
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-------------------------------
602Please respect copyright.PENANAjhwDoklf57
602Please respect copyright.PENANAEPCzK1q3fS
602Please respect copyright.PENANAObv1b6rUMi
Di kasur sempit kamarku, Wewe Gombel melayang di depanku, tangannya yang dingin seperti kabut mulai memegang kontolku dengan gerakan hati-hati. Jari-jarinya yang lentik mengocok pelan, dan rasanya aneh—campuran dingin gaib dan kenikmatan yang bikin kepalaku pusing. Aku belum pernah disentuh wanita sebelumnya, apalagi punya pacar, jadi ini pengalaman pertama kontolku disentuh, dan ironisnya, oleh hantu. Tapi dia bukan sembarang hantu—wajahnya yang cantik seperti wanita tiga puluhan, dengan bibir merah dan mata besar yang polos, ditambah gaun basah yang menempel ketat di payudaranya yang seperti pepaya matang, bikin aku lupa dia makhluk halus. Aku mendesah pelan, tubuhku menegang, berusaha menikmati sensasi yang asing tapi luar biasa nikmat.
“Firman, ini beneran enak buat kamu?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu, tangannya masih mengocok dengan gerakan yang agak seret, bikin sedikit tersendat. Aku menelan ludah, wajahku panas. “I-iya, enak, tapi… agak kering,” kataku, malu setengah mati. Aku menunjuk ke botol lotion wangi lavender di samping kasur, yang biasa kugunakan untuk… yah, keperluan pribadi. “Coba pake itu, biar lebih licin,” tambahku, suaraku serak. Dia cekikikan, mengambil botol itu dengan gerakan anggun, lalu menuang lotion ke tangannya. “Wah, ini wangi banget! Manusia suka yang begini, ya?” katanya, matanya berbinar, seolah sedang mempelajari mainan baru.
Dia mulai mengocok lagi, kali ini dengan lotion yang membuat gerakannya lebih halus dan licin. Aroma lavender memenuhi kamar, bercampur dengan aroma melati gaib dari tubuhnya. Kocokannya kini terasa jauh lebih nikmat, setiap gesekan bikin aku mendesah lebih keras, tubuhku bergetar tak terkendali. Aku memandangnya, gaun basahnya yang transparan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang semok, dan payudaranya yang bergoyang lembut mengikuti ritme tangannya. “Enak, kan, Firman?” tanyanya, senyumnya campuran polos dan genit, bikin aku cuma bisa mengangguk, napasku tersengal. Ini terlalu gila—hantu seksi sedang mengocok kontolku, dan aku menikmatinya.
“Manusia aneh, ya, cuma diginiin aja bisa begini,” katanya, cekikikan, tapi tangannya nggak berhenti, malah semakin terampil, seolah dia belajar cepat. Aku cuma bisa mendesah, “Kamu… terlalu cantik, makanya,” kataku, suaraku hampir hilang di tengah kenikmatan yang membuncah. Dia tersenyum lebar, “Jadi aku bikin kamu senang, dong? Aku suka, deh, main gini!” katanya, nadanya riang tapi ada nada nakal yang bikin jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menahan diri, tapi sensasi lotion yang licin dan sentuhan dinginnya terlalu kuat, bikin aku semakin mendekati puncak.
Aku merasakan tubuhku menegang, napasku semakin cepat. “Firman, kamu kenapa? Mukamu lucu banget!” katanya, tertawa kecil, tapi tangannya terus bergerak, lebih cepat sekarang. Aku nggak bisa menjawab, cuma mendesah keras, “Aku… mau…” Sebelum aku selesai bicara, aku nggak bisa menahan lagi—aku muncrat banyak, cairannya membasahi wajah cantiknya yang masih tersenyum polos. Dia terkejut, menarik tangan, lalu menyentuh pipinya yang basah. “Wah, ini apa? Manusia keluarin gini, ya?” tanyanya, nadanya bingung tapi penasaran, matanya menatapku dengan rasa ingin tahu yang sama seperti saat pertama kami bertemu.
Aku terduduk lemas di kasur, wajahku panas, campur malu dan puas. “I-itu… normal, buat manusia,” kataku, mencoba menjelaskan sambil menutupi diri dengan bantal. Dia cekikikan lagi, menyeka wajahnya dengan tangan, gaun basahnya makin menempel di tubuhnya yang seksi. “Kamu lucu banget, Firman. Aku suka main sama kamu!” katanya, melayang sedikit lebih dekat, wajahnya yang basah masih memancarkan kecantikan yang nggak wajar. Aku cuma bisa nyengir kecut, nggak tahu harus bilang apa. Kamar kecilku kini terasa seperti panggung mimpi aneh yang nggak pernah kubayangkan.
