
Tiga hari berlalu dalam keheningan yang menyesakkan bagi Bu Ai di sekolah.
1249Please respect copyright.PENANAHGLZJETPz3
Sejak pesan yang ia kirimkan kepada Kepala Sekolah Darmawan melalui ponselnya, sebuah perjanjian tak tertulis telah terjalin, mengikatnya dalam ketegangan yang tak kunjung reda. Pak Darmawan, yang kini disimpan sebagai "Bajingan Tua" di kontak ponselnya, menepati janjinya dengan sempurna. Tidak ada godaan, tidak ada sentuhan, tidak ada bisikan penuh hasrat di koridor sekolah. Ruang guru, yang biasanya terasa seperti medan perang baginya, kini terasa lebih aman, hampir terlalu tenang. Pak Darmawan berbicara dengan nada profesional, memberikan instruksi dengan wibawa, tersenyum ramah seperti kepala sekolah yang tak pernah memiliki sisi gelap. Malam-malam penuh birahi di ruang kepala sekolah seolah lenyap, hanya menyisakan kenangan yang menghantui Bu Ai setiap kali ia menutup mata.
1249Please respect copyright.PENANAF8ZfgD0MXN
Namun, keheningan ini bukanlah kelegaan. Sebaliknya, ia seperti badai yang menunggu untuk meledak. Setiap pagi, Bu Ai terbangun dengan jantung berdebar, perutnya mual karena campuran kelegaan dan kegelisahan. Ia lega karena tiga hari ini Pak Darmawan menjaga jarak, tetapi kegelisahan itu tumbuh seperti benih beracun, semakin besar seiring mendekatnya hari Sabtu. Hari itu, ia tahu, akan menjadi titik penentuan untuk “tes” yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Sebuah eksperimen kejiwaan yang mengerikan, yang ia harap akan menjawab pertanyaan yang menghantuinya: Apakah aku benar-benar menikmati seks itu? Apakah tubuhku sudah kecanduan pada sentuhan yang terasa menjijikkan?
1249Please respect copyright.PENANAiSDNUJghwO
Di kelas, ia berusaha menjalani rutinitas seperti biasa. Ia mengajar dengan suara lembut, menjelaskan materi dengan sabun, mencoba tersenyum pada murid-muridnya yang polos. Tetapi setiap kali ia menulis di papan tulis, tangannya sedikit gemetar, pikirannya melayang ke malam-malam sebelumnya, ke ruang kepala sekolah yang gelap, ke sentuhan Pak Darmawan yang kasar namun anehnya memabukkan. Di ruang BK, ia mendengarkan curhatan murid-muridnya, mencoba fokus pada masalah mereka. Ada seorang murid yang kesulitan dengan matematika, seorang lagi yang bingung memilih jurusan kuliah. Raka, murid yang selalu penuh perhatian, datang pada hari Rabu, membawa selembar kertas dengan pertanyaan tentang tugas konseling. Matanya yang polos menatap Bu Ai dengan kekaguman, membuatnya merasa semakin kotor.
1249Please respect copyright.PENANAZShDkTDvlt
“Bu, saya boleh tanya soal ini lagi minggu depan?” tanya Raka, senyumnya tulus. Bu Ai mengangguk, tetapi hatinya terasa seperti diremas. “Kalau kau tahu siapa gurumu sebenarnya,” pikirnya.
1249Please respect copyright.PENANA241SQDnyAB
Pak Arjuna, rekan guru yang selalu memperhatikannya, juga mencoba mendekat. Pada hari Kamis, saat istirahat, ia membawa secangkir teh hangat ke meja Bu Ai di ruang guru. “Bu Ai, kamu kelihatan capek akhir-akhir ini,” katanya, suaranya penuh perhatian. “Kalau ada apa-apa, cerita, ya. Aku selalu ada.” Bu Ai tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih, tetapi ia tahu ia tak bisa menceritakan apa pun.
1249Please respect copyright.PENANA4nH7Wc4QD3
Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi pria yang telah merenggut kesuciannya, yang kini menguasai pikiran dan tubuhnya? Bagaimana ia bisa mengaku bahwa ia sedang merancang sebuah tes untuk membuktikan apakah dirinya sudah rusak?
Malam hari, di kamar kecilnya yang diterangi lampu meja sederhana, Bu Ai duduk dengan buku harian di pangkuannya. Ia menulis dengan tangan gemetar, menuangkan setiap ketakutan dan keraguan.
1249Please respect copyright.PENANAB4IFL5UsF0
“Aku harus tahu,” tulisnya. “Aku harus tahu apakah ini hanya trauma, atau apakah aku memang sudah menjadi seperti yang dia katakan, sudah merasa menjadi pemuas nafsunya.” Kata-kata itu terasa seperti racun di pena, tetapi ia terus menulis, mencoba memahami dirinya sendiri. Ia teringat malam di motel, ketika tubuhnya mengkhianatinya, ketika desahan keluar tanpa izin, ketika puncak kenikmatan membuatnya buta sejenak.
