorang yang menjalankan peran tanpa makna. Saya mengepalkan tangan di bawah meja, berharap dia akan menjawab dengan kelembutan yang dulu, tapi hati saya sudah bersiap untuk yang terburuk.
Evelyn berhenti merapikan piring sejenak, tangannya terhenti di udara, tapi dia tak menoleh. Dia mengambil sepotong nasi yang tersisa di piringnya, mengunyahnya dengan gerakan yang jelas-jelas pura-pura, seolah tak mendengar pertanyaan saya. Sikapnya itu seperti pisau yang menusuk hati saya, mempertegas bahwa dia mungkin sudah tak lagi menganggap saya ada. Saya menatapnya, melihat bagaimana tanktopnya menempel di tubuhnya, memperlihatkan lekuk payudaranya yang besar dan pinggangnya yang ramping, hasil dari pilates dan perawatan yang dia tekuni. Kecantikannya, yang selalu jadi kebanggaan saya, kini terasa seperti pengingat bahwa saya tak sepadan dengannya. Saya, dengan tubuh buncit, kacamata tebal, dan usia yang jauh lebih tua, merasa seperti bayangan pucat di sampingnya, laki-laki culun yang tak pernah estetik.
Saya mencoba lagi, suara saya semakin pelan, hampir memohon. “Ev, aku tahu aku nggak setampan laki-laki lain. Aku buncit, culun, nggak kayak kamu yang selalu cantik dan… seksi. Apa kamu cuma lihat aku sebagai… entah, ATM hidup buat keluarga kita?” Pertanyaan itu keluar dengan nada yang penuh keraguan, setiap kata seperti mengupas lapisan harga diri saya yang sudah tipis. Saya menatap piring kosong di depan saya, tak berani mengangkat kepala, takut melihat ekspresi Evelyn yang mungkin akan menghancurkan saya. Pikiran saya kembali ke kejadian dengan Dedi, tawa kecil Evelyn pada candaannya, dan bagaimana dia mewajarkan perhatian laki-laki lain karena kecantikannya. Saya merasa seperti laki-laki yang tak punya tempat di dunianya, hanya penyedia kebutuhan yang kehilangan makna sebagai suami.
Evelyn tetap diam, mengunyah nasi dengan gerakan yang lambat, seolah sengaja menghindari pertanyaan saya. Tali bra-nya yang sedikit tersingkap dari balik tanktop hitamnya menarik perhatian saya tanpa sengaja, dan saya segera mengalihkan pandang, merasa bersalah karena memikirkan hal itu di saat seperti ini. Dia selalu berpakaian dengan gaya yang menonjolkan tubuhnya—tanktop ketat, celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang panjang—tapi saya tahu itu karena dia merasa nyaman dengan dirinya sendiri, bukan untuk memancing perhatian. Namun, setelah kejadian dengan preman dan Dedi, saya tak bisa menghentikan pikiran bahwa mungkin dia memang menikmati perhatian laki-laki lain, laki-laki yang lebih jantan, lebih berani daripada saya. Saya mengepalkan tangan lebih erat, mencoba mengusir pikiran itu, tapi rasa rendah diri terus menggerogoti, seperti racun yang tak bisa saya keluarkan.
Keheningan di meja terasa semakin mencekik, hanya suara Evelyn mengunyah dan deru kipas angin tua yang memecah kesunyian. Saya menunggu, berharap dia akan menjawab, akan bilang bahwa saya salah, bahwa dia masih mencintai saya meski saya tak sempurna. Tapi dia hanya terus mengunyah, matanya tertuju pada piring, seolah saya tak ada di hadapannya. Sikapnya itu menghancurkan hati saya, seperti konfirmasi bahwa dia memang sudah tak lagi melihat saya sebagai suami, hanya sebagai bagian dari rutinitas yang harus dia jalani. Saya teringat malam-malam ketika kami tak lagi berpelukan, ketika Evelyn menolak keintiman dengan alasan lelah atau sibuk, dan kini, saya bertanya-tanya apakah itu karena dia kehilangan rasa untuk saya. Saya menunduk, merasa air mata mulai menggenang, tapi saya menahannya, tak ingin dia melihat kelemahan saya lagi.
