Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI8pRHW6Jl0
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU9MRPFSrS2
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmwSFLZeqG2
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuQGGza4d8z
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡInVRh6sRgt
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV2dY1F77LY
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBqyc6aRsKQ
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9wMxFPzePn
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3OdoPJBrJy
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ42wwUyuGqf
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ68kJHj9q8e
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHmtV066Yzh
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzuJNU8yfIt
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLLG34shlHO
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOWUev2wjzE
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyIoJKvClTt
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCVRn3A6w5R
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ42xEJjxR6K
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPSDCNKSEoz
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4N4z8dxxP4
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKnD9ZPcTsV
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkrugOW7OuJ
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7qZ67PnFPR
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdZgUoaiAU1
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzgnnxde7bd
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnux3BLptL1
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7yZkc2FUpW
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlKacfhLE8X
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡq3QliImUMz
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy3QQBX79MI
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIrZgiOozPh
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡljK4PeCJtP
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkaJXruJZrn
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPS4hh3f2mA
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMKjd9tntuc
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXMDg3hbDKZ
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡp95jBkZMmM
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBkWHUVOFK4
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVfIJJ77enX
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡc4DFgd5wxa
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsYjKyibuSu
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2t2iFN7uoY
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡciAKi8krUQ
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpbCJVnKtF9
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡE6lAoZPJZo
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNIOO2ODpl0
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡboOeiISUme
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ31rDQktn12
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR8SxPyi2Lt
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHx5p72Pva2
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoX8SU1VASx
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7LfDTaKmj8
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRg9n5D0jsF
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgryXPK1l1L
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyaamvwn5iU
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSh6jjtTmst
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHeTourMWG8
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjOCRpOvnJc
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsl9DMR4yfB
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDP3WFNFAkh
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbuQvDCCqlE
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUDpexAe6VA
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd8c0SFaLsN
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmHbooZK0xN
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡs8Cn5AUZBe
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZuNLPBWWvN
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpEJCsKB7d1
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKqDUGL9GDU
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOF65ktbSVS
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbuTXMKar9Y
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ79Hl1Hs2xw
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡr9LzKa2ReK
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbL536vY6bG
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDddOL7RH2I
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlRB8MEUovx
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMqn0kv0dCi
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOJd0bWOrZa
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNwavlNnBuZ
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzlW3p71b2N
Itulah awal mula keakraban mereka.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡp1doKHdWNC
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlykUgkrrUZ
***
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡigIOh103qG
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxkvA7kPUIZ
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtTnveA7ZYm
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGQxEcWvXDj
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgnaVAFMvsg
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKu7UI43XNp
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2igo49lLae
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBPVw1kvCss
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8ozlmDNXjP
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4N1sjsH8er
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFhuHwcgiol
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡis1fhd7UVr
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4IBrICf9W6
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNY2wmgEJOA
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJFEy7RC9f1
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ2MZCoKPPk
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
198Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzp131sJGCF
