
Bab 10: Sebuah Awal yang Baru
62Please respect copyright.PENANAT9j7ysZfvk
Pagi merambat perlahan, membawa serta cahaya matahari yang malu-malu menyelinap dari celah gorden. Di sisi ranjang, Bintang masih terlelap, wajahnya tampak lelah namun damai setelah gejolak semalam. Namun, Ardan sudah terbangun lebih dulu, pikirannya berpacu, jauh dari ketenangan yang dirasakan istrinya. Semalam, ia telah melampiaskan sebagian amarahnya, namun itu tak cukup. Kebingungan di mata Bintang, rasa sakit bercampur nikmat yang terlukis di wajahnya, justru memberinya kepuasan pahit, tapi juga menyisakan kehampaan yang dalam di hatinya.
Setelah membersihkan diri dan sarapan ala kadarnya, Ardan meraih ponselnya. Ia menatap layar, memikirkan hari yang akan datang sebagai seorang driver Grab.
62Please respect copyright.PENANAaS7LVO15M6
Sapa Pagi dari Quinsha
62Please respect copyright.PENANAYCtLmoB08K
Sekitar pukul lima pagi, Ardan menyalakan aplikasi Grab-nya. Di tempat yang berbeda, di sudut kota lain, Quinsha (Icha) juga melakukan hal yang sama. Mereka sama-sama memulai hari sebagai pejuang jalanan.
Ardan duduk santai di teras, menyeruput kopi hangat, menikmati ketenangan dini hari sebelum hiruk pikuk kota dimulai. Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan pribadi dari Icha (Quinsha).
Icha: "Mas Ardan, pagi! Udah bangun? Jangan lupa ngopi ya, biar semangat jalani hari. Saya lagi otw nih mau narik, sambil dengerin lagu galau. Hahaha. Semoga rezeki kita sama-sama lancar hari ini ya, Mas sesama pejuang jalanan!"
Ardan tersenyum tipis, senyum yang kali ini lebih tulus. Ia teringat Quinsha, pengemudi Grab yang ia temui kemarin pagi, yang entah kenapa, meninggalkan kesan hangat di hatinya. Dia memang tepat sasaran untuk menghilangkan sedikit rasa hampa di dadanya.
Ardan: "Pagi juga, Mbak Icha. Udah ngopi dari tadi kok. Kalau dengerin lagu galau, nanti baper lho. Mbak Icha kan cantik, nggak pantes baper-baperan. Semoga kita sama-sama dapet banyak orderan ya hari ini!"
Icha: "Eh, buset! Ini Mas Ardan beneran udah bangun? Udah siap tempur nih? Hahaha. Makasih lho Mas pujiannya. Bikin janda ini jadi semangat narik. Nggak kayak semalem, malah mikirin yang aneh-aneh. 😂"
Ardan: "Lho, kok saya? Saya kan cuma pengagum dari jauh, Mbak. Tapi kalau bikin semangat, saya ikutan seneng. Memang semalem mikirin apa sih, Mbak? Jangan-jangan mikirin saya ya?" Ardan mengetik dengan cepat, ada nada canda yang ringan, bukan lagi sindiran.
Icha: "Berhasil bikin saya nggak bisa tidur lagi semaleman! Mikirin Mas Ardan terus. Tanggung jawab nih, Mas!"
Ardan: "Waduh, tanggung jawab gimana tuh? Mau saya datengin sekarang? Tapi kan saya juga udah siap narik nih, Mbak. Nanti malah nggak dapat orderan." Ardan sengaja menunjukkan kesibukan mereka berdua sebagai driver.
Icha: "Hahaha, Mas Ardan ini bisa aja! Ya udah kalau gitu, tanggung jawabnya... nanti kalau kita ketemu di jalan, Mas Ardan harus traktir kopi! Deal?"
Ardan: "Deal! Siap banget! Semoga aja kita ketemu ya, Mbak. Biar bisa ngopi beneran. Saya yang traktir, biar Mbak Icha makin semangat nariknya." Ada sedikit harapan dalam diri Ardan untuk bertemu Quinsha lagi.
Icha: "Siap, Mas! Jangan kangen ya! Hahaha. Udah dulu ya, Mas. Ada orderan nih. Nanti kalau ada apa-apa, saya kabarin lagi. Dadah!"
Ardan: "Oke, hati-hati di jalan ya, Mbak Icha! Semangat!"
Ponsel Ardan diletakkan di meja. Ia bersandar, tersenyum tipis. Obrolannya dengan Icha entah mengapa terasa begitu ringan dan menenangkan. Berbeda dengan semua beban pikiran yang ia rasakan belakangan ini. Icha, dengan kepribadiannya yang blak-blakan dan semangatnya sebagai sesama driver, perlahan mulai menawarkan sebuah kenyamanan baru.
