Chapter 7. Memulai pendekatan.
Aku terkadang heran dengan diriku sendiri—aku yang seorang ustadzah yang jarus menjaga pandangan dan kemuliaan wanita—justru tidak berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk ini. Sebaliknya, aku menemukan sensasi baru dalam fantasi-fantasi terlarang ini. Aku menemukan gairah hidup yang selama ini terkubur dalam rutinitas sebagai istri, ibu dan seorang ustadzah. Aku juga menemukan kebebasan berimajinasi yang tidak pernah kudapatkan dalam pernikahan. Bahkan adrenalinku terasa meningkat karena pikiran-pikiran yang seharusnya membuatku merasa bersalah
Malam itu, saat suamiku tidur di sampingku, aku justru membayangkan bagaimana jika besok aku sengaja memakai daster tipis tanpa apapun di dalamnya ketika memberi pemulung itu makanan?3550Please respect copyright.PENANA8QH3xYE5PC
Bagaimana reaksinya? Akankah dia memahami isyaratku? Aku menggigit bibir, merasakan panas yang merambat di seluruh tubuhku.
"Astaghfirullah," bisikku pelan, tapi tanpa penyesalan yang sungguh-sungguh.
Karena dalam diam, aku tahu—Aku tidak ingin menghentikan ini. Aku ingin melihat sejauh mana nafsuku akan membawaku. Dan mungkin, suatu hari nanti...Ketika anak-anak sedang tidur siang… Ketika suamiku sedang rapat dinas… Aku akan membuka pintu itu—Baik pintu rumahku,3550Please respect copyright.PENANAH9keKwLiHV
Maupun pintu nafsuku—Lebar-lebar.
3550Please respect copyright.PENANAaDFLFd2MiN
***
Hari demi hari berlalu aku merasa bagai ada peperangan dalam benakku. Aku terjebak dalam dilema yang begitu berat. Setiap kali aku bersetubuh dengan suamiku, tubuhku merespons dengan liar karena fantasiku yang sudah begitu jauh. Tapi kemampuan suamiku tidak bisa mengimbangi. Akhirnya aku melanjutkan hasratku dengan fantasi liarku saat suamiku sudah orgasme dan terkapar kecapean. Tanganku segera meraba-raba tubuhku sendiri, membayangkan itu adalah tangan kasar si pemulung yang menyentuhku. Aku mengocok memek aku dengan jemariku. Membuat aku bisa mendapatkan orgasme meski hanya dengan onani.
"Ini tidak bisa terus begini," bisikku suatu pagi, sambil menatap daster favoritku di lemari—bahan katun tipis berwarna krem yang nyaris transparan di bawah cahaya matahari. Hari ini, aku memutuskan untuk bertindak. Aku sudah tidak bisa lagi menahan hasratku dengan hanya berfantasi sambil onani. Kalau dia datang hari ini maka aku tidak akan lagi menahan diri.
Sore ini langit Jakarta terasa lebih kelabu dari biasanya. Aku duduk di teras rumahku melihat kedua buah hatiku bermain. Aku menyeruput kopi hangat sambil memandang lalu lalang kendaraan di jalan depan rumahku. Tapi pikiranku tetap tertuju pada pemulung yang kencing di pagar rumah tempo hari.
Aku terus teringat tubuhnya tegap, kulitnya gelap terbakar matahari, dan tangannya kasar tapi terlihat kuat. Aku memperhatikan caranya mengais sampah dengan tekun, sesekali melirik sekeliling dengan tatapan waspada. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat jantungku berdegup kencang—sesuatu yang liar, tak terduga, dan... menggairahkan.
Aku tak ingin terlihat murahan. Aku bukan wanita yang mudah menyerah pada nafsu begitu saja. Tapi hasrat ini menggerogotiku pelan-pelan. Aku harus pintar. Aku harus memberinya sinyal, tanpa kata-kata, tanpa sentuhan—hanya bahasa tubuh yang samar, yang jika ia cukup peka, dia akan memahami dan menyambut sinyal yang aku berikan.
Siang itu, matahari tergelincir perlahan ke arah barat, meninggalkan bayangan panjang di halaman rumah. Aku berdiri di dapur, tangan basah oleh air cucian piring, ketika tiba-tiba bayangan bergerak di ujung pandanganku menarik perhatianku.
Dia. Pemulung itu muncul lagi—badannya yang kekar dan berotot terlihat jelas di balik baju lusuh yang melekat di kulitnya. Topi anyamannya yang compang-camping menutupi sebagian wajahnya, tapi aku bisa melihat garis rahangnya yang tegas saat ia menoleh. Jantungku berdegup kencang, tangan gemetar memegang pinggiran wastafel.
Apakah dia akan melakukannya lagi?
Aku menanti, menahan napas, menatap dari balik tirai jendela yang sedikit terbuka. Tapi menit demi menit berlalu, dan pemulung itu hanya duduk di teras rumah kosong, mengatur barang-barang rongsokannya.
"Aduh, dasar..." bisikku pada diri sendiri, jari-jemariku mengetuk-ngetuk meja dapur dengan gelisah.
Lalu, tanpa benar-benar memikirkan konsekuensinya, kepalaku tiba-tiba dipenuhi ide yang membuat darah berdesir cepat.
"Nak, tunggu di dalam ya!" seruku pada Nadin dan Nabila yang sedang asyik bermain boneka bersama di ruang keluarga.
3550Please respect copyright.PENANAuyNcWm0gx2
Aku sengaja keluar rumah dengan membawa beberapa botol plastik bekas. Aku memakai dress sederhana yang agak longgar, tapi tetap memperlihatkan lekuk tubuhku. Ketika ia mendekat, aku tersenyum kecil dan menyerahkan botol-botol itu.
