
Di bawah terik matahari yang membakar kulit, Jahida duduk sendiri di bangku kelas tiga SMA. Umurnya 17 tahun, sosoknya kecil dan mungil, dengan kulit putih cerah yang selalu terlindungi oleh hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Sikapnya yang pendiam berbeda dengan anak-anak siswa dari sekolah lain yang biasa dilihatnya. Jahida lahir dari keluarga yang mampu, bahkan bisa disebut kaya. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki berbagai bisnis, sehingga jarang pulang ke rumah. Ibunya, seorang ibu rumah tangga yang sepenuh hati mengurus keluarga. Untuk urusan antar-jemput sekolah, sang ibu telah menyiapkan seorang tukang ojek bernama Pak Khairul, yang tinggal tepat di sebelah rumah mereka. Pak Khairul, seorang pria paruh baya yang sudah melewati usia setengah abad, tak pernah sekalipun menikah dan bekerja sebagai tukang ojek sejak muda hingga tua. Ia telah bertetangga dengan keluarga Jahida sejak ayah dan ibu Jahida membangun rumah di kawasan tersebut. Saat Jahida keluar dari gerbang sekolah dengan langkah cepat dan tergesa-gesa, ia langsung menuju ke arah Pak Khairul yang sudah menunggunya.
"Ayo, Pak... panas sekali hari ini," kata Jahida dengan suara pelan namun penuh semangat.
"Aduh, Non Jahida! Kamu tiba-tiba muncul, membuat Bapak terkejut," sahut Pak Khairul sambil tersenyum dan mengusap jidatnya yang berkeringat, matanya masih redup seakan baru terlepas dari lamunannya.
"Ah, bapak ini... siang-siang malah melamun. Ayo, kita berangkat," sahut Jahida sambil meraih helm dan segera naik ke motor Pak Khairul.
"Baik, Non. Pegang erat ya, kita akan jalan cepat ini, hehehe..."
Sepanjang perjalanan, canda dan tawa mereka mengisi udara panas. Jahida, yang sudah menganggap Pak Khairul layaknya kakeknya sendiri, tak merasa risih ketika pria tua itu mengajaknya bercanda. Bahkan sesekali Jahida menggoda dengan menggelitik pinggang Pak Khairul, yang dibalas dengan tawa bersama. Namun, di balik candaan polos itu, Pak Khairul menyimpan pandangan berbeda—kepolosan Jahida kerap disalahpahami olehnya. Dalam tawa yang akrab, matanya sering terpaku di cermin spion motor, memperhatikan sosok gadis yang dulu kecil dan kini tumbuh menjadi wanita dewasa. Dulu ia hanya merasa gemas, kini nafsu itu membakar dirinya. Mimpi-mimpi tak terucap tentang memiliki gadis yang usianya jauh lebih muda dan berasal dari keluarga kaya ini terus menghantui pikirannya. Namun, ia sadar itu hanyalah angan-angan; ia tak pantas memiliki anak muda seperti Jahida, apalagi mengingat kebaikan luar biasa yang selalu diberikan kedua orang tua Jahida kepadanya, terutama dalam hal materi. Rutinitas harian mengantar-jemput Jahida memperparah kegelisahan dan nafsu di benak Pak Khairul. Bayangan tubuh mungil Jahida yang bergoyang di atas dirinya menghantui pikirannya. Ia juga membayangkan bagaimana rasanya jika Jahida menghabiskan waktu seharian di rumah reyotnya, tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Fantasi ini sering membuatnya melamun saat menjemput Jahida, dan tiap kali gadis itu muncul dari pintu gerbang sekolah, tiba-tiba khayalan itu tercampur dengan kenyataan, membangkitkan perasaan yang tak terkendali. Nafsu yang membara membuatnya gelisah sepanjang hari, hingga muncul ide gila untuk menculik Jahida, menikmati tubuhnya semaunya. Rencana itu telah matang dalam pikirannya; tinggal menunggu waktu untuk dijalankan. Hari yang telah lama ditunggu Pak Khairul akhirnya tiba. Dengan memanfaatkan kepolosan Jahida, ia yakin tak akan sulit membawanya ke rumahnya yang kumuh. Di sana, ia berencana menuntaskan nafsu brutal yang selama ini tertahan. Pikiran Pak Khairul terfokus hanya pada satu hal—tubuh Jahida. Matahari sudah tepat di atas kepala, pertanda siang hari yang terik. Hari ini Jahida pulang lebih awal karena akhir pekan. Pak Khairul tampak santai berdiri di depan sekolah, sambil bersiul kecil menunggu momen yang tepat. Tidak ada waktu untuk melamun; apa yang diidamkannya selama ini akan segera menjadi kenyataan. Dengan riang, Jahida keluar dari gerbang sekolah dan berjalan menuju ke arah Pak Khairul yang setia menunggunya. Tanpa sebersit curiga, Jahida langsung naik ke motor, seperti biasa. Namun sebelum melaju, Pak Khairul mulai memulai tipu muslihat agar Jahida percaya dan mengikuti rencananya.
