"Cha, Cha... sholat subuh nggak?" Sayup-sayup aku mendengar sayup-sayup, seseorang sedang membangunkanku.
Aku mengucek mataku, sambil sesekali meregangkan otot-ototku. "Emm, ini dimana ya?"
"Di rumah Bapak, Icha lupa ya?"
"Emm, Bapak?"
"Hehe, Pak Ahmad Cha."
"Ya ampun, maaf ya Pak. Icha beneran lupa kalo kemarin nginep di rumah Bapak."
"Icha sholat kan? Oh iya, Bapak tinggal dulu ke Masjid ya? Nggak apa-apa kan?" Pak Ahmad mengenakan baju koko, sarung dan peci berwarna hitam.
"Sholat Pak. Bapak ke Masjiid naik apa?" Aku duduk sambil melipat selimut.
"Jalan kaki."
"Kan jauh Pak? Kalo malam gini, gelap kan lewat jembatan? Bapak bawa motor Icha aja ya!"
"Nggak usah Cha, Bapak jalan kaki aja."
"Ayok dong, Pak! Icha ngambek lho kalo Bapak nolak."
"Jangan dong, masak anak Bapak yang cantik ngambek."
Kenapa aku tersipu ya dipuji cantik? "Ini kuncinya ya Pak."
"Bapak berangkat ya, Cha. Oh iya, Icha kan nggak bawa mukena? Pakai sarung aja bisa nggak? Sebentar Bapak ambilin peniti." Pak Ahmad mengambil dua sarung lebar dari lemari.
Hampir saja lupa, sekarang aku tak membawa mukena. Sempat bingung karena harus darurat mengenakan sarung. Bagaimana caranya?
"Coba Icha pakai!"
Sekarang, aku mengenakan sarung untuk menutupi auratku bagian bawah, namun aku bingung, bagaimana cara memakainya untuk menutupi auratku bagian atas. "Hihi, gimana Pak caranya? Icha bingung."
"Sini, Bapak bantuin!" Pak Ahmad membantuku mengenakan sarung. Ia mengkaitkan peniti di lubang sarung. "Bisa kan?"
"Bisa Pak." Karena belum berwudhu, akhirnya aku melepas lagi peniti yang mengkait lubang sarung.
"Ya udah, Bapak berangkat ya."
"Iya, Pak." Aku bersalaman dengan Pak Ahmad, kemudian mengecup punggung tangannya.
Setelah Pak Ahmad berangkat ke Masjid, suasana rumah begitu lengang. Bahkan di luar sana begitu gelap. Ada banyak kontras antara kondisi di kampung ini dengan sekelilingnya. Karena di sekitarnya berdiri gedung-gedung tinggi, dengan videotron yang selalu menyala 24 jam. Namun, tetap saja kemegahan di sekitarnya tak menyelesaikan masalah kesenjangan di kapital city seperti di Jakarta.
Yang kaya semakin kaya, seperti keluargaku. Dan yang miskin semakin terpinggirkan. Jakarta pun terpecah, orang-orang super kaya banyak yang berdomisili di Jakarta Selatan. Dan mereka yang terpinggirkan tinggal di Jakarta Utara.
Sekarang aku pergi ke kamar mandi, untuk berwudhu. Sejujurnya agak menyeramkan juga, karena tak ada penerangan sama sekali. Sesekali aku menatap sekitarku, seperti ada orang yang berlari, kemudian bersembunyi. Sempat aku mengurungkan niatku untuk berwudhu. Karena aku tak ingin meninggalkan ibadahku. Aku paksakan saja meski, bulu kudukku berdiri.
Tak matching memang dengan penampilanku yang tomboy. Kesannya saja kuat, sebenarnya hatiku rapuh. Usai berwudhu, aku pun kembali ke dalam rumah.
Di dalam rumah, aku memakai sarungku. Agak susah, karena harus memasang peniti yang lebih ribet daripada mengenakan hijab.
