
Hai, aku Amin — begitu teman dan keluargaku memanggilku. Aku datang dari latar belakang yang tidak terlalu kaya, tapi juga jauh dari kata miskin. Hidupku sederhana; aku bukan tipe yang bisa membeli barang-barang mewah, tapi juga tak pernah khawatir soal makan esok hari. Ketika cerita ini bermula, usiaku masih 18 tahun (sekarang, aku sudah 25). Semua ini terjadi pada tahun 2017. Tubuhku tinggi sekitar 170 cm, beratku 60 kg. Teman-teman dan beberapa cewek bilang aku punya wajah yang cukup menarik dan kulit yang lebih cerah dari rata-rata. Aku tinggal di sebuah kota yang berdampingan dengan Jakarta, tapi bukan bagian dari Jawa Barat. Dan sekarang, kisah ini akan mulai – jadi siapkan dirimu!
— 10 Februari 2017 —
“Bangun! Sudah siang, Amin!” Suara ibuku tiba-tiba menggelegar di kamarku, membuatku terkejut dan terbangun dengan cepat. Ibuku memang manusia paling galak di bumi ini. “Jam berapa ini, sih? Kamu kan udah mau lulus, masa makin males aja?” Ia menambahkan dengan nada setengah marah.
“Iya, iya Bu, masih pagi kok. Ngomel aja udah,” jawabku sambil menguap lebar, mencoba sedikit membela diri.
Langsung saja aku melompat ke kamar mandi. Melirik jam dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul 6.20 pagi. Dengan perjalanan ke sekolah yang butuh sekitar 30 menit, waktu yang tersisa jelas kurang dari yang aku perlukan. Aku hanya punya sekitar 10 menit untuk bersiap dan berangkat tanpa telat.
“Bu, aku berangkat dulu, Assalamualaikum.” Kusapa ibuku sambil menghidupkan motor Beat-ku. Namun baru sampai di gerbang rumah, terdengar suara memanggil dari belakang.
“Min, Min!” seru seorang wanita. Aku langsung mengenali suaranya dan berbalik menghampiri dia.
“Boleh nebeng nggak, Min? Gue kesiangan, kalo naik angkot pasti telat. Please deh,” pintanya sambil menatapku dengan mata memelas.
“Yaudah, naik aja Naf. Gue juga buru-buru, dan arah kita sama kok,” jawabku santai sambil mengiyakan.
Nafisah adalah tetangga rumahku, seorang gadis berusia 18 tahun yang juga bersekolah di SMA Favorit di kota kami (sekolah yang berada tepat di depan kantor polisi kota). Tubuhnya ramping, tinggi sekitar 165 cm, berat seimbang di 55 kg, dan aku kira ukuran bra-nya sekitar 32B. Meski payudaranya kecil, padatnya itu yang sering membuat teman kami, Joni, melotot tanpa bisa berkedip. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, dengan alis tebal alami yang tidak perlu digambar. Dia persis tipe wanita yang aku idamkan — cantik dan menawan. Sejak kelas 2 SMA, aku diam-diam menyukainya, tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku, apalagi pengalaman cintaku saat itu benar-benar nol besar.
“Naf, gue gas pol ya, biar nggak telat.”
“Iya, Min. Ngebut aja, gapapa,” jawabnya santai.