“Besok kita main apa lagi, ya?” tanyanya, senyumnya genit tapi tulus, seolah ini cuma permainan baginya. Aku menelan ludah, masih nggak percaya apa yang baru terjadi. “Ehm, kita… lihat nanti aja,” kataku, berusaha terdengar santai meski jantungku masih berdegup kencang. Dia mengangguk, lalu melayang ke sudut kamar, aroma lavender dan melati bercampur di udara. Aku menatap kasur yang berantakan, bertanya-tanya apakah aku gila atau hidupku baru saja jadi jauh lebih menarik—dan berbahaya—karena hantu seksi ini.
----------------------------
Aku buru-buru mengenakan kaus oblong dan celana pendek, masih lemas setelah kejadian gila tadi di kasur. Dengan wajah merah, aku mengambil tisu dari meja belajarku dan mendekati Wewe Gombel yang masih melayang di sudut kamar, wajah cantiknya basah oleh pejuku. “Maaf, ya… aku nggak sengaja,” kataku, suaraku serak sambil mengelap pipinya yang mulus dengan hati-hati. Dia cuma tersenyum, matanya yang besar dan polos berbinar, seolah nggak terganggu sama sekali. “Nggak apa-apa, Firman. Ini… lucu, kok,” katanya, cekikikan dengan nada genit tapi tulus, bikin aku makin bingung antara malu dan kagum dengan ketenangannya.
Aku duduk di kasur, masih memegang tisu, dan memandangnya yang kini melayang lebih dekat, gaun basahnya masih menempel ketat di tubuhnya yang semok. “Aku bingung, harus panggil kamu apa, sih,” kataku, mencoba mengalihkan topik dari situasi canggung ini. “Kamu kan Wewe Gombel, tapi rasanya aneh panggil gitu terus.” Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang lembut. “Hmm, di dunia kami nggak ada nama, Firman. Semua Wewe Gombel sama, cuma wajah beda. Aku juga bingung kalau dipikir-pikir,” katanya, nadanya polos, tapi ada kerutan kecil di dahinya, seolah dia baru menyadari hal itu.
“Tapi boleh nggak aku kasih kamu nama? Biar gampang manggilnya,” tanyaku, setengah bercanda, tapi juga serius. Dia menatapku, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Boleh! Nama apa?” tanyanya, suaranya antusias, seolah ini hal baru yang menyenangkan. Aku berpikir sejenak, lalu bilang, “Amelia, gimana? Kedengeran cantik, kayak kamu.” Dia langsung cekikikan, tangannya menutup mulut dengan gerakan yang bikin jantungku kembali berdegup. “Amelia? Aku suka! Enak didenger, lho!” katanya, melayang berputar kecil di udara, seperti anak kecil yang dapat mainan baru.
“Oke, mulai sekarang aku panggil kamu Amelia, ya,” kataku, tersenyum lega karena akhirnya ada nama untuk makhluk seksi ini. Dia mengangguk cepat, senyumnya lebar, memperlihatkan gigi putih yang sempurna di wajahnya yang seperti wanita tiga puluhan. “Amelia… aku suka banget, Firman! Kamu pinter kasih nama, deh,” katanya, lalu melayang mendekat, bahunya hampir menyentuhku. Aroma melati dari tubuhnya bercampur dengan sisa wangi lavender lotion tadi, bikin kamar kecilku terasa seperti dunia lain. Aku cuma bisa nyengir, masih nggak percaya hantu ini sekarang punya nama pemberianku.
----------------------------
Masih di kamar kecilku, aku duduk di kasur, jantungku belum pulih dari kejadian tadi. Amelia, yang kini punya nama pemberianku, melayang di depanku, wajah cantiknya memancarkan senyum polos yang bikin aku lupa dia hantu. Dengan suara agak gagap, aku bertanya, “Jadi… kamu bakal tinggal sama aku di sini?” Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang, lalu tersenyum lebar. “Iya, Firman! Aku suka sama kamu,” katanya dengan nada genit tapi tulus, matanya berbinar. “Aku mau belajar lebih banyak soal manusia, dan aku nggak mau kamu murung lagi kayak waktu di danau.” Aku terdiam, terharu sekaligus nggak enak karena dia begitu perhatian, tapi jujur, aku juga senang—siapa yang nggak senang ditemani makhluk seksi ini?
