Chapter 3. obrolan yang membuat rasa penasaran.
Arman mengangkat tubuh kecil Nadin dengan satu tangan, sementara tangan yang lain membawa tas kerja yang pasti penuh dengan dokumen-dokumen dinas. Wajahnya terlihat lelah, tapi senyumnya tetap hangat ketika melihatku berdiri di ambang pintu.
“Assalamualaikum.”
"Waalaikumsalam. Duh, Ayah bau keringat," godaku sambil menyambutnya, mengambil tas dari tangannya.
"Hari ini rapat dari pagi sampai sore, Dek. Lapar sekali," keluhnya sambil mengusap-usap perut yang keroncongan.
Aku sudah menyiapkan segalanya. Air hangat untuk mandi telah menanti di kamar mandi, dan meja makan sudah terhidang dengan nasi putih hangat, sayur asem, ayam goreng krispi kesukaannya, serta sambal terasi yang aku buat khusus pagi tadi. Bahkan ada tempe mendoan gorengan yang masih renyah, karena tahu betul ia suka camilan itu.
"Mandi dulu, Mas. Airnya sudah aku siapkan," kataku sambil menuntunnya ke kamar.
"Kamu selalu tahu yang aku butuhkan," bisiknya, mencium keningku sebentar sebelum masuk ke kamar mandi.
Aku kembali ke dapur, memanaskan kembali sayur asem yang mungkin sudah mulai dingin. Nabil yang penasaran dengan tas kerja ayahnya mulai membuka-buka dokumen di dalamnya.
"Nabil, jangan diacak-acak dokumen ayah!" tegurku lembut.
"Tapi ini gambarnya bagus, Mi!" bantahnya sambil menunjukkan sebuah peta wilayah.
Tak lama, Arman keluar dengan baju santun yang nyaman, rambutnya masih basah. Aroma sabun mandinya yang segar menyebar di ruangan. Ia langsung duduk di meja makan dan menyantap makan malam dengan lahap.
"Enak sekali masakannya hari ini, Dek," pujinya sambil menyendok sayur asem.
Aku hanya tersenyum, duduk di sampingnya sambil sesekali mengambilkan nasi atau menyuapi Nadin yang ikut nimbrung makan meski sebenarnya sudah makan sore tadi.
Setelah makan, Arman merebahkan diri di sofa, mengeluarkan napas panjang sambil memegang remote TV. Matanya setengah terpejam, tapi tangannya masih bergerak mencari channel berita malam.
"Aku capek hari ini, Dek," katanya sambil menguap lebar.
Aku mengangguk, lalu duduk di belakangnya. Tanganku mulai memijat pundaknya yang tegang, jari-jariku menekan pelan tapi pasti pada otot-otot yang kaku. Arman mengerang sedikit, tanda bahwa pijatanku tepat mengenai sasaran.
"Rapatnya berat ya, Mas?" tanyaku sambil terus memijat.
"Iya, proyek baru. Banyak yang harus dipikirkan," jawabnya pendek, tapi aku tahu betapa besar tanggung jawab yang dipikulnya sebagai tulang punggung keluarga.
Lalu, seperti rutinitas yang tak perlu diucapkan, ia memandangku dengan tatapan yang kukenal. Matanya yang lelah tapi penuh kerinduan, bibirnya yang sedikit tersenyum. Aku mengerti.
"Sholat Isya dulu, Mas... Habis itu istirahat saja," bisikku, memberinya senyuman penuh pengertian.
Ia mengangguk, lalu bangun dari sofa. Kami pun melaksanakan sholat Isya berjamaah, suamiku menjadi imam sementara aku dan Nabil berdiri di belakangnya. Nadin yang masih kecil hanya duduk di sampingku, meniru gerakan kami dengan polosnya.
Usai sholat, aku membaringkan anak-anak di kamar mereka. Nabil yang sudah mengantuk langsung terlelap tak lama setelah kubacakan cerita pendek, sementara Nadin kutimang sampai matanya terpejam.
Ketika kembali ke kamar, Arman sudah berbaring, matanya tertutup. Aku masuk ke bawah selimut dengan hati-hati, tak ingin mengganggunya. Aku berbaring di sampingnya, mendengarkan napasnya yang perlahan teratur. Di luar, suara jangkrik dan angin malam berbisik pelan. Mungkin hidupku sederhana, tapi momen-momen seperti inilah yang membuatku merasa kaya.
Lelahnya hari ini telah berbuah kasih yang tulus, dan itu lebih dari cukup untukku.
***
Udara siang yang panas di ruang guru madrasah seolah semakin terasa gerah ketika Ustadzah Mira—dengan gaya khasnya yang blak-blakan—kembali memulai percakapan yang membuat sebagian dari kami tersipu malu. Dia seolah tidak pernah ada habisnya kalau bahas soal-soal yang vulgar. Kali ini, sasaran obrolannya adalah Ustadz Hilmy, guru olahraga yang baru saja bercerai lima bulan lalu. Tapi sebenarnya, fokus pembicaraan mereka justru bukan pada Ustadz Hilmy, melainkan pada mantan istrinya, Nurain.