“Mas ini ada botol-botol bekas!” Ujar aku kepadanya.
"Terima kasih, Bu," ujarnya singkat, matanya menunduk.
Suaranya dalam, berkarat, tapi hangat. Aku menggigit bibir bawahku, sengaja membuat gerakan lambat saat menyerahkan botol, jari-jariku nyaris menyentuh tangannya. Ia menarik napas pendek—atau mungkin itu hanya bayanganku?
Aku mulai lebih sering "kebetulan" bertemu dengannya. Kadang aku sengaja menyapu halaman sambil membungkut membuat dadaku mengintip dari leher daster yang aku kenakan. Aku memberikan kesempatan dia melihat dadaku. Sementara itu aku terus mengamati gerak geriknya yang makin membuat aku tertarik. Setiap kali ia membungkuk, aku bisa melihat otot-otot di lengannya yang tegang. Dan setiap kali aku memberi dia sampah yang sekiranya disuaki para pemulung aku memastikan ada sentuhan yang seolah tak sengaja. Dan aku berharap sentuhan itu berlangsung sedikit lebih lama dari seharusnya.
Suatu sore, hujan turun dengan deras. Aku melihatnya berteduh di teras rumah kosong sebelah rumahku itu. Aku mendekat, berdiri tak jauh darinya, sengaja membiarkan bajuku basah terkena rintik hujan.
"Kedinginan, Bu," katanya tiba-tiba, matanya menatapku penuh pertimbangan.
Aku menggeleng, tapi menggigil. "Aku baik-baik saja."
Ia menghela napas menyaksikan tubuhku yang tercetak akibat baju yang basah. Mataku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia membalas tatapanku—tak lagi tunduk. Ada sesuatu yang berkilat di sana: keinginan? Atau hanya penasaran?
***
Hari berikutnya ketika melihat pemulung itu lagi aku memutuskan untuk makin dekat lagi dengan pemulung itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mengambil nasi sisa makan siang dan beberapa potong ayam goreng, lalu menaruhnya di atas piring. Aku menatapnya sebentar, memastikan itu cukup untuk menjadi alasan yang "wajar".
"Ini hanya sekedar sedekah," bisikku meyakinkan diri sendiri, meski jantung berdebar seperti genderang perang.
Dengan langkah yang berusaha tenang, aku keluar dari rumah, piring masih di tangan. Bau tanah basah dan rumput liar menyergap hidungku saat aku mendekati pagar kayu.
"Bang...!" panggilku, suaraku sedikit lebih tinggi dari biasanya.
Pemulung itu menoleh, matanya menyipit karena silau matahari. Ada tatapan bingung di wajahnya, seolah tidak percaya ada yang memanggilnya.
"Mau makan, Bang? Masih hangat," kataku, mengulurkan piring ke arahnya.
Dia berdiri perlahan, mendekatiku dengan langkah hati-hati. Saat jarak kami hanya terpisah pagar kayu, aku bisa mencium bau keringatnya—bau tanah, asap, dan sesuatu yang liar yang membuat lututku sedikit lemas.
"Terima kasih, Ibu," ujarnya, suaranya dalam dan kasar, seperti batu yang digosok-gosokkan.
Tangannya yang besar dan penuh urat menerima piring, jari-jarinya secara tidak sengaja menyentuh ujung jemariku. Sentuhan itu seperti aliran listrik—cepat, tapi cukup untuk membuat napasku tersendat.
"Namanya siapa, Bang?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.
"Bagas, Ibu," jawabnya sambil mengangguk hormat.
Aku tersenyum, tapi dalam hati, pikiran-pikiran liar mulai bermunculan. Bagas. Sekarang dia punya nama. Sekarang dia bukan lagi bayangan.
"Kalau butuh air atau makanan, tak usah sungkan-sungkan. Bisa minta ke saya!" kataku, bermain-main dengan ujung kerudung.
Matanya yang hitam menatapku dalam-dalam, kemudian dia mengangguk menerima tawaranku."Baik, Ibu. Terima kasih banyak, Saya permisi kalau gitu." jawabnya lagi, lalu mundur perlahan.
Aku mengangguk dan berdiri di sana sebentar, melihatnya kembali ke teras rumah kosong dan mulai menyantap makanan yang kuberikan. Lidahku terasa kering, tapi ada kepuasan aneh yang menggelora di dada.
Lanjutannya bisa dibaca di sini sampai tamat
https://victie.com/novels/ustadzah_nasyila3550Please respect copyright.PENANAOnoYAZpr0L
https://karyakarsa.com/Sukma73/ustadzah-nasyila-chapter-1-22-tamat
Daftar chapter lanjutan
Chapter 8. Aku sudah bulat dengan keputusanku
Chapter 9. Sial... aku benar-benar ketagihan
Chapter 10. Pintu dapur itu akan tetap kubuka lebar
Chapter 11. kejutan yang tak kalah menggairahkan
Chapter 12. Suami Perjalanan Dinas
Chapter 13. Lebih liar daripada lonte
Chapter 14. Setiap sudut rumah ini sekarang menyimpan cerita
Chapter 15. Pak Alfred ketua RT
Chapter 16. Itu namanya kontol bu
Chapter 17. "Ibu, kok ruang tamu baunya aneh?"
Chapter 18. Suamiku Perjalan Dinas lagi
Chapter 19. Makin liar
Chapter 20. Tubuh kami terus berpacu
Chapter 21. Akhirnya ketahuan juga.
Chapter 22. Akhir yang tak pernah aku bayangkan (Tamat)
3550Please respect copyright.PENANAGnmTAWAz2U