"Oh iya, Non. Tadi Ibu bilang kamu jangan cepat pulang, katanya Ibu ada urusan mendadak dan nggak di rumah," ujar Pak Khairul dengan suara meyakinkan, tanpa sekelumit rasa bersalah.
"Benarkah, Pak? Kok Mama tidak menghubungiku?" tanya Jahida dengan raut wajah bingung.
"Yah, saya juga nggak tahu, Non. Yang penting Ibu sudah bilang begitu," jawab Pak Khairul tanpa ragu.
"Mama nggak menitipkan kunci, Pak?" lanjut Jahida penasaran.
"Nggak ada, Non. Ibu cuma bilang begitu," jawab Pak Khairul singkat.
"Kalau begitu, aku mau ke mana? Jahizah dan Jalilah sudah pulang semua, aku bisa mampir ke rumah mereka dulu," gumam Jahida ragu.
"Atau Non mau Bapak antar ke rumah temanmu itu?" tawar Pak Khairul.
"Tidak, Pak," jawab Jahida singkat.
Melihat Jahida tak menghubungi ibunya untuk memastikan, Pak Khairul segera menawarkan agar gadis itu menunggu ibunya di rumahnya saja, karena rumah mereka memang bersebelahan.
"Atau Non tunggu Ibu di rumah Bapak saja, kan sebelah rumahmu juga," ujar Pak Khairul dengan suara lembut.
"Oh iya, boleh juga, Pak. Kan dekat," balas Jahida tanpa sedikit pun rasa curiga.
Sebenarnya, ibunya Jahida tidak pergi ke mana-mana dan sedang menantikan kepulangan sang putri di dalam rumah. Namun kepercayaan Jahida kepada Pak Khairul terlalu besar hingga ia tak terpikir untuk menelepon ibunya. Motor melaju ke arah yang sama seperti biasa, tapi kali ini bukan ke rumahnya sendiri; melainkan ke rumah Pak Khairul. Sesampainya di sana, Jahida menatap rumah tua itu, merasa ragu apakah ibunya benar-benar pergi seperti yang diceritakan Pak Khairul. Pagar rumah yang tinggi menutupi pandangan Jahida, sehingga ia tak bisa memastikan keberadaan ibunya. Tanpa ia sadari, kepercayaan buta inilah yang akan menjadi awal malapetaka dalam hidupnya. Jahida berdiri di depan rumah reyot itu, raut wajahnya penuh keraguan untuk masuk ke dalam. Bukan karena takut pada Pak Khairul, tetapi karena kondisinya rumah yang benar-benar tak terurus dan berantakan membuatnya tak nyaman.
"Ayo masuk, Non," suara Pak Khairul memecah keheningan, memanggil Jahida dengan lembut.
"Oh iya, Pak," jawab Jahida sambil melepaskan sepatunya di depan pintu rumah.
"Tidakpas sepatu, Non. Lantainya memang kotor, jadi lebih baik kamu bawa sepatu itu ke dalam," kata Pak Khairul beralasan.
"Serius, Pak? Tidak apa-apa?" tanya Jahida ragu.
"Tentu saja tidak. Kalau kamu lepas sepatu, nanti kakimu juga akan kotor karena lantainya memang berdebu," jawab Pak Khairul dengan yakin.
"Baiklah, kalau begitu, Pak," ucap Jahida sambil berjalan menuju sofa usang di ruang tamu.
"Bapak buatkan minum dulu, Non. Mungkin kamu haus," kata Pak Khairul sambil melangkah ke dalam rumah.
Cuaca terik membuat dahaga Jahida semakin menjadi. Saat Pak Khairul kembali membawa segelas minuman, Jahida tanpa ragu menenggak habis-habisan, merasakan dinginnya meresap ke tenggorokannya.
"Kamu kayaknya sangat haus, ya, Non? Hehehe..." kata Pak Khairul dengan nada yang menyembunyikan sesuatu.
