
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-------------------------------
Aku, Firman, duduk di pinggir danau kecil di hutan UI, Depok, sambil melempar kerikil ke air yang berkilau redup di bawah sinar senja. Kepalaku penuh sesak: skripsi yang tak kunjung selesai, lamaran kerja yang selalu ditolak, dan status jombloku yang makin menyiksa tiap buka Instagram. Aku kabur ke sini, ke tempat sepi yang selalu jadi pelarianku dari kekacauan hidup sebagai mahasiswa rantau dari Jawa. Angin sore bertiup pelan, daun-daun bergoyang, tapi ada rasa aneh di udara—seperti bisikan yang nggak bisa kudengar jelas. Aku menggosok mata, berpikir mungkin ini cuma efek kurang tidur, tapi tiba-tiba kabut tipis muncul di atas danau, seperti tirai gaib yang perlahan terbuka.
Dari kabut itu, sosok wanita melayang mendekat, membuatku loncat mundur sampai hampir nyungsep ke air. Jantungku berdegup kencang, tapi mataku nggak bisa berpaling. Dia… cantik, terlalu cantik untuk disebut hantu. Kulitnya pucat bercahaya seperti porselen di bawah sinar bulan yang mulai muncul, rambutnya hitam panjang, berkilau seperti sutra, dan matanya besar, polos, dengan bulu mata lentik yang bikin aku lupa takut. Gaun putih tipis yang dia pakai ketat, nyaris tembus pandang, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi—seperti MILF dari film fantasi yang bikin pria mana pun salah tingkah. Dia tersenyum, lugu tapi genit, dan berkata dengan suara lembut, “Mas, ngapain sendirian di sini? Galau, ya?”
Aku tergagap, masih nggak percaya. “K-kamu siapa? Hantu?!” Dia cekikikan, tangannya menutup mulut dengan gerakan yang anehnya menggemaskan. “Wewe Gombel, tapi panggil aja aku… hm, nanti aku pikirkan nama kekinian,” katanya, suaranya merdu seperti alunan gamelan. Aku masih kaku, tapi entah kenapa nggak lari. Ada sesuatu di dirinya yang bikin aku terpukau—mungkin aura dewasanya yang kontras dengan tingkah polosnya, atau gaun itu yang bikin jantungku nggak berhenti berdegup. Dia melayang lebih dekat, duduk di udara di sampingku, dan aku bisa mencium aroma melati samar yang seolah menyelimuti seluruh danau.
Aku mulai cerita, mungkin karena stres atau karena pesonanya yang bikin aku lupa takut. Aku curhat soal skripsiku yang mandek, kerja yang nggak kunjung dapet, dan betapa sepinya hidup tanpa pacar. Dia mendengarkan dengan serius, sesekali cekikikan saat aku bilang temen-temenku pada pacaran sementara aku cuma pacaran sama laptop. “Mas Firman lucu, sih. Skripsi itu selesaikan dulu, nanti juga ketemu jalan,” katanya, sambil memainkan rambutnya dengan jari-jari lentik. Aku nggak bisa berhenti meliriknya—gaun itu terlalu tipis, menonjolkan lekuk pinggang dan bahunya yang sempurna, tapi matanya yang lugu bikin aku merasa bersalah karena mikir yang nggak-nggak.
---------------------------
“Kenapa sendirian di sini? Nggak ada temen?” lanjutnya, melayang mundur sedikit tapi tetap dekat, matanya menatapku dengan rasa ingin tahu yang tulus. Aku menghela napas, entah kenapa merasa nyaman curhat sama hantu. “Ya, lagi pusing. Skripsi nggak kelar, kerja nggak dapet, temen pada sibuk pacaran,” keluhku. Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang seperti air terjun hitam. “Skripsi itu apa? Pacaran itu kayak apa?” tanyanya, nada polosnya bikin aku nyaris ketawa. Aku jelasin sekilas, dan dia mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk seperti anak kecil yang baru belajar.
