Chapter 6. Haruskah aku mewujudkan fantasi itu menjadi kenyataan
Aku ingin cerita soal aku melihat pemulung itu kencing ke ustadzah Mira. Tapi seketika aku teringat bahwa aku punya imej sebagai ustadzah alim yang tidak suka membahas soal sex dan sejenisnya.
Aku terjebak dalam dilema tetap diam dan menanggung rasa penasaran ini sendiri atau berbicara pada ustadzah Mira meski riskan dianggap aneh.
Keesokan harinya, saat mengajar ada kejadian yang menyentuh hatiku.
"Aku punya pertanyaan, Ustadzah," kata Fatimah, murid cilikku yang paling kritis. "Kalau kita punya pikiran jelek, terus kita nangis minta maaf sama Allah, apa Allah akan memberik kita maaf?"
Matanya yang besar penuh kejujuran membuat dadaku sesak.
"Iya benar sayang," jawabku sambil membelai rambutnya. "Allah itu Maha Pengampun. Yang penting kita menyesal dan berusaha tidak mengulanginya."
Kata-kataku sendiri itu seperti tamparan buat aku.
Sore harinya saat aku berada di rumah aku memutuskan untuk memperbanyak istighfar dan mendekatkan diri pada Allah. Makin menghindar dari obrolan vulgar di ruang guru. Fokus pada tujuan mulia sebagai pendidik.
Mengenai perasaan aneh pada pemulung itu? Aku memilih untuk menganggapnya sebagai ujian—angin lalu yang harus dilewati tanpa diikuti.
3159Please respect copyright.PENANAMJt0XDQuma
***
Malam itu, bulan tersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan hanya cahaya remang-remang dari lampu tidur kamar yang menerangi tubuh kami. Lampu tidur memancarkan cahaya keemasan yang redup, melukis bayangan tubuh Arman di atasku di dinding kamar. Aku bisa merasakan setiap tarikan napasnya yang hangat di leherku, setiap denyut jantungnya yang berdetak cepat bersamaku. Tangannya yang biasanya halus karena kerja kantoran kini terasa sedikit kasar saat mencengkeram pinggangku, menahanku erat-erat di tempatnya.
"Kamu cantik sekali malam ini, dek" bisiknya, sebelum menempelkan bibirnya di dahiku dengan ciuman yang begitu lembut, begitu penuh kasih sayang.
Aku menutup mata, mencoba menikmati setiap sentuhannya yang sudah sepuluh tahun kukenal ini. Tangannya merambat ke punggungku, jari-jarinya menggambar pola-pola tak kasat mata di kulit sambil perlahan turun ke lekuk pinggang. Sentuhan itu seperti ritual sakral—dikenal, dihafal, tapi tiba-tiba terasa asing malam ini.
Ketika bibirnya berpindah ke mulutku, aku membalas ciumannya dengan getaran palsu. Lidahnya yang hangat menyelusup perlahan, tapi yang terbayang justru lidah kasar pemulung itu dengan bau tembakau murahan.
"Aku sayang kamu, dek." gumannya di antara ciuman, tangan kanannya mulai menyusuri sisi tubuhku, meraba perut, lalu naik ke payudaraku.
Jari-jarinya memainkan puting yang sudah mengeras, memelintirnya dengan lembut. Biasanya ini cukup untuk membuatku menggeliat, tapi malam ini—
Bayangkan itu tangan pemulung itu. Bayangkan jari-jarinya yang kotor dan kasar.
Aku mengerang dengan sengaja, mengangkat pinggulku untuk mendorongnya agar segera masuk. Arman tersenyum, mengira itu tanda kegairahan.
"Sabar, Sayang," bisiknya sambil tangannya merunduk ke celana tidurku, menyibakkannya perlahan.
Jari-jarinya bermain di bibir memek aku, menemukan kelembaban yang sudah menunggu.
Yang dia tak tahu—kelembaban itu bukan untuknya. Saat dia melepaskan celana tidurnya, kontolnya yang sudah keras muncul—tidak kecil, tapi biasa saja, seperti yang selalu kukenal. Aku menutup mata lebih erat saat dia memposisikan diri di antar pahaku.
"Aku masukin ya," desisnya.
Dan saat kontol Arman menembus memek aku, aku menggigit bibir.
Bayangkan pemulung itu muncul di benak aku. Bayangkan kontol besar berkulup itu.
Arman mulai bergerak pelan, dalam-dalam, seperti biasa. Tapi aku membayangkan dorongan yang lebih kasar, lebih primitif. Membayangkan kulit kulup tebal milik pemulung itu bergesekan dengan dinding memekku yang basah, membayangkan bagaimana kepalanya yang tertutup itu akan menyentuh serviksku dengan cara yang belum pernah Arman lakukan.
"Ahh... A-ah...!" erangku lebih keras dari biasanya, sengaja mengeraskan suara untuknya.
