Chapter 4. Saran aneh yang menggoda .
Benarkah lelaki yang belum disunat terasa berbeda? Tapi, apakah itu relevan dengan kehidupan kami sebagai muslimah?
Di madrasah ini, kami mengajarkan akhlak dan adab pada siswa. Tapi ironisnya, di ruang guru sendiri, batas itu kadang terabaikan.
Mungkin, lain kali, harus ada yang berani menyuarakan."Hy guys, apakah ini pantas kita bicarakan?"
Tapi tentu orang yang berani itu bukan aku.
3532Please respect copyright.PENANA9DgAqjkOQz
3532Please respect copyright.PENANAKdiBLFHSmv
***
Ruangan guru madrasah yang seharusnya diisi dengan obrolan serius tentang murid atau kurikulum, kali kembali diwarnai oleh pembicaraan yang jauh dari persoalan pendidikan anak-anak madrasah. Ustadzah Nina—yang biasanya pendiam dan selalu menjaga kesopanan—kali ini memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang membuat semua orang terkejut.
"Ustadzah Mira… aku mau nanya sesuatu,"
Suara Ustadzah Nina pelan, matanya menunduk, seolah sedang mengumpulkan keberanian.
Ustadzah Mira, yang sedang asyik menyantap makan siangnya, mengangkat alis. "Nanya apa, Unstadzah Nina? Kok malu-malu gitu?"
Nina menarik napas dalam-dalam. "Ini nih. Pengen nanya gimana caranya biar bisa puas saat berhubungan sama suami? Aku… sering nggak bergairah. Rasanya jenuh."
Ruang guru mendadak hening. Beberapa ustadzah saling pandang, ada yang tersenyum kecut, ada juga yang pura-pura tidak mendengar.
Ustadzah Mira menaruh sendoknya, lalu tersenyum lebar. "Kamu harus cari variasi, Nin! Jangan monoton. Coba gaya baru, atau… berfantasi!"
"Berfantasi?" Nina mengerutkan kening. "Maksudnya gimana?"
Mira mendekatkan kursinya, suaranya berbisik tapi masih cukup jelas terdengar. "Bayangkan saja ada lelaki lain yang sedang menyetubuhi kamu saat suamimu melakukan itu. Bisa ngebayangin mantan pacar, tetangga, atau siapa saja yang bikin kamu bergairah!"
Astaghfirullah! Aku hampir tersedak mendengar saran itu. Ini jelas tidak benar. Sama saja dengan zinah hati. Haram hukumnya menurut yang aku dengan dan aku pahami!
Tapi yang lebih mengejutkan—Ustadzah Nina tidak marah mendengar saran yang menurutku aneh dan jelas salah itu. Dia hanya terdiam, wajahnya memerah, seolah sedang mempertimbangkan. Sepanjang sisa hari itu, pikiranku tidak bisa lepas dari obrolan tadi. Meski menganggap itu tidak benar tapi rasa penasaran tetap muncul di hatiku. Apa benar fantasi seperti itu bisa membuat hubungan suami-istri lebih nikmat?
Aku jelas tahu itu salah. Tapi… kenapa aku malah penasaran? Malah ada semacam dorongan dalam diriku untuk mencoba. Aku merasa tergoda dengan saran Ustadzah Mira pada ustadzah Nina itu.
Malam ini angin yang biasanya sejuk tak kunjung meredakan panas yang merambat di kulitku. Arman, suamiku, sudah berbaring di sampingku dengan wajah lelah setelah seharian bekerja. Matanya sayu, tapi tangannya mulai perlahan meraba pahaku melalui kain daster tipis yang kupakai.
Seperti rutinitas kami selama lima tahun pernikahan, Arman mendekatiku dengan pelan. Aroma sabun mandinya menyengat hidungku saat dia mencium keningku.
"Kamu lelah?" tanyanya lembut, sementara tangannya mulai membuka kancing bajuku satu per satu.
Aku menggeleng, tapi sebenarnya pikiranku masih penuh dengan obrolan di madrasah tadi siang. "Bayangkan lelaki lain..." suara Ustadzah Mira bergema di kepalaku.
Saat Arman mulai mencium leherku, aku menutup mata. Tiba-tiba, bayangan seorang lelaki asing muncul di pikiranku—bukan suamiku yang sedang berada di atasku, tapi sosok tinggi dengan bahu bidang, tangan kasar yang menggenggam pinggangku dengan kuat.
"Tidak..." batinku protes, tapi tubuhku bereaksi berbeda.
Aku merasakan sesuatu yang aneh. Gairahku membara lebih dari biasanya. Nafasku tersengal ketika bayangan itu semakin jelas di kepalaku—seolah aku benar-benar bersama pria lain.
Arman, yang tidak tahu apa yang terjadi di pikiranku, terkejut melihat responku yang tidak biasa.