Aku memandangnya, gaun basahnya yang transparan masih menempel ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya yang seperti dewi. “Tapi, Amelia, aku nggak punya baju wanita di sini,” kataku, mencoba fokus pada hal praktis biar nggak salah tingkah lagi. Dia cekikikan, tangannya menutup mulut dengan gerakan yang bikin jantungku berdegup. “Nggak apa-apa, aku bisa pake bajumu! Gaunku ini kotor, kok,” katanya, menunjuk gaun putihnya yang masih basah dan ternoda pejuku. Aku mengangguk, tapi sebelum aku sempat mengambil kaus dari lemari, dia tiba-tiba berdiri—atau lebih tepatnya, melayang—dan mulai membuka gaunnya tepat di depanku.
Aku membeku, wajahku memanas. Gaun tipis itu meluncur turun, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, kulit pucatnya berkilau seperti mutiara di bawah lampu neon. Payudaranya yang seperti pepaya matang, pinggulnya yang semok, dan kaki jenjangnya bikin aku menelan ludah, malu tapi nggak bisa berpaling. “Amelia, kamu… nggak malu gitu?” tanyaku, suaraku serak, tanganku refleks menutup mata, meski celah jari-jariku tetap mengintip. Dia tertawa kecil, “Malu? Aku kan hantu, Firman. Aku nggak ngerti malu manusia!” katanya, nadanya polos tapi ada sedikit kenakalan yang bikin aku bingung.
Aku buru-buru mengambil kaus oblong biru dari lemari dan melemparkannya padanya, berusaha nggak melirik tubuhnya yang terlalu sempurna. “Nih, pake ini dulu,” kataku, berpaling ke dinding untuk menenangkan diri. Dia menangkap kaus itu, lalu melayang mendekat, memakainya dengan gerakan anggun. Kausku kebesaran di tubuhnya, tapi entah kenapa malah bikin dia terlihat lebih menggoda, dengan bahu terbuka dan kain yang jatuh longgar di pinggulnya. “Enak, kok, bajumu! Lembut,” katanya, memutar tubuhnya seperti model, membuatku nyaris tersedak udara.
“Jadi, Firman, aku tinggal di sini, ya? Aku mau bikin kamu ketawa tiap hari!” katanya, melayang duduk di kasur, kakinya tetap tak menyentuh lantai. Aku tersenyum, campur antara nggak percaya dan senang. “Ya, boleh, deh. Tapi jangan muncul tiba-tiba, aku bisa jantungan,” kataku, setengah bercanda. Dia cekikikan lagi, “Tenang, aku muncul cuma buat kamu, kok.” Aku mengangguk, masih merasa aneh dengan perhatiannya yang tulus. Dia baik, lebih dari sekadar seksi, dan kehadirannya bikin kamar sempitku terasa hidup—meski aku tahu hidup bareng hantu bakal penuh kejutan.
“Firman, manusia suka tidur malam, kan? Aku boleh lihat kamu tidur?” tanyanya, matanya penuh rasa ingin tahu. Aku tertawa kecil, “Iya, tapi nggak usah diliatin, nanti aku malu lagi.” Dia tersenyum, lalu melayang ke sudut kamar, aroma melati menyisa di udara. Aku merebahkan diri di kasur, memandang kausku yang kini dipakainya
--------------------------
Aku merebahkan diri di kasur sempitku, posisi miring menghadap dinding, berusaha menenangkan pikiran setelah malam yang penuh kegilaan ini. Amelia, yang kini mengenakan kaus oblongku yang kebesaran, melayang lalu merebahkan diri di sampingku, meniru posisiku dengan sempurna, meski kakinya tetap melayang sedikit di atas kasur. Wajah cantiknya, dengan kulit pucat bercahaya dan mata besar yang polos, hanya berjarak beberapa inci dari wajahku. Kami saling tatap-tatapan, dan aku langsung canggung, jantungku berdegup kencang. Cahaya lampu neon membuat kausku yang longgar di tubuhnya memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang, bikin aku harus berusaha keras menjaga kontak mata.