Arman mengira dia sedang hebat malam ini. Gerakannya semakin bersemangat, semakin dalam. Tangannya meraih pergelangan kakiku, melipatnya sampai lututku hampir menyentuh dada.
"Dalam ya, Sayang? Kamu suka?" nafasnya berat.
Tidak. Tidak cukup dalam. Tidak cukup besar.
"Y-yes... lebih keras, Mas!" Racauku sambil membayangkan kembali pemulung itu..
Dia mendorong lebih kuat, tapi yang kurasakan justru fantasi itu semakin nyata. Aku membayangkan pemulung itu di atasku, bau keringatnya yang menusuk, tatapan matanya yang penuh nafsu binatang saat melihat tubuhku tergelatak di bawahnya.
"Aku... aku mau keluar," geram Arman tiba-tiba.
Tidak! Jangan sekarang! Aku baru saja mulai merasa enak. Tapi sudah terlambat. Dia sudah melepaskan cairannya di dalam memek aku, seperti biasa.
"Kamu luar biasa malam ini, dek." katanya, mencium keningku sebelum tergolek lelah.
Aku berbaring diam, merasakan cairannya yang perlahan mengalir keluar dari memek aku. Kemaluanku itu masih berdenyut-denyut karena ingin lebih.
Dan saat Arman mulai mendengkur, tanganku merayap ke bawah.
Jari-jariku menyelip masuk, mencoba mengisi kekosongan itu sambil membayangkan—
Kontol besar pemulung itu yang masih tegang, belum puas, siap untuk babak kedua.
Tapi yang ada hanya jemariku sendiri, dan bayangan yang hanya sebuah angan.
3159Please respect copyright.PENANASJUwUSLamE
Setelah semua usai kesadaranku kembali dan muncul pertanyaan dalam diriku. Bagaimana bisa? Aku seorang muslimah dan ustadzah bersuami membayangan seorang lelaki asing, seorang pemulung yang bahkan tidak kukenal, dan parahnya lagi bayangan itu bisa memacu hasratku dan memberiku kenikmatan lebih dari yang biasa aku dapatkan setiap berhubungan dengan suamiku. Apakah di malam-malam selanjutnya saat berhubungan aku akan membayangkannya lagi?
Aku memalingkan wajah ke jendela, ke arah rumah kosong sebelah yang gelap gulita. Di suatu tempat di luar sana, ada seorang lelaki yang tidak tahu bahwa dirinya telah menjadi tokoh utama dalam fantasi terlarang seorang istri. Aku tidak yakin apakah aku ingin fantasi itu tetap hanya sekedar fantasi semata.
***
3159Please respect copyright.PENANAJFcjYlAWOP
Anak-anak memanggilku dari dalam, suara mereka memecah lamunanku. Tapi di sudut gelap pikiranku, rencana-rencana liar mulai bersemi—dan aku tidak yakin apakah aku bisa, atau ingin, menghentikannya.
3159Please respect copyright.PENANAQGpwT0jKko
Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan jadwal kedatangannya. Tidak setiap hari dia muncul—kadang dua hari sekali, kadang hanya seminggu sekali. Tapi setiap kali melihatnya lewat, tubuhku bereaksi dengan cara yang membuatku malu sendiri:
Jantung berdegup kencang seperti genderang perang. Nafas menjadi pendek seolah udara di sekitarnya menipis. Antara pahaku terasa hangat dan lembab meski tanpa disentuh. Dan yang paling mengganggu—ketika dia tidak datang, ada rasa rindu aneh yang menggelora dalam dadaku, seperti kehilangan sesuatu yang penting.
Aku kemudian terjebak dalam dilema yang menggerogoti pikiranku. Di tengah gejolak itu, muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengusik:
"Apa aku hanya akan terus berfantasi saja?"3159Please respect copyright.PENANAqXILxCookW
"Atau aku mewujudkan fantasi itu menjadi kenyataan?"
Pikiran-pikiran liar mulai bermunculan. Semua tentang bagaimana aku bisa mewujudkan fantasiku menjadi kenyataan. Tentu saja dengan keadaan yang tidak menunjukan bahwa aku adalah wanita murahan. Itu adalah tantangan yang sulit dan hampir mustahil. Apakah aku harus menggodanya secara halus - memakai baju yang lebih ketat ketika memberinya makanan, atau "tidak sengaja" menyentuh tangannya.
Aku bahkan mulai berpikir apa aku nekad saja berbicara langsung - mengungkapkan hasratku tanpa malu-malu, tapi resikonya terlalu besar jika dia menolak. Tapi menunggu inisiatif darinya rasanya lebih sulit. Karena mungkin saja dia tidak akan berani berinisiatif melakukan hal negatif padaku. Karena bisa saja dia menghormatiku sebagai "Ibu baik" yang bergelar ustadzah.
3159Please respect copyright.PENANAPN9No9EVLo
Bersambung
ns216.73.216.82da2