Pintu kayu tua berderit pelan terbuka, mengungkapkan dunia baru bagi Ririn. Bau khas – campuran kapur barus, kayu lapuk, dan debu yang dijinakkan oleh waktu – menyambutnya lebih dulu sebelum matanya menangkap keseluruhan pemandangan. Om Suryo, dengan kaos oblong agak longgar dan rambut yang mulai menipis di puncak kepala, melangkah masuk duluan. Matanya, yang tadi di depan terlihat ramah, sejenak melirik ke belakang, menyapu tubuh Ririn dari punggung ramping yang tertekan tas ransel, turun ke pinggul yang terlihat jelas di balik kaos putih tipis itu, lalu ke kaki jenjang yang keluar dari celana jeans pendeknya. Ia seperti tersedak sedikit, lalu batuk kecil.
"Silakan, Mbak Ririn... Ini kamarnya. Spesial, lho," ujarnya, suaranya tiba-tiba serak. Ia cepat-cepat menoleh ke dalam kamar, seolah memeriksa sesuatu yang sangat penting.
Ririn masuk, menaruh ransel besar di lantai. Matanya berkeliling, menyerap detil Kamar Nomor 12 yang ‘spesial’ itu.
Ranjang Besi Jadul: Pusat perhatian sekaligus pusat aura nostalgia. Ranjang besi hitam itu tinggi, dengan ujung kepala dan kaki yang dihiasi ornamen besi tempa yang rumit – sulur-suluran dan sesuatu yang mirip kepala naga atau burung phoenix yang sudah tumpul dimakan waktu. Kasurnya tebal, ditutupi sprei motif bunga mawar pudar warna krem yang masih rapi. Konon, ini warisan leluhur Om Suryo. Ranjang ini bukan hanya tempat tidur; ia seperti monumen, menyimpan cerita-cerita lama dan mungkin, sedikit aura magis yang tak terucap.
Ruang yang Lebih Luas: Benar kata Om Suryo, kamar ini memang lebih besar dari standar kost pada umumnya. Tak terlalu luas, tapi cukup untuk tidak membuat sesak. Ruang kosong di tengah cukup untuk satu orang berputar-putar ringan.
Nuansa masa lalu terasa kuat. Sebuah meja rias kayu jati tua dengan cermin oval yang agak buram berdiri di sudut. Di atasnya, ada vas keramik retak-retak halus berisi plastik bunga mawar palsu yang sudah kusam warnanya. Di dinding sebelah ranjang, tergantung jam dinding kuno berbentuk lingkaran dengan angka Romawi, jarumnya diam tak bergerak. Ada juga lemari pakaian tinggi dari kayu gelap dengan pintu berukir sederhana yang terlihat kokoh dan berat. Lantainya ubin motif jadul yang warnanya sudah senada dengan debu dan waktu. AC jendela model lawas terpasang di dinding atas, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang konstan – "pemanas ruangan" versi Om Suryo, mungkin.
Jendela ke Taman: Di sisi lain, jendela kayu lebar dengan kaca bening membuka pemandangan menyejukkan. Terlihat taman belakang rumah kost yang lumayan terawat – rumput hijau, beberapa pohon bunga kamboja, dan perdu-perdu. Sinar matahari sore menyaring masuk, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari-nari di lantai.
Sebuah pintu kayu kecil di samping lemari menuju kamar mandi. Dari celah pintu yang terbuka, terlihat keramik warna hijau muda khas era 80-an. Wastafel keramik putih dengan kran kuningan yang sudah bernoda kapur. Kloset duduk model lama. Dan shower dengan kepala pancuran bulat dari logam yang mungkin menyemburkan air seperti hujan badai atau gerimis merengek, tergantung mood pipa tua hari itu. Bau khas sabun batang dan kapur barus menyelinap keluar.
Kesan Keseluruhan: Vintage? Sangat. Romantis? Dalam artian penuh kenangan dan sedikit misteri, iya. Tapi juga agak... terperangkap waktu. Seperti set film drama kolosal yang baru saja dihidupkan untuk Ririn.
Ririn berjalan mendekati jendela, membiarkan cahaya sore menyinari wajahnya. Kaos putihnya yang memang lembut dan tipis itu, dihantam cahaya dari belakang, menjadi hampir transparan. Siluet tubuhnya yang ‘aduhai’ – lekuk pinggang yang ramping, garis punggung yang halus, bayang-bayang bra berwarna terang di dalamnya – terpantul jelas seperti proyeksi layar bagi Om Suryo yang sedang berdiri di dekat pintu.