1249Please respect copyright.PENANAPvVxrBmP5H
“Aku benci ini,” tulisnya lagi, air mata menetes ke kertas. “Aku benci bagaimana tubuhku merespons. Aku benci bagaimana aku tidak bisa melupakannya.”
1249Please respect copyright.PENANAni8FXAUvhz
Pada malam Kamis, ia mencoba meditasi, duduk bersila di lantai kamarnya, mencoba mengosongkan pikiran. Tetapi setiap kali ia menutup mata, bayangan Pak Darmawan muncul, suaranya bergema: “Kamu suka ini, Aiara. Tubuhmu tidak bisa berbohong.” Ia membuka mata dengan cepat, napasnya tersengal, dan menyerah pada buku hariannya lagi. “Aku takut,” tulisnya. “Aku takut aku memang menginginkannya. Aku takut aku sudah bukan Aiara yang dulu.”
1249Please respect copyright.PENANA11KtGxYjK8
Jumat sore, ketika bel pulang sekolah berbunyi, jantung Bu Ai berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia membereskan mejanya dengan gerakan lambat, mencoba menunda keberangkatan. Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari “Bajingan Tua”: “Bagaimana, Aiara? Sudah siap untuk besok? Aku sudah tidak sabar.”
Rasa mual menyergapnya. Ia ingin menghapus pesan itu, ingin memblokir nomor itu, tetapi ia tahu ia sudah terperangkap. Dengan napas berat, ia mengetik: “Saya siap, Bapak. Tapi saya ingin bertemu di luar kota, di sebuah hotel. Saya bisa beralasan pada orang tua saya bahwa saya ingin bermain dengan teman-teman.”
1249Please respect copyright.PENANAR6j75c1Esh
Beberapa menit berlalu, ponselnya bergetar lagi. “Tidak perlu repot-repot, Sayang. Datang saja ke rumahku. Tidak akan ada yang tahu. Aku akan menjemputmu.” Amarah Bu Ai memuncak.
1249Please respect copyright.PENANAJxB4uegZ2x
Ke rumahnya? Ini bukan lagi tentang tes, tetapi tentang dominasi Pak Darmawan yang tak terbatas. Dengan jari gemetar, ia mengetik: “Tidak, Bapak. Saya tidak bisa ke rumah Bapak. Bagaimana jika ada yang melihat? Saya tidak mau ada masalah.” Pesan itu terkirim, dan ia menunggu dengan jantung berdegup kencang. Balasan datang, dingin dan tegas: “Jangan membantah, Aiara. Aku tidak suka. Datang saja ke rumahku. Aku akan pastikan tidak ada yang melihat. Ini perintah.” Kata “perintah” menusuknya seperti pisau.
1249Please respect copyright.PENANAyLeLzsbbkW
Ia menutup mata, mencoba mencari alasan untuk melawan, tetapi pikirannya kosong. Setelah perdebatan batin yang panjang, ia menyerah. “Baik, Bapak. Saya akan datang. Tapi saya akan naik transportasi umum. Saya tidak ingin Bapak menjemput saya,” balasnya. Tidak ada respons lagi, dan Bu Ai tahu itu adalah tanda kemenangan bagi Pak Darmawan. Malam itu, ia nyaris tak tidur. Ia memandang langit-langit kamarnya, mendengarkan suara jangkrik di luar, mencoba membayangkan apa yang akan terjadi esok. Ia membenci dirinya karena memilih pergi, tetapi ada bagian kecil dalam dirinya yang penasaran, bagian yang ingin tahu apakah ia benar-benar telah berubah, apakah tubuhnya memang sudah menjadi milik pria itu.
1249Please respect copyright.PENANAIK0n4GM9G8
***
1249Please respect copyright.PENANAil5SkTv3OB
Sabtu pagi tiba dengan langit mendung, mencerminkan kegelapan di hati Bu Ai.
1249Please respect copyright.PENANAHGtxyA8WNX
Menjelang tengah hari, ia terbangun dengan perut melilit cemas. Hari ini adalah hari penentuan, hari untuk menghadapi kebenaran yang ia takuti. Setelah mandi dengan air dingin yang tak mampu menenangkan pikirannya, ia mengenakan pakaian sederhana. Celana panjang longgar, kemeja pastel muda, dan hijab cokelat yang menutupi rambutnya dengan rapi. Ia memilih pakaian ini untuk tidak menarik perhatian, berharap bisa menyelinap tanpa dikenali oleh siapa pun.
1249Please respect copyright.PENANApFIkFZsHxI
Ia berpamitan kepada orang tuanya, berbohong bahwa ia akan bertemu teman-teman di luar kota. Ibunya mengusap pipinya dengan lembut.
