
******
Chapter 4 :
That’s My Phone Number
******
22Please respect copyright.PENANAaXiurEEkKI
“BENER nggak ini jalannya?” tanya Dylan sambil menyetir. Pemuda itu menoleh ke samping—ke arah Lucian—sejenak, lalu kembali melihat jalanan yang ada di depannya. “Lewat sini, ‘kan?”
Dua hari berlalu sejak insiden Selin memukul-mukul Maxi dengan tasnya di kantin kampus. Dalam dua hari itu, mereka semua beraktivitas seperti biasanya, tetapi untuk Selin…agak berbeda. Gadis itu kadang-kadang masih memikirkan duda ganteng yang ada di mega mansion Zacharias. Bodohnya, kadang-kadang pikiran itu muncul saat Selin sedang mandi. Dia berujung menepuk dahinya sendiri karena malu. Well, yang benar saja! Masa sedang mandi pun dia harus teringat soal boxer-nya Om Juan?
Hari ini, Selin, Maxi, Aria, Dylan, dan Lucian sedang berada di dalam satu mobil yang sama, yaitu mobil Dylan. Sekitar dua jam yang lalu, mereka semua melihat pemberitahuan di grup satu angkatan (jurusan Bisnis) yang berasal dari Ethan Bennett. Si Ethan, mahasiswa Bisnis yang terkenal songong dan menyebalkan itu, rupanya menyebarkan undangan pesta ulang tahunnya. Pesta itu dilaksanakan di villa pribadi milik Keluarga Bennett; jarak tempuhnya dari kampus adalah sekitar 6 km.
Sebenarnya, orang-orang malas datang ke acara itu, mengingat betapa soknya Ethan. Tidak banyak yang dekat dengan Ethan; dia dan gengnya terkenal sebagai pembuat onar yang selalu memakai-makai nama keluarga mereka untuk mengancam orang-orang. Biasalah, ingin mem-bully orang-orang yang lemah hanya karena merasa lebih hebat.
Kelima orang ini (Lucian, Dylan, Aria, Maxi, dan Selin) tidak ada yang senang dengan Ethan. Namun, karena seluruh manusia di jurusan Bisnis sudah sepakat untuk datang (karena tak ingin mencari masalah dengan Keluarga Bennett yang terkenal kaya), mereka pun akhirnya memutuskan untuk datang.
Yah, walaupun sudah terlambat juga, sih, soalnya mereka sejak tadi sibuk menunggu Lucian yang malah pacaran dengan Aria di perpustakaan.
Akan tetapi, let’s get this straight. Kalau Lucian tak datang ke pesta itu pun, sebenarnya tidak apa-apa. Buat apa dia takut dengan Keluarga Bennett?
Buat apa takut,
22Please respect copyright.PENANAcuBxhhUT3M
…ketika dia adalah seorang Zacharias?
22Please respect copyright.PENANA6NoHNSFoK7
He is Lucian Enzo Zacharias. Keturunan dari salah satu pria yang paling berpengaruh di dunia.
Mengapa ayahnya, Juan A.D. Zacharias, memiliki pengaruh yang sangat besar? Mari kita bedah alasannya satu per satu, secara detail.
22Please respect copyright.PENANAgEP8s8sqkm
Pertama, Juan Zacharias basically memegangperekonomian banyak negara. Dengan Zach Enterprises yang punya banyak anak perusahaan hampir di seluruh dunia (dan juga bergerak di banyak sektor), Juan dapat mengatur supply and demand. Dia memegang bahan pangan global. Kalau dia tarik semua itu dari sebuah negara? Negara yang dimaksud kemungkinan besar akan mengalami krisis. Dia juga punya perusahaan minyak, energi, dan obat. Kalau dia stop distribusinya?
K.O.
22Please respect copyright.PENANAgMWFkY0bCb
Kedua,politisi sering bergantung dengannya. Ingin menjaga hubungan yang baik dengannya. Negara-negara bisa menjadi partner project-nya. Pemerintah butuh perusahaannya untuk pembangunan, infrastruktur, teknologi, dan research.
Jadi, kalau dia pergi karena rusaknya hubungan baik itu? Ekonomi negara tersebut bisa-bisa jadi tidak stabil.
Salah satu politisi di negara mereka pernah berkata, “If Juan Zacharias cancels the deal...my re-election chances are dead.”
22Please respect copyright.PENANAAgV25x8aKG
Ketiga,dia juga punya citra yang baik karena memiliki sebuah yayasan. The Zach Foundation: yayasan yang ia bangun untuk seni dan humaniora, untuk meningkatkan layanan kesehatan dan mengurangi kemiskinan, memperluas kesempatan pendidikan dan akses terhadap teknologi informasi, membantu mendanai penelitian ilmiah, dan menyediakan pelatihan-pelatihan gratis… Semua itu membuatnya memiliki citra publik yang sangat baik.
Ketahuilah, politisi yang cerdas biasanya tidak ingin membuat masalah dengan public darling seperti Juan A.D. Zacharias. Soalnya, Juan itu bukan pebisnis semata. Dia dermawan. Dia orang baik. Dia merupakan power figure yang disayang oleh masyarakat.
Jadi, kalau dia sudah membuat sebuah ‘tindakan’, opini publik bisa langsung jungkir balik. Ini akan membahayakan politisi yang berselisih dengannya.
22Please respect copyright.PENANAQ7nSmxJ78V
Well, ayo kita kembali lagi ke topik awal.
Buat apa Lucian takut,
22Please respect copyright.PENANAIo3Cbmay1N
…kalau ayahnya adalah Juan Zacharias itu sendiri?
22Please respect copyright.PENANAcuKD9DleeG
Namun, nyatanya…Lucian tetap mau datang ke pesta ulang tahun Ethan. Dia malah tak terpikir soal ‘kekuatan keluarga’ sama sekali. Dia tahu bahwa Ethan itu orangnya menyebalkan (mereka tak pernah mengobrol, by the way), tetapi dia tetap datang karena satu angkatan sudah setuju untuk datang.
Sedikit fakta mengenai Lucian: dia adalah tipe manusia yang takkan pernah mencari tahu dari mana kau berasal atau siapa keluargamu. Hidupnya terlalu santai; dia tidak sombong dan tidak ribet. Kalau kau orangnya asyik, dia akan enjoy mengobrol denganmu. Kalau kau orangnya menyebalkan, dia takkan mau dekat denganmu, tetapi dia juga takkan memusuhimu.