Kurasakan gas motor sangar itu melaju kencang, hampir tak melihat polisi tidur yang terpasang seadanya di jalanan. Tiba-tiba helmku kena pukul. Nafisah menepuk punggungku sambil berkelakar, “Eh, jangan dibentur-bentur terus dong polisi tidurnya!” “Maaf, Naf, tadi nggak keliatan,” jawabku sambil tersenyum canggung. Sambil mendengarkan suaranya, pikiranku melayang ke punggung yang baru saja disentuh oleh tangannya yang lembut, tepat di area dada yang bisa kupastikan adalah payudaranya Nafisah. Aku membayangkan, bagaimana rasanya jika aku yang memegangnya, bukan punggungku yang disentuh. Perjalanan berlanjut dan kami pun sampai di depan sekolahnya. Nafisah mengucapkan terima kasih atas tumpangannya, lalu aku melanjutkan perjalanan sekitar lima menit menuju sekolahku sendiri. Rasanya aku bersyukur bisa bersekolah di SMA Favorit di kota kelahiranku ini — kalau kamu tahu, lokasinya tepat di samping stadion (tapi jangan bilang siapa-siapa ya, hehehe). Kenapa aku senang? Karena menurutku, cewek-cewek di sini jauh lebih keren dan menarik dibanding sekolah lain di kotaku. Saat ini aku sudah kelas 3, sedang menghadapi ujian nasional. Aku bukan tipikal anak pintar, juga bukan pemalas, hanya biasa-biasa saja, berada di tengah-tengah antara keduanya. Tak lama kemudian, aku sampai di kelas dan segera duduk. Pelajaran mulai terasa sangat membosankan bagiku; aku hanya pura-pura mendengarkan guru mengajar. Tapi mataku terus menangkap sosok yang selalu melirik ke arahku. Ketika aku menengok ke kanan, pandangan kami bertemu. Dia adalah Abidah. Aku membalas senyumnya lalu cepat-cepat menunduk. Teman-temanku sering bergurau bahwa Abidah menyukaiku, tapi aku tak pernah serius menanggapinya, menganggap itu hanya candaan semata. Kadang dia juga suka mengirim pesan di chat, dan aku hanya membalas seadanya. Namun, setelah bertatap mata dengannya tadi, ada perasaan aneh yang membuatku mulai mempertimbangkan soal pacaran. Selama ini aku belum pernah punya pacar. Abidah sendiri menurutku wajahnya biasa saja, tapi masih enak untuk dilihat. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm, dengan bentuk yang standar untuk gadis seusianya, bukan 'body goals' seperti yang sering dibicarakan orang.
“Kriiiinnggg...” Bel sekolah berbunyi, tanda jam istirahat telah tiba. Aku segera bersiap untuk keluar dan nongkrong di kantin bersama teman-teman. Namun, sebelum aku melangkah, Abidah sudah berdiri di samping meja dan menghampiriku.
“Min, nanti habis sekolah kita kerja kelompok di rumah aku ya. Daniya dan Nazhrul sudah setuju, kamu gimana? Bisa ikut?” tanyanya.
“Oh iya, aku lupa, tadi Pak Mahendra memang kasih tugas kelompok. Oke deh, aku bisa ikut,” jawabku.
“Min, nanti kita berangkat bareng ke rumahku, boleh kan? Soalnya aku gak bawa motor. Terus kamu juga tahu kan, Daniya sama Nazhrul pacaran, jadi mereka pasti bareng ke rumahku. Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, aku naik ojol aja,” tambahnya.
“Santai aja dah, lo ikut bareng gue nanti. Sekarang gue mau ke kantin dulu, nanti ingetin gue sebelum pulang ya, takutnya gue malah keasyikan nongkrong sama yang lain,” jawabku santai.
“Oke, makasih ya Min,” balasnya sambil tersenyum.
Setelah menuju kantin dan menyelesaikan pelajaran berikutnya, hari berjalan biasa saja sampai bel pulang berbunyi. Aku segera mendekati Abidah.
“Ayo, kita berangkat sekarang biar gak keburu malam pulangnya. Kan nanti juga mau nongkrong selepas kerja kelompok,” ajakku.
“Iya, tunggu bentar ya, aku bilang Daniya dulu supaya langsung ke rumah kita aja,” jawabnya.
Kami pun berangkat bersama. Sesampainya di depan rumahnya, dia langsung masuk dan mempersilakan aku ikut masuk. Aku sangat terkejut melihat betapa megah dan besar rumah Abidah. Tak hanya itu, aku tahu dari beberapa bisik-bisik teman bahwa orangtuanya adalah pejabat penting di pemerintahan dan memiliki posisi tinggi. Di halaman, terpajang motor Harley yang jelas bukan barang murah. Setelah puas mengamati rumahnya, aku mengikuti Abidah ke dalam. Dia segera menyuguhkan minuman dan cemilan untuk menemani kami berempat saat mengerjakan tugas kelompok nanti. Kami lalu menyiapkan buku dan peralatan, sambil menunggu Daniya dan Nazhrul datang. Di tengah menunggu, Abidah tiba-tiba memecah keheningan dengan suara pelan ke arahku.
“Min, ada sesuatu yang mau aku bilang. Sebenarnya aku malu banget, tapi rasanya sekarang waktunya tepat, jadi aku putuskan untuk jujur ke kamu,” ujar Abidah gugup.
“Hah? Tanya aja, ngapain malu? Yang malu itu kuli, bukan kita, hehe,” jawabku dengan guyonan receh yang kuharap meringankan suasana.
“Masa sih? Kayaknya serius banget pertanyaannya,” lanjutku penasaran.
“Ih, serius dong, Min! Jangan becanda terus,” katanya sambil memukul lenganku dengan buku tulis.
“Yah, apa sih? Cepat bilang,” desakku.