Selesei mengenakan sarung sebagai pengganti mukena, aku pun mulai membaca takbiratul ihram. Belum sampat membaca do'a iftitah, angin berembus. Aku merasakan sentuhan pada punggungku, lembut. Kemudian turun ke bawah. Ketika sentuhan itu berada di pantatku, berubah menjadi remasan. Ingin rasanya membatalkan salatku, namun aku takut. Dari membaca do'a iftitah berganti Al Fatihah, sentuhan itu masih menelusuri tubuhku bagian belakang.
Astaghfirullah, sekarang sentuhan itu berpindah ke dadaku. Meremasnya perlahan. Ghoiril magdu bi... Aaahmin... Siapa orang ini? Jahat banget. Dan aku pun membaca surat pendek, tangan itu masih berada di dadaku. Tak hanya meremas, ia memilintir putingku, sampai aku tak tahan ingin mendesah.
Kufuwan Ahad... Aaaah, Allahu Akbar. Sekarang aku rukuk. Apa yang ia lakukan padaku? Siapa sebenarnya orang ini? Aku merasakan, ia meremas pantatku, kemudian pantatku terasa ditekan-tekan ke depan.
Subhana, robbiyal ad.... aaaaah. Dengan menahan hasrat yang meletup, aku melanjutkan salatku sampai roka'at kedua. Birobbil Falaq, aaaah... aku tak tahan, karena selangkanganku mulai berkedut-kedut.
Sekarang, aku dalam posisi tasyahud akhir. Bersamaan dengan salam, tubuhku mengejang. Aaaah, aaaah, aaah, aku telungkup dengan nafas terengah-engah.
Ya Allah, aku pipis lagi. Setelah mengalami pelecehan, membuatku terisak. Berulangkali aku menepis sensasi, sentuhan itu di dadaku. Kenapa aku harus mengalami pelecehan seksual di rumah ini? Ketika aku bangun dari telungkup, kemudian menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun. Apakah benar ada orang yang melecehkanku? Kenapa tak terdengar suara langkah kakinya?
Mendengar suara motorku, aku buru-buru melipat sarungku. Kemudian aku mengusap air mataku karena aku tak mau berbagi kesedihan. Yang ingin aku bagikan hanya kebahagiaan saja.
"Eh, Bapak udah pulang."
"Sepi banget Cha. Cuma lima orang yang sholat."
"Oh mereka sholat di rumah kali, Pak."
"Atau nggak sholat? Ah nggak penting juga."
"Iya, Pak." Sekarang aku berada di dapur, sedang menyeduh teh manis hangat. "Ini Pak!"
"Terima kasih ya, Cha."
"Sama-sama, Pak. Emm, ngomong-ngomong, Bapak berangkat mulung jam berapa?"
"Sekitar setengah 6 biasanya. Icha nggak apa-apa kan Bapak tinggal sendirian?"
"Emm... kalo Icha pulang, nggak apa-apa kan Pak?"
"Oh, nggak apa-apa, Cha. Lagian Bapak nggak enak ninggalin Icha sendirian, takut terjadi apa-apa sama Icha."
Terjadi apa-apa? Aku mengernyitkan dahiku. "Emang disini nggak aman ya Pak?"
"Gimana ya. Bapak cuma nggak tega aja ninggalin Icha sendirian."
"Oh..." Aku melihat di wajah Pak Ahmad, seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, aku tak ingin bertanya lebih jauh. Sebagai catatan saja, perkampungan ini tak begitu aman untuk gadis sepertiku.
Mentari pun terbit, cahaya mulai menerangi gelap yang menyelimuti perkampungan. Dengan nafas berat, aku menghela nafasku. Mengingat pelecehan yang baru saja aku alami. Meski di kampung ini aku menemukan seseorang yang memberiku senyuman. Namun, ada yang pekat tak mampu aku singkap.
"Pak, Icha pulang dulu ya?" Aku bersalaman dengan Pak Ahmad, sambil mengecup punggung tangannya.
"Iya, Cha. Hati-hati di jalan ya!"