Dia orangnya biasa-biasa saja, very unserious, padahal dia adalah anak orang penting. Makanya, kalau kau tak tahu siapadia, kau akan mengira bahwa dia adalah anak kuliahan biasa yang suka bercanda karena otaknya agak error. Satu-satunya hal yang menyelamatkannya adalah fakta bahwa dia berwajah tampan.
Dia bahkan pernah mencoret-coret buku Selin dan membuat satu kalimat dengan huruf besar di belakang buku gadis itu: ‘LUCIAN ENZO ZACHARIAS FOR PRESIDENT 2025’
…dan berakhir dirobek oleh Selin.
22Please respect copyright.PENANACIIWiLJLUI
“Iyaaa, pasti bener ini.” Lucian mengangguk yakin, dia duduk bersandar seraya menyilangkan tangannya di depan dada. “Lanjut aja terus.”
Dylan mendengkus. “Serius dulu, Lucian. Jangan buat kita berlima jadi kesesat.”
Lucian kontan tertawa. Tawanya itu menular ke Maxi, Selin, dan Aria.
“Serius dulu, woy!!” teriak Maxi seraya tertawa. “Udahlah telat, kesesat lagi ntar!! Tuh otak isinya pacaran doang, nggak ada yang lain!”
Aria memukuli pundak Maxi seraya tertawa. Dia merasa tersindir karena dialah satu-satunya alasan mengapa Lucian bisa telat.
By the way, Selin, Aria, dan Maxi…semuanya duduk di jok penumpang belakang. Maxi duduk di antara Selin dan Aria.
Lucian ngakak lagi. “Ya kalo kesesat, tinggal bawa ke mall sekalian. Aku mau beli kacamata.”
“Lama-lama kutinggalin juga nih orang di tengah jalan,” ancam Dylan.
Maxi dan Selin ngakak habis-habisan. Lucian terperanjat, dia memegangi dadanya dengan dramatis. “Waduh, Kak, sabar dikit, dong. Marah-marah terus ini kerjaannya. Mau kubelai?”
Tiba-tiba, terdengarlah suara yang begitu mencekam dari jok penumpang belakang. Suara itu terdengar begitu dalam, seram, dan mengintimidasi.
Suara Aria.
22Please respect copyright.PENANAIgoufpNEwY
“Sayang.”
22Please respect copyright.PENANAY4MrNfSHtl
Lucian spontan membelalakkan mata; pemuda itu menoleh ke belakang dan mendapati Aria yang sedang memelototinya. Tubuh gadis itu seolah-olah mengeluarkan aura berupa asap hitam yang mengerikan.
Lucian gasps.
22Please respect copyright.PENANA8QaxSDQyHr
Waduh.
Mampus aku.
22Please respect copyright.PENANALSDrY0iKB2
Karena panik, Lucian pun kontan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Dia tertawa hambar dan berkata, “Eh—eh, eh—iya, Sayang, iya. Nggak. Nggak lagi. Janji. Nggak bakal belai-belai manusia lain sembarangan. Nggak bakal ada belaian terlarang.”
Melihat adegan itu, Maxi langsung tertawa bak orang kesetanan. “Mampoooooosss!!!! HAHAHAHA!”
Gilanya, Lucian malah ikut ngakak. Aria yang tadinya marah pun…diam-diam terlihat menahan tawa.
Dylan mendengkus lagi. “Udah, coba liat dulu alamatnya itu.Ethan udah share location villa-nya, ‘kan, di grup angkatan? Coba buka dulu.”
22Please respect copyright.PENANAdIaviE3qtw
Tiba-tiba, Selin membuka suara.
22Please respect copyright.PENANAFyEOD4N8z9
“Umm… Bentar, Dylan, biar aku aja.”
22Please respect copyright.PENANAIyZ7PFY52o
Suara Selin itu spontan membuat Dylan terdiam. Pemuda itu tak menjawab apa-apa; dia hanya menyetir di depan…seraya menunggu.
Selin mulai membuka ponselnya. Gadis itu membuka group chat, lalu mengklik lokasi yang Ethan berikan. Dia menge-zoom layar ponselnya—agar bisa melihat lokasi itu dengan lebih jelas—lalu berdeham panjang. “Hmm… Ini udah bener kok, Dylan. Tinggal lurus aja. Nanti pas udah sampai di pertigaan, baru belok kanan.”
Dylan belum menjawab. Suasana di mobil itu jadi terasa agak…canggung…karena tiba-tiba Maxi dan Aria juga diam.
Selin langsung menoleh ke teman-temannya dengan mata yang melebar. Napasnya agak tertahan di tenggorokan. Dia langsung mengomel dalam hati, ‘Duh, kalian jangan diem gini, dong! Aku udah berusaha, nih, supaya bisa bersikap biasa aja ke Dylan!’
Laknatnya, diam-diam…Maxi dan Aria mulai tertawa kecil. Mereka tertawa tanpa suara. Menertawakan Selin.
‘Sialaaaaaaan!!’ umpat Selin dalam hati. ‘Sengaja banget mereka ini!!’
Tiba-tiba saja, suara Dylan terdengar.
22Please respect copyright.PENANARNfcDeroza
“Makasih, ya, Lin.”
22Please respect copyright.PENANAT55Cjcv7RC
Mata Selin membulat sempurna.
Gadis itu langsung menoleh ke depan. Ke arah Dylan.
Untuk beberapa detik lamanya, ia hanya terdiam.
Namun, karena sadar bahwa Dylan sedang menunggu jawabannya. Selin pun mulai mengangguk dengan kaku.
22Please respect copyright.PENANA7azwAtMmRm
“I—Iya. Sama-sama.”
22Please respect copyright.PENANAKbYNciXwjx
“HAHAHAHA! OKEEEE! MANTAAAPP!!!” teriak Lucian tiba-tiba. Semua orang langsung menoleh kepada Lucian; mereka terperanjat tatkala mendengar teriakan itu. “Ayo kita teroboooos! Thank you, Lin!”
