Srek!!
Tn. Cake yang seiringnya waktu berjalan kuperhatikan, tidak pernah merasa capek. Aku ragu orang ini manusia. Bahkan di malam yang melelahkan ini, ia masih sempat membalik halaman pada koran yang dibeli pagi ini. Otaknya masih sempat terbuka menangkap hal baru, sambil menikmati tehnya itu. Sama sekali tidak terlihat bekas kerutan, lelah atau mengantuk sekalipun.
Baru saja aku membersihkan semua meja, kuperhatikan bagian bawahnya yang dipenuhi permen karet. Pesanan penuh satu tempat oleh tamu di jam – jam tertentu memang sangat menguntungkan. Masalahnya adalah beberapa tubuh individu yang boleh dikatakan intelektual ini sangat malas melakukan hal kecil, misalnya membuang permen karet. Kalau harus dikatakan dengan lantang, aku sangat muak dengan hal ini. Satu paket menyebalkan, tidak hanya melelahkan tapi menjijikkan. Seperti memungut bekas kunyahan dan ludah dalam bentuk gumpalan abstrak dengan tekstur yang tidak bisa dibayangkan.
“Pria yang bertanggung jawab atas kematian tiga orang bebas setelah tiga tahun masa tahanan. Satu nyawa untuk satu tahun!” kata Tn. Cake dengan lantang membaca isi koran itu.
Aku yang sedari tadi membantingkan tubuhku di meja, perlahan mulai terbangun.
“Mereka pikir itu matematika, huh?” celotehnya lalu tegas menggeleng tidak setuju.
Tubuhku mendekatinya karena penasaran. Aku memeriksa isi koran itu hingga mataku yang agak mengantuk ini bisa mendapat hal yang sama seperti Tn. Cake baca. Jarinya segera menunjukkan apa yang ingin kuketahui. Itu tepat di bawah berita london terkena hujan angin deras. Wajar saja hari ini terasa lebih dingin dari kemarin.
Lebih jelas mengenai berita itu, Peregrine Ulric, 28 tahun, pelaku atas pembunuhan tiga orang yaitu, ayah, ibu tiri, dan adik tirinya. Di sana juga terdapat poster gambar wajah dan tubuhnya.
“Pria ini mengantuk, sama sepertiku,” tidak sadar menguap, aku menyapu mataku.
Raut wajah Tn. Cake memelas, gerak tangannya mengusir menyuruhku segera tidur. Aku sendiri tidak percaya bahwa hari ini selelah itu. Bahkan aku tidak tertarik untuk mandi dulu dan ingin langsung tidur. Hingga saat kaki kananku menjejakkan pada permukaan tangga, pintu kami yang sudah tertutup rolling door, diketuk dengan agak keras.
“Kami sudah tutup, tolong datang besok!” jawab Tn. Cake terhadap seseorang yang bukan pada rutinitas toko kami buka ia malah mengetuk pintu itu. Aku menengok ke arah jam yang menunjukkan pukul 22:30.
Bukannya menyerah, jeda ketukkan itu semakin diperkecil, “To-tolong saya!’ balas orang itu dengan panik.
Srek!
Tn. Cake melipat korannya. Kami saling memandang satu sama lain memasang raut wajah bingung. Aku dengan berat hati menuju ke sumber suara. Memutar kunci rolling door, menariknya ke atas, lalu memutar kunci pintu depan. Aku yang merasa lemas, badan yang terasa pegal, ditambah mataku yang menahan katupnya sangat berat menarik gagang itu dengna perlahan.
“Kyaaaaahh!!” teriakan lantang dan melengking.
Dengan tidak siap, kulitku melompat. Secara spontan aku mendorong diriku sendiri ke belakang.
Seseorang yang berlumuran cairan merah kental, tangan kanan memegang pisau tajam meneteskan cairan yang sama. Bagian yang paling menakutkan adalah wajahnya. Penampilan yang mirip kubaca dari koran barusan sekian detik.
“To-tolong saya! To-tolong jangan takut!” ia perlahan melangkah, meneteskan cairan tepat di lantai toko kami.
Tentu saja aku bergerak ke arah berlawanan! Maksudku siapa orang bodoh dengan pisau tajam yang mengatakan itu lalu lawannya akan menurutinya? Aku mulai membayangkan adegan film horror.
Tn. Cake dengan segera menarikku ke belakang. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil sebuah revolver kecil dari laci kasirnya.
“Jangan bergerak! Saya bisa melubangi pelipis, dahi atau gigi anda bila itu diperlukan!” todongan pistol itu tenang seakan – akan tangan Tn. Cake seperti mesin yang pasti tidak meleset.
Detik mengendap sesaat, seakan waktu mampir sebentar…\
Untungnya orang itu mulai menurut. Dengan perlahan dan ragu – ragu, ia menaruh pisau itu di lantai dan mengangkat kedua tangannya. Raut wajahnya seperti hendak menangis dan frustasi, matanya berkedut, mulutnya yang bergetar dengan ragu.
Kaki Tn. Cake dengan kecepatannya meraih pisau itu lalu menariknya agar ke posisi yang paling jauh dari pria itu. Raut wajah Tn. Cake jauh berbeda dari yang kukenal genit dan periang, kini tatapannya kosong dan serius. Ia menyuruh pria itu berbalik dan berjongkok. Mata Tn. Cake menyipit, bola matanya bergerak sepersekian detik ke segala arah. Dengan sekejap ia menggeledah sekitar pria itu. Itu tidak berlangsung lama karena orang ini hanya pakai kaos polo hitam dan celana pendek putih.