1249Please respect copyright.PENANAGAUVMG41Cu
“Hati-hati, Nak. Jangan pulang terlalu malam,” katanya, senyumnya penuh kasih. Bu Ai mengangguk, hatinya terasa seperti ditusuk. Ia melangkah keluar, membawa tas kecil yang hanya berisi dompet dan ponsel, seolah ingin memastikan tidak ada jejak yang bisa menghubungkannya dengan tujuannya.
Perjalanan dengan angkutan umum terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap pemandangan Yogyakarta yang berlalu. Jalanan ramai dengan pedagang kaki lima, gedung-gedung tua dengan cat yang mulai mengelupas, dan orang-orang yang berjalan tanpa tahu apa yang ia hadapi. Angkot itu berderit setiap kali berhenti di lampu merah, dan setiap tikungan terasa seperti penundaan menuju nasibnya.
1249Please respect copyright.PENANAHQWesXqCO0
Seorang ibu tua di sebelahnya mengobrol dengan penumpang lain tentang harga sayur di pasar, suaranya nyaring dan riang, kontras dengan kegelapan di hati Bu Ai. “Mereka tidak tahu,” pikirnya, menatap jendela. “Mereka tidak tahu apa yang akan kulakukan.”
1249Please respect copyright.PENANAcaLvd0HGKs
Pikirannya berputar pada pesan yang ia kirim, pada tes yang ia ciptakan. “Aku harus tahu,” bisiknya dalam hati, suaranya nyaris tak terdengar. “Apakah ini trauma, atau aku memang sudah rusak?” Ia teringat malam di motel, ketika tubuhnya mengkhianatinya.
Desahan yang keluar tanpa izin, puncak kenikmatan yang membuatnya buta sejenak. Ia juga teringat kata-kata Pak Darmawan, “Kamu suka diperlakukan kayak gini? Dari tadi kamu sudah muncrat-muncrat berapa kali?” Dan pengakuannya yang dipaksa, “Aku menyukainya.” Kata-kata itu seperti paku yang menancap di hatinya, membekas hingga kini. “Apakah itu benar-benar paksaan?” pikirnya, ngeri. “Atau ada bagian dari diriku yang menginginkannya?”
1249Please respect copyright.PENANAXEQFNl8V1g
Setelah satu jam perjalanan yang terasa seperti seabad, angkot berhenti di halte sepi di pinggir kota. Bu Ai turun, kakinya gemetar saat ia berjalan menyusuri gang sempit. Di sekitarnya, sawah hijau membentang di balik dinding gang, memberikan kesan asri yang kontras dengan kegelisahan di hatinya. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, tetapi suara itu tak mampu menenangkannya. Ia tiba di depan rumah dengan pagar besi sedikit tinggi, catnya sedikit mengelupas, dan tampilan jadul yang khas rumah pedesaan Yogyakarta. Jika merujuk pada alamat yang diberikan Pak Darmawan, ini adalah rumahnya.
Ia memandang sekeliling, memastikan tidak ada tetangga atau murid yang ia kenali. Gang itu sepi, hanya ada seorang anak kecil bermain sepeda di kejauhan. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena antisipasi yang mengerikan. Ia menekan bel pintu di sudut pagar, suara berdenting samar memecah keheningan. Tak lama, Pak Darmawan muncul dari balik pintu utama, mengenakan kaus polos hitam dan celana pendek abu-abu, aura dominasinya tetap terpancar meski dalam pakaian santai. Senyum licik terukir di bibirnya, sebuah senyum kemenangan yang membuat perut Bu Ai mual.
1249Please respect copyright.PENANAVHOddeSGxv
“Selamat datang, Aiara-ku,” sapanya, suaranya rendah dan penuh kepuasan. Ia melangkah mendekat, membuka pagar dengan gerakan santai. Matanya menyapu tubuh Bu Ai dari ujung kepala hingga kaki, seolah menelanjanginya dengan tatapan. “Aku tahu kamu akan datang.”
Bu Ai tidak menjawab, hanya menatapnya, mencoba membaca ekspresi pria itu. Tidak ada sedikit pun penyesalan di mata Pak Darmawan, hanya hasrat dan obsesi atas kepemilikan dirinya. Ia tahu, tes ini akan segera dimulai.
1249Please respect copyright.PENANAZdxl5VeUCU
Pak Darmawan meraih tangan Bu Ai, menariknya masuk ke dalam rumah. Sentuhan itu seperti sengatan listrik, memicu sensasi aneh yang ia coba tolak dengan sekuat tenaga. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi genggaman Pak Darmawan terlalu kuat, jari-jarinya mencengkeram seperti besi.
“Mari, Sayang,” bisiknya, suaranya serak dan penuh hasrat. “Aku sudah menepati janjiku. Sekarang giliranmu memenuhi rasa rinduku.”
1249Please respect copyright.PENANAzMJfTAKEjd
1249Please respect copyright.PENANAQQdGfaQQ19
1249Please respect copyright.PENANAFB0fOrxrTu
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.82da2