Karena masih tertegun (akibat mendengar jawaban Dylan), Selin pun mengangguk dengan kaku dan menjawab, “I—Iya.”
Dengan begini, seharusnya kecanggungan di antara Selin dan Dylan akan mulai berkurang, ‘kan?
22Please respect copyright.PENANASiND3QZn3Y
******
22Please respect copyright.PENANAPhyXsAYGsr
Daripada pesta ulang tahun, sebenarnya pesta yang Ethan adakan lebih kelihatan seperti pesta rumahan anak muda yang disertai dengan minuman keras. Tipe anak muda seperti Ethan jelas takkan peduli dengan usia minum yang legal di negara mereka.
Villa itu tidak terlalu besar, tetapi mewah. Banyak sekali orang yang datang ke sana. Ada yang sedang mengobrol bersama teman-temannya sambil minum alkohol. Di sana ada bir, ada wine, dan ada whisky. Ada juga berbagai macam makanan di sana, tetapi yang makan biasanya adalah para perempuan.
Di bagian samping villa tersebut ada kolam renang. Banyak orang yang berenang di kolam renang itu; ada yang ingin have fun dengan teman-temannya dan ada yang hanya ingin berpacaran di dalam air. Orang-orang tersebar di beberapa titik: ada yang di area kolam renang, ada yang dancing di dalam villa (pada dasarnya menjadikan bagian dalam villa itu sebagai bar pribadi), danada yang stay di halaman villa.
Selin dan teman-temannya memilih untuk stay di halaman villa. Mereka tak ingin masuk ke villa dan juga tak ingin menghabiskan waktu di kolam renang. Meski belum melihat lokasi-lokasi itu sama sekali, mereka sudah bisa menebak bahwa sepertinya akan ada banyak hal yang tak ingin mereka lihat di sana.
Selin, Maxi, dan Aria duduk di salah satu meja bundar yang di atasnya terdapat berbagai macam kue. Lucian dan Dylan sedang mengobrol dengan teman-teman satu angkatan mereka yang lain. Obrolan itu terlihat santai; mereka berdiri berkumpul di ujung sana dan Lucian sesekali tertawa.
Suara musik dari dalam villa terdengar sampai ke luar dan sejujurnya itu cukup mengganggu. Bagi Selin, daripada membuatnya ingin joget, musik seperti itu lebih efektif untuk membuat perutnya mual.
…atau mungkin…musik seperti itu bukan seleranya saja.
Sejujurnya, mereka berlima mungkin memikirkan hal yang sama, yaitu:
Nggak usah lama-lama di sini. Kayaknya, makin malem, pesta ini bakal makin parah.
22Please respect copyright.PENANADgSCRFloW8
“Aku mau ngambil minum dulu, ya,” ujar Aria. Gadis itu bangkit dari duduknya. “Di atas meja ini kayaknya minuman keras semua.”
Maxi mengernyitkan dahi. “Emangnya ada air putih atau jus di sini?”
Aria mengangguk. “Ada. Tadi, aku liat ada jus jeruk di sana.” Aria menunjuk ke sebelah kanan, membuat Selin dan Maxi melihat ke arah yang sama.
“Oh, oke.” Maxi mengacungkan jempolnya.
Selin mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati, ya, Aria.”
“Sip.”
Aria pun mulai berjalan ke sebelah kanan. Ke meja yang jaraknya sekitar lima meja dari posisi mereka tadi. Di sana ada jus jeruk dan kebetulan meja itu kosong.
Aria berjalan ke sana dengan senyum tipis. Berpikir bahwa mereka akan makan gratis sebentar di sini, lalu pulang ke rumah masing-masing…atau mungkin dia akan menemani Lucian membeli kacamata di mall terlebih dahulu.
Aneh sekali, padahal kacamata Lucian sudah banyak. Buat apa beli lagi? Dari segala hal yang bisa diobsesikan, Lucian malah terobsesi dengan kacamata. Dia bahkan punya kacamata pink yang berbentuk hati. Gila.
Aria menggeleng dan tertawa kecil tatkala memikirkan itu.
Sesampainya di meja itu, Aria pun mulai menuangkan jus jeruknya ke tiga gelas. Namun, sebelum gelas keduanya penuh, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara.
22Please respect copyright.PENANA3vIasLiFZ3
“Oh, look what I got here.”
22Please respect copyright.PENANAbD4JZk3Q8Y
Aria kontan menoleh.
Di samping kirinya, dia melihat Ethan. Orang yang berulang tahun…sekaligus yang mengadakan acara ini.
The pretentious elite brat, Ethan Bennett.
22Please respect copyright.PENANA7Q5QybtGJx
Pemuda itu berjalan mendekatinya.
22Please respect copyright.PENANA44PvJOQkMq
Dahi Aria berkerut. Tanpa sadar, dia berhenti menuangkan jus jeruk itu ke dalam gelas. Tak tahu kenapa, dia mulai waswas, padahal Ethan hanya menghampirinya.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, mungkin Aria merasa waswas karena dia tak pernah berbicara dengan Ethan…dan dia tahu bahwa Ethan orangnya menyebalkan. Tukang bully.
Aria berdiri tegap, menatap Ethan dengan bingung…sekaligus heran. Namun, dia tetap diam.
Begitu sampai di depan Aria, Ethan pun tersenyum miring.
22Please respect copyright.PENANARyXvWHzAGO
“Canaria, right?”
22Please respect copyright.PENANAfHdSVfqpV8
Aria mengangguk pelan, tetapi dengan canggung. Jantungnya entah mengapa berdegup kencang. Bukan karena salah tingkah, melainkan karena merasa…
…gelisah.
Keberadaan Ethan membuatnya merasa tidak tenang. Apakah getaran yang Ethan hasilkan selalu se-unsettling ini?
“Y—Ya,” jawab Aria. “Kenapa, ya…?”
Ethan memiringkan kepalanya. Dia masih tersenyum miring. “You know who I am, right?”
Aria mengangguk. “I—ya. Aku tau. Kamu Ethan, ‘kan?”
Ethan tertawa kencang. “Of course you know. Aku bakalan terkesan kalo kamu nggak tau siapa aku.”
Aria hanya tersenyum canggung. Senyum paksa.
Ini orang kenapa, sih? Sombongnya minta ampun. Lagian, ya jelaslah orang yang datang ke pesta ini tau siapa dia, kan dia yang ulang tahun.