Kami guru Madrasah Al Hikmah cukup mengenal istri ustadz Hilmy itu. Karena dia sering ikut acara family gathering yang dilakukan oleh yayasan Madrasah.
"Tahu nggak, ternyata Nurain mantan istrinya ustadz Hilmy udah nikah lagi!"
Ustadzah Mira membuka percakapan dengan suara penuh semangat, seolah sedang membagikan berita terhangat.
Ustadzah Dewi, yang selalu menjadi pendengar setianya, langsung menyahut, "Sama siapa?"
"Sama orang Ambon!" jawab Mira, matanya berbinar. "Tapi bukan cuma itu… katanya dia udah melepas hijab dan murtad ikut agama suaminya!"
Terdengar ucapan istigfar dari rekan-rekan di ruang guru Madrasah itu. Aku juga ikut mengucapkan istigfar.
Ruang guru mendadak hening sejenak. Murtad? Itu kata yang berat. Tapi anehnya, ustadzah Mira tidak melanjutkan pembahasan soal murtadnya mantan istri rekan kerja kami itu. Justru, arah obrolannya berbelok ke sesuatu yang seperti biasa soal yang paling suka diomongin oleh ustadzah Mira.
"Nurain sekarang pasti udah ngerasain anu yang belum disunat’!" Ujar ustadzah Mira terkekeh, sementara beberapa ustadzah lain terlihat bingung.
"Apaan sih, Mi? Maksud lo gimana?" tanya Ustadzah Ulfa, yang wajahnya penasaran.
Mira tertawa lebih keras. "Ya dia pasti sedang menikmati punya lelaki yang belum disunat, dong! Kan suami Nurain sekarang nonis. Jadi pasti punya dia gak disunat. Katanya beda banget rasanya!"
Ustadzah Dewi langsung menutup mulutnya dengan tangan, tapi matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Beneran? Emang beda ya?"
Aku, yang duduk di sudut ruangan, mencoba menunduk lebih dalam ke buku catatan. Ini terlalu vulgar. Tapi di sisi lain, aku juga penasaran. Apa benar ada bedanya?
Diam-diam aku mendengarkan penjelasan ala Ustadzah Mira, yang seolah merasa jadi ahli sexologi dadakan, dia mulai beraksi. "Katanya sih, yang belum disunat lebih sensitif, tapi dia lebih lama ‘tahan’-nya. Terus ujungnya ada kulitnya gitu, jadi rasanya beda pas di dalam."
Ustadzah Dewi dan ustadzah Ulfa saling pandang, wajah mereka merah padam tapi penuh minat.
"Terus… Nurain bilang enak nggak?" tanya ustadzah Ulfa.
"Mana saya tahu. Kan belum ketemu dengan dia lagi setelah dia cerai tempo hari. Tapi kayaknya sih dia ngerasa enak! Makanya dia sampe rela murtad!" jawab ustadzah Mira sambil tertawa.
Aku nyaris tersedak. Apa hubungannya kontol belum disunat dengan murtad? Ini obrolan yang semakin tidak masuk akal. Sementara ustadzah Mira, Dewi, dan Ulfa terus tertawa lepas, beberapa ustadzah lain—termasuk aku—hanya bisa diam. Ada yang sengaja pura-pura tidak mendengar, ada juga yang tersenyum kecut.
Aku bertanya-tanya apakah Nurain tahu dirinya jadi bahan obrolan seperti ini? Apakah ini bukan ghibah yang jelas-jelas dilarang dalam Islam? Dan yang paling penting—apakah benar semua ini fakta, atau cuma kabar burung yang dilebih-lebihkan?.
Yang membuatku tidak nyaman bukan hanya vulgarnya obrolan ini, tapi juga bagaimana kehidupan seseorang dijadikan bahan lelucon tanpa hak membalas. Nurain tidak ada di sini untuk membela diri atau mengklarifikasi. Agamanya, kehidupan ranjangnya, bahkan keputusannya melepas hijab—semua dijadikan bahan candaan.
Padahal, dalam Islam, membicarakan aib orang lain adalah dosa besar. Apalagi jika itu hanya berdasarkan desas-desus. Aku memilih untuk tidak ikutan ngomong. Ketika obrolan semakin panas, aku memutuskan untuk berdiri dan mengambil air wudhu. Aku tidak ingin menjadi bagian dari gosip yang tidak bermanfaat ini.
Tapi satu hal yang pasti… obrolan tadi meninggalkan rasa penasaran.
3740Please respect copyright.PENANA0QNCvBYho9
Bersambung
ns216.73.216.82da2