Saya mencoba sekali lagi, suara saya hampir seperti bisikan. “Ev, tolong… bilang sesuatu. Aku tahu aku gagal lindungin kamu, aku tahu aku nggak sepadan sama kamu. Tapi aku perlu tahu, apa kamu masih… masih sayang sama aku?” Pertanyaan itu keluar dengan susah payah, setiap kata seperti mengoyak luka yang sudah ada. Saya menatapnya, berharap ada sedikit tanda bahwa dia masih peduli, tapi Evelyn hanya menghela napas pelan, lalu mengambil gelas air dan meminumnya, masih tanpa menjawab. Gerakannya yang sederhana, anggun, dengan tanktop yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, membuat saya semakin merasa kecil di hadapannya. Saya tahu dia adalah wanita yang selalu menjaga dirinya, dari skincare hingga pilates, tapi kini, kecantikan itu terasa seperti dinding yang memisahkan kami, bukan sesuatu yang menyatukan kami seperti dulu.
Saya teringat masa-masa awal pernikahan kami, ketika Evelyn akan tersenyum lebar saat kami makan siang bersama, menggodaku dengan candaan ringan tentang perutku yang mulai buncit. Kini, perut buncit itu, kacamata tebal, dan sikap culunku terasa seperti penghalang yang tak bisa saya lewati. Saya selalu tahu bahwa saya tak sepadan dengan kecantikannya, tapi dulu, cinta kami terasa cukup untuk menutup celah itu. Sekarang, dengan ancaman preman dan candaan genit dari Dedi, saya merasa seperti laki-laki yang hanya menyediakan uang untuk keluarga, tanpa nilai lain di mata Evelyn. Saya menatap piring, mencoba mengingat saat-saat ketika dia masih memandang saya dengan cinta, tapi kenangan itu terasa semakin jauh, seperti mimpi yang mulai memudar. Saya mengepalkan tangan, berharap bisa menemukan cara untuk mengembalikan kepercayaannya, tapi sikapnya yang dingin membuat saya ragu.
Evelyn akhirnya bangkit, membawa piring kosong ke wastafel kecil di sudut ruang belakang, gerakannya cepat seolah ingin mengakhiri momen ini. Saya memperhatikan bagaimana tanktopnya sedikit naik, memperlihatkan pinggangnya yang ramping, dan celana pendeknya yang menonjolkan kakinya yang panjang. Dia adalah wanita yang selalu bangga pada tubuhnya, tapi kini, kecantikan itu terasa seperti sesuatu yang membuatnya rentan di mata laki-laki seperti Dedi atau preman itu. Saya ingin memanggilnya kembali, meminta jawaban, tapi sikapnya yang pura-pura tak mendengar membuat saya merasa tak ada lagi tempat untuk saya di hatinya. Saya duduk diam, menatap meja, merasa hati saya hancur berkeping-keping, seperti kaca yang pecah perlahan tanpa suara. Saya tahu saya harus bertanya lagi, tapi keberanian itu telah lenyap, digantikan oleh rasa takut bahwa dia memang sudah tak lagi mencintai saya.
--------------------
Sikap Evelyn yang tak menjawab pertanyaan saya saat makan siang tadi meninggalkan luka yang masih perih di hati. Saat kami kembali ke bagian depan ruko Tokoh Jaya setelah membersihkan meja makan, saya, Jimmy, mencoba menyibukkan diri dengan menghitung stok di kasir, tapi pikiran saya terus kembali ke keheningannya, yang terasa seperti konfirmasi bahwa dia mungkin sudah tak lagi peduli. Evelyn bergerak di antara rak-rak, tanktop hitamnya menempel erat di tubuhnya yang berlekuk, dan celana pendek di atas lutut memperlihatkan kakinya yang ramping, hasil pilates yang dia tekuni. Kecantikannya, yang biasanya membuat saya bangga, kini terasa seperti pengingat bahwa saya tak sepadan dengannya, laki-laki buncit dan culun yang gagal melindunginya. Suasana ruko yang mulai ramai dengan pelanggan tak mampu mengalihkan perhatian saya dari luka itu, dan setiap kali saya melirik Evelyn, rasa cemburu dan rendah diri semakin menggerogoti hati saya. Saya berdiri di balik kasir, mencatat pembelian seorang pelanggan, tapi mata saya terus mencuri pandang ke arahnya, berharap menemukan tanda bahwa dia masih peduli, meski hati saya tahu itu mungkin hanya ilusi.
