
Bab 11: Godaan di Balik Kimono
52Please respect copyright.PENANAfqNZrOvuRm
Setelah menurunkan Amira di gerbang UPH, Ardan kembali melaju, membelah hiruk pikuk jalanan pagi Jakarta. Pikiran Ardan masih sedikit melayang, mengenang obrolan santai dengan mahasiswi baru itu. Ada semacam ketenangan yang ia rasakan dari interaksi tulus tersebut, sebuah kontras yang tajam dengan kerumitan hidupnya. Namun, ia tak bisa berlama-lama larut. Pekerjaan menanti.
Di tengah perjalanannya, ponsel Ardan kembali berdering, menandakan orderan baru masuk. Kali ini, GrabFood. Namanya tertera jelas di layar: Sherly Farida. Dan yang membuat Ardan agak mengernyitkan dahi adalah pesanan yang tertera: Mie Gacoan.
"Jam segini udah makan Mie Gacoan? Aneh juga seleranya," gumam Ardan pada dirinya sendiri, sedikit geli. Namun, dia tak banyak berpikir. Aneh atau tidak, ini orderan. Dia segera mengarahkan motornya menuju gerai Mie Gacoan terdekat.
Setibanya di sana, Ardan memarkir motor dan langsung masuk untuk mengambil pesanan. Sambil menunggu, ia memeriksa kembali detail titik antar pada aplikasi. Ia pun mengirimkan pesan untuk memastikan.
Ardan: "Selamat pagi, Kak Sherly. Ini Mas Ardan, driver GrabFood-nya. Saya sudah di Gacoan. Untuk titik antar, apakah sudah sesuai yang di aplikasi, ya?"
Tak lama, balasan datang.
Sherly: "Sudah, Kak Mas. Nanti kalau sudah sampai di titik itu, tolong telepon aja ya. Soalnya kos aku agak masuk gang, Mas, susah jelasinnya kalau lewat chat."
Ardan: "Oke siap, Kak. Nanti saya telepon begitu sudah sampai."
Setelah Mie Gacoan yang dipesan Sherly selesai disiapkan, Ardan memasukkannya ke dalam tas GrabFood. Saat ia hendak mengambil ponsel dari saku jaketnya untuk mengecek ulang rute, tiba-tiba dompetnya sedikit bergeser di saku, tanpa ia sadari bahwa di dalam dompet itu, SIM-nya melesat keluar dan terjatuh diam-diam ke lantai. Ardan terlalu fokus pada ponselnya dan bergegas keluar untuk melanjutkan perjalanan mengantar pesanan. SIM-nya tergeletak begitu saja di lantai gerai Mie Gacoan, terlupakan.
52Please respect copyright.PENANA0IKrD0cuMB
Godaan di Balik Kimono
52Please respect copyright.PENANAdkhWU5ex6Y
Jalanan mulai ramai. Ardan meliuk di antara kendaraan lain, mengikuti arahan GPS menuju titik antar. Setelah beberapa belokan dan menyusuri jalanan yang mulai ramai, ia tiba di titik tujuan yang tertera di aplikasi. Sebuah pertigaan gang kecil yang ramai dengan motor dan pedagang kaki lima. Ardan memarkir motornya di tepi jalan, kemudian menelepon Sherly.
"Halo, Kak Sherly, ini Mas Ardan. Saya sudah sampai di titik yang tadi Mbak sebutkan. Di pertigaan gang dekat minimarket," kata Ardan.
"Oh, Mas Ardan sudah sampai? Oke, saya samperin sekarang ya, Mas! Tunggu sebentar," jawab suara di seberang telepon, terdengar antusias.
Ardan menunggu tak sampai dua menit. Dari dalam gang, sesosok wanita melangkah keluar. Begitu wanita itu semakin dekat, Ardan cukup terkejut. Pesona wanita itu sungguh memikat. Dengan hanya menggunakan kimono tidur berwarna merah muda tipis yang melekat longgar di tubuhnya, memperlihatkan siluet tubuhnya yang seksi, dan paras wajahnya yang cantik dengan rambut panjang yang sedikit acak-acakan, buah dadanya yang besar dan padat samar-samar terlihat bergerak di balik kain tipis kimono itu. Kulitnya tampak putih bersih dan mulus. Ardan merasakan jantungnya berdebar, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena godaan yang begitu nyata di depannya.
"Mbak Sherly Farida?" sapa Ardan, memastikan nama, meskipun ia yakin sekali ini orangnya.