"Iya, Pak. Di luar panas sekali," balas Jahida dengan senyum manis yang belum pernah disadari oleh Pak Khairul betapa berbahayanya perasaan di dalam dirinya.
"Memang Mama pergi sejak pagi, ya, Pak?" tanya Jahida, penasaran.
"Iya, Non. Sejak pagi tadi. Waktu Bapak antar kamu ke sekolah tadi pagi, Mama sudah pergi," jawab Pak Khairul dengan nada keyakinan.
"Jahida di sini nggak mengganggu Bapak, kan?" tanya Jahida pelan.
"Tidak, Non. Kalau harus narik ojek di luar siang ini, panasnya luar biasa. Mending istirahat dulu di sini," jawab Pak Khairul santai.
"Iya juga, Pak... haaaaah," tiba-tiba Jahida menguap, matanya terasa berat.
"Eh, Non ngantuk ya? Bapak ambilkan bantal biar kamu bisa rebahan di sofa," tawar Pak Khairul sambil tersenyum licik.
Jahida merasa aneh dengan rasa kantuk yang datang tiba-tiba, ia menolak tawaran Pak Khairul dengan ragu.
"Tidak usah, Pak. Jahida tunggu Mama saja, dia pasti segera pulang," jawab Jahida.
"Oh begitu. Ya sudah, Bapak ke belakang dulu sebentar, Non," ujar Pak Khairul sambil melangkah masuk ke ruang belakang.
"Iya, Pak... haaaah," balas Jahida sambil menahan kantuk yang makin menguasai.
Pak Khairul melangkah masuk ke dalam rumah, menyadari bahwa Jahida sudah sangat mengantuk. Obat yang ia campurkan ke dalam minuman bekerja dengan cepat. Senyum licik terukir di bibirnya saat ia menunggu gadis itu tertidur pulas. Lama ia tinggalkan Jahida sendiri di ruang tamu, hingga sunyi benar-benar melingkupi rumah reyot itu. Saat kembali dan melihat Jahida terbaring lemah dalam tidur yang nyenyak, Pak Khairul segera menggendong tubuhnya menuju kamar. Dengan tangan gemetar dipenuhi nafsu yang membara, ia melucuti satu per satu pakaian Jahida yang masih polos tanpa perlawanan. Ia mulai mengambil foto-foto Jahida yang terbaring bugil di atas kasur lusuh, bergaya sesuka hati demi memuaskan syahwatnya. Namun saat melihat keperawanan Jahida yang rapat, Pak Khairul mengubah rencananya. Ia ingin gadis itu menyerahkan diri dengan sadar, bukan dipaksa dalam kondisi tertidur. Untuk sementara waktu, Pak Khairul hanya mengambil beberapa foto lagi. Jika sebelumnya hanya Jahida yang bugil, kini ia mengeluarkan alat vitalnya yang panjang dan berurat, mengambil gambar dengan penisnya di antar bibir wanita muda itu, bahkan mencium bibir ranum Jahida. Ia terus melanjutkan aktivitas bejatnya dengan mengocok alat kelaminnya sembari mulutnya bermain di kedua buah dada Jahida. Ia meninggalkan bekas cakaran dan cupang di sisi kiri dada gadis itu sebagai tanda kepemilikannya yang menjijikkan.
"Arrrrggghhh... hati-hati ya... besok Bapak akan hancurkan kamu, Non," gumam Pak Khairul sambil menyemprotkan mani di atas tubuh bugil Jahida yang masih terlelap.
Setelah selesai dengan tindakan biadabnya, Pak Khairul dengan cepat mengenakan kembali seragam sekolah Jahida. Dengan buru-buru ia membawa tubuh gadis itu ke depan rumah, memastikan sekeliling sepi. Baru kemudian ia membopong Jahida yang tak berdaya menuju rumahnya yang bersebelahan.
"Permisi, Bu?" teriak Pak Khairul dari luar rumah.
"Oh iya, Pak. Tumben Jahida pulang terlambat," jawab ibu Jahida dari dalam rumah.
"Iya, Bu. Katanya tadi ada pelajaran tambahan, dan sepertinya Jahida kecapekan sampai tertidur," jawab Pak Khairul.
"Astaga... jadi merepotkan Pak Khairul nih anak," ucap ibu Jahida penuh kekhawatiran.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya bawa langsung ke dalam atau bagaimana?" tanya Pak Khairul.
"Oh ya, Pak, langsung bawa ke kamar Jahida saja," jawab ibu Jahida.