Ruko Tokoh Jaya mulai sepi setelah lonjakan pelanggan siang tadi, memberi kami waktu untuk merapikan stok baru yang datang pagi ini, termasuk karton susu UHT dari Dedi. Saya melihat Evelyn mulai menata kaleng-kaleng susu di rak tengah, gerakannya lincah tapi sedikit terburu-buru, seolah ingin menghindari keheningan yang masih menggantung di antara kami. Tanktopnya sedikit naik saat dia mengangkat tangan, memperlihatkan pinggangnya yang mulus dan sedikit berkeringat karena udara pengap tanpa AC. Saya mencoba fokus pada pekerjaan, mengurutkan bungkus mi instan di dekat kasir, tapi perhatian saya terus terseret ke arahnya, seperti magnet yang tak bisa saya lawan. Setiap gerakannya, setiap inci tubuhnya, terasa begitu memukau, dan itu membuat saya semakin merasa kecil di hadapannya, laki-laki yang tak punya keberanian untuk menghadapi dunia yang mengancamnya.
Evelyn bergerak ke rak yang lebih tinggi, mencoba menata beberapa kaleng susu di tempat yang sulit dijangkau. Dia sesekali meloncat kecil untuk mencapai rak atas, dan gerakan itu membuat payudaranya yang besar bergoyang-goyang, bergondal-gandul dengan indah di balik tanktop ketatnya. Belahan dadanya terlihat jelas, sedikit berkeringat dan tak tertutup sempurna karena tanktopnya yang tipis, menciptakan pemandangan yang membuat jantungan saya berdegup kencang. Saya menelan ludah, merasa salting meski dia adalah istri saya sendiri, wanita yang sudah saya nikahi selama bertahun-tahun. Tali bra-nya yang tersingkap dari balik tanktop menambah rasa gugup saya, seperti pengingat bahwa kecantikannya selalu punya cara untuk membuat saya terpana, tapi juga mempertegas jarak yang kini terasa di antara kami. Saya menunduk, mencoba mengalihkan pandang, tapi gambar itu terus terbayang, membuat saya semakin bingung dengan perasaan saya sendiri.
Saya mencoba menyibukkan diri dengan menata stok di dekat kasir, tapi setiap kali Evelyn meloncat, suara kecil langkahnya dan bayangan payudaranya yang bergoyang terus menarik perhatian saya. Saya merasa bersalah karena memandangnya seperti itu, terutama setelah percakapan makan siang yang menyakitkan, tapi kecantikannya selalu punya cara untuk mengacaukan pikiran saya. Dia adalah wanita yang selalu merawat dirinya, dari skincare hingga pilates, dan hasilnya terlihat jelas pada tubuhnya yang kencang dan kulitnya yang mulus. Tanktop hitam itu, yang sedikit basah karena keringat, memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, dan celana pendeknya membuat kakinya tampak lebih panjang dan menawan. Saya tahu saya seharusnya tak memikirkan hal itu di saat seperti ini, tapi setelah sikapnya yang dingin tadi, saya merasa semakin haus akan perhatiannya, meski hanya lewat pandangan.