“Ada apa, ya, Ethan?” tanya Aria pelan, diam-diam dia berdoa agar Ethan segera pergi dari hadapannya karena keadaan ini terasa sangat menyiksa.
Ethan tiba-tiba mendekat. Aria mundur selangkah, tetapi Ethan melangkah lebih cepat. Pemuda itu mendekati Aria hingga jarak mereka kini hanya tinggal empat jengkal.
Ethan menatap Aria dengan lekat. Tatapannya mematikan.
Hingga tiba-tiba, Ethan mengangkat dagunya dengan angkuh.
“Be my girl, just for tonight,” ujar Ethan. “Temenin aku sampe besok pagi. Besok pagi kamu kubayar.”
Mata Aria membelalak. Tubuh Aria mematung di tempat.
22Please respect copyright.PENANARkAYVLZ8dM
Apa?
Dia—dia bilang apa?
22Please respect copyright.PENANAcJnSNa0vka
Kontan saja emosi Aria naik sampai ke ubun-ubun. Aria langsung mengernyitkan dahinya dan menggeleng tak percaya. Mulutnya menganga. “Hah? Apa kamu bilang?!”
Ethan menyeringai. “You look like you’re a good fuck. Nggak usah ngapa-ngapain. Ikut aja sama aku di sepanjang pesta. Habis itu, ayo nge-sex.”
Aria memelototinya. “Sialan kamu!!!! Kamu udah sinting, ya?!!”
Melihat Aria yang memelototi sekaligus membentaknya, Ethan langsung naik pitam. Pemuda itu merasa dirinya tak pantas dan tak boleh dilawan. Tidak ada orang yang boleh menentangnya karena dialah yang berkuasa.
Maka dari itu, dia pun berdecak dan balas memelototi Aria. Dia langsung mendekati Aria dan sebelum Aria berhasil mendorongnya, dia sudah mendekap tubuh Aria dengan erat.
Sebelah tangannya melingkar di pinggang Aria, tetapi sebelum Aria sempat berteriak, dia langsung menangkup bokong Aria. Dia menatap Aria dengan tajam; posisi wajah mereka sangat dekat karena dia menahan tubuh Aria. Sambil mengintimidasi Aria dengan tatapan serta ekspresi wajahnya, dia pun meremas-remas bokong Aria dengan sangat kencang seraya berkata:
“Jangan sombong, jalang,” ujar Ethan dengan sinis. “Seharusnya kamu sujud sama aku karena aku mau nidurin kamu. Orang-orang yang mukanya oke kayak kamu semuanya pasti kepengin kutiduri. Nggak usah sok jual mahal kamu. Kamu tertarik, ‘kan, sama aku? Buktinya kamu kenal aku walaupun kita nggak pernah ngobrol sebelumnya!!”
Aria berteriak. Namun, karena dia berteriak, sebelah tangan Ethan langsung menutup mulutnya dengan kencang; Ethan memelototi gadis itu habis-habisan dan langsung meremas bokong Aria dengan lebih kuat. Aria memberontak. Dia menendang, memukul, mendorong, dan menampar Ethan, tetapi tidak ada yang berhasil. Sialannya, orang-orang yang tadinya duduk di sekitar sana tiba-tiba pergi menjauh. Mereka tidak ingin ikut campur.
“LEPAS—LE—HMMP!!!!”
Ethan menggeram. “DIAM, SIALAN!”
22Please respect copyright.PENANAVMFtGsyKRY
“TOLONG!!!”
22Please respect copyright.PENANAXSXLR7M3Yn
“ARIA!” Samar-samar Aria mendengar teriakan Maxi dan Selin dari depan sana.
…dan dua detik setelah itu, terdengarlah suara gedebuk yang sangat kencang.
22Please respect copyright.PENANANPFoPPoiF7
Tepat di hadapan Aria.
22Please respect copyright.PENANA7PbGcqz2fR
“KEPARAT!!!!”
22Please respect copyright.PENANAOOZ5qSNIyl
Itu adalah teriakan Lucian.
Cengkeraman Ethan pada tubuh Aria terlepas begitu saja. Tubuh gadis itu langsung oleng; dia terdorong dan hampir jatuh ke lantai apabila ia tidak berpegangan pada pinggiran meja. Dia terengah-engah—jantungnya berdegup kencang—dan langsung melihat ke depan dengan mata yang membulat sempurna. Dia ingin tahu apa yang terjadi.
Begitu melihat Ethan yang sudah jatuh terbaring di hadapannya, napas Aria tertahan seketika; Ethan sedang dipukuli dengan membabi buta oleh Lucian. Tadi, begitu mendengar Aria berteriak “TOLONG!”, barulah orang-orang di ujung sana mendengar teriakannya. Musik di dalam villa masih terdengar cukup kencang sehingga bunyinya bisa menyamarkan teriakan Aria. Namun, begitu mendengar teriakan terakhir itu, Lucian langsung menoleh ke asal suara dan mendapati Aria yang sedang dilecehkan oleh Ethan. Selin dan Maxi juga spontan berteriak.
Maka dari itu, tadi Lucian langsung berlari kencang ke arah Ethan. Dia berlari secepat kilat, lalu langsung menarik paksa jaket kulit yang Ethan kenakan. Dia meninju Ethan sampai terjatuh di lantai. Tinjuan itu benar-benar kuat; Lucian bak dikuasai oleh iblis. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Matanya nyalang. Dia mengamuk di sana.
Selin dan Maxi datang dan langsung memegangi Aria. “Aria, kamu nggak apa-apa?!!!”
Aria terlihat shock. Wajahnya pucat. Ia menatap perkelahian Lucian dengan mata melebar. Mulutnya menganga; ia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa karena otaknya sedang kacau.
“Lu—”
“SIALAN!!! MINGGIR!!!!” Ethan balas memukuli Lucian, mereka bertengkar dengan gila di sana. Mereka berdua kehilangan kendali. Mereka saling memukul dan saling mengantukkan kepala lawan mereka ke lantai. Situasi itu sangat riuh. Orang-orang mulai mengerumuni mereka. Kepala mereka sudah dipenuhi darah. Aria menangis kencang; Selin dan Maxi juga shock. Mereka mematung di sana dengan wajah pucat meskipun mereka tahu bahwa mereka harus segera pergi dari sana. Selain itu, Lucian—Lucian harus dihentikan!!!
