Aku hanya mampu berdiri di depan gedung putih bertingkat ini. Menatap nanar kemegahan gedungnya. Kaki rasnya tak sanggup menahan berat tubuh, ingin rasa kujatuhkan saja tubuh ini, tapi air mata mendahuluinya. Semua yang lalu-lalang terlihat makin tidak jelas, semakin lama pandangan semakin kabur, dan ....
Mataku mengerjap. Aku terbangun di klinik dekat kantor pengadilan. Aku kenal betul tempat ini, kakak perempuanku bekerja di sini.
"Andini?! Kau sudah bangun?"
'Ya, sudah.' Kurasa aku sudah menjawabnya, tapi ia bertanya lagi.190Please respect copyright.PENANAyAWKckd3qq
"Andini?! Kau sudah bangun, kan?" Kak Yuni bertanya lagi, dari balik tirai.
'Sudah Kak, aku sudah bangun.' Begitu jawabku, tapi lagi-lagi aku tidak mengeluarkan suara. Apa yang terjadi? Aku panik dan menarik tirai yang membatasi tempat tidurku dan pasien sebelah.
"Andini!" pekik Kak Yuni.
Apa ini? Aku yang tadinya hendak turun dari temapt tidur, terjatuh begitu saja, seakan kakiku tak berfungsi lagi. Apa yang terjadi apdaku? Kenapa aku terjatuh?
Kak Yuni dan Kak Adi sibuk menolongku yang terjatuh. Aku sendiri masih belum memahami situasinya, mengapa aku jatuh seperti orang cacat?
'Kak Yuni!'' teriakku. Ya, aku yakin sudah berteriak dengan sangat kenang, tapi jangankan Kak Yuni dan Kak Adi, aku sendiri tidak bisa mendengar suara yang keluar dari mulutku.
"Andini?" Kak Yuni mengungcang tubuhku, aku hanya diam. Sedang sibuk menganalisasi situasi.
"Andini, kau baik-baik saja?" Air mata Kak Yuni berderai. Kak Adi juga kelihatan panik.
Aku diam saja, ketika Kak Yuni mulai capek mengguncang tubuhku, dan malah memelukku erat sambil menangis. Ingin sekali kutenangkan dia dengan berkata aku baik-baik saja, tapi suaraku tak kunjung kelaur. Di samping itu, kurasa aku tak baik-baik saja, aku tak bisa merasakan kakiku. Terasa hampa di sana, seperti baru saja mereka diamputasi.
"Andini, kau bisa mendengarku?" tanya Kak Adi dengan nada lembut, setelah Kak Yuni melepas pelukannya.
Kali ini, aku menjawab lebih biak. Mengangguk. Jika suaraku tidak keluar, maka anggukan bisa memberi jawaban.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kak Adi lagi.
Sekarang, aku tidak ingin menjawab aku baik-baik saja. Kondisiku memang tidak baik. Kakiku mati rasa, suara tak kunjung keluar, situasiku sedang genting. Maka aku menggeleng.
"Apa yang kau rasakan? Adakah yang sakit?"
Pertanyaan Kak Adi kali ini tak bisa hanya dijawab dengan anggukan atau gelengan. Jadi, aku memberi isyarat agar dia memberiku alat tulis. Daripada Kak Yuni yang masih syok dengan keadaanku, Kak Adi lebih bisa berpikir jernih dan mengerti ucapanku. Ia segera ke meja perawat tak jauh dari tempat tidurku, lalu mengambil kertas dan pulpen, kemudian memberikannya padaku.
'Aku ....' Gerakan tanganku terhenti. Ada sesuatu yang kurasakan ketika menyentuh pulpen dan kertas yang diberikan Kak Adi. mereka seperti berbicara padaku. Hei, aku tahu apa yang terjadi di ruangan ini tadi malam. Kak Mala dan pacaranya sedang ....
Kak Adi dan Kak Yuni kaget karena aku langsung membuang kertas dan pulpen itu. Tidak mungkin, aku tidak gila. Mengapa pulpen dan kertas berbicara padaku? Aku berteriak sekencang-kencangnya, tapi suara ini tidak kunjung keluar. Apa yang salah dengan tubuhku?
Kak Yuni segera merangkul dan mengucapkan kalimat-kalimat penenang, "Semua akan baik-baik saja," begitu ucapnya berulang kali. Pelukannya seperti pelukan seorang ibu yang sedang membuai putri kecilnya agar tertidur. Damai, tenang, dan menghanyutkan. Aku tertidur dalam pelukan keibuannya.190Please respect copyright.PENANAVgPswhziX0