Evelyn tiba-tiba berhenti, menghela napas dengan sedikit kesal saat mencoba menjangkau rak paling atas. Dia melirik ke arah saya, dan dengan nada yang sedikit kesal tapi tetap lembut, berkata, “Jim, tolong bantu aku dong. Susah banget naruh ini di atas.” Suaranya memecah keheningan, tapi ada ketegangan di dalamnya, seolah dia juga merasakan jarak yang kini ada di antara kami. Saya mengangguk cepat, meletakkan bungkus mi instan yang sedang saya tata, dan melangkah mendekatinya dengan gugup. Jantungan saya berdegup lebih kencang saat saya berdiri di sampingnya, mencium aroma samar parfumnya bercampur keringat, dan melihat dari dekat belahan dadanya yang masih terlihat jelas. Saya merasa seperti remaja yang grogi di depan wanita idamannya, bukan suami yang sudah menikah selama belasan tahun. Saya menunduk, mencoba fokus pada tugas, tapi tangan saya gemetar saat mengambil kaleng susu dari tangannya.
Saya mengangkat kaleng itu ke rak atas, berusaha menjaga tangan saya tetap stabil, tapi kedekatan kami membuat saya semakin salting. Evelyn berdiri di samping saya, tangannya terlipat di depan dada, dan gerakan itu membuat payudaranya terlihat lebih menonjol, tali bra-nya masih tersingkap sedikit di bahunya. Saya mencuri pandang tanpa sengaja, dan seketika merasa bersalah, seperti laki-laki yang tak punya hak untuk kagum pada istrinya sendiri. Saya tahu dia bisa merasakan kegugupan saya, karena dia tiba-tiba berkata dengan nada setengah bercanda, setengah kesal, “Dari tadi kenapa sih, Jim, lihatin dadaku terus?” Pertanyaannya membuat wajah saya memanas, seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan. Saya tergagap, mencoba mengelak, “Nggak, Ev, aku cuma… cuma bantu naruh ini aja.” Tapi nada saya jelas-jelas tak meyakinkan, dan saya tahu dia bisa melihat kebohongan kecil itu.
Evelyn menggeleng pelan, tersenyum tipis, tapi senyumnya tak hangat seperti dulu—lebih seperti ekspresi lelah yang menyembunyikan sesuatu. “Kamu aneh deh, Jim,” katanya, lalu berbalik untuk mengambil kaleng susu lain dari karton di lantai. Saya berdiri mematung, merasa seperti laki-laki yang tak hanya gagal melindungi istrinya, tapi juga tak mampu mengendalikan dirinya sendiri di depannya. Kecantikannya, yang selalu membuat saya kagum, kini terasa seperti pengingat bahwa saya tak sepadan dengannya—laki-laki buncit, berkacamata, culun, yang jauh dari estetik dibandingkan Evelyn yang selalu menawan. Saya menunduk, mencoba mengusir rasa salting dan bersalah, tapi gambar payudaranya yang bergoyang tadi terus terbayang, membuat saya semakin bingung dengan perasaan saya sendiri. Saya tahu saya mencintainya, tapi setelah sikapnya tadi siang, saya tak yakin dia masih merasakan hal yang sama.
Kami melanjutkan menata stok dalam diam, hanya sesekali bertukar kata tentang di mana barang harus diletakkan. Saya berusaha fokus pada pekerjaan, mengangkat kaleng-kaleng susu ke rak atas sambil menghindari pandang ke arah Evelyn, tapi setiap gerakannya menarik perhatian saya. Saat dia membungkuk untuk mengambil karton baru, tanktopnya sedikit naik, memperlihatkan pinggangnya yang mulus, dan saat dia berdiri, tali bra-nya kembali tersingkap, seperti menggoda tanpa sengaja. Saya menelan ludah, merasa seperti laki-laki yang kotor karena memandang istrinya sendiri dengan cara seperti itu, terutama setelah percakapan makan siang yang menyakitkan. Saya tahu saya seharusnya membahas hal yang lebih penting—ancaman preman, masa depan keluarga kami—tapi kegugupan saya membuat saya tak bisa berpikir jernih. Saya hanya bisa membantu dengan tangan yang gemetar, berharap dia tak lagi memperhatikan tatapan saya.
