
Aku tak pernah benar-benar menolak undangan makan dari Irfan, anak buahku di kepolisian yang paling rajin. Ini bukan pertama kalinya dia mengundangku ke rumahnya. Biasanya setelah penutupan kasus besar, atau saat evaluasi triwulan yang tak membuat kepala kami meledak. Semacam perayaan kecil, katanya. Tapi aku tahu, di balik formalitas itu, selalu ada niat menyenangkan atasan. Dan aku tak keberatan.
Aku sudah tahu aroma rumah ini sebelum aku mengetuk pintu. Campuran wangi tumisan bawang putih, kapulaga… dan sesuatu yang tak tertulis di resep mana pun: kehangatan seorang istri yang terlalu sempurna untuk lelaki sekelas Irfan.
Pintu dibuka, dan di sanalah dia—Amelia Andini atau biasa dipanggil Amel. Jilbabnya jatuh manis di bahunya, membingkai wajah yang selalu memberikan senyum hangat pada suaminya. Matanya—bulat dan teduh—sejenak bertemu denganku, lalu cepat-cepat menghindar, seperti biasa. Tapi gerakan tubuhnya tak pernah bisa sepenuhnya menghindariku. Tidak dari tatapanku.
“Pak Bimo,” sapanya lembut, senyum kecil terbit di bibir mungilnya yang terlihat lembap—mungkin baru mencicipi kuah sup dari sendok. “Masuk aja, Pak. Maaf, masih sedikit berantakan…”
Aku melangkah masuk. Mataku tak bisa tidak, menyapu keseluruhan sosoknya. Kehamilan enam bulannya membuat tubuhnya berubah, ya… tapi bukan ke arah yang buruk. Pinggulnya melebar, payudaranya membesar, dan ada sesuatu dalam cara dasternya menggantung longgar tapi tipis di tubuh itu—membuat imajinasi bekerja lebih keras dari biasanya.
“Capek, Bu, masak sendiri?” tanyaku, sekadar basa-basi.
Dia terkekeh kecil. “Irfan bantu sih, tapi ya tahu sendiri… bantu bawain belanja aja udah kayak prestasi besar.”
Aku tersenyum, menoleh ke arah dapur. Ia kembali ke sana, punggungnya sedikit membungkuk saat merapikan piring. Daster itu naik sedikit, menampakkan lekuk betis putih bersih. Nafasku tertahan sepersekian detik. Dapur sempit, hawa panas, dan suara piring beradu pelan… entah kenapa, semuanya terasa terlalu intim.
“Irfan belum keluar?” tanyaku, menahan agar suaraku tetap normal.
“Lagi mandi, Pak. Bentar lagi selesai,” jawab Amel, tak menoleh. Tapi ada nada tertentu di suaranya. Seperti ia tahu aku memperhatikannya.
Aku duduk di sofa, dan dari posisi itu, aku bisa melihat pantulan tubuhnya samar-samar di kaca lemari makan. Hamil atau tidak, Amel selalu tahu caranya bergerak—lembut, tenang, dan entah mengapa, seperti sedang menari dalam doa. Tubuhnya bukan tubuh perempuan nakal. Tapi justru karena itu… hasratku padanya terasa lebih dalam. Lebih gelap.
Beberapa menit kemudian, Irfan muncul sambil mengeringkan rambut. Senyumnya lebar, seperti biasanya. Seperti lelaki yang belum pernah merasa curiga.
Dan aku, seperti biasanya juga, tersenyum balik… sambil menyimpan niat yang tak seharusnya.
Meja makan mereka sederhana, tapi jelas menunjukkan usaha lebih dari biasanya. Nasi hangat ditaruh dalam piring saji berpenutup, asapnya masih mengepul. Di sampingnya, ayam bakar madu dengan kulit yang golden brown bekas bakaran disusun rapi, disertai sambal matah dan acar timun wortel yang segar. Sup bakso sapi bening dengan irisan wortel, kentang, dan seledri mengisi mangkuk besar, aromanya menggoda dan mengimbangi rasa manis gurih ayam. Ada juga perkedel kentang bulat-bulat keemasan dan tumis buncis udang sebagai pelengkap warna.
Tapi yang membuatku lebih lapar dari semuanya bukanlah hidangan di meja, melainkan pemandangan di seberangnya—Amel duduk perlahan, hati-hati seperti takut gerakan tubuhnya mengganggu si kecil dalam kandungan.