"Iya, Pak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab Pak Ahmad.
Dengan kesedihan yang aku sembunyikan rapi, aku mulai mengendarai motorku meninggalkan perkampungan. Dadaku sesak mengingat pelecehan yang terjadi padaku. Sentuhan pada tubuhku masih membekas, sampai aku merasa jijik pada diriku sendiri. Aku tak menyukai sentuhan itu.
"Woi Bang, kalo bawa motor pakai mata!" Aku tersentak, kaget. Karena aku hampir saja menabrak mobil yang melintas, ketika aku keluar dari gang, rumah Pak Ahmad menuju jalan raya.
"Maaf Pak..."
"Oh cewek. Kalo bawa motor jangan ngelamun aja ya Teh!"
"I... iya, Pak. Maafin saya ya."
Pengendara mobil itu kembali memacu mobilnya. Dan aku mengendarai motorku, menyeberang jalan.
Ketika aku mengendarai motorku di jalan raya. Tubuhku terasa tenggelam ke dalam perasaan yang menyesakkan. Betapa tidak, masalahku datang silih berganti. Dari masalahku, mengintip sampai pelecehan yang aku alami. Seperti jalinan yang saling mengkait. Mengingatnya, pipiku terasa ditampar dengan keras. Karena aku pernah melakukan hal serupa. Aku menyadari kesalahanku, namun apakah aku sanggup menyangkal hasrat di mataku?
Sekarang aku mengendarai motorku melewati gedung tinggi rumah sakit. Aku merasa tak asing dengan gedung ini, namun tak ingat kapan aku melihatnya. Gedung ini berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Tampilannya gelap, dengan warna yang muram. Yang aneh, betapa tingginya gedung rumah sakit ini.
Apa itu? Karena penasaran, aku pun berhenti. Mataku seakan seperti kamera drone, yang menshoot pemandangan ganjil yang pernah aku temukan. Puncak gedung itu berputar 90° ke kiri, kemudian berputar ke kanan. Sempat aku menutup mulutku yang tertutup masker menggunakan tanganku. Sekitar 10 lantai di lantai paling atas berputar seperti rubik, dengan kaca yang memantulkan cahaya matahari.
Namun aku tak ingin menatap gedung aneh itu, berlama-lama. Kemudian aku kembali mengendarai motorku. Ketika aku sampai di gerbang kompleks perumahan, aku menatap tiga drone melesat. Terbang di atasku.
Imron? ponselku berdering. Setelah aku melihat layar ponselku, ada notif dari nomor tak dikenal. Namun, aku acuhkan saja. Dan aku melanjutkan, mengendarai motorku.
Di depan mini market aku berhenti, untuk membeli sekaleng soda. Sekedar untuk menenangkan hatiku saja. Selesei membeli sekaleng soda, aku melihat seseorang yang mengendarai motor serupa motor sportku berwarna putih yang melambaikan tangannya.
Siapa dia? Imronkah? Karena pikiranku kalut, aku abaikan saja.
Sesampainya di depan gerbang, aku memanggil Pak Slamet, satpamku menggunakan door phone. Ia pun membuka gerbangku.
Ketika aku memarkir motorku, asisten rumah tanggaku menghambur memelukku.
"Cici nggak apa-apa kan? Saya khawatir banget, Cici kenapa-kenapa."
"Icha nggak apa-apa kok Mbok. Ya udah, Icha ke atas ya Mbok?" Aku pun berjalan naik ke lantai atas.
Ketika aku naik ke lantai atas, aku berpapasan dengan tukang kebunku. "Eh, Cici. Oh iya, pintu kamar Cici sama pintu kamar mandinya udah saya perbaiki."
"Oh iyakah? Makasih ya Pak."
"Sama-sama, Ci."
Kakiku terasa lemas, sampai telapak kakiku terpuntir. "Eh... Aduh."
Tukang kebunku menangkapku saat aku terjatuh ke bawah. "Cici nggak apa-apa kan?"