Pelanggan mulai berdatangan lagi, memecah keheningan di antara kami, dan Evelyn bergerak ke depan untuk melayani mereka dengan senyum profesional yang selalu dia pakai. Saya kembali ke kasir, mencatat pembelian seorang bapak yang membeli rokok, tapi pikiran saya tak pernah jauh dari Evelyn. Saya teringat pertanyaan saya tadi siang, tentang apakah dia hanya melihat saya sebagai ATM hidup, dan sikapnya yang pura-pura tak mendengar masih terasa seperti pisau di hati. Saya meliriknya, melihat bagaimana dia berbicara dengan pelanggan, tanktopnya sedikit basah karena keringat, memperlihatkan kecantikan yang selalu membuat saya kagum tapi juga takut. Saya tahu dia berusaha kuat demi keluarga, tapi jarak di antara kami terasa semakin lebar, dan saya tak tahu cara menutupnya. Saya menunduk, mencoba mengusir gambar payudaranya yang bergoyang tadi, tapi itu hanya membuat saya semakin merasa rendah diri.
68Please respect copyright.PENANAzhJFbsSIBJ
---------------------
Sore itu, ruko Tokoh Jaya masih berjalan dengan suasana yang tegang, meski pelanggan terus berdatang dan pergi membeli kebutuhan sehari-hari. Saya, Jimmy, berdiri di balik kasir, mencoba menyingkan pikiran dari percakapan makan siang yang menyakitkan dan momen canggung saat membantu Evelyn menata stok tadi. Evelyn bergerak di antara rak, tanktop hitamnya yang ketat dan celana pendek di atas dengkul memperlihatkan kecantikannya yang selalu memukau, tapi juga mempertegas jarak emosional di antara kami. Sikapnya yang dingin, pertanyaan saya yang tak terjawab tentang keintiman kami, dan rasa rendah diri yang terus menggerogoti membuat saya merasa seperti laki-laki yang tak lagi punya tempat di hidupnya. Saya mencatat pembelian seorang pelanggan, tapi mata saya tanpa sadar melirik ke arah Evelyn, yang kini berdiri di dekat rak minuman, menata botol-botol air mineral dengan gerakan yang anggun namun lesu. Hati saya masih terluka, tapi kecantikannya tetap menarik saya, seperti nyala api yang menggoda di tengah kegelapan.
Tiba-tiba, Evelyn berhenti menata dan menoleh ke arah saya, matanya yang masih merah sisa tangisan kemarin menatap tajam. “Jim, kamu dari tadi ngeliatin dada sama tali bh saya, aku sadar kok,” katanya dengan nada yang setengah menuduh, setengah bercanda, tapi ada ketegangan di suaranya yang membuat saya tersentak. Saya merasa terpegok, wajah saya memanas seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan. “Ngg… nggak, Ev, aku cuma… cuma lihat kamu ngerjain apa,” kataku tergagap, mencoba mengelak, tapi nada saya jelas-jelas tak meyakinkan. Saya menunduk, merasa bersalah karena memang tak bisa menahan diri dari memandang payudaranya yang besar, yang bergoyang tadi saat dia meloncat menata rak, dan tali bra yang tersingkap dari balik tanktopnya. Saya tahu dia adalah istri saya, tapi setelah berbulan-bulan tanpa keintiman, setiap gerakannya terasa seperti godaan yang tak bisa saya tolak, meski itu membuat saya semakin rendah diri.
Evelyn menggeleng pelan, ekspresinya sulit dibaca—campuran antara kesal dan kelelahan. Dia lalu melakukan sesuatu yang membuat jantungan saya berdegup lebih kencang: dengan gerakan yang santai tapi penuh percaya diri, dia membenarkan posisi payudaranya yang sepertinya kurang nyaman di dalam bra-nya. Tangan kirinya meraih payudara kirinya, mengoyak-oyak dengan lembut agar pas berada di cup bra, jari-jarinya bergerak dengan presisi seolah ini adalah rutinitas biasa. Tanktop hitamnya sedikit naik, memperlihatkan sedikit kulit pinggangnya yang mulus dan berkeringat, dan belahan dadanya terlihat lebih jelas saat dia menyesuaikan posisi. Saya menelan ludah, merasa nafsu yang tak terkendali membakar tubuh saya, tapi juga malu karena memandang istrinya sendiri dengan cara seperti itu. Saya mencoba mengalihkan pandang, tapi mata saya seperti terpaku, tak mampu berpaling dari pemandangan yang begitu memukau.