“BANGSAT!!! KAMU APAKAN PACARKU, SIALAN?!! PERSETAN!!! KUBUNUH KAMU, SIALAN!! KEPARAT!!!” Lucian melepas jaketnya; dia melemparkan jaket itu ke sembarang arah agar bisa memukuli Ethan dengan lebih leluasa.
“LUCIAN!!!! BERHENTI!!!”teriak Dylan. Pemuda itu sudah meneriaki dan mencoba untuk menarik Lucian sejak tadi. Namun, meskipun sudah ditarik oleh beberapa orang, Lucian tetap tak terganggu. Dia seperti monster yang tubuhnya sangat keras dan kuat; dia mengempaskan semua orang yang menghalanginya. Hal yang sama pun terjadi pada Ethan. Mereka bertengkar di sana seperti orang tak waras.
Tiba-tiba, Aria mengempaskan pegangan Maxi dan Selin. Dia langsung berlari mendekati Lucian dan mencoba untuk ikut menarik pemuda itu sembari meneriakinya agar berhenti berkelahi.
“ARIA!!!!” teriak Maxi. Mata Selin membulat, gadis itu lupa bernapas. Dia bingung dan tak tahu harus bagaimana. Namun, yang jelas, Aria—Aria tak boleh berada di sana!!!
Selin dan Maxi langsung mau ikut berlari untuk menyelamatkan Aria, tetapi tiba-tiba mereka berdua mendengar teriakan Dylan.
“MAXI, SELIN!!!! TOLONG SIAPIN MOBIL!!!” Dylan melempar kunci mobilnya dengan kencang hingga kunci itu terjatuh di depan Maxi. “KITA HARUS BAWA LUCIAN KE RUMAH SAKIT!!!”
Maxi langsung mengambil kunci mobil itu dengan panik. “Oh—iya, IYA!!! TOLONG HENTIKAN LUCIAN, DYLAN!! AKU SIAPIN MOBIL SEBENTAR!!”
Begitu Maxi berlari menjauh, Dylan pun langsung melemparkan jaket milik Lucian kepada Selin, lalu berteriak, “LIN, TOLONG TELEPON OM JUAN SEKARANG!! HP LUCIAN ADA DI SITU!!!”
Selin pun mengangguk dengan cepat. Gadis itu langsung menunduk untuk mengambil jaket Lucian yang terjatuh di depannya. “I—IYA!!!”
Selin mengeluarkan ponsel Lucian dari saku jaket itu. Tangan Selin agak gemetar; dia panik setengah mati. Dia harus cepat—dia harus cepat!
Selin membuka kunci layar ponsel Lucian yang untungnya dia tahu polanya apa. Dahulu, Lucian pernah meminjamkan ponselnya kepada Selin dan Maxi karena kedua gadis itu ingin stalking pemuda yang meninggalkan Maxi setelah tiga hari berkencan. Mereka tak mau memakai akun social media mereka sendiri, jadi mereka meminjam punya Lucian. Makanya, tak heran kalau tiba-tiba akun Lucianlah yang digunakan untuk memarahi pemuda itu.
Setelah kunci layar ponsel itu terbuka, Selin pun langsung mencari kontak Om Juan. Gadis itu men-scroll layar ponsel itu hingga akhirnya ia sampai di sebuah nama kontak, yaitu:
22Please respect copyright.PENANAZy2wnDkSUj
‘Dad’.
22Please respect copyright.PENANA4axcX13Mic
Ah, yang ini. Ini pasti nomornya Om Juan, pikir Selin.
Selin langsung mengklik kontak itu dan memanggilnya. Gadis itu langsung menjauhi kerumunan, lalu menggigit bibirnya dengan gelisah tatkala panggilan telepon itu masih berdering. Agaknya, tiap-tiap deringan itu membuat Selin jadi semakin tidak tenang. Napasnya berembus cepat dan tidak teratur. Tangannya masih sedikit gemetar.
Situasi saat ini benar-benar kacau; Aria pun masih menangis di ujung sana. Sayangnya, tadi Selin lupa melihat apakah Lucian dan Ethan sudah berhasil dilerai atau belum.
22Please respect copyright.PENANAAyTqyXHm3S
Panggilan telepon itu pun diangkat.
22Please respect copyright.PENANAeUA59Q7eaS
Mata Selin melebar. Ya Tuhan, akhirnya!
Tanpa memberitahu siapa dirinya, Selin langsung berteriak dengan panik. Ia tak memikirkan apa-apa lagi, kecuali memberitahukan situasi ini kepada Om Juan. “Om! Om Juan—"
22Please respect copyright.PENANAgms9h5Ld72
“...Selin?”
22Please respect copyright.PENANAPhZdQBX9Fi
Seharusnya Selin sadar bahwa meskipun dia belum memperkenalkan dirinya di telepon, Om Juan telah mengenali suaranya. Namun, sayangnya…Selin gagal menyadari itu karena sedang panik minta ampun. Pikirannya kalut. Dia overheating.
“Om Juan, m—maaf ganggu, ya, Om,” ujar Selin. Kalau panik, bicaranya jadi agak tersendat. “Jadi…gini, Om, kami sekarang lagi ada di pesta ulang tahun temen seangkatan. Lucian mau kami bawa ke rumah sakit, Om, soalnya dia—dia berantem di sini. Dia luka-luka karena nggak mau berhenti, Om. Tolong—tolong datang, ya, Om…”
Setelah itu, terdengarlah jawaban Om Juan dari seberang sana.
“Oke. Tolong jaga Lucian, ya. Om segera ke sana. Nanti kasih tau sama Om di mana lokasi rumah sakitnya.”
Selin mengangguk dengan cepat. “Iya, Om.”
“Thank you, Selin.”
22Please respect copyright.PENANAyKYTZwQZdG
******
22Please respect copyright.PENANAZtHSpvLtJp
Lucian duduk di tepi ranjang rumah sakit. Ada seorang dokter yang sedang mengobati wajahnya. Wajahnya penuh dengan luka dan lebam; ia langsung dibawa ke IGD oleh keempat temannya begitu perkelahian itu berhasil dilerai.