"Nggak... nggak apa-apa kok, Pak." Aku berusaha melepas tangan tukang kebunku yang melingkar ke tubuhku. "Sini biar saya gendong!" Tukang kebunku menggendongku ke kamar. Setelah sampai di kamar, ia merebahkanku di atas ranjang.
"Aw... sakit!"
"Sini biar saya pijet! Yang mana yang sakit?"
Asisten rumah tanggaku berlari, masuk ke dalam kamarku. Ia menghela nafasnya. "Mas keluar gih! Biar aku yang pijitin!"
"Iya Pak, biar Mbok Rumini aja!"
Dengan menahan sakit karena kakiku yang terkilir, aku menenggak obat anti depresanku.
"Cici rehat ya! Mbok keluar dulu!"
"Iya, Mbok."
202Please respect copyright.PENANAnYOZevQh66
****
Entah berapa jam aku tidur, sambil aku mengucek-ngucek mataku. Aku menatap kaca pintu geserku, yang menampakkan langit yang mulai gelap.
Sambil menatap jam di dinding, aku turun dari ranjang. Dengan kakiku yang sudah membaik, berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Ketika berwudhu, air yang membasahi tubuhku seakan melepas beban-bebanku. 202Please respect copyright.PENANA2bv8p7ErhL
Selesai berwudhu, aku tergesa-gesa untuk menunaikan salat karena waktu salat segera berakhir.
Di rakaat pertama, aku khusyuk membaca bacaan salat. Rakaat kedua pun demikian. Dan saat aku memasuki rakaat ketiga, aku mendengar suara drone.
Buru-buru aku mengakhiri salatku dengan tasyahud akhir, setelah itu salam. Aku membuka mukenaku, kemudian melipatnya rapi. Sekarang aku memakai gaun tidur pendek sebatas paha, dengan rambut tergerai.
Sesudah aku menggeser pintu kacaku, angin pun berembus menerpa kulitku yang semi telanjang. Ketika angin menerpaku semakin kencang, rambutku tertiup angin sampai berkibar-kibar. Dan mataku terpejam.
Di saat membuka mataku, aku melihat lima drone terbang di depanku, sorot cahayanya membuat mataku silau. Drone itu berputar-putar, kemudian terbang meninggalkanku. Melesat jauh meninggalkan pertanyaan yang aku pun tak mampu mengurainya.
Siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka inginkan?
Aku masih berada di balkon dengan memandang tamanku yang gelap, di bawah sana. Udara pun berubah menjadi dingin, langit mendung hitam pun berarak. Hujan mulai turun begitu derasnya. Melihat hujan aku tersenyum, hatiku menghangat karena embusan angin bercampur hujan di malam ini menenangkan hatiku.
Tok tok tok, "Ci... Ini Mbok."
"Buka aja Mbok! pintunya nggak Icha kunci." Asisten rumah tanggaku membawa mie rebus dengan telur mata sapi dan minuman hangat di atas baki.
"Taruh aja disitu Mbok!"
"Iya, Ci..." Mbok Rumini meletakkan mie rebus dan minuman hangat di atas meja.
"Terima kasih ya, Mbok!"
"Sama-sama Ci." Asisten rumah tanggaku berjalan, keluar dari kamarku.
Setelah asisten rumah tanggaku keluar dari kamarku. Aku mengambil laptopku untuk mengedit konten vlogku, yang berisi rekaman hujan, ditemani dengan mie rebus dan minuman hangat. Melihat hujan di layar laptopku, aku teringat masa kecilku. Ketika kedua orang tuaku meninggalkanku sendirian bersama asisten rumah tanggaku. Mereka tak peduli tangisku. Di saat aku mengejar mereka, mobil mereka terus melaju. Tubuhku yang mungil pun terjatuh, namun aku terus bangun, mengejar mobil mereka. Dan aku pun terjatuh lagi, dengan luka berdarah di lututku.
Hujan pun turun dengan derasnya, aku berteriak memanggil kedua orang tuaku. Namun semua sia-sia.