Dia terus bertanya, seperti haus akan cerita tentang dunia manusia. “Jadi, manusia suka kerja buat apa? Uang? Terus uang buat apa?” Aku bingung jawab, tapi coba menjelaskan soal kebutuhan hidup, beli makanan, bayar kosan. Dia cekikikan lagi, “Lucu, ya, manusia ribet banget! Aku cuma butuh kabut dan danau, lho.” Aku tersenyum, mulai lupa dia hantu. Pesonanya nggak cuma dari tubuhnya yang aduhai—pinggul semok, kaki jenjang, dan payudara yang bikin aku harus ekstra fokus ke wajahnya—tapi dari sikapnya yang lugu, seolah dunia manusia adalah misteri besar yang bikin dia penasaran.
---------------------------
Wewe Gombel itu melayang turun, lalu tiba-tiba duduk di sampingku di pinggir danau, begitu dekat hingga bahunya menyentuh bahuku. Gesekan ringan itu bikin jantungku berdegup kencang, apalagi saat aku mencuri pandang ke arahnya. Wajahnya yang cantik, seperti wanita berusia tiga puluhan dengan kulit pucat bercahaya, memandangku dengan mata besar yang polos namun memikat. Gaun putih tipisnya menempel ketat, menonjolkan payudaranya yang indah, seperti sepasang pepaya matang yang bergoyang lembut setiap dia bergerak. Aku menelan ludah, berusaha keras menjaga pikiran tetap waras, tapi auranya yang seksi bikin aku sulit fokus.
“Mas Firman,” katanya dengan suara lembut yang bikin bulu kudukku berdiri, “aku boleh ikut kamu, nggak?” Aku terperangah, nggak yakin apa yang baru saja kudengar. “Ikut? Maksudnya… ke mana?” tanyaku, suaraku sedikit serak karena kaget. Dia cekikikan, tangannya menutup mulut dengan gerakan genit tapi lugu. “Ya, ikut ke tempatmu! Aku… entah kenapa, kok tertarik sama kamu,” katanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Aku bengong. Hantu secantik ini, dengan tubuh tinggi semampai dan lekuk pinggul yang bikin salah fokus, tertarik padaku? Pikiranku melayang, bercampur antara takut dan… yah, sedikit mesum.
“Ehm, boleh, deh,” jawabku akhirnya, meski masih ragu apakah ini ide bagus. Dia tersenyum lebar, lalu melayang berdiri, tapak kakinya melayang beberapa senti di atas tanah, seolah nggak benar-benar menyentuh bumi. Kami berjalan meninggalkan danau, menuju kosanku di pinggir Depok yang mulai gelap. Anehnya, orang-orang yang kami lewati—penjaga warung, tukang ojek—seperti nggak melihatnya. Hanya aku yang bisa merasakan kehadirannya di sampingku, aroma melati samarnya menyusup ke hidungku. Aku mencuri pandang lagi, payudaranya yang indah itu bikin aku harus mengalihkan mata ke trotoar, takut pikiran mesumku kelewatan.
Di perjalanan, aku mampir ke warung pecel ayam langgananku. “Lapar, nih. Mau coba?” tanyaku, setengah bercanda, sambil mengangkat plastik berisi nasi dan ayam. Dia menggeleng, cekikikan lagi. “Aku nggak makan makanan manusia, Mas. Aku cuma… entah, ya, suka ngeliatin kamu aja,” katanya, nadanya polos tapi bikin jantungku nggak karuan. Aku cuma nyengir, berusaha nggak memikirkan betapa dekatnya dia berjalan, bahunya sesekali menyenggolku. Gaunnya yang tipis itu bikin setiap gerakan tubuhnya terlihat, dan aku harus mengingatkan diri sendiri untuk tetap sopan—meski susah banget.
Sampai di depan kosan, lampu jalanan temaram menyinari wajahnya yang mulus, bikin dia terlihat makin seperti dewi daripada hantu. “Jadi, kamu beneran nggak makan apa-apa?” tanyaku, membuka plastik makanan sambil duduk di tangga kosan. Dia melayang di sampingku, kakinya tetap nggak menyentuh tanah. “Nggak, Mas. Aku kan hantu, cuma butuh energi dari… hm, cerita manusia, mungkin?” katanya, memiringkan kepala dengan ekspresi bingung yang bikin aku pengen tertawa. Aku mengangguk, pura-pura paham, padahal pikiranku masih terpecah antara nasi pecel dan pesonanya yang bikin aku nggak bisa berhenti melirik.