“Sebenarnya kamu sadar nggak sih, aku selalu memperhatikan kamu? Aku merasa ada rasa lebih buat kamu, Min. Tapi aku nggak pernah berani bilang sampai akhirnya aku nggak tahan lagi dan memutuskan ngomong langsung,” ucap Abidah pelan sambil menatapku. Keheningan pun menyelimuti kami.
“Min, kamu mau jadi pacarku nggak?” tanyanya setengah berbisik.
Kaget dengan pengakuannya, aku terdiam sejenak. Rasanya aneh, karena selama ini aku tidak pernah membayangkan seorang perempuan yang berani menyampaikan perasaan duluan. Namun aku berusaha agar terlihat tenang dan berpikir bahwa ini kesempatan untuk pertama kalinya mencoba menjalin hubungan. Suara Abidah yang lembut memecah keheningan itu.
“Min...? Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, kok. Aku sadar aku nggak secantik cewek-cewek di sekolah, tapi aku udah berani bilang ini, jadi nggak ada perasaan yang mengganjal lagi di hati aku,” ucap Abidah sambil memasang wajah sedih.
“Dah, jujur gue kaget banget denger kamu bilang gitu. Gue bingung harus jawab apa karena gue belum pernah pacaran sebelumnya, dan nggak ngerti gimana caranya. Takutnya malah bikin kamu kecewa. Sebenarnya, gue juga ada sedikit rasa suka sama kamu, tapi itu masih sebatas suka, bukan sayang. Kalo kamu mau, kita coba pacaran dulu, siapa tahu rasa sayang itu tumbuh seiring waktu. Gimana?” jawabku hati-hati.
“Gapapa, Min. Setidaknya kamu mau kasih aku kesempatan. Semoga aku juga bisa membuat kamu sayang sama aku,” balas Abidah penuh harap.
“Oh iya, Dah, satu hal lagi. Jangan pernah bilang kamu nggak cantik. Cantik itu relatif. Lo harus percaya diri sama dirimu sendiri. Menurut gue, lo cantik kok,” kataku sedikit berbohong supaya Abidah merasa percaya diri.
“Hehehe… Makasih ya Min, aku senang banget. Jadi kita resmi pacaran mulai sekarang, ya?” tanya Abidah dengan pipi memerah.
“Iya, sayang,” jawabku sambil mencium pipinya lembut. “Mwah.”
Abidah terkejut, wajahnya makin merah, entah malu atau apa. Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa spontan mencium pipinya. Mungkin hanya naluri laki-laki saja.
“Ekhm, ekhm.” Suara itu membuat kami berdua kaget dan spontan menoleh ke arah pintu. Ternyata Nazhrul dan Daniya sudah berdiri di situ, mengintip dan mendengarkan pembicaraan kami dari balik pintu. Kami berdua langsung merasa malu dan canggung.
“Ciee... diam-diam udah jadian nih! Langsung cium pipinya lagi tuh!” ejek Nazhrul sambil terkekeh.
“Aku juga mau dong, beb, dicium kayak Abidah,” celetuk Daniya menirukan dengan ekspresi nakal.
“Eh, dasar lu berdua! Dari tadi dateng bukannya nyapa, malah nguping!” hardikku.
“Ya itu, pager gue udah kebuka, masa sih nggak kedengeran? Pas gue mau masuk, kalian lagi ngomongin perasaan, jadi gue nggak mau ganggu. Tapi ya, pajak jadian duluan nih, hahaha,” balas Nazhrul sambil tertawa.
“Bacot!” aku balas singkat untuk mengakhiri obrolan itu.
Abidah hanya diam tersenyum sambil mendengar ledekan dari Nazhrul dan Daniya. Kami pun melanjutkan pengerjaan tugas kelompok, sambil diselingi canda tawa yang kebanyakan mengarah ke kami yang baru saja pacaran. Setelah semua selesai dan kami berkemas untuk pulang, tiba-tiba Abidah mengajakku double date dengan Nazhrul dan Daniya pada Jumat nanti, sepulang sekolah. Aku setuju asalkan acaranya nonton bioskop dan makan yang sederhana saja, karena keuanganku sedang tidak stabil. Dalam perjalanan pulang, aku merenungkan semua yang terjadi hari itu: Abidah yang tiba-tiba menyatakan perasaan, ledekan Nazhrul dan Daniya yang menguping, aku yang batal nongkrong karena sudah sore, dan yang aneh, yang paling mengendap di pikiranku bukan kejadian setelah sekolah, tapi justru sesuatu yang terjadi di pagi hari... sentuhan payudara Nafisah.
Bersambung…
ns18.191.255.7da2