“Ayo, Pak. Silakan dicoba, mudah-mudahan cocok,” kata Amel, menyodorkan sendok dan piringku.
“Wah, ini favorit saya,” kataku, tersenyum pada Amel. “Ayam bakarnya kamu yang masak sendiri?”
Dia mengangguk pelan. “Iya, Pak. Resep dari ibu saya.”
“Hebat. Nggak banyak ibu hamil yang masih kuat berdiri lama di dapur, loh.”
Pipi Amel memerah. “Yah… belum terlalu berat juga, sih. Baru masuk bulan keenam.”
Aku menatapnya dalam. Enam bulan, ya. Sudah setengah jalan. Perutnya sudah membulat sempurna. Terkadang bergerak halus. Seperti ada kehidupan yang ingin menyuarakan keberadaannya. Kehidupan yang… aku curigai, dan semakin hari, aku yakini, bukan milik Irfan.
“Ngomong-ngomong, Pak,” Irfan membuka suara. “Untuk kasus di Pelabuhan minggu lalu, saya udah cek lagi sama tim. Barang bukti udah dikunci di gudang barat.”
Aku mengangguk pelan. “Bagus. Tinggal finalisasi laporan aja,” jawabku, pura-pura sibuk dengan nasi. “Kamu tinggal dateng ke kantor besok siang, kita beresin bareng.”
“Mas cerita soal itu,” Amel ikut menyahut, sambil mengambilkan segelas air untukku. “Yang soal… apa itu, kontainer narkoba, ya?”
Aku mengangguk. “Iya. Kamu ngerti juga, ya?”
Amel tertawa kecil. “Dikit-dikit, sih. Kalau Mas Irfan lagi semangat cerita, suka keterusan sampai saya bingung sendiri.”
“Iya, kalau sama istri, dia jujur. Kalau sama atasan, baru mulai pilah-pilih.” Aku melempar tatapan ke Irfan sambil tersenyum. “Beruntung punya istri yang sabar.”
Amel menunduk, entah malu atau sekadar menghindari tatapanku. Tapi aku perhatikan jemarinya yang halus mengelus pelan perutnya. Gerakan naluriah seorang ibu, lembut dan penuh kasih.
“Kandungan sehat-sehat, Bu?” tanyaku, suaraku sedikit lebih rendah, lebih pelan.
“Alhamdulillah, Pak. Kadang suka kram aja malam-malam, tapi kata bidan itu wajar…”
“Kalau perlu rekomendasi dokter yang bagus, bilang aja. Teman istri saya ada yang praktek di RS daerah selatan, khusus ibu hamil dengan risiko tinggi,” kataku, menatapnya lebih lama dari seharusnya.
“Oh ya? Wah… terima kasih banyak, Pak…” Nada suaranya sedikit berubah.
Irfan, seperti biasa, terlalu sibuk mengunyah ayam gorengnya. “Pak Bimo ini memang perhatian banget ya, Mel.”
Aku hanya tersenyum, menahan banyak hal di lidahku. Kalau saja Irfan tahu… betapa perhatian itu sebenarnya tak layak.
Makan malam berjalan seperti biasanya. Percakapan ringan, sedikit tawa, sisa-sisa formalitas yang coba dicairkan dengan candaan keluarga kecil mereka. Tapi bagiku, meja itu seperti panggung sandiwara.
Dan saat aku berpamitan pulang, sempat kulirik sekali lagi perut Amel yang mengeras lembut di balik dasternya.
Enam bulan.
Tepat.
Tepat sejak malam itu. Malam yang hanya jadi rahasiaku.
Tak perlu tes DNA. Naluri ini terlalu kuat untuk dibantah.
Itu anakku.
BERSAMBUNG…
Cerita ini ada juga di akun Victie Miwtra (upload lebih cepat): lihat di bio ☝️
Untuk judul cerita yang lebih barbar, follow akun UC (Undercover) Miwtra yang cuma bisa diakses lewat link Victie: lihat di bio☝️
Gabung juga di channel Telegram untuk update cepat, teaser eksklusif, polling cerita, dan ruang untuk request alur langsung ke penulis! Link nya di bio ☝️
ns216.73.216.176da2