Aku mulai makan, tapi mataku sesekali melirik ke arahnya. Payudaranya yang seperti pepaya matang itu seolah menantangku untuk nggak mikir jorok, tapi susah, apalagi saat dia melayang sedikit lebih dekat, seolah ingin melihat makananku dari dekat. “Manusia aneh, ya, harus makan begini tiap hari,” katanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. Aku cuma tersenyum, nggak tahu harus jawab apa. “Kamu nggak bosan jadi hantu? Ngelayang gitu tiap hari?” tanyaku balik, berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran mesumku. Dia cekikikan, “Bosan, makanya aku ikut kamu. Ceritain dong, hidup manusia itu kayak apa sih?” Dan begitulah, malam itu aku makan pecel ayam sambil ngobrol sama hantu paling cantik yang pernah kulihat.
Kami ngobrol sampai malam makin larut, dan aku mulai lupa dia makhluk halus. Dia bertanya macam-macam: kenapa aku suka danau, apa itu skripsi, sampai kenapa manusia suka pacaran. Aku jawab sebisaku, sesekali terganggu oleh gaunnya yang terlalu tipis dan tubuhnya yang terlalu sempurna. “Firman, kamu baik, sih. Aku suka ngobrol sama kamu,” katanya tiba-tiba, senyumnya bikin jantungku jatuh ke perut. Aku cuma nyengir, nggak tahu apakah ini mimpi atau kenyataan. Yang jelas, dengan Wewe Gombel ini di sampingku, hidupku yang tadinya stuck tiba-tiba terasa penuh misteri—dan aku nggak sabar tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
----------------------
Kami sampai di kosanku, sebuah bangunan tiga lantai yang sederhana di pinggir Depok, dengan kamarku di lantai atas. Tangga kayu tua berderit saat aku naik, sementara Wewe Gombel melayang di sampingku, kakinya tetap tak menyentuh lantai, seolah dunia nyata bukan tempatnya. Kamarku kecil, cuma cukup untuk kasur single, meja belajar lesehan, dan rak buku yang penuh jurnal skripsi. Tapi aku selalu merapikannya, jadi terasa nyaman meski sempit. Aku membuka plastik nasi pecel ayam yang kubeli tadi, duduk di lantai dengan meja kecil di depanku, dan mulai makan dengan lahap, aroma sambal pedas mengisi ruangan.
Wewe Gombel duduk melayang di depanku, tepat di seberang meja, memandangku dengan mata besar yang polos namun memikat. Cahaya lampu neon kamarku menyinari wajahnya yang mulus, seperti wanita berusia tiga puluhan dengan kulit pucat bercahaya. Gaun putih tipisnya menempel ketat di tubuhnya, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak melirik payudaranya yang indah, seperti sepasang pepaya matang yang bergoyang lembut setiap dia sedikit bergerak. Dia sepertinya tak menyadari efeknya padaku, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan cara aku menyendok nasi. “Manusia makan begini tiap hari, ya? Lucu,” katanya, suaranya lembut seperti angin malam.
Fantasi liar mulai menyelinap di kepalaku saat mataku terus terseret ke payudaranya. Bentuknya sempurna, bulat penuh dengan lekuk yang alami, seperti buah pepaya yang ranum dan menggoda. Gaun tipis itu tak membantu sama sekali—bahannya begitu transparan hingga aku bisa melihat bayangan areola di balik kain, lingkaran lembut berwarna merah muda yang seolah menyemak dengan jelas. Aku menelan ludah, berusaha fokus pada nasi di depanku, tapi pikiranku berkhianat, membayangkan bagaimana teksturnya jika disentuh, lembut namun kenyal, sebuah karya seni gaib yang bikin jantungku berdegup tak karuan.
Yang lebih bikin aku salah tingkah adalah putingnya yang mancung, terlihat menonjol di bawah gaun yang tak mampu menyembunyikan apa pun. Setiap kali dia menggeser posisi melayangnya, payudaranya bergerak sedikit, dan puting itu seolah menari, menantangku untuk tidak memikirkan hal-hal mesum. Aku mencoba menunduk, menyendok pecel ayam lebih cepat, tapi bayangan itu terus menghantuiku—bukan sebagai hantu, tapi sebagai godaan yang nyaris tak bisa kutolak. Aku mengutuk diri sendiri dalam hati, berpikir, “Ini hantu, Firman, hantu! Tapi kenapa secantik ini?”