Evelyn tak berhenti di situ. Dia melanjutkan ke payudara kanannya, tangannya kembali mengoyak-oyak dengan gerakan yang sama, memastikan cup bra-nya memeluk payudaranya dengan sempurna. Tali bra-nya, yang sedikit tersingkap di bahunya, dia tarik dengan jari telunjuk, menyesuaikan posisinya agar lebih mantap, dan gerakan itu membuat payudaranya bergoyang pelan, seperti menari di balik tanktop ketatnya. Saya merasa darah saya berdesir, nafsu yang sudah lama terpendam setelah berbulan-bulan tanpa sentuhan Evelyn membuncah, membuat tangan saya gemetar di balik kasir. Dia adalah istri saya, wanita yang saya cintai, tapi kini, kecantikannya terasa seperti sesuatu yang jauh dari jangkauan saya, seperti lukisan indah yang hanya bisa saya kagumi dari kejauhan. Saya menunduk, mencoba mengendalikan diri, tapi gambar itu terus terbayang, memperdalam rasa bersalah dan kerinduan yang bercampur dalam hati saya.
Adegan itu, meski hanya berlangsung beberapa detik, terasa seperti siksaan yang manis dan menyakitkan. Saya tahu Evelyn tak bermaksud menggoda, hanya menyesuaikan pakaiannya dengan nyaman, tapi setelah berbulan-bulan tanpa keintiman, setiap gerakannya terasa seperti undangan yang tak sengaja. Tanktop hitamnya, yang sedikit basah karena keringat, menempel erat di tubuhnya, memperlihatkan setiap lekuk payudaranya yang besar dan pinggangnya yang ramping. Celana pendeknya, yang memperlihatkan kakinya yang panjang dan mulus, menambah kesan sensual yang selalu dia miliki, bahkan tanpa usaha. Saya merasa seperti laki-laki yang kotor karena nafsu pada istrinya sendiri, terutama setelah sikapnya yang dingin tadi siang, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa saya masih mencintainya, masih merindukan sentuhannya. Saya mengepalkan tangan, mencoba mengusir pikiran itu, tapi nafsu itu terus membakar, seperti api yang tak bisa saya padamkan.
Evelyn kembali menata rak, seolah tak terjadi apa-apa, tapi saya tahu dia menyadari tatapan saya. Dia tak berkata apa-apa lagi, hanya melanjutkan pekerjaannya dengan gerakan yang anggun, tanktopnya sedikit naik saat dia mengangkat tangan untuk menata botol air mineral. Saya mencoba menyibukkan diri dengan menghitung uang di laci kasir, tapi pikiran saya terus kembali ke gerakannya tadi, ke payudaranya yang bergoyang, ke tali bra yang dia tarik dengan penuh percaya diri. Saya merasa rendah diri, mengingat tubuh saya yang buncit, kacamata tebal, dan sikap culun yang jauh dari estetik dibandingkan Evelyn yang selalu menawan. Saya tahu saya tak sepadan dengannya, dan sikapnya yang pura-pura tak mendengar pertanyaan saya tadi siang membuat saya semakin yakin bahwa dia mungkin hanya melihat saya sebagai penyedia kebutuhan, bukan suami yang dia inginkan. Hati saya terasa hancur, tapi nafsu yang membuncah membuat saya semakin bingung dengan diri sendiri.