Pak Khairul melangkah masuk rumah, diikuti oleh ibu Jahida menuju kamar sang anak. Setelah menidurkan Jahida, Pak Khairul pamit untuk pulang.
Bersambung…
Dibawah panas nya terik matahari. Saat ini Jahida sedang duduk dibangku kelas 3 sma atau lebih tepat nya usia 17 tahun, dengan tubuh yang mungil, kulit yang putih karna selalu tertutup oleh hijab nya, panampilan nya yang cukup pendiam dari siswa - siswa sekolah lain nya, Jahida juga terlahir dari keluarga yang berada, bahkan bisa di bilang kaya, ayah nya seorang pengusaha yang memiliki banyak usaha, sehingga ayah nya jarang sekali ada di rumah, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Untuk keperluan antar jemput Jahida sekolah ternyata sang ibu sudah menyiapkan tukang ojek yang tinggal nya tepat di sebelah rumah Jahida, pak Khairul yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu adalah tukang ojek yang mengantar dan menjemput Jahida setiap hari, pak Khairul ini adalah seorang bujang tua, yang dari muda sampai tua hanya berkerja sebagai tukang ojek, sudah bertetangga dengan keluarga Jahida pun dari awal ayah dan ibu Jahida membangun rumah di daerah sini, Jahida yang baru saja keluar dari gerbang sekolah nya langsung berlari tergopoh - gopoh ke arah pak Khairul.
“Yuk pak… panas banget hari ini”, ujar Jahida.
“Eh non Jahida?! ngagetin bapak aja”, ujar pak Khairul yang sedang melamun.
“Bapak sih… siang - siang gini malah melamun, yaudah hayuk pak”, Jahida langsung meraih helm dan langsung naik ke motor pak Khairul.
“Oke non, pegangan yah… kita ngebut ini, hehehe…”
Sepanjang perjalanan pak Khairul dan Jahida bersenda gurau, Jahida yang sudah menganggap pak Khairul sebagai kakek nya tidak risih kala pak Khairul mengajak nya bercanda, sesekali Jahida menggelitik kan pinggang pak Khairul yang di susul dengan kedua nya saling tertawa. Namun hal yang di lakukan Jahida ternyata mendapat tanggapan lain dari pak Khairul, kepolosan Jahida di salah artikan oleh pak Khairul, di dalam senda tawa tak jarang pak Khairul memandang Jahida dari kaca spion motor nya, gadis yang sedari kecil setiap hari di antar nya sekolah kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa, yang dulu membuat pak Khairul gemes, sekarang malah membuat pak Khairul sange, hehehe... Namun semua itu hanya lah mimpi bagi pak Khairul, bagaimana bisa dia mendapatkan seorang gadis yang usia nya jauh di atas nya bahkan juga berasal dari keluarga yang kaya, juga teringat oleh pak Khairul tentang kebaikan kedua orang tua Jahida yang kerap menolong diri nya, terutama dalam segi materi.
Setiap hari mengantar jemput Jahida tentu saja membuat fikiran dan nafsu pak Khairul semakin tak terbendung, terbayang oleh nya tubuh mungil Jahida sedang berayun di atas dirinya, juga pernah terbayang oleh nya bagaimana kalau seharian dia bersama Jahida di rumah gubuk nya itu, tentu dia akan meminta Jahida untuk tidak mengenakan apapun sepanjang hari, hehehe… Fikiran itu la yang kerap membuat pak Khairul kerap melamun saat menjemput Jahida sekolah, dan selalu saja di kaget kan oleh Jahida yang baru keluar dari dalam sekolah, fikiran yang baru saja membayangkan Jahida, malah di samperin oleh Jahida untuk mewujudkan khayalan nya itu, hehehe… Sampai pak Khairul yang merasa gelisah sepanjang hari akan nafsu nya kepada Jahida, sehingga terbesit di dalam fikiran pak Khairul untuk menculik Jahida dan menikmati tubuh nya sepuas - puas nya, dan rencana itu itu sudah sangat matang, sisa nya hanya menjalan kan nya saja.