Selin, Maxi, dan Dylan berdiri mengelilingi Lucian, sementara Aria sedang duduk di samping Lucian seraya sesekali mengusap pundak pemuda itu dengan sayang. Wajah Aria masih sembap, matanya merah akibat terlalu banyak menangis. Akan tetapi, Lucian hanya diam. Dia menunduk dan hanya memegang sebelah tangan Aria.
Tak lama kemudian, mereka semua mendengar ada sedikit perubahan suasana. Napas orang-orang di IGD itu agaknya sedikit tertahan; mereka terdiam dan menatap ke satu arah yang sama. Menyadari keanehan itu, Maxi, Selin, dan Dylan pun langsung ikut menatap ke arah yang sama.
Ternyata, ada seseorang yang baru saja masuk ke ruang IGD. Membawa seluruh aura kepemimpinan dan kekuatannya, membuat udara di sekitarnya jadi terasa berbeda.
Ayahnya Lucian, Juan Zacharias, baru saja masuk ke IGD itu. Para bodyguard-nya menunggu di luar.
Selin dan Maxi juga jadi menahan napas. Ya…jelas saja. Bagaimana orang-orang tidak melakukan itu ketika seluruh udara di sekitar jadi berubah hanya karena kedatangannya?
Om Juan masuk dengan kemeja putih yang digulung hingga ke lengan. Jasnya tergantung di lengan sebelah kirinya dan penampilannya masih sangat memesona meskipun hari sudah malam. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Begitu menemukan keberadaan Lucian dan teman-temannya, Juan pun berjalan mendekati mereka.
Dylan mulai bergeser—agar Juan bisa berdiri lebih dekat dengan Lucian—lalu berkata, “Om Juan, silakan, Om. Di sini.”
Om Juan mengangguk. Selin dan Maxi hanya memperhatikan langkah pria itu dan sekali lagi mereka mengakui bahwa Om Juan memang out of this world. Pesonanya tak masuk akal. Dia seperti bukan manusia biasa. Keberadaannya jadi seperti anomali karena terlihat berbeda sendiri.
Hm…atau lebih tepatnya begini: dia adalah main character-nya, sementara mereka semua hanyalah NPC.
22Please respect copyright.PENANAwLSm0IHGHi
Begitu sudah berdiri dekat dengan Lucian, Om Juan pun mulai membuka suara.
22Please respect copyright.PENANArxGBLDVvVH
“How is he, Doctor?”
22Please respect copyright.PENANAB377sgCcih
Dokter itu pun menunduk hormat pada Om Juan (karena semua karyawan di rumah sakit itu tahu bahwa Juan punya sebagian besar saham di sana) dan berkata, “Memarnya agak parah, Pak, tapi nggak ada cedera di bagian dalam. Nggak ada patah tulang juga.”
Om Juan menghela napas, lalu mengangguk singkat. “Syukurlah. Makasih, Dok.”
Dokter itu tersenyum. “Sama-sama, Pak.”
Tak lama kemudian, dokter itu pun selesai mengobati Lucian dan pamit untuk menyiapkan resep obat. Om Juan mengangguk, berterima kasih (lagi), lalu tersenyum pada dokter itu.
Sepeninggal dokter itu, Om Juan langsung menarik kursi yang ada di sebelah ranjang Lucian. Ia sedikit menyeret kursi itu agar berada di hadapan Lucian, lalu dudukdi sana dan menatap Lucian dengan serius.
Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu memiringkan kepala.
22Please respect copyright.PENANA1FbLgxgK7J
“Jadi, bisa kasih tau Ayah apa yang terjadi hari ini?”
22Please respect copyright.PENANAn0lEWrDN0E
Mereka semua terdiam.
22Please respect copyright.PENANAlHL1KmM0Na
Namun, karena semua orang hanya diam…dan rasa bersalah di hatinya kian menumpuk, Aria pun akhirnya membuka suara. Mata Aria berkaca-kaca.
“A—Aku yang salah, Om. Lucian…Lucian cuma—”
Kata-kata Aria terhenti karena Lucian tiba-tiba mempererat genggaman tangannya. Pemuda itu seolah-olah ingin berkata, ‘Udah. Nggak usah ngomong gitu.’
Aria pun menoleh kepadanya, melebarkan mata, dan akhirnya menunduk.
22Please respect copyright.PENANAgaQBl1jA5Y
Ah…sial. Semoga Ethan tercebur ke laut dan dimakan ikan hiu.
22Please respect copyright.PENANA2ba4yMAbiw
Lucian menatap ayahnya. Dengan pelan, dia pun mulai menjelaskan, “Aku tadi mukul Ethan Bennett karena dia udah ngelecehin Aria, Dad.”
Juan mengerutkan dahi. “Ethan Bennett?”
Lucian mengangguk. “Ya.”
“Umm... Jadi…begini, Om.” Dylan tiba-tiba bersuara. Semua orang pun langsung menoleh kepadanya. “Tadi, kami datang ke acara ulang tahunnya Ethan Bennett. Dia ngadain acara itu di villa punya keluarganya. Nggak tau kenapa, dia tiba-tiba gituin Aria dan akhirnya dia jadi berantem sama Lucian.”
Maxi mengangguk. “Betul, Om. Sebenernya, Lucian sama Aria nggak salah apa-apa.”
Setetes air mata kembali jatuh ke pipi Aria. Ia sedih melihat Lucian jadi luka-luka begini karenanya. Ia pun mengusap air mata itu, lalu berkata dengan tulus, “Maafin aku, ya, Om. Nanti, aku bakal bantu ngobatin Lucian di mansion…sampe Lucian sembuh.”
Sebenarnya, Aria tak perlu melakukan itu. Keluarga Zacharias memiliki dokter pribadi; Juan juga tidak marah pada Aria. Namun, Aria sudah terlanjur merasa bersalah.
Juan menghela napas. Dua detik kemudian, pria itu pun mengangguk.
“Ya udah. Ayo kita pulang,” ujar Juan. “Tadi pake mobil siapa?”
“Mobil aku, Om,” jawab Dylan.
Juan mengangguk lagi. “Hm. Dylan bisa langsung pulang pakai mobilnya. Kalo Selin, Maxi, sama Aria, kalian bisa naik mobil bodyguard Om, ya. Biar diantar satu per satu. Lucian bakal Om bawa pulang.”