“Firman, kamu kenapa diam? Pikir apa?” tanyanya tiba-tiba, memiringkan kepala dengan ekspresi polos yang bikin aku merasa bersalah. Aku tersedak sedikit, buru-buru minum air. “Ehm, nggak apa-apa, cuma… capek aja,” bohongku, berharap dia nggak bisa membaca pikiran. Dia cekikikan, “Kamu lucu, deh. Ceritain dong, di kosan ini kamu ngapain tiap hari?” Aku menghela napas, lega dia mengalihkan topik. Aku ceritain rutinitasku: nulis skripsi yang nggak kelar, scrolling medsos, dan kadang melamun soal hidup yang stuck. Dia mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk, seolah dunia manusia adalah buku cerita yang menarik baginya.
“Jadi, kamu nggak kesepian di sini sendirian?” lanjutnya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Aku nyengir kecut, “Ya, kadang sih. Makanya tadi ke danau, biar nggak pusing.” Dia tersenyum, dan untuk sesaat, aku lupa dia makhluk halus. “Aku suka nemenin kamu, Firman. Manusia itu… menarik,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang bikin jantungku kembali berdegup. Aku cuma mengangguk, pura-pura fokus pada sisa nasi di piring, tapi pikiranku masih terjebak pada pesonanya—payudara indah itu, wajah cantiknya, dan misteri di balik senyum polosnya. Malam ini, kosanku yang kecil tiba-tiba terasa penuh dengan keajaiban yang nggak kumengerti.
------------------------------------730Please respect copyright.PENANAGe7uCpKhCx
Selesai menghabiskan nasi pecel ayam, aku mengeluh pada Wewe Gombel yang masih melayang di depan meja lesehanku. “Badanku lengket banget, gerah seharian di kampus,” kataku, mengelap keringat di dahi. “Aku mau mandi dulu, deh.” Aku bangkit, menuju kamar mandi kecil di sudut kamarku, tapi saat aku hendak menutup pintu, dia melayang mendekat, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Firman, aku boleh masuk? Aku penasaran, manusia mandi itu kayak apa, sih?” katanya dengan nada polos yang bikin wajahku memanas. Aku tergagap, “Hah? Maksudnya… ikut ke dalam?” Dia cuma mengangguk, senyumnya lugu tapi bikin jantungku nggak karuan.
Aku salting berat. Mandi sambil ditonton? Apalagi sama makhluk secantik dia, dengan gaun putih tipis yang menonjolkan payudaranya seperti pepaya matang. “Ya Tuhan, dia cuma hantu, Firman, tenang,” gumamku dalam hati, mencoba meyakinkan diri. Akhirnya, dengan muka merah, aku mengangguk, membiarkan dia melayang masuk. Aku buka baju dengan canggung, merasa telanjang di bawah tatapan matanya yang polos namun tajam. Dia duduk di toilet duduk, tepat di depanku, kakinya melayang di atas lantai, seolah ini hal biasa baginya. Aku buru-buru masuk ke bawah shower, berharap air dingin bisa menenangkan pikiranku yang mulai kacau.
Air shower mengalir, tapi mataku sesekali melirik ke arahnya. Cipratan air membasahi wajahnya yang cantik, membuat kulit pucatnya berkilau seperti mutiara. Gaun tipisnya kini basah, makin transparan, menempel ketat di tubuhnya yang semok, memperlihatkan lekuk pinggul dan payudaranya yang indah. Aku menelan ludah, merasa darahku berdesir. Tubuhku bereaksi tanpa izin—kontolku diam-diam mengeras, tegang di bawah tatapan matanya yang seolah tak menyadari efeknya padaku. Aku berpaling, berusaha fokus pada sabun, tapi pikiranku dipenuhi bayangan tubuhnya yang basah dan gaun yang seolah tak menyisakan apa pun untuk imajinasi.