Om Suryo seperti tersetrum. Matanya membelalak, bulat, seperti melihat permen karet kesukaannya terjatuh ke aspal panas. Ia menghela napas dalam yang terdengar jelas, lalu batuk-batuk palsu lagi. "Ehem... Bagus ya... Pemandangannya," gumamnya, tapi jelas pandangannya tidak ke arah taman. Ia menelan ludah. "AC-nya nyala ya? Kipas angin juga ada di bawah ranjang kalau kepanasan... Ehem... Air galon di luar... Kalau kurang apa-apa, Mbak Ririn... Langsung bilang ke Om atau Tante ya..." Ucapannya terbata-bata, tergesa.
Ririn menoleh, memberinya senyum kecil yang membuat lesung pipitnya mengintip. "Iya, Om. Terima kasih banyak. Kamarnya unik banget." Ia sadar tatapan Om Suryo yang jelalatan, tapi memilih mengabaikannya. Untung pakai celana jeans pendek, bukan rok, pikirnya dalam hati sambil menahan geli.
"Ya... Ya... Silakan beristirahat dulu. Pasti lelah dari perjalanan," kata Om Suryo sambil mundur pelan ke arah pintu, matanya masih sempat melesat cepat ke arah Ririn sekali lagi sebelum akhirnya menabrak kusen pintu dengan bahunya. "Aduh! Hahaha... Silakan, silakan..." Ia tertawa kikuk dan buru-buru menutup pintu.
Dug...
Suara pintu tertutup mengakhiri adegan pembukaan di kamar baru. Kesunyian kost punya suaranya sendiri: dengung AC, kicau burung dari taman, dan debar jantung Ririn yang baru saja tenang.
Dengan napas lega, Ririn menghempaskan tubuhnya ke ranjang besi warisan leluhur itu.
Kreeeek...
Ranjang itu mengeluh keras, tapi menahannya dengan kokoh. Kasur ternyata empuk, meski sprei berbau agak anyir, campuran kapur barus dan sesuatu yang lain. Ia memandang ke langit-langit yang tinggi, dihiasi jaring laba-laba di sudut-sudutnya. Cahaya sore yang masuk dari jendela melukis bayangan jeruji besi ranjang di dinding, membentuk pola-pola aneh yang bergerak pelan seiring matahari yang turun.
Ia mengangkat lengannya, memandangi siluet tubuhnya sendiri yang terproyeksikan ke dinding oleh cahaya dari jendela. Lekuk-lekuk itu jelas, dramatis. Bayangan itu bergerak mengikuti lengannya, seperti siluet wayang yang sensual. Ia menghela napas, rasa lelah mulai menyerang. Di kejauhan, suara Tante Wulan memanggil Om Suryo terdengar samar.
"Inilah rumah barumu, Rin," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meresapi suasana kamar antik ini. Bau kayu tua, desir angin dari taman yang masuk lewat jendela, dan... ada sesuatu yang lain. Seperti bisikan sangat halus, mungkin hanya angin menyusup lewat celah-celah kayu tua. Atau... mungkin suara ranjang besi ini yang masih bergumam tentang masa lalunya?
Ia memejamkan mata, mencoba rileks. Tapi bayangan di dinding itu, bayangannya sendiri, sepertinya masih bergerak-gerak sendiri, meliuk-liuk seperti menari tarian sunyi di dinding kamar nomor 12 yang penuh cerita. Sebuah tawa kecil meledak di dadanya, campur lelah dan geli memikirkan ekspresi Om Suryo tadi. "Fantasi komedi, beneran deh," gumamnya. Lalu, dari balik kelopak matanya yang tertutup, ia hampir yakin melihat bayangan di dinding itu... tersenyum
***
Kepulan asap rokok terakhir Om Suryo berputar-putar di teras kosong. Beny dan Silma, keponakan dan istrinya yang baru saja berkunjung, sudah menghilang di ujung Gang Jambu. Kesunyian yang tadi ramai tiba-tasa menusuk. Di dalam rumah, hanya dengung AC kamar-kamar kos dan... bayangan Ririn dalam kaos putih tipis itu yang masih menari-nari di kepala Om Suryo, lebih bandel dari asap rokoknya.
Dia mengusap wajah, mencoba mengusir gambaran itu. Tapi mata jelalatannya sepertinya punya memori sendiri. Lekuk punggungnya... siluet itu... Gumamannya terdengar seperti desis.
Tiba-tiba, dari balik pintu dapur, muncul Tante Wulan. "Pi, tolong ambilin anduk dijemuran di belakang, ya?" panggilnya sambil melangkah ke teras. Tubuh padatnya terbalut daster bunga-bunga sederhana yang agak longgar, mengikuti ayunan langkahnya yang mantap. Rambut hitamnya dikucir kasar, beberapa helai terlepas menempel di leher yang berkeringat. Dia membawa baskom plastik berisi piring kotor, menuju bak cucian di ujung teras.