Mereka semua (kecuali Lucian) pun mengangguk. “Iya, Om. Makasih, ya, Om.”
22Please respect copyright.PENANAVH9aTIUsY5
******
22Please respect copyright.PENANAJBAaVsDJwj
Setelah mengambil resep obat dari dokter, di sinilah mereka semua, berdiri di samping mobil hitam mewah milik Juan. Lucian baru saja masuk ke mobil; sopir pribadi Juan sudah siaga di jok pengemudi.
Begitu Lucian sudah duduk di dalam mobil, Juan pun berbalik dan menghadap ke arah Selin, Maxi, Dylan, dan Aria. Mereka berempat masih berdiri di sana, ingin mengantarkan Juan dan Lucian terlebih dahulu sebelum pulang. Selin sejak tadi diam saja karena dia sibuk memperhatikan keadaan Lucian yang wajahnya luka-luka semua…serta Aria yang terus menangis. Gadis itu tak menyangka bahwa hari ini akan berakhir seperti ini.
Juan berdiri di hadapan mereka dan tersenyum simpul.
22Please respect copyright.PENANAJNV0QikopF
“Thank you for telling me earlier,” kata Juan.
22Please respect copyright.PENANAwhDTz7BhN6
Mereka berempat mengangguk. Maxi langsung menjawab, “No, Om, it’s nothing. Kami cuma ngelakuin apa yang seharusnya kami lakuin. Justru kami minta maaf, ya, Om, karena gagal ngehentiin Lucian lebih cepet.”
Aria menatap Juan dengan serius. “Besok Aria datang ke mansion, ya, Om. Biar Aria bantu ngobatin Lucian.”
Juan lets out a breathy smile. Pria itu pun mengangguk. “Hm. Ya udah.”
Juan bereaksi seperti itu karena ingin menghargai keputusan Aria meskipun sebenarnya itu tidak perlu. Juan kenal anaknya; Lucian itu tubuhnya kuat. Ditambah dengan bantuan dokter pribadi mereka, mungkin luka Lucian akan sembuh dalam waktu cepat.
Juan kembali membukasuara.
“Oh. Around three days ago, Om minta nomor handphone kalian dari Lucian. Om minta itu sebagai antisipasi kalau-kalau ada terjadi masalah kayak gini. Siapa sangka kalo ternyata masalahnya datang secepet ini,” ujar Juan. Pria itu bernapas samar. “Jadi, supaya kedepannya kalian nggak susah ngehubungi Om, Om coba telepon salah satu dari kalian aja, ya. Ntar di-share aja nomor Om…biar kalian sama-sama nyimpen.”
“Oke, Om,” jawab Maxi. Dylan dan Aria lantas mengangguk.
“Hm…” Om Juan berpikir sebentar. Pria itu menatap mereka satu per satu,
22Please respect copyright.PENANApnNMWCNh58
…lalu tersenyum.
22Please respect copyright.PENANAheOUGrSIYq
“Selin aja, ya?”
22Please respect copyright.PENANADMVWAbiZNc
Mata Selin kontan membulat sempurna.
22Please respect copyright.PENANAnRSGrBcMPJ
A—Aku?
22Please respect copyright.PENANAhabxOU6hNE
Dylan, Maxi, dan Aria menoleh kepada Selin sebentar, lalu mengangguk menyetujui Om Juan. Mereka terlihat biasa-biasa saja.
Namun, tidak dengan Selin. Jantung Selin hampir berhenti berdegup. Tidak, seharusnya ini bukan apa-apa. Om Juan pasti memilihnya karena dialah yang menghubungi Om Juan melalui ponsel Lucian tadi. Iya, pasti begitu. Teman-temannya pun tidak kaget, ‘kan? Berarti, ini wajar. Selin sajalah yang gugupnya kelewatan.
Setelah meneguk ludahnya, Selin pun mengangguk dengan kaku. “I—Iya, Om.”
Juan kembali tersenyum. Pria itu mulai mengeluarkan ponselnya, mencari nomor telepon Selin di sana…lalu menempelkan ponsel itu di telinganya.
22Please respect copyright.PENANACzp4ClDwKR
…sambil menatap Selin.
22Please respect copyright.PENANAXnjQlt2UM3
PonselSelin pun berbunyi. Gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, lalu melihat bahwa ada panggilan masuk dari sebuah nomor yang belum tersimpan.
Jantung Selin langsung berdebar. Napasnya tertahan.
22Please respect copyright.PENANAyK9vjzy0KM
Itu…adalah nomor Om Juan.
22Please respect copyright.PENANAxxAPka96g5
Nomor ponsel Juan A.D. Zacharias.
22Please respect copyright.PENANAjr7T708uCE
Om Juan…meneleponnya.
22Please respect copyright.PENANA8gNiHxaIIF
“That’s my phone number,” ucap Om Juan kemudian. Suara seksinya membuat Selin tersentak; gadis itu jadi berhenti memandangi layar ponselnya dengan tatapan tak percaya. Dia langsung beralih menatap Om Juan.
“Oh, iya, Om,” jawab Selin.
Juan mengangguk dan tersenyum kepada Selin. Setelah itu, dia menatap tiga teman Selin yang lain. “Dylan, Aria, dan…umm…”
“Maxi, Om!” sambung Maxi, mengingatkan Om Juan.
“Ah, ya. Maxi,” kata Om Juan. “All of you can ask for my number from Selin. Tolong kasih nomor Om ke mereka, ya, Selin?”
Mata Selin melebar. Ia belum menjawab apa-apa, bahkan ketika sepasang mata Om Juan kembali menemukannya.
Mereka bertatapan selama kurang lebih tiga detik.
Namun, seakan-akan tersadar dari lamunannya, Selin pun langsung menjawab, “A—Ah, baik, Om.”
Juan tersenyum. Pria itu mengangguk, lalu mulai berbalik dan membuka pintu mobilnya. Namun, sebelum masuk ke mobil, Juan sempat menatap mereka berempat lagi dan berkata, “Be careful on your way home. Tell me if something happens.”
Selin, Maxi, Aria, dan Dylan lantas mengangguk.