“Feline, telepon polisi!”
“Tu-tunggu! T—to-tolong, de-dengarkan saya dulu!” kata pria itu memohon agak tergagap.
Namun tangan Tn. Cake masih menodongkan revolvernya yang membatasi pergerakannya. Aku segera meraih gagang telepon tersebut dari belakang meja kasir.
Tn. Cake menyuruhnya bicara dengan sejelas dan secepat mungkin.
“Sa-saya… baru saja, tapi tidak yakin…. Tapi d-dia, kekasih saya, sa-sama yang seperti saya mimpikan…”
“Apa yang anda bicarakan?” todongan tangan Tn. Cake tampaknya memberi intimidasi yang kuat baginya.
Ia bertambah ketakutan.
“Ma-makanya… ke-kekasih saya ma-mati…” tambahnya menunjuk pisau yang telah ditendang agak jauh darinya. “De-dengan itu! Sa-saat saya ter-terbangun! Saya mungkin pelakunya!”
Nafasnya tesengal – sengal. Aku baru sadar bahwa tidak hanya cairan merah pekat, tapi juga keringat bercucuran membahasi seluruh tubuhnya. Namun aku terlanjur telah menaruh gagang telepon itu kembali.
“Polisi- Senior Superintendent Chad akan datang dalam beberapa menit. Beliau, katanya juga mendapatkan laporan yang sama.”
Kemudian Tn. Cake menyuruhku untuk membawa gelas dan satu dispenser air mneral. Kutaruh pada mejanya dengan hati – hati. Tapi aku merasa aman dengan todongan Tn. Cake yang mengunci tindakan yang tiba – tiba. Posisi kami dengan pria yang membawa benda tajam itu terpaut sepuluh meter.
“Monsieur Ulric, nama anda terpampang di koran the times. Anda repot – repot datang ke sini, mengakui perbuatan keji terhadap kekasih anda. Lalu anda bermimpi?” tanya Tn.Cake yang setidaknya aku juga sepemikiran.
Pria yang namanya terpampang di koran mulai agak tenang setelah meneguk segelas air mineral.
“Y-ya begitulah! Ini tidak seperti yang saya inginkan. Karena itu saya takut kalau mimpi seperti itu lagi, akan membunuh orang lain!” ucapnya dengan lantang.
Tn. Cake memutar silinder isi peluru, kemudian mengokang untuk memberi kesan bahwa ia siap menarik pelatuknya.
“Lalu kenapa anda tidak mengaku pada polisi saja? Siapa yang memberi tahu anda untuk kemari?” tanya Tn. Cake lebih tegas dari sebelumnya.
Dengan perasaan takut lagi, kembali ia menjelaskan bahwa posisinya sama sekali tidak bisa dipahami. Dirinya hanya ingin mengonfirmasi apakah memang benar mimpi itu bisa menjadi kenyataan yang sampai – sampai membunuh orang?
“Kalau itu memang benar dan logis, saya rela menyerahkan diri. Kalau perlu saya dihukum gantung saja tanpa perlu lewat hakim agung.” ekspresinya penuh komitmen, nadanya terdengar meyakinkan. “Se-seseorang membisikan tempat ini pada saya. Katanya, orang itu punya solusi.”
Suara mobil mendekat dan berhenti tepat di luar tempat kami. Namun Tn. Cake masih belum mau menurunkan todongan itu. Dengan cepat seseorang membuka pintu.
“Tn. Ulric, saya kira anda telah memikirkan sesuatu dengan cermat terlebih dahulu daripada melakukan tindakan lagi!” Superintendent Chad dengan cepat memasang borgol pada pria itu. “Aku sempat kaget pelaku kabur. Untung seseorang melapor. Bagaimana bisa pria ini di tempat ini?”
Tn. Cake dengan wajah lega, menurunkan todongan itu. Ia menjelaskan pada Tn. Chad.
“Di mana anda mendapat laporan itu?”
Tn. Chad menyuruh bawahannya untuk membawa pria itu ke mobil tahanan.
“Chaffinch Walk, Cambourne, Selatan Cambridgeshire. Ngomong – ngomong, korban ditusuk berkali – kali tepat dibagian jantung, sungguh wanita malang. Beberapa bawahanku berjaga di sana. Kau lebih baik memastikan dengan kedua matamu sendiri.”
Tn. Cake tentu tidak memaksaku untuk ikut, namun saat ini rasa penasaranku lebih mendominasi dibandingkan rasa lelah. Kami pun tak berlama – lama dan segera mengunci kembali tempat kami. Tidak lupa pisau tadi juga telah disimpan pada wadah khusus untuk dibawa.
“Superintendent Chad, tolong jangan bawa Tn Ulric ke kantor polisi dulu, saya ingin menanyai beberapa hal.”
Pria dengan mantel coklat dengan tubuh setinggi 1,8 meter dan kumis hitam tebal mengangguk saja. Di dalam mobil, sebelum mengendarai sedan hitam itu, diangkatnya dari saku jasnya yang agak lusuh itu sebuah handy talky.
“Folks, jangan biarkan mereka pulang dulu.”
Brrm! Brrm!
ns 172.70.178.140da2