Chapter 5.Astaga aku Hampir Masturbasi
Dia sedang kencing. Lelaki pemulung itu berdiri tegak, dengan santainya membuang air kecilnya di pagar pembatas rumah kami. Tapi bukan itu yang membuat napasku tersedak. Kemaluannya. Astaga benda itu terlihat begitu besar. Panjang. Dan bentuknya… aneh.
Aku langsung memalingkan muka, tapi gambarnya sudah terpateri di kepalaku. Seperti kemaluan anak kecil yang belum disunat dengan ujungnya tertutup semacam kulit tebal yang menutup sebagian besar kepala kemaluannya. Benar mirip punya anak lelaki kecil yang belum disunat tapi dalam ukuran yang sangat besar dan jauh lebih besar dari milik suamiku bahkan ketika sedang keras.
Apa ini kemaluan tak disunat seperti yang diceritakan oleh ustadzah Mira tempo hari. Seperti itukan kemaluan milik suami Nurain yang baru.
"Nadin Nabila, jangan ke luar dulu!" seruku pada kedua anak aku yang sedang asyik bermain di ruang keluarga.
Aku cepat-cepat menutup tirai jendela, jantung berdebar kencang. Tangan gemetar memegang spatula yang tadi digunakan untuk mengaduk telur dadar. Apa yang baru saja kulihat? Kenapa pemulung itu begitu cuek melakukannya di tempat terbuka? Dan kenapa bentuknya begitu… tidak biasa?
Dari balik tirai tipis yang bergoyang ditiup angin pagi, aku mengamati si pemulung dengan detak jantung yang masih belum stabil. Dia berjalan pergi begitu saja, santai, seolah baru saja menyiram tanaman bukan melakukan hal yang begitu vulgar di tempat terbuka. Tanganku masih menggenggam erat tirai, jari-jariku sedikit gemetar.
"Mungkin dia pikir tidak ada yang melihat," bisikku pada diri sendiri, mencoba menenangkan gejolak dalam dada.
Tapi alih-alih tenang, yang muncul justru rasa penasaran yang menggelitik. Aku menelan ludah, memaksakan diri untuk menjauh dari jendela. Sepanjang pagi itu, bayangan sosok pemulung dan "itu" terus menghantui pikiranku. Setiap kali menutup mata, yang terbayang adalah bentuk aneh yang tidak biasa—seperti sesuatu yang seharusnya tidak kulihat, tapi sekarang sudah terpatri begitu jelas dalam ingatan.
Malam harinya saat Arman pulang kerja, wajahnya tampak lelah seperti biasa. Ia meletakkan tas kerjanya di kursi, lalu mencium keningku sebelum berganti baju. Aku memperhatikannya dari balik pintu kamar, aku menggigit bibir. Haruskah kuceritakan hal itu pada suamiku?
"Ada apa, Sayang? Kamu dari tadi diam saja," tanya Arman sambil mengeringkan keringat di dahinya.
Aku menggeleng cepat. "Tidak ada, Mas. Cuma... hari ini agak pusing saja."
Arman mengangguk, lalu langsung menuju dapur mengambil air minum. Aku merasa bersalah berbohong, tapi... bagaimana mungkin aku menceritakan hal seperti itu? Bagaimana cara menjelaskan bahwa aku memperhatikan hal yang seharusnya tidak kulihat?
3296Please respect copyright.PENANAniJJqCgACW
Anehnya, meski awalnya kaget dan merasa tidak nyaman, pikiranku terus kembali ke pemandangan siang itu. Bahkan saat sedang memasak atau mencuci piring, mataku kerap kali melirik ke jendela, seolah mengharapkan sesuatu. Apakah dia akan kembali?
Tapi hari berganti hari, dan si pemulung tak lagi terlihat. Rumah kosong sebelah kembali sunyi, hanya angin yang sesekali menggerakkan daun-daun kering di terasnya. Aku mulai bertanya-tanya:
Mungkin dia hanya lewat saja? Atau jangan-jangan dia tahu kalau aku melihatnya? Kenapa aku justru kecewa dia tidak muncul lagi? Pertanyaan terakhir itu yang paling mengganggu.
3296Please respect copyright.PENANAn8ddJrSCOW
Suatu hari, saat anak-anak sudah tidur siang dan rumah kembali sepi, aku berdiri di depan jendela dapur, menatap kosong ke arah pagar kayu. Tanpa kusadari, tangan kananku menyingkap bagian bawah dasterku dan meraba-raba celana dalam yang kupakai, jemariku mulai bergerak turun—
Din din!