“Amelia,” kataku, suaraku sedikit serak, mencoba mencairkan suasana, “aku penasaran, dong. Wewe Gombel itu beneran suka menculik anak-anak, ya?” Dia tersenyum kecil, lalu mulai berbicara, suaranya lembut seperti angin malam. “Dulu, iya, cerita itu ada benernya, tapi nggak seseram yang orang pikir,” katanya, tangannya bergerak untuk menegaskan kata-katanya. Setiap gerakan membuat payudaranya bergoyang lembut di bawah kaus, tanpa bra yang menahan, bikin aku salah fokus. Aku menelan ludah, berusaha mendengarkan, tapi pandanganku terus terseret ke lekuk itu, yang seolah menari mengikuti ritme kata-katanya.
“Jadi, Wewe Gombel itu sebenarnya nggak nyulik anak buat jahat,” lanjutnya, tangannya melambai pelan, dan payudaranya ikut bergoyang, membuatku harus menggigit bibir untuk tetap fokus. “Kami… atau, yah, mereka, biasanya cuma bawa anak-anak yang kesepian atau nggak diperhatiin orang tua. Bukan buat disakitin, tapi dilindungi.” Matanya berbinar, seperti sedang menceritakan dongeng. Aku mengangguk, berusaha mencerna, tapi pikiranku terpecah—setengah mendengar, setengah terpikat pada tubuhnya yang semok, terutama payudaranya yang seperti buah ranum, begitu alami dan menggoda di balik kain tipis kausku.
“Terus, apa yang kalian lakukan sama anak-anak itu?” tanyaku, berusaha terdengar santai meski suaraku agak gemetar. Dia memiringkan kepala, tangannya menyentuh dagu, dan lagi-lagi payudaranya bergoyang, membuatku menunduk sejenak ke kasur. “Kami ajak mereka main, kasih makan, ceritain dongeng… kayak ibu-ibu gitu, lah,” katanya, cekikikan. “Kadang anak-anak itu dibalikin ke orang tua kalau mereka udah sadar harus lebih sayang sama anaknya.” Aku terkesima dengan penjelasannya, tapi jujur, setiap gerakan tangannya bikin aku kehilangan fokus, terpaku pada payudara yang seolah punya daya tarik gaib sendiri.
“Jadi, kenapa kalian pilih anak-anak?” lanjutku, mencoba menjaga obrolan tetap hidup sambil memaksa mataku ke wajahnya. Amelia menarik napas—atau setidaknya, berpura-pura bernapas—dan tangannya bergerak lagi, kali ini menyentuh rambutnya, membuat kaus sedikit terangkat dan memperlihatkan lebih banyak lekuk. “Karena anak-anak itu polos, Firman. Mereka nggak takut sama kami, nggak kayak orang dewasa yang lihat kami langsung lari,” katanya, nadanya sedikit genit. Aku nyengir kecut, tahu banget dia sedang nyindirku. Payudaranya yang bergoyang itu bikin aku harus menarik napas dalam-dalam, berdoa pikiranku nggak lari ke arah yang salah lagi.
“Tapi aku beda, ya,” tambahnya, melayang sedikit lebih dekat, wajahnya kini hanya sejengkal dari wajahku. “Aku nggak suka anak-anak doang. Aku suka kamu, yang murung di danau tadi.” Dia tersenyum, dan aku merasa wajahku memanas lagi. Tangannya bergerak untuk menunjukku, dan payudaranya ikut bergoyang, bikin aku hampir lupa pertanyaan berikutnya. “Jadi, kamu nggak nyulik aku, dong?” tanyaku, setengah bercanda. Dia tertawa, suaranya seperti lonceng kecil. “Nggak, lah, kamu kan udah besar. Aku cuma mau bikin kamu nggak murung lagi,” katanya, matanya penuh kehangatan yang bikin aku lupa dia hantu.
Aku tersenyum, merasa aneh tapi nyaman dengan kehadirannya. “Kamu baik banget, Amelia. Nggak nyangka hantu bisa kayak gini,” kataku, akhirnya berhasil menahan diri untuk fokus ke matanya. Dia cekikikan, tangannya menyentuh lenganku—dingin, tapi entah kenapa bikin hangat. “Aku kan hantu spesial, Firman. Lagipula, aku suka belajar dari kamu,” katanya, lalu kembali merebahkan diri, meniru posisiku. Payudaranya masih jadi gangguan, tapi aku mulai terbiasa dengan kehadirannya yang aneh ini. Kamar kecilku terasa penuh dengan cerita dan misteri, dan aku nggak sabar tahu apa lagi yang akan Amelia bawa ke hidupku.