Tiba-tiba, pintu ruko terbuka dengan keras, dan langkah berat menggema di lantai keramik, memecah lamunan saya. Saya menoleh, dan jantungan saya seperti berhenti saat melihat ketua preman dari Ormas Bintang Timur masuk seorang diri, tubuh kekarnya memenuhi pintu, tato burung garuda di lengannya tampak lebih menakutkan di bawah sinar lampu neon. Pelanggan yang sedang memilih barang langsung menunduk, beberapa buru-buru membayar dan keluar, meninggalkan ruko dalam keheningan yang mencekik. Saya merasa darah saya membeku, ingatan akan kejadian kemarin—ketika dia memaksa Evelyn duduk di pangkuannya—kembali menghantam seperti badai. Evelyn, yang sedang menata rak, membeku sejenak, tangannya masih memegang botol air mineral, wajahnya memucat. Saya ingin bergerak, ingin melindunginya, tapi tubuh saya seperti terpaku, rasa takut dan nafsu yang masih tersisa dari momen tadi bercampur menjadi kekacauan di hati saya.
Preman itu, dengan senyum sinis yang sama seperti kemarin, melangkah langsung ke arah Evelyn, bau alkohol dari napasnya sudah tercium meski dia masih beberapa langkah dari saya. Tanpa ragu, dia merangkul pinggang Evelyn dengan tangan kekarnya, menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir menempel. “Cantik, apa kabar? Kangen nggak sama aku?” katanya dengan suara serak, logat Malukunya kental, setiap kata penuh ancaman terselubung. Evelyn menegang, tangannya mencengkeram botol air mineral hingga buku-buku jarinya memutih, tapi dia tak melawan, matanya menunduk, penuh ketakutan yang sama seperti kemarin. Saya berdiri di balik kasir, tangan saya gemetar, ingin berteriak, ingin menarik Evelyn darinya, tapi rasa takut yang sama seperti kemarin kembali menahan saya. Saya merasa seperti laki-laki yang tak berguna, nafsu yang tadi membuncah kini digantikan oleh rasa bersalah yang menghancurkan.
Saya memperhatikan Evelyn, tanktopnya yang sedikit naik karena rangkulan pria itu memperlihatkan lebih banyak kulit pinggangnya, dan tali bra yang masih tersingkap di bahunya terasa seperti simbol kerentanannya di mata pria itu. Payudaranya, yang tadi saya kagumi dengan nafsu, kini menjadi fokus tatapan pria itu, yang melirik dengan penuh nafsu dan kuasa. Saya merasa mual, bukan hanya karena bau alkohol yang menyengat, tapi karena kenyataan bahwa saya tak bisa menghentikan ini. Saya teringat pertanyaan saya tadi siang, tentang apakah Evelyn masih mencintai saya, dan sikapnya yang dingin, dan kini, melihat dia dalam rangkulan pria itu, saya merasa seperti laki-laki yang telah kehilangan segalanya. Saya mengepalkan tangan, mencoba mengumpulkan keberanian, tapi tubuh saya tetap membeku, seperti penutup yang tak mampu melindungi.
Pria itu tertawa kecil, suaranya menggema di ruko yang kini kosong, dan dia menatap saya dengan ejekan. “Jimmy, mana duitnya? Tiga juta, atau istri lo jadi milik gue setiap hari,” katanya, tangannya masih merangkul Evelyn, jari-jarinya bergerak pelan di pinggangnya, seperti menikmati momen ini. Evelyn menunduk, wajahnya pucat, dan saya bisa melihat bahunya bergetar, entah karena takut atau malu. Saya ingin bergerak, ingin memukuli pria itu, tapi ingatan akan ancamannya, dan kenyataan bahwa dia bisa menghancurkan hidup kami dengan satu perintah, membuat saya terdiam. Saya menatap Evelyn, berharap dia akan menoleh ke arah saya, memberi tanda bahwa dia masih percaya pada saya, tapi matanya tetap tertuju ke lantai, seperti menyerah pada situasi ini. Hati saya hancur, tahu bahwa saya telah gagal lagi, dan nafsu yang tadi membuncah kini terasa seperti pengkhianatan terhadap cinta kami.
68Please respect copyright.PENANAGEj764vwpz