Wanita itu tersenyum lebar. "Iya, benar. Saya Sherly. Mas Ardan ya?"
"Iya, saya Ardan, Mbak," jawab Ardan, mencoba mengontrol suaranya agar tidak terdengar kagum. Matanya tanpa sadar sedikit menjelajahi lekuk tubuh Sherly yang begitu menggoda di balik kimononya. Dia benar-benar definisi dari kata 'seksi'.
"Wah, Mas Ardan ganteng juga ya aslinya. Kirain cuma di foto profil aplikasi aja," canda Sherly, tanpa ragu. "Maaf ya, Mas, saya belum ganti baju. Baru bangun tidur banget nih."
Ardan tersenyum, merasakan panas menjalar di wajahnya. "Nggak apa-apa kok, Mbak. Justru saya yang nggak enak, Mbak jadi repot harus samperin gini." Ardan menyerahkan pesanan Mie Gacoan. "Ini, Kak, pesanannya. Mie Gacoannya level berapa nih? Pagi-pagi udah langsung yang pedes-pedes aja."
"Hahaha, saya memang suka yang pedas-pedas, Mas. Biar melek, biar semangat," jawab Sherly, menerima bungkusan Mie Gacoan. Ia tak segera membayar. Sebaliknya, ia menatap Ardan, senyumnya semakin lebar. "Mas Ardan ini bisa aja gombalnya. Bikin saya jadi senyum-senyum sendiri. Padahal biasanya kalau ada driver yang nungguin di sini, pada tegang semua mukanya."
Ardan tertawa kecil, menikmati respons Sherly yang begitu terbuka. "Saya kan memang ramah, Mbak. Apalagi sama yang cantik kayak Mbak Sherly ini. Kan sayang kalau ada yang cantik, tapi mukanya cemberut terus."
Pujian dan godaan ringan Ardan tepat sasaran. Sherly merespons dengan baik dan tidak marah, malah terlihat menikmati. Ia memegang bungkusan Mie Gacoan dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mencari-cari dompet di kantong kimononya.
"Duh, Mas, sebentar ya. Saya cari dompet dulu. Kayaknya di saku satunya," kata Sherly, merogoh saku kimononya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan selembar uang. Pecahan seratus ribu rupiah.
Ardan melihat uang itu, lalu merogoh kantongnya. "Waduh, Mbak Sherly. Uangnya besar banget nih. Saya nggak ada kembaliannya kalau segini. Paling cuma ada pecahan dua puluh ribuan."
Sherly melihat dompet Ardan, lalu menatap Ardan dengan senyum menggoda. "Yah, gimana dong, Mas? Saya juga cuma ada ini. ATM saya lagi nggak bisa dipakai juga. Kalau Mas Ardan nggak ada kembalian, gimana kalau... Mas Ardan antar saya ke kos dulu? Nanti di kos saya ambil uang pas atau uang pecahan kecil."
Ardan berpikir sejenak. Ini berarti dia harus masuk ke dalam gang, dan mungkin sedikit membuang waktu. Tapi... melihat Sherly di depannya, dengan kimono tidur tipis itu, memancarkan aura yang begitu mengundang, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar mengantar penumpang.
"Oke deh, Mbak Sherly. Nggak apa-apa. Saya antar ke kos Mbak aja," kata Ardan, mengiyakan tawaran itu. Sebuah pilihan yang ia tahu, bisa membawa pada hal lain.
Sherly tersenyum puas. "Wah, makasih banyak lho, Mas Ardan. Baik banget deh! Ayo, silakan masuk gangnya, Mas. Agak sempit sih."
Sherly pun naik di atas motor Ardan. Kali ini, ia tidak segan memeluk pinggang Ardan, lengannya melingkar erat. Ardan bisa merasakan tubuhnya yang padat menempel di punggungnya, sensasi yang berbeda dari pelukan Bintang yang sekarang terasa hampa, dan juga berbeda dari sentuhan Amira yang lugu. Ini adalah sensasi yang mengundang.
Motor Ardan perlahan masuk ke dalam gang. Ternyata, kos Sherly cukup jauh dari jalan raya tadi. Gangnya memang sangat sempit, hanya cukup untuk satu motor, dan beberapa bagian terlihat sepi.
Obrolan kembali terjadi. Ardan sangat ramah dan membuat Sherly nyaman. Candaan, pujian, dan godaan Ardan terasa sangat nyata.
