Butuh lebih dari sebulan bagiku untuk bisa menerima kondisi baru ini. Entah apa penyebabnya, beberapa dokter ahli kenalan Kak Adi sudah mencoba memeriksa kelainan di tubuhku, mereka bahkan melakukan scanning menyeluruh, tak ada yang aneh. Dokter ahli syaraf juga sudah menyerah. Bagaimana pun mereka memeriksa, tidak ada kelainan sama sekali, kelainan yang mungkin membuat suaraku berhenti keluar, serta kaki tak berfungsi. Bahkan, Kak Yuni sudah membawaku ke psikiater, tak ada hasilnya. Mereka tak bisa menjelaskan mengapa kaki dan pita suara ini berhenti berfungsi.
"Andini, Kak Yuni sudah menyiapkan makan siang dan makan malam, jangan lupa makan, dan tetap di rumah ya," ucap Kak Yuni ketika ia sudah terlihat rapi dengan gaun hijau.
Aku mengangguk. Ya, hanya itu cara menjawab pertanyaannya. Kak Yuni tersenyum, kemudian hilang di telan pintu. Sepertinya ia sudah terlambat, hingga pergi terburu-buru.
Ting!
Telingaku mendengar benda kecil jatuh di lantai, tepat ketika Kak Yuni menutup pintu. Ku arahkan kursi roda menuju pintu, mencari benda yang tadi jatuh. Jika itu memang hal yang penting, aku harus mengirim pesan pada Kak Yuni.
Perlahan kuarahkan kaki dengan tangan untuk menginjak lantai. Suara itu terdengar lagi. Suara benda yang jatuh tadi. Aku bisa melihat benda kecil tersebut, sebuah pegangan resleting. Setelah terjatuh, benda itu terpantul beberapa kali, sebelum akhirnya mendarat di dekat rak sepatu.
Setelah berusaha sedikit lebih keras, tanganku berhasil meraih pegangan resleting tersebut. Hanya dengan sedikit berkosentrasi sambil menutup mata, resleting itu bercerita padaku apa yang telah dialaminya. Setiap adegan yang ditampilkannya terlihat jelas.
Seorang gadis sekitar awal 20-an menangis sambil meronta, sebuah tangan menampar pipi gadis itu keras. Darah keluar dari bibirnya, tapi ia belum menyerah, masih menangis dan meronta. Tidak lama berselang, semuanya gelap. Aku sendiri tak mengerti apa yang terjadi, hanya teriakan gadis itu yang masih terdengar, serta sesekali diselingi suara serak seorang pria yang mengintimidasi.
"Kumohon jangan!" Suara tangis menimpali permohonan gadis yang kuyakin kini sudah kehabisan tenaga, ia terlalu banyak meronta dan menangis.
"Teriak saja sepuasmu. Tidak akan ada yang mendengar." Tawa jahat menimpali ucapan serak pria itu. "Aku sudah berkorban banyak untukmu, setidaknya aku harus mencicipimu lagi, sebelum kau pergi, benar kan?"
Aku tak sanggup menyaksikan semua yang diceritakan pegangan resleting ini. Mata kubuka, dan lenyap semua adegan itu. Napasku memburu, tanpa kusadari, darah segar mengalir dari hidungku.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, aku mengirim pesan pada Kak Yuni.257Please respect copyright.PENANAqeb9dp8SnO
*****257Please respect copyright.PENANABnlfFdiQRD
Aku tiba di Klinik Kasih berkat bantuan Kak Adi. Hari ini bukan gilirannya bertugas, jadi Kak Yuni memintanya menjemputku.257Please respect copyright.PENANAF4kfXN27lT
Hal yang kulihat dari resleting tadi sangat mengganggu. Harus kupastikan sendiri bahwa gadis yang kulihat tadi pernah berada di klinik ini atau tidak. Sangat mustahil pegangan resleting tersebut terbawa di tas Kak Yuni jika ia tidak bertemu dengan gadis itu.257Please respect copyright.PENANA2tOs9O000C
"Sebenarnya apa yang begitu penting yang ingin kau tanyakan pada Yuni? Harus bertemu segala," tanya Kak Adi ketika membantuku duduk di kursi roda.257Please respect copyright.PENANAG8YaB3IRfX
Aku tak menjawab, hanya tersenyum manis. Begitu sulit bagiku berkomunikasi dengan orang lain, sebaiknya kuceritakan pada keduanya sekaligus saja.
Klinik yang kecil, membuat kami tiba di ruangan Kak Yuni dengan cepat. Belum ada pasien yang mengantri, jadia kami masih punya waktu berbincang.
"Ada apa, Andini?" Kak Yuni bertanya ramah dengan suara lembut.
Sementara Kak Adi dan Kak Yuni berbincang masalah pasien, aku menuliskan hal-hal yang ingin kusampaikan.
"Gagang resleting?" Kak Yuni bingung.
Ku keluarkan gagang resleting itu dari tas kecilku, yang langusng disambar oleh Kak Adi. Ia memperhatikan lekat-lekat gagang resleting itu sambil menegaskan kembali hal-hal yang sudah kutulis dengan jelas.
"Terjatuh ketika Yuni keluar?"
Aku mengangguk.
"Kau melihat seorang gadis yang menangis dan meronta?"
Aku mengangguk.
"Ada seorang pria jahat bersama gadis itu?"
Aku mengangguk.
"Menurutmu ini adalah gagang resleting celana pria tersebut?"
Aku mengangguk.
Ketika Kak Adi hendak menanyakan pertanyaan berikutnya, Kak Yuni merampas gagang resleting tersebut dari tangannya. "Kau selalu menanyakan hal yang tidak perlu."
"Aku akan minta tolong pada Reni di labfor. Jika memang ini milik pria yang menyakiti gadis malang itu, mereka pasti bisa menemukan pemiliknya."
Kak Yuni pergi begitu saja. Bahkan tidak berpamitan padaku dan Kak Adi. Dasar Kak Yuni. Dia selalu saja bersemangat pada kasus pemerkosaan dan kekerasan pada wanita.
Sementara Kak Yuni pergi, aku berusaha menggambar wajah gadis itu semirip mungkin. Memang butuh waktu lumayan lama, tapi tidak masalah. Aku punya banyak waktu luang.
"Andini, kau tidak tahu kapan pegangan resleting itu berada di tas Yuni?" tanya Kak Adi memecah hening.257Please respect copyright.PENANAYcBlLuFLJa
Kujawab dengan gelengan. Semua gamabran yang kulihat hanya tentang pemerkosaan gadis itu, sama sekali tidak ada gambaran tentang bagaimana pegangan resleting itu bisa sampai ke tas Kak Yuni.
ns3.136.26.17da2