Hari berganti hari, tak ada kabar dari kedua orang tuaku. Perasaan rinduku semakin dalam, sampai mataku sembab oleh air mata yang terus mengalir. Dan akhirnya aku terjatuh, rinduku berubah menjadi kesepian akut yang menyiksa. Dingin, tubuhku menggigil saat hujan mulai turun. Aku berteriak histeris, lalu aku kembali menangis sambil meringkuk di bawah hujan.
Tanpa sengaja, air mataku menetes mengingat kenangan masa laluku yang pahit. Namun, aku tak membenci kedua orang tuaku. Hanya saja, rasa sakitnya masih membekas. Bahkan meninggalkan luka yang menjadi penyebab depresiku.
Pada waktu aku mengedit videoku, aku membuka akun media sosialku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat banyak notif DM dari Imron.
Aku membalas DM dari Imron. "Dari mana kamu tau akun medsosku?" Imron tak membalas chatku. Sambil menyandarkan tubuhku, aku menghela nafasku.
Kemudian aku memicingkan mata melihat rekaman video yang Imron kirim, merekamku saat hujan-hujanan bersama anak-anak di rumah Pak Ahmad.
Imron dengan kurang ajarnya, menshoot pakaianku yang basah menampakkan lekuk tubuhku. Apa aku marah? Jelas, karena aku merasa dilecehkan.
Aku mengernyitkan dahiku, melihat video yang kedua yang tak bisa aku buka. Kemudian membaca caption di atasnya. "Kamu mau buka video itu? Ada syaratnya. Kamu harus ketemuan dulu sama aku!"
Tak hanya kesal, karena Imron merekamku diam-diam. Namun, aku merasa Imron berusaha menekanku dengan cara memanfaatkan rasa penasaranku.
Karena kantuk mulai menyergapku. Dengan berkali-kali menguap. Aku putuskan log out dari akun media sosialku.
Baru saja aku terlelap, suara adzan menggema, aku pun tersentak. Dan tubuhku meremang karena udara dingin yang menggigit. Pakaianku yang minim membuatku menggigil, sampai aku memeluk kedua bahuku. Mengusapnya agar dingin yang menusuk kulitku sedikit mereda.
Sekarang aku turun ke lantai bawah, untuk sekedar menyeduh minuman hangat. Ketika aku turun, suara desahan sekali lagi mengusik telingaku. Seperti mundur ke belakang, sewaktu aku mengintip asisten rumah tanggaku bersetubuh dengan tukang kebunku. Dan anehnya, perasaan kecewaku yang dulu memenuhi dadaku karena aku merasa dikhianati oleh pegawaiku. Sekarang menguap begitu saja berganti perasaan yang tak aku mengerti seperti beberapa hari yang lalu.
Mataku terpaku, menatap dua insan yang memacu birahi. Adegan demi adegan menyeretku ke dalam gelombang besar. Meledak, sampai aku menggigit bibir bawahku. Menahannya agar aku tak mendesah. Dengan menutup mulutku dengan telapak tanganku. Gatal, menggelitik sampai ke bagian intimku yang paling dalam. Karena aku tak kuasa, tak mampu mengendalikan hasrat di mataku. Tanganku yang menutup mulutku, sekarang berpindah ke dadaku. Meremasnya, perlahan. Begitu nikmat, apalagi jari-jariku yang menari-nari di titik-titik sensitifku di selangkanganku yang aku tak mengerti.
"Ssssh, aaaaah..." Desahanku tak mampu aku tahan lagi.
Ketika aku berada di puncak, mereka berhenti bersetubuh.
"Kamu denger nggak Rum?"
"Dengar apa Mas?"
"Desahan."
"Mana ada? Aku nggak denger."
"Apa cuma perasaaku aja ya?"
"Iya kali, ayok Mas? Lagi! Aaah." Tukang kebunku kembali memompa kejantanannya masuk ke liang senggama asisten rumah tanggaku.