"Mas Ardan ini enak banget diajak ngobrol ya. Nggak kayak driver lain, pada pendiam semua," kata Sherly, suaranya dekat di telinga Ardan.
"Masa sih? Saya kan memang gini, Mbak. Apalagi kalau sama yang cantik kayak Mbak Sherly ini, bawaannya pengen ngobrol terus, nggak mau putus," balas Ardan, melirik ke spion, melihat senyum Sherly. "Mbak Sherly kok pagi-pagi gini udah berani pakai baju tidur di luar? Nggak takut jadi pusat perhatian dan bikin saya gagal fokus?"
Sherly tertawa manja, tawa yang sedikit mendesah. "Hahaha! Mas Ardan ini! Bisa aja deh! Biasa aja kok, Mas. Udah kebiasaan. Lagian kan cuma sampai depan gang. Tapi kalau Mas Ardan suka, nanti kapan-kapan saya pakein yang lebih spesial lagi. Mungkin bisa kita cobain, Mas?"
"Wah, kalau itu sih saya nggak nolak, Mbak. Apalagi kalau buat Mas Ardan," Ardan terkekeh, otaknya langsung membayangkan hal-hal yang lebih 'spesial' dari sekadar pakaian. "Tapi bahaya lho, Mbak. Nanti saya malah pengen berlama-lama terus sama Mbak Sherly, nggak jadi narik."
"Hahaha, itu sih Mas Ardan-nya aja yang nggak mau lepas dari saya. Kan memang saya ini menarik, Mas. Nggak salah dong kalau Mas Ardan betah," Sherly membalas, sambil menggesekkan pipinya sedikit ke punggung Ardan. "Mbak Sherly kerja di pabrik mana sih? Kok pagi-pagi gini udah pesen Gacoan?"
"Di pabrik [Sebutkan nama pabrik fiktif, misal: PT. Sinar Abadi] di daerah sini, Mas. Iya nih, lagi libur. Jadi males masak. Terus tadi malam begadang, jadi pagi-pagi laper lagi. Makanya langsung pesen Gacoan. Kebetulan banget yang anter Mas Ardan. Jadi nggak nyesel deh. Malah jadi semangat!" Sherly menggesekkan pipinya sedikit ke punggung Ardan, sentuhannya kian berani.
Sentuhan Sherly yang begitu berani dan terbuka, ditambah dengan obrolan yang semakin menjurus, membuat Ardan merasakan desiran kuat. Hasrat yang terpendam, amarah yang belum padam, semua terasa campur aduk. Sherly ini jelas berbeda. Dia berani, terbuka, dan menggoda, sebuah kombinasi yang berbahaya namun memikat bagi Ardan.
"Berarti rezeki saya dong ya, Mbak, bisa ketemu Mbak Sherly pagi-pagi gini," Ardan membalas, suaranya sedikit serak. "Mbak Sherly ini manis banget kalau senyum, bikin saya betah nganterinnya. Bikin saya pengen anterin terus tiap hari."
"Mas Ardan bisa aja! Tapi saya suka kok, Mas. Rasanya kayak... dihargai, diinginkan. Apalagi dari cowok seganteng Mas Ardan," Sherly membalas, nada suaranya semakin genit. Ia merasakan Ardan begitu nyaman, begitu mudah diajak main. Hasrat yang selama ini terpendam dalam dirinya, hasrat untuk disentuh, diinginkan, kini seolah menemukan jalannya, menemukan sasaran yang pas.
Tak lama kemudian, motor Ardan berhenti di depan sebuah kos-kosan. "Ini kosnya, Mbak?" tanya Ardan.
"Iya, Mas. Ini kos saya. Bentar ya, saya ambil uang dulu. Mas Ardan masuk aja, nggak apa-apa. Atau tunggu di depan pintu juga boleh," Sherly turun dari motor.
Ardan mematikan mesin. "Nggak apa-apa, Mbak. Saya tunggu di sini aja," katanya, mengamati sekeliling. Gang ini memang sepi dan privasi. Cocok untuk apa pun.
Sherly tersenyum, lalu melenggang masuk ke dalam kosnya. Gerakan pinggulnya di balik kimono tipis itu membuat Ardan tanpa sadar menelan ludah. Ini adalah permulaan dari babak baru dalam "petualangan" Ardan, sebuah babak yang akan diwarnai oleh godaan, hasrat, dan mungkin, konsekuensi yang tak terduga
ns216.73.216.82da2