Ardan segera bersiap untuk mulai 'narik'. Ini adalah hari keduanya. Ia menyalakan mesin motornya, merasakan getaran familiar di bawah tubuhnya. Jalanan Jakarta yang mulai ramai menyambutnya.
62Please respect copyright.PENANAq7ngqqjmzX
Amira: Mahasiswi Baru Fakultas Kedokteran UPH
62Please respect copyright.PENANA7Qnoi2898G
Hp Ardan berdering. Notifikasi orderan masuk. Matanya langsung tertuju pada nama penumpang: Amira Huwaida. Jaraknya tidak terlalu jauh, di sebuah perumahan yang tidak terlalu jauh dari kontrakan mereka. Ia mengambil jaket Grabnya. Sebelum keluar, ia melangkah kembali ke kamar. Bintang masih terlelap pulas. Ardan berlutut di sisi ranjang, menatap wajah istrinya. Di balik semua kekecewaan dan amarah, Ardan tak bisa memungkiri, Bintang adalah istri yang sangat ia cintai. Cinta itu memang terkikis, tapi belum sepenuhnya hilang. Dengan lembut, ia mengecup kening Bintang, berbisik pelan, "Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Hati-hati di rumah."
Ia bangkit, meninggalkan Bintang dalam lelapnya, dan bergegas keluar. Udara pagi terasa segar. Motornya melaju membelah jalanan yang masih lengang.
Beberapa menit kemudian, Ardan sampai di alamat penjemputan. Di depan sebuah rumah minimalis, berdiri seorang gadis muda. Tubuhnya mungil dan kecil, dengan jilbab rapi yang membingkai wajahnya yang oval. Kulitnya putih bersih, tampak mulus, dan ia memancarkan aura pemalu. Gadis itu adalah Amira Huwaida. Usianya sekitar 18 tahun, terlihat dari seragam ospek kampus yang ia kenakan: kemeja putih, rok hitam panjang, dan pita warna-warni khas mahasiswa baru.
Ardan memarkir motornya di dekat Amira. "Selamat pagi, Mbak Amira Huwaida?" sapanya ramah, berusaha membuat gadis itu nyaman.
Amira sedikit terkesiap, lalu tersenyum malu-malu. "I-iya, Mas. Pagi."
"Saya Ardan, driver Grab-nya. Mau berangkat ospek ya, Mbak? Di UPH, kan?" Ardan mencoba membuka percakapan dengan nada hangat dan ramah, tidak ingin Amira merasa canggung.
Amira mengangguk pelan. "Iya, Mas. Mau ke UPH. Fakultas Kedokteran." Suaranya lembut dan sedikit pelan.
"Wah, calon dokter nih! Hebat! Ospeknya semangat ya, Mbak," Ardan tersenyum, mempersilakan Amira naik ke motornya. "Ayo, silakan naik, Mbak. Hati-hati ya."
Amira naik ke motor dengan hati-hati, memegang bahu Ardan. Tubuhnya mungil, sehingga ia sedikit berjinjit. "Makasih, Mas. Mas Ardan kok tahu saya mau ke UPH Fakultas Kedokteran?"
"Hahaha, saya kan punya kekuatan super, Mbak. Bisa baca pikiran," canda Ardan, membuat Amira semakin nyaman. "Nggak deng, tadi di aplikasi ada infonya, Mbak. Atau memang udah sering lewat sana, jadi tahu." Ardan memulai obrolan ringan, mencari titik nyaman bagi Amira. "Jarang-jarang lho pagi-pagi gini udah ospek. Salut saya."
Amira tertawa kecil, tawa malu-malu yang terdengar renyah. "Ah, Mas Ardan ini bisa aja. Iya, Mas. Kan ospek, harus pagi banget. Kalau telat sedikit aja, udah kena hukum."
"Waduh, hukumannya berat nggak tuh? Suruh nyanyi di depan umum atau suruh lari keliling lapangan?" Ardan mencoba mencairkan suasana.
"Ya gitu deh, Mas. Macem-macem. Tapi kan harus dijalani. Biar resmi jadi mahasiswa," jawab Amira. "Mas Ardan sendiri udah lama jadi driver Grab?"
"Belum lama kok, Mbak. Baru dua hari ini," jawab Ardan jujur. "Masih pemula. Jadi kalau ada kurang-kurangnya, maklum ya."
"Wah, serius? Baru dua hari? Kok udah jago banget bawa motornya, Mas? Nggak kayak baru. Kirain udah lama banget," puji Amira. "Berarti saya penumpang pertama Mas Ardan di hari kedua ini ya?"