Meski aku hampir saja ketahuan. Aku tak beranjak dari tempatku mengintip. Dengan hasrat di mataku, adegan yang membuatku hanyut ke dalam perasaan yang membiusku, membuatku candu. Dan aku terus menyentuh bagian tubuhku yang sensitif, meniru adegan yang aku lihat di depan mataku.
Semakin cepat gesekan jari telunjukku, ke selangkanganku. Bagian sensitifku semakin gatal. Kepalaku mendongak ke atas, merasakan nikmat yang tak terperi.
"Aaaah..." Aku kembali mendesah, lebih lepas dari sebelumnya. Mereka kembali berhenti bersetubuh.
"Kamu denger kan, Rum?"
"Iya, Mas. Aku denger."
Aku tersentak, karena aku sudah ketahuan. Namun, ketika aku bangun berdiri, kakiku terasa lemas. Pada akhirnya aku kembali ambruk ke bawah. Dan aku menyeret kakiku, karena tulang kakiku terasa rontok. Mengendap-endap, dengan sedikit merangkak menggunakan lututku. Ketika pantatku menungging ke atas, aku menggigit bibir bawahku. Seakan aku sedang disetubuhi dari belakang.
Sesampainya di depan pintu kamarku, tanganku kembali merangsang bagian intimku. Tangan kananku meremas dadaku, tangan kiriku menggesek selangkangan menggunakan jari telunjukku. Tubuhku menggelepar, sampai air seniku kembali mengalir.
"Aaaaah, aku pipis." Sekarang aku ambruk di atas lantai. Dengan sisa tenagaku, aku masuk ke dalam kamar. Masih dalam posisi merangkak, karena lututku bergetar ketika aku mencoba berdiri.
Kemudian, aku naik ke atas ranjang dalam posisi terlentang. Aku buka lebar-lebar kakiku karena selangkanganku kembali berkedut. Dan jariku menyentuh bagian intimku yang masih tertutup celana dalam.
Tampilan webcamku kembali muncul di layar PCku. Dan aku secara refleks, menutup selangkanganku yang terbuka.
"Kamu mau pamer memekmu ya Cha? haha."
Deg, deg, aku membuka pahaku lebih lebar ke arah layar PCku. Sambil menggigit kuku jariku, menahan debar di dadaku.
"Kamu jahat Mron, aaaah."
"Astaga, ukhty lagi sange." Tampilan webcam di layar PCku, menghilang.
Perasaan maluku kembali muncul dan aku pun telungkup sambil menangis.
"Udah, jangan nangis, aibmu aman! Aku bukan orang jahat kok, Cha!" Tampilan webcam kembali muncul.
Sambil mengusap air mataku, aku mengambil selimut untuk menutupi tubuhku yang semi terbuka.
"Kamu jahat tau nggak, kenapa kamu terus menguntitku? hiks, hiks."
Imron menghela nafasnya. "Ya udah, aku minta maaf. Ini terakhir aku meretas PCmu. Ngomong-ngomong kamu cantik juga ya."
"Nggak usah gombal, penjahat!"
Aku mengambil masker, kemudian mengenakannya.
"Nggak usah galak-galak! Makin cantik kan kalo galak gitu. Apalagi abis mewek."
"Apaan sih?" Aku memalingkan wajahku, sambil tersenyum.
"Ya udah, cabut gih modem PCmu!"
"Nggak! Kenapa harus aku yang berkorban?"
"Hehe, takutnya kamu parno."
"Ya udah, aku cabut modemku." Selimut yang menyelimuti tubuhku yang semi telanjang, terbuka.
"Wow, sexy banget, ukhty."
"Bye, Imron!" Aku mencabut modemku.
Kenapa aku merasa menang ya? Ponselku berdering. Aku mengangkat panggilan teleponku.
"Halo..."
"Aku masih mengawasimu, gadis pemilik hasrat di matanya."
"Ish, Imron!" Aku berteriak kencang.
Bersambung.
ns216.73.216.176da2