“Manusia mandi pake air begini, ya? Dingin, nggak?” tanyanya tiba-tiba, suaranya riang, seolah nggak tahu aku sedang berjuang menjaga akal sehat. “Ehm, iya, dingin, biar segar,” jawabku, suaraku serak, berusaha menutupi rasa malu dan gugup. Dia cekikikan, “Lucu, deh, kamu kelihatan panik. Apa karena aku di sini?” Aku hampir tersedak air, buru-buru menggeleng, meski wajahku pasti sudah merah padam. Dia memiringkan kepala, rambut basahnya menempel di pipinya, membuatnya terlihat makin menggoda. “Aku suka ngeliatin kamu, Firman. Manusia itu… aneh tapi seru,” katanya, senyumnya bikin aku lupa cara bernapas.
Aku berusaha mempercepat mandi, menyabuni tubuh dengan gerakan kaku, tapi setiap gerakan membuatku makin sadar akan tatapannya. Payudaranya yang basah di bawah gaun transparan itu seperti magnet, bikin aku harus mengalihkan pandangan ke dinding berulang kali. Putingnya yang mancung terlihat jelas, dan aku merutuki diri sendiri karena pikiran mesumku tak bisa dikendalikan. Kontolku semakin tegang, dan aku berdoa dalam hati dia nggak menyadarinya—atau mungkin dia tahu tapi pura-pura polos? “Kamu nggak mandi, ya? Maksudku, hantu perlu mandi nggak?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian. Dia tertawa, suaranya seperti lonceng kecil. “Nggak, lah, aku kan cuma butuh kabut biar segar!”
--------------------------------------
Masih di kamar mandi, air shower mengalir dingin di punggungku, tapi wajahku panas seperti terbakar. Wewe Gombel duduk melayang di toilet duduk, tepat di depanku, gaun putihnya basah dan transparan, menonjolkan payudaranya yang seperti pepaya matang. Aku berusaha fokus menyabuni tubuh, tapi matanya yang polos namun tajam terus menatapku, membuatku semakin canggung. Tiba-tiba, aku sadar dia menatap ke bawah, ke arah kontolku yang—sialan—mengeras dan tegak ke atas tanpa bisa kukendalikan. Aku menahan napas, berharap dia nggak menyadari, tapi senyum kecil di bibirnya bilang sebaliknya.
“Firman, itu apa?” tanyanya, suaranya lugu tapi penuh rasa ingin tahu, matanya terpaku pada kontolku. Aku panik, hampir tersedak air. Dengan gelagapan, aku menutupi diri dengan tangan, tapi sia-sia—dia tetap bisa melihat. “I-ini… kontol,” kataku, suaraku serak, wajahku pasti sudah merah padam. “Fungsinya… ehm, buat kencing, sama… berhubungan badan dengan lawan jenis.” Dia memiringkan kepala, seperti anak kecil yang baru dengar kata baru. “Berhubungan badan? Maksudnya apa?” tanyanya lagi, membuatku semakin ingin tenggelam ke saluran air.
Aku menelan ludah, berusaha mencari kata-kata yang nggak bikin situasi makin aneh. “Kenapa… tiba-tiba mengeras gitu?” lanjutnya, matanya besar, seolah benar-benar nggak paham. Aku menghela napas, malu setengah mati, tapi entah kenapa kejujuran keluar begitu saja. “Soalnya… kamu cantik dan seksi banget,” kataku, suaraku hampir berbisik, tanganku masih berusaha menutupi kontolku yang keras membatu, tapi jelas masih kelihatan. Dia cekikikan, pipinya sedikit memerah—atau itu cuma ilusiku? “Jadi, bagi manusia aku terlihat cantik dan seksi?” tanyanya, senyumnya lebar dan genit, bikin jantungku nyaris copot.
Aku mengangguk pelan, “Iya, kamu… sangat cantik dan seksi,” kataku, berusaha menjaga kontak mata tapi gagal karena gaun basahnya yang menempel di tubuhnya terlalu menggoda. Dia tersenyum lebih lebar, lalu tiba-tiba menjorokkan kepalanya ke arah kontolku, seolah baru pertama kali melihat sesuatu yang aneh. Aku membeku, air shower terasa tak mampu mendinginkan tubuhku yang panas. Dia mengendus-endus, hidungnya kecil mendekat tanpa menyentuh, seperti sedang mempelajari benda asing. “Ini… aneh, ya, manusia punya beginian,” katanya, nadanya polos tapi bikin aku semakin panik.