---------------------------------
Aku masih terbaring miring di kasur, dengan Amelia melayang di sampingku, meniru posisiku. Tatapan kami bertemu, tapi aku tahu mataku sesekali melirik ke kaus longgarku yang dia pakai, yang tak mampu menyembunyikan payudaranya yang seperti pepaya matang. Tiba-tiba, Amelia cekikikan, lalu membungkuk ke arahku, wajahnya mendekat dengan senyum nakal yang masih dibalut kepolosan. “Firman, dari tadi kamu ngeliatin dada aku, ya?” katanya, suaranya lembut tapi menggoda, membuat wajahku langsung memanas. Sebelum aku bisa menyangkal, dia melayang lebih dekat, lalu dengan gerakan anehnya yang gaib, payudaranya yang besar dan lembut “jatuh” ke wajahku, menjepitku di antara kehangatan yang tak wajar itu.
Aku terdiam, wajahku tenggelam di antara payudaranya yang kenyal dan hangat, meski ada sentuhan dingin gaib yang khas. Aroma melati dari tubuhnya bercampur dengan sisa wangi lavender lotion, bikin kepalaku pusing dalam cara yang menyenangkan. “Kamu suka, ya, sama dada yang besar, Firman?” tanyanya lagi, suaranya genit tapi tulus, seolah dia benar-benar penasaran. Aku nggak bisa jawab, mulutku terhalang kelembutan itu, dan jujur, aku nggak berusaha meronta. Sebaliknya, tanganku refleks memeluk pinggangnya, menariknya lebih dekat, meski tahu ini mungkin ide terburuk yang pernah kumiliki.
“Amelia,” kataku, suaraku teredam, akhirnya berhasil menarik wajahku sedikit untuk bicara, “boleh nggak kita tidur dalam posisi kayak gini?” Aku merasa wajahku membara, malu tapi entah kenapa berani ngomong gitu. Dia kaget, matanya melebar, lalu tertawa kecil, suaranya seperti lonceng yang bikin suasana kamar makin hangat. “Iya, boleh, Firman! Kamu lucu banget, sih,” katanya, lalu menyesuaikan posisinya, melayang agar tubuhnya pas menempel di dadaku, payudaranya masih menempel lembut di wajahku. Aku merasa seperti terjebak dalam mimpi, tapi nggak mau bangun.
Aku memeluknya lebih erat, merasakan kelembutan payudaranya yang seperti buah ranum, dan tanpa sadar mulai mencium-cium dadanya, kain kausku yang tipis nggak banyak membantu menahan sensasi itu. “Firman, manusia suka gini, ya?” tanyanya, nadanya polos tapi ada nada genit yang bikin jantungku berdegup. Aku cuma mengangguk, nggak bisa bicara, terlalu larut dalam kehangatan yang aneh ini—campuran dingin gaib dan kelembutan yang terasa nyata. Dia cekikikan lagi, tangannya menyentuh rambutku, seperti sedang membelai anak kecil, tapi aku nggak peduli—ini terlalu enak untuk kuhentikan.
Aku mulai merasa kantuk, tubuhku lelah setelah malam yang penuh kejutan. “Amelia, kamu nggak tidur, kan?” tanyaku, suaraku pelan, wajahku masih setengah tenggelam di dadanya. “Nggak, Firman, hantu nggak tidur. Tapi aku suka nemenin kamu gini,” katanya, suaranya lembut seperti bisikan. Aku tersenyum, mencium dadanya sekali lagi, merasakan kelembutan yang bikin aku lupa segala masalah—skripsi, kerja, jomblo. Dalam pelukannya, kamar kecilku terasa seperti dunia lain, penuh keajaiban yang nggak masuk akal.
Aku terlelap perlahan, tenggelam dalam kehangatan payudaranya yang lembut, aroma melati dan lavender bercampur di udara. “Firman, tidur aja, aku jaga kamu,” katanya, suaranya seperti nyanyian pengantar tidur. Aku nggak tahu apakah hantu bisa menjaga, tapi saat itu, aku merasa aman—dan anehnya, bahagia. Amelia, dengan kecantikan dan keseksiannya yang nggak wajar, entah bagaimana bikin malamku yang tadinya biasa jadi sesuatu yang nggak akan pernah kulupain. Aku tertidur, masih memeluknya, bertanya-tanya apa lagi yang akan dia bawa ke hidupku esok hari.
602Please respect copyright.PENANADPQv8h4diN
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.56da2