"Kayaknya iya deh, Mbak Amira. Rezeki pagi ini dapat penumpang pertama calon dokter. Berkah ini," Ardan tersenyum, merasa sedikit senang dengan pujian dan interaksi ini. "Mbak Amira sendiri, sering pakai Grab buat kuliah?"
"Sering banget, Mas. Soalnya kan saya belum punya kendaraan sendiri di Jakarta. Jadi kalau mau ke mana-mana, ya pakai Grab atau naik angkutan umum," jawab Amira. "Mas Ardan sendiri, apa sih enaknya jadi driver Grab?"
Ardan berpikir sejenak. "Enaknya ya... bisa ketemu banyak orang, Mbak. Dari berbagai macam latar belakang. Ada yang seru diajak ngobrol, ada yang pendiam, ada yang buru-buru. Macem-macem deh. Jadi nggak bosen di jalan. Terus ya... bisa atur waktu sendiri. Lumayan lah buat nambah-nambah penghasilan."
"Oh gitu ya. Tapi capek juga nggak sih, Mas? Kan seharian di jalan," tanya Amira, menunjukkan perhatian.
"Kalau dibilang capek ya pasti capek, Mbak. Apalagi kalau macet. Tapi ya dinikmati aja. Anggap aja petualangan," jawab Ardan, membelokkan motornya.
"Petualangan?" Amira mengulang kata itu, terdengar penasaran.
"Iya, petualangan. Kan setiap orderan itu kayak misi baru. Nggak tahu bakal ketemu siapa, dibawa ke mana. Seru juga," Ardan tertawa ringan. "Kayak sekarang ini, saya ketemu Mbak Amira yang ramah, calon dokter UPH, dan lagi ospek pula. Kalau nggak jadi driver, mana mungkin saya bisa ngobrol gini sama Mbak Amira."
Amira tersenyum lebar di belakang Ardan. Ia merasa nyaman dengan Ardan. Pria ini ramah, humoris, dan membuatnya merasa santai. Sifat pemalunya perlahan luntur.
"Mas Ardan ini bisa aja deh! Tapi bener juga sih. Saya juga senang kok dapat driver kayak Mas Ardan. Nggak kaku, terus asyik diajak ngobrol. Biasanya saya kalau naik Grab diam aja," kata Amira jujur.
Ardan tersenyum bangga. Ia memang punya kemampuan membuat orang lain nyaman. Sebuah keterampilan yang, ia sadari, bisa sangat berguna dalam "petualangan" barunya ini. Tidak hanya untuk balas dendam, tetapi juga untuk mendapatkan sedikit kedamaian dalam dirinya.
Mereka terus mengobrol ringan sepanjang perjalanan, membahas serunya ospek, tantangan kuliah kedokteran, hingga cerita-cerita lucu di jalanan. Amira yang awalnya pemalu kini tampak santai dan beberapa kali tertawa lepas karena candaan Ardan. Di satu sisi, Ardan merasa senang bisa membuat orang lain nyaman, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan dalam rumah tangganya.
Tak terasa, mereka sudah sampai di depan gerbang kampus UPH. "Sudah sampai, Mbak Amira," kata Ardan.
"Wah, udah sampai aja. Nggak kerasa ya, Mas. Asyik ngobrol sama Mas Ardan," ujar Amira, turun dari motor. "Makasih banyak ya, Mas. Udah nganterin saya. Semoga Mas Ardan sukses terus jadi driver Grab-nya."
"Sama-sama, Mbak Amira. Semoga sukses juga ya ospeknya, dan lancar kuliahnya di Fakultas Kedokteran UPH!" balas Ardan.
Amira tersenyum tulus. "Amin. Makasih ya, Mas. Hati-hati di jalan!" Ia melambaikan tangan kecil sebelum masuk ke area kampus.
Ardan membalas lambaian tangan Amira, lalu menatap punggung gadis itu hingga menghilang. Pertemuan pagi ini terasa berbeda. Tidak ada intrik, tidak ada godaan tersembunyi seperti yang mungkin akan ia rasakan dengan Angel (yang akan datang di masa depan cerita ini). Hanya interaksi yang tulus dan ramah, sebuah awal yang menjanjikan kenyamanan di tengah kekacauan hidup Ardan. Ia merasakan sedikit kelegaan. Petualangan Grab ini, mungkin, bukan hanya tentang uang atau balas dendam, tapi juga tentang menemukan kembali sisi dirinya yang lama hilang, dan mungkin, menemukan kenyamanan tak terduga dalam setiap perjalanan.
ns216.73.216.82da2