Hari ini adalah hari dimana pak Khairul akan melaksanakan rencana nya, dengan bermodalkan kepolosan Jahida, pak Khairul rasa tak akan sulit untuk membawa sang gadis ke rumah nya, dan di saat itu la pak Khairul akan menuntaskan nafsu binatang nya, urusan yang lain pun tak di fikirkan pak Khairul, yang ada di kepala nya saat ini tak lain dan tak bukan hanya la tubuh Jahida. Matahari sudah berada di atas kepala, hari ini Jahida memang pulang sekolah cepat karna di ujung minggu, pak Khairul yang tampak santai di depan sebuah sekolah sambil bersiul, tidak ada waktu buat bermenung karna apa yang diinginkan nya selama ini akan segera dia dapatkan. Tampak Jahida dengan riang keluar dari gerbang dan langsung menuju ke arah pak Khairul biasa menunggu nya, dan tanpa curiga sedikitpun Jahida yang memang keseharian nya di jemput oleh pak Khairul pun langsung naik ke motor untuk segera menuju rumah nya. Sebelum melajukan motor nya pak Khairul pun akan mulai meluncurkan alasan agar Jahida bisa terhasut dan percaya pada nya.
“Oh iyah non, tadi ibu pesan katanya non balik nya agak sorean aja, karna ibuk lagi ga di rumah, ada urusan mendadak katanya”, ujar pak Khairul berbohong.
“Masa sih pak?! kok mama ga nelpon aku yah?” jawab Jahida sedikit kebingungan.
“Yah bapak sih… ga tau non, soal nya ibuk pesan kayak gitu”, ujar pak Khairul lagi dengan yakin.
“Emang mamah ga titipin kunci gitu pak?” Tanya Jahida lagi.
“Ga ada non, ibuk pesan gitu aja.” Ujar pak Khairul.
“Jadi aku kemana dong? mana Jahizah sama Jalilah udah pulang, kalo ga bisa aku mampir ke rumah mereka dulu.” lirih Jahida.
“Atau non mau bapak antar ke rumah teman non itu?” Tanya pak Khairul.
“Ga deh pak”, ujar Jahida.
Mendapat Jahida yang tidak menelpon ibunya untuk sekedar meyakin kan, disini la pak Khairul menawarkan diri untuk Jahida sementara menunggu ibu nya di rumah nya saja, karna memang rumah mereka bersebelahan.
“Atau non tunggu ibuk di rumah bapak aja, kan sebelah rumah non juga”, kata pak Khairul.
“Oh iyah boleh juga pak, kan dekat yah”, Jahida tanpa menaruh curiga.
Padahal ibu Jahida tidak kemana - mana dan senantiasa menanti kepulangan Jahida, namun kepercayaan Jahida terhadap pak Khairul sangat kuat sehingga tak ada niatan Jahida untuk menelpon ibu nya, dan melaju la motor itu menuju jalan yang sama ke arah pulang, namun kali ini pulang ke rumah pak Khairul. Setiba nya di rumah pak Khairul tentu saja Jahida memperhatikan rumah nya, apa benar mamah nya pergi dan meminta nya untuk pulang sedikit lebih sore, tapi karna memang rumah yang berpagar tinggi itu, Jahida jadi tidak dapat tahu kalau mamah nya ada di dalam rumah atau tidak pergi kemana - mana seperti yang dikatakan pak Khairul. Tanpa Jahida sadari rasa percaya nya kepada pak Khairul adalah akhir dari kebahagian dalam hidup nya, dimulai dengan Jahida yang berdiri di depan rumah gubuk pak Khairul, keraguan tampak dari raut wajah nya untuk masuk ke dalam rumah pak Khairul, namun bukan karna takut dengan pak Khairul, melainkan rumah pak Khairul ini benar - benar tak terurus dan sungguh berantakan.
“Ayok masuk non”, suara pak Khairul memecahkan keheningan Jahida.
“Oh iyah pak”, Jahida membuka sepatu nya di depan pintu.
“Masuk aja non pakai sepatu nya, lantai nya kotor”, ujar pak Khairul agar Jahida membawa kedalam sepatu nya.
“Seriusan gapapa pak?” Tanya Jahida.
“Gapapa dong, kan lantai nya emang kotor, nanti kaki non ikut kotor.” Ujar pak Khairul.
“Okedeh kalau gitu pak”, Jahida segera menuju sofa usang yang ada di ruang depan rumah pak Khairul.
“Bapak buatin minum dulu yah non, kali aja non haus”, kata pak Khairul sambil berjalan ke dalam.
Cuaca yang panas memang membuat Jahida haus, kebetulan pak Khairul berinisiatif memberi nya minuman, dan ketika pak Khairul kembali dengan segelas minuman, Jahida langsung saja meminum nya sampai habis.
“Haus banget kayak nya non, hehehe…” ujar pak Khairul.