Suara klakson mobil tetangga menyadarkanku. Aku tersentak, menarik tangan secepat mungkin seolah terbakar. Pipi memerah, jantung berdegup kencang.
Astaga... aku hampir melakukan masturbasi. Itu dosa menurutku. Aku menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Ini sudah keterlaluan. Seorang ibu rumah tangga, istri yang baik, tiba-tiba terobsesi dengan pemandangan yang seharusnya membuatku jijik.
Tapi semakin kucoba melupakan, semakin kuat bayangan itu menari-nari di kepalaku. Bahkan terkadang, dalam diam, aku mulai membayangkan:
Bagaimana kalau dia kembali? Bagaimana kalau kali ini... dia kembali kencing di pagar?
Aku menggigit bibir bawahku sampai nyeri, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Tapi siapa yang bisa kutipu? Bahkan diriku sendiri tahu, di sudut gelap hati yang paling tersembunyi.
Aku menunggu si pemulung itu hadir lagi di sebelah rumah dan kemudian kencing di pagar.
Malam ini, saat Arman sudah tidur lelap dengan nafas teratur, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan ke jendela. Bulan purnama menerangi pagar kayu itu dengan cahaya keperakan, membentuk bayangan-bayangan aneh di tanah.
Aku berdiri lama di sana, menatap kegelapan. Dan untuk pertama kalinya, aku berani mengakui pada diri sendiri. Kalau dia muncul lagi dan kencing di pagar itu aku tidak akan berpaling.
***
Aku kembali pada rutinitasku mengajar di madrasah ibtidaiyah—tempat yang bagiku bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi juga ladang pahala dan rumah kedua yang menumbuhkan cinta. Sejak pertama kali ditugaskan di sini, aku jatuh hati. Bukan karena bangunannya yang megah, karena sejatinya bangunan ini sangat sederhana. Kelas-kelas berdinding semen kusam, kipas angin tua yang kadang mogok di siang bolong, dan papan tulis yang mulai kusam—semua itu justru membuat tempat ini terasa manusiawi, hangat, dan bersahaja.
Setiap pagi, ketika mentari masih malu-malu menyapa ufuk timur, aku sudah berdiri di depan gerbang madrasah ibtidaiyah kami. Menyambut senyum polos anak-anak didikku yang berlarian dengan seragam mereka, tas kecil berisi Al-Qur'an dan buku pelajaran tergantung di pundak mereka. Aroma kertas dan kapur tulis bercampur dengan wangi tanah yang disiram hujan semalam—bau yang sudah menjadi bagian dari hidupku selama lima tahun terakhir.
Bangunan sederhana ini menyimpan ribuan kenangan. Dinding-dindingnya yang retak di beberapa bagian justru menjadi saksi bisu tawa anak-anak ketika aku mengajar dengan gaya lucu. Lantai ubin yang sudah kusam dan berubah warna tetap bersih setiap hari karena dibersihkan oleh Pak Dul, penjaga sekolah yang sudah bekerja di sini sejak sebelum aku mengajar di Madrasah ini.
Di ruang guru yang sempit, ada meja panjang tempat kami berkumpul. Di situlah biasanya aku duduk sambil memeriksa buku tugas sambil sesekali mencuri pandang ke halaman sekolah, di mana pohon mangga tua itu selalu menjadi tempat favorit anak-anak bermain saat istirahat.
Ini bukan sekadar sekolah. Ini adalah tempat di mana aku merasakan makna sebenarnya dari kata "memberi". Setiap kali melihat mata anak-anak itu berbinar saat memahami pelajaran, hatiku berbunga-bunga.
Namun belakangan ini, ada sesuatu yang mengganggu kedamaian itu. Ustadzah Mira—dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos—seringkali mengubah suasana ruang guru yang biasanya tenang menjadi ruang obrolan yang membuatku tersipu malu. Topiknya selalu tidak jauh dari hal berbau seks, hubungan suami-istri, dan hal-hal intim lainnya.
Awalnya aku hanya diam. Lalu mulai merasa tidak nyaman. Dan sekarang...
Sejak melihat pemulung itu yang badannya kekar dari mengangkat barang-barang bekas, kulitnya gelap terbakar matahari aku diam-diam mulai penasaran dengan obrolan ustadzah Mira tentang tentang enaknya kemaluan berukuran besar, juga tentang kemaluan lelaki yang tidak disunat.
3296Please respect copyright.PENANAaCuzgRRgmc
Bersambung
ns216.73.216.82da2