“Iya, Om, makasih. Hati-hati, ya, Om,” kata Dylan.
Juan mengangguk. “Hm.”
Pria itu pun masuk ke mobilnya; dia duduk bersama Lucian di jok penumpang belakang. Ketika mobil itu mulai berjalan, mereka berempat mendengar bunyi klakson…dan mereka semua langsung melambaikan tangan pada mobil itu.
…kecuali Selin. Mata gadis itu memang melihat mobil Om Juan, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana.
Akhirnya, mereka semua pun beranjak pulang. Selin, Aria, dan Maxi langsung masuk ke salah satu mobil bodyguard Om Juan, sementara Dylan pulang dengan mobilnya sendiri.
22Please respect copyright.PENANAj25YXreea5
******
22Please respect copyright.PENANADblmXoMoYK
Pagi ini, Ethan Bennett duduk di tepi ranjangnya dengan wajah yang dipenuhi luka. Luka dan lebamnya jauh lebih parah daripada Lucian, tetapi dia tidak mau pergi ke rumah sakit karena menganggap bahwa dirinya masih kuat untuk menanggung itu semua. Dia hanya meminta pelayan untuk membantu membersihkan dan mengobati lukanya.
Tiba-tiba, pintu kamar Ethan terbuka. Ethan langsung menatap pintu itu dan menemukan ayahnya yang masuk ke kamar dengan ekspresi murka. Tadi, ayahnya langsung mendobrak pintu itu dengan kencang; pria paruh baya itu masuk diikuti oleh dua bodyguard-nya.
Sang ayah langsung mendekati Ethan dengan mata nyalang. Dia tampak berapi-api, seperti ingin membunuh seseorang sekarang juga.
“SIAPA?!!” bentaknya. “BERANTEM SAMA SIAPA KAMU?!! Ayah bisa hancurin dia dan keluarganya sekarang!!”
Ethan memalingkan wajahnya, lalu mendengkus. “Lucian. Lucian Zacharias.”
Ayahnya mengangguk cepat. “Oke. Ayah bakal pastiin—wait. What did you say?”
Sebelah alis ayahnya terangkat. Pria paruh baya itu seolah-olah ingin memastikan pendengarannya.
Ethan mendengkus lagi. Dia malas menyebut nama anak itu. “Namanya Lucian Zacharias.”
Tepat setelah nama itu disebut,
22Please respect copyright.PENANA7qoRRQgV4q
…kontan saja ayahnya membulatkan mata.
22Please respect copyright.PENANAbZhSLlmTWh
Pria paruh baya itu mematung di tempat, seolah-olah baru saja tersambar petir yang dahsyat. Napasnya tersekat di tenggorokan. Kalimat itu terdengar bagai gong kematian yang bunyinya mampu menghentikan detak jantungnya seketika.
Dalam waktu secepat kilat, pria paruh baya itu langsung menarik kerah baju Ethan. Ethan yang tadinya terlihat cool (dan justru kesal karena harus menyebut ulang nama Lucian) kini spontan membelalakkan mata. Para pelayan yang ada di sana langsung panik dan menahan teriakan mereka. Ethan menganga; dia sama sekali tak mengerti dengan apa yang terjadi. Tatapan ayahnya terlihat begitu bengis; mata nyalang itu kini malah tertuju kepadanya.
Mengapa—mengapa ayahnya bertingkah seperti ini?! Mengapa ayahnya jadi marah kepadanya? Dialah yang terluka di sini!!!
Mr. Bennett mengeratkan cengkeramannya di leher Ethan hingga Ethan tercekik. Ethan, like a brat he is, malah marah pada ayahnya dan berteriak, “DAD, WHAT THE HELL IS THIS?!!!”
“Zacharias?” ulang ayah Ethan. Dia semakin mencekik Ethan dan memelototi anak itu. “KAMU BILANG DIA DARI KELUARGA ZACHARIAS?!!!”
“D—DAD!!!” Ethan mulai susah bernapas. Dia hanya bisa mencengkeram kedua tangan ayahnya, berusaha untuk melepaskan cekikan itu. Orang-orang di sana semakin terlihat panik, tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena takut.
Dengan berang, Mr. Bennett pun mencampakkan Ethan ke lantai. Dia membanting tubuh Ethan tanpa belas kasih. “ITU ANAKNYA MR. ZACHARIAS, YOU LITTLE SHIT!!!! DASAR ANAK KURANG AJAR!!!”
“H—Hah?” Ethan mendongak—menatap ayahnya—dan dahinya berkerut. “What—what do you mean, Dad? Siapa—”
Dalam waktu sepersekian detik, Mr. Bennett langsung mendekati Ethan dan meninjunya dengan sangat kuat. Pria paruh baya itu mendadak terlihat seperti beruang yang mengamuk.
Tinjuan itu pun akhirnya mendarat ke wajah Ethan tanpa henti. Pemuda itu ditinju habis-habisan, padahal dia sudah babak belur karena berkelahi dengan Lucian semalam. “ANAK SIALAN!!! APA KAMU TAU SIAPA AYAHNYA?!!!”
Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk ke ruangan itu dengan terburu-buru. Dia terlihat panik, tak tenang, seperti baru saja kehilangan barang.
22Please respect copyright.PENANATIl7h8whDa
“Mr. Bennett!”
22Please respect copyright.PENANAbsIdCK2d5T
Ayahnya Ethan langsung menoleh ke pintu kamar. Ternyata, itu adalah sekretarisnya. Si sekretaris itu agaknya sedang bertelepon dengan seseorang di kantor perusahaan mereka dan langsung berlari menemui ayahnya Ethan sebelum sempat mematikan panggilan telepon itu. Kebetulan, ia sedang mampir ke rumah Keluarga Bennett karena ingin meminta tanda tangan Mr. Bennett.
Mr. Bennett pun mengernyitkan dahi. “Ada apa?”
Sekretarisnya itu terlihat gelisah. Matanya melebar sempurna. Wajahnya pucat. Dia terengah-engah karena habis berlari menuruni lantai dua.
“Pak,” panggilnya, suaranya terdengar bergetar. “Zach Enterprises menghentikan proyek kerja sama dengan perusahaan kita, Pak, dan hampir seluruh investor kita mundur.” []
22Please respect copyright.PENANAoIlziaDGbV