Lalu, tanpa peringatan, dia melayang lebih dekat, dan tangannya—dingin seperti kabut—menyentuh bijiku dengan lembut. Aku tersentak, hampir menabrak dinding kamar mandi. “E-eh, apa yang kamu lakuin?!” seruku, tapi dia cuma cekikikan, jari-jarinya yang lentik menelusuri batang kontolku, dari bawah sampai ke ujung, seolah sedang mempelajari tekstur. “Lembut, tapi keras juga. Aneh banget!” katanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, seolah dia benar-benar nggak tahu efek sentuhannya. Aku berdiri kaku, antara malu, takut, dan… yah, terangsang, meski tahu ini salah besar.
“Manusia suka disentuh gini, ya?” tanyanya lagi, jari-jarinya masih menjelajah dengan gerakan polos, tapi setiap sentuhan bikin darahku berdesir. Aku nggak bisa jawab, cuma mengangguk pelan, berusaha menahan napas. Gaun basahnya makin menempel, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang semok, dan payudaranya yang bergoyang lembut setiap dia bergerak. “Kamu nggak marah, kan, aku pegang-pegang? Aku cuma penasaran,” katanya, suaranya tulus, tapi ada nada genit yang bikin aku nggak yakin dia sepenuhnya polos. Aku cuma geleng kepala, berdoa dalam hati agar situasi ini nggak makin gila.
Aku buru-buru mematikan shower, meraih handuk, dan membungkus tubuhku, berusaha mengakhiri kegilaan ini. “Udah, aku selesai mandi,” kataku cepat, suaraku gemetar. Dia melayang mundur, tersenyum lebar. “Firman, kamu lucu banget kalau panik“.
------------------------------------
Aku keluar dari kamar mandi, buru-buru memakai kaus oblong dan celana pendek, tapi Wewe Gombel masih melayang di dekatku, matanya yang polos tapi tajam terus menatap. Kontolku masih menegang, sulit dilupain setelah sentuhannya tadi, dan nafsu dalam diriku makin membara, bikin pikiranku kacau. Aku berdiri di tengah kamar, merasakan tatapannya yang seolah membaca setiap inci tubuhku. Gaun basahnya yang transparan, menonjolkan payudaranya seperti pepaya matang, bikin aku semakin sulit menahan diri. Dengan jantung berdegup kencang, aku menatapnya, berusaha mencari keberanian untuk bicara.
Dengan muka merah dan suara gemetar, aku membuka kaus dan celanaku lagi, sampai akhirnya telanjang sepenuhnya di depannya. “Ehm… boleh nggak, kamu… pegang-pegang kontolku lagi kayak tadi, tapi di kasur?” kataku, malu setengah mati, tanganku refleks menutupi diri meski tahu itu sia-sia. Dia tersenyum, campuran nakal dan polos yang bikin jantungku nyaris copot. “Iya, Firman, aku mainin kontol kamu lagi, ya,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang bikin aku nggak yakin dia sepenuhnya lugu. Dia melayang mendekat ke kasurku, duduk di ujungnya, kakinya tetap melayang di atas lantai, menatapku dengan ekspresi penasaran yang bikin darahku berdesir.
Aku melangkah ke kasur, tubuhku masih basah dari mandi, dan duduk di hadapannya, merasa campur aduk antara malu dan hasrat yang nggak bisa kutahan. Dia menjulurkan tangannya, dingin seperti kabut, dan mulai menyentuh kontolku lagi, jari-jarinya menelusuri dari biji ke ujung dengan gerakan lembut namun penuh rasa ingin tahu. “Manusia aneh, ya, ini bisa keras gini cuma karena aku pegang,” katanya, cekikikan, tapi matanya nggak lepas dari apa yang dia lakukan. Aku cuma bisa mengangguk, napasku tersengal, terjebak antara kenyataan bahwa ini hantu dan kenyataan bahwa sentuhannya bikin aku lupa segalanya. Kamar kecilku tiba-tiba terasa seperti dunia lain, penuh godaan yang nggak pernah kubayangkan.
730Please respect copyright.PENANAWSyO2aicFa
730Please respect copyright.PENANACa6MWVX0mX
730Please respect copyright.PENANApyVLWWMPPM
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.194da2