“Iyah pak, kan di luar itu panas banget.” jawab Jahida dengan senyum manis nya.
“Emang mamah pergi dari pagi yah pak?” Tanya Jahida lagi.
“Iyah non dari pagi sih… pas bawa pulang dari ngantar non tadi pagi”, jawab pak Khairul dengan yakin.
“Ini Jahida di sini beneran ga ganggu bapak?” Tanya Jahida.
“Gak kok non, mau narik lagi juga di luar terik banget, mending istirahat aja dulu.” Ujar pak Khairul.
“Iyaah juga si pak… haaaaaahhh…” tiba - tiba Jahida menguap.
“Eh si non ngantuk yah? mau bapak ambilin bantal biar sambil rebahan di sofa?” tawar pak Khairul.
Jahida yang kebingungan kenapa tiba - tiba mata nya berat menolak tawaran pak Khairul.
“Jangan deh pak, Jahida nunggu mamah aja, paling bentar lagi juga pulang.” Ujar pak Khairul.
“Oh gitu, yaudah deh non, bapak ke belakang dulu yah non bentar.” kata pak Khairul lagi.
“Iyaa pak, haaaaahhh...” ujar Jahida sembari kembali menguap.
Pak Khairul yang berjalan ke dalam rumah nya menyadari Jahida sudah sangat ngantuk, yang berarti obat yang tadi di campurkan ke minuman Jahida berkerja dengan cepat, pak Khairul pun berlalu dengan senyum simpul di sudut bibir nya sambil menunggu Jahida terlelap, barulah rencana pak Khairul bisa di lanjutkan. Cukup lama pak Khairul meninggalkan Jahida sendirian di depan sampai keadaan menjadi sunyi, dan kembali nya pak Khairul ke depan terlihat Jahida yang sudah terbaring lemah tertidur, tak menunggu waktu lama, pak Khairul segera mengangkat tubuh Jahida ke kamar nya, dan langsung melucuti semua pakaian Jahida. Pak Khairul juga mengambil foto Jahida yang sedang tertidur bugil di atas Kasur dekil nya, dengan beragam gaya yang di ubah - ubah oleh pak Khairul, namun pak Khairul merubah strategi nya yang awal nya ingin segera menuntas kan nafsu binatang nya, hal itu karna ketika pak Khairul melihat meki Jahida yang masih sangat rapat, dan tentu saja masih perawan.
Pak Khairul ingin Jahida dengan sadar menyerahkan diri kepada nya, untuk saat ini pak Khairul hanya mengambil beberapa foto lagi, yang foto - foto pertama tadi hanya Jahida yang bugil, kali ini pak Khairul mengeluar kan benda pusaka nya yang panjang dan berurat itu, kemudian berfoto dengan kontol nya di sela - sela bibir Jahida dan foto dia mencium bibir ranum Jahida. Aktifitas itu di lanjutkan dengan pak Khairul mengocok kontol nya sambil mulut nya bermain di kedua gunung kembar Jahida, pak Khairul juga meninggalkan bekas cupang di sisi kiri buah dada Jahida.
“Arrrrrggghhhh… awas lu yah… besok gua obrak abrik meki lu non, crooottt… crooottt...” pak Khairul menyemprot kan mani nya di atas meki Jahida yang masih terlelap.
Setelah nya baru la pak Khairul kembali memakaikan seragam sekolah Jahida, dan buru - buru pak Khairul membawa Jahida kedepan dan setelah melihat kanan kiri sepi barulah pak Khairul membopong tubuh Jahida ke rumahnya yang bersebelahan.
“Permisi buk?” teriak pak Khairul dari luar.
“Oh iyah pak, tumben telat si Jahida pulang pak”, jawab mamah Jahida dari dalam.
“Iyah buk, katanya tadi ada pelajaran tambahan, ini juga kayak nya non Jahida kecapekan sampai ketiduran.” jawab pak Khairul.
“Astagggaa… jadi ngerepotin pak Khairul aja ni anak”, ucap mamah Jahida.
“Gapapa buk, ini saya langsung bawa ke dalam atau gimana buk?” Tanya pak Khairul.
“Oh iya pak, langsung bawa ke dalam kamar nya aja yah pak”, ucap mamah Jahida.
Pak Khairul pun berjalan masuk ke dalam rumah di ikutin oleh ibu Jahida menuju kamar sang anak, pak Khairul pun permisi untuk pulang setelahnya.
Bersambung…
ns3.149.239.180da2