"Kamu... hari ini kayak beda banget," bisiknya sambil mempercepat ritme.
Aku hanya bisa mengangguk, sementara imajinasiku semakin liar. Pria dalam fantasiku itu lebih garang, lebih kasar, lebih...
Tiba-tiba, seperti tersambar petir, aku mencapai puncak kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tubuhku bergetar hebat, jari-jariku mencengkeram sprei sampai putih.
Tapi kemudian, segalanya berantakan.
Arman, keluar terlalu cepat. Dia menghela napas lelah dan langsung tertidur di sampingku, tanpa menyadari bahwa aku belum benar-benar puas.
Tapi anehnya... aku masih terbakar. Fantasiku itu masih hidup, membuatku terus mengejar kenikmatan. Kali ini dengan jemariku. Aku memainkan klitorisku dengan gemas. Hingga aku merasakan gelombang kenikmatan meski hanya dengan jari tanganku.
Ketika bayangan itu perlahan memudar, kesadaran mulai kembali.
Apa yang baru saja kulakukan? Dadaku sesak. Aku memandang Arman yang sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Dia tidak tahu aku baru saja mengkhianatinya dalam pikiranku.
Air mata mulai mengalir. Aku ingat ayat-ayat tentang zina hati yang pernah kudengar di pengajian. "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali dia menyendiri dengan seorang yang tidak halal baginya, karena yang ketiga adalah setan."
Tapi aku... aku justru mengundang setan itu ke dalam ranjangku sendiri. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan limbung ke kamar mandi. Air yang kubasuhkan ke wajah terasa panas seperti api neraka.
Di cermin, kulihat wajahku yang merah, dan mata yang penuh dosa.
"Astaghfirullahal'adzim..."
Aku terjatuh di lantai kamar mandi, menangis tersedu-sedu. Kenikmatan tadi berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti hati. Apakah aku istri yang buruk? Apakah ini awal dari jalan menuju perzinahan sungguhan? Bagaimana jika Arman tahu aku membayangkan lelaki lain? Aku menggigit tangan sendiri untuk menahan isak. Ini harus menjadi yang terakhir kalinya.
Keesokan paginya saat tiba di Madrasah aku mengambil air wudhu dan shalat dhuha dengan khusyuk. Aku bertekad untuk tidak pernah lagi memperdulikan omongan vulgar Ustadzah Mira. Dari pada mendengar hal-hal yang cenderung vulgar mending mencari ilmu tentang kehidupan pernikahan yang benar dari sumber halal. Berani bicara pada suami tentang kebutuhan kami berdua. Malam itu menjadi pelajaran pahit—kenikmatan haram hanya akan meninggalkan luka.
3532Please respect copyright.PENANAe6r7hAlp0d
***
Sudah lima tahun kami tinggal di sudut sunyi kompleks perumahan ini. Rumah kami berdiri di ujung jalan buntu, dikelilingi oleh keheningan yang kadang terasa terlalu lengang. Di sebelah kanan, pagar tinggi kompleks menjulang seperti benteng yang memisahkan perumahan ini dengan perkampungan di sebelah. Di depan rumah ada jalan buntu dan di seberangnya, sebuah rumah kosong karena pemiliknya sudah tiga tahun pindah kerja di luar kota, meninggalkan rumah itu dan hanya mengunjungi setahun dua atau tiga kali saja.
Yang lebih menambah kesunyian rumah di sebelah kiri kami. Sejak pertama kali kami pindah, rumah itu sudah kosong. Konon katanya dibeli oleh seorang pedagang dari sumatra, tapi entah mengapa tak pernah ditempati. Pagar kayu setinggi pinggang adalah satu-satunya pembatas antara rumah kami dan rumah itu—sebuah pembatas yang terasa begitu tipis, seolah bisa runtuh kapan saja.
Beberapa hari terakhir, keheningan di rumah sebelah tiba-tiba terganggu. Seorang pemulung—lelaki lumayan kekar dan tinggi dengan baju lusuh dan topi compang-camping—mulai sering terlihat duduk di teras rumah kosong itu. Aku memperhatikannya dari balik tirai jendela dapur, sambil tangan sibuk mencuci piring atau memotong sayuran. Kadang ia hanya duduk termenung, kadang tidur sebentar di teras yang berdebu. Aku tak pernah mengusiknya, berpikir mungkin ia hanya butuh tempat berteduh sejenak.
Tapi hari ini… hari ini berbeda.
Siang itu, aku sedang menyiapkan makan untuk Nabil dan Nadin ketika sesuatu dari jendela dapur menarik perhatianku. Si pemulung berdiri di dekat pagar kayu, menghadap ke arah rumah kami. Awalnya kupikir ia hanya melihat-lihat, tapi kemudian…
Astaga.
3532Please respect copyright.PENANAU6EtDh9F5z
Bersambung
ns216.73.216.82da2