Swek... swek... Suara gesekan daster itu tiba-tiba mengalun seperti musik hipnotis bagi telinga Om Suryo yang masih penuh bayangan. Matanya, tanpa sadar, mengikuti pergerakan tubuh istrinya. Pinggul yang berayun, lekuk punggung yang terlihat samar di balik kain tipis... Tapi di matanya yang berkhayal, bayangan itu tumpang tindih. Bentuk Tante Wulan yang familiar tiba-tiba memanjang, rambut hitamnya tergerai (padahal dikucir), dan sekelebat... sekelebat siluet Ririn dengan kaos putih transparan terproyeksi di punggung daster bunga itu!
"Wuah!" Om Suryo terlonjak dari kursi plastiknya. Nafasnya tersengal. Mata bulatnya menatap takjub ke arah punggung istrinya yang sedang membungkuk menaruh baskom. "Cantik sekali... dagingmu..." desisnya, suara serak penuh kagum yang ditujukan pada fantasi di kepalanya, tapi keluar begitu saja.
Tante Wulan membekuk. Perlahan, dia menoleh. Alisnya yang tebal naik tinggi, membentuk dua tanda tanya besar. "Lho? Kok cantik dagingku, Pi?" tanyanya, wajahnya bercampur heran dan mulai kesal. Suaranya meninggi setengah nada. "Memangnya aku ini seonggok daging sapi pilihan di pasar? Atau babi guling buat acara? Daging apaan sih?!" Dia menepis-nepis dasternya seperti mengusir lalat, tapi ekspresinya jelas menuntut penjelasan.
Om Suryo tersentak kaget. Realita Tante Wulan yang garang dengan tangan di pinggang langsung mengusir bayangan Ririn. Muka merah padam. "Oh! Bukan, Mami! Bukan daging!" Dia gelagapan, tangannya berputar-putar seperti kincir angin yang patah. "Maksudku... maksudku... pakaiandalamnya! Eh, bukan! Cantik sekali... pakaiandalam... eh, maksudku pemandangannya!" Iya, pandangannya ke belakang rumah, Mami! Hijau-hijau, bagus!" Dia menunjuk ke arah taman belakang yang memang hijau, tapi nadanya terdengar sangat, sangat tidak meyakinkan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Tante Wulan memandangnya dengan tatapan yang bisa melumerkan es batu. Bibirnya mencibir. "Pandangannya? Daging? Pakaiandalam? Pi, kamu habis ngerokok apa sih? Atau kena setrum AC rusak itu?" Dia melangkah mendekat, matanya menyoroti wajah suaminya yang merah dan berkeringat. "Kok mukanya aneh gitu? Kayak baru lihat hantu."
"Enggak, Mami! Beneran! Cuma... cuma..." Om Suryo mencari-cari alasan. Matanya melirik ke kamar kosong di sekeliling, ke pintu kamar nomor 12 yang tertutup rapat, lalu kembali ke tubuh istrinya yang berdiri tegak di depannya. Kehangatan tubuhnya, bau sabun mandi biasa yang melekat, tiba-tiba terasa sangat nyata dan... menggoda. Kesunyian rumah, ingatan akan bayangan sensual, dan kehadiran istrinya yang sebenarnya juga punya pesan tersendiri dalam kesederhanaannya, membuat darah berdesir kencang di tubuh Om Suryo.
Ini kesempatan.
Mata Om Suryo berbinar seperti harimau yang melihat rusa lengah. Sebelum Tante Wulan sempat mengeluarkan omelan berikutnya, Om Suryo sudah bergerak. Bukan pelan, tapi seperti pecut. Dia menyambar lengan istrinya.
"Woy! Pi, mau ap--?!" teriak Tante Wulan kaget.
Tapi Om Suryo sudah mendorongnya, bukan ke arah kamar, tapi ke arah pintu kecil di samping dapur yang menuju... kamar mandi belakang. Kamar mandi umum yang tadi dideskripsikan ke Ririn, dengan keramik hijau muda dan kran kuningan bernoda itu.
"Pi! Gila kau?! Masih sore! Nanti penghuni kos pulang!" protes Tante Wulan setengah berteriak, setengah berbisik panik, mencoba melepaskan diri. Tapi cengkeraman Om Suryo kuat, dan semangatnya berkobar-kobar.
"Sepi, Mami! Lagian cepet!" geram Om Suryo, suaranya rendah dan parau, seperti auman kecil macan yang menemukan mangsanya terpojok. Nafasnya memburu. Dia mendorong Tante Wulan masuk ke kamar mandi yang lembab itu. Bau sabun batang dan kapur barus langsung menyergap.
"Pi! Nanti ada yang denger!" bisik Tante Wulan makin panik, tapi ada nada lain di suaranya. Bukan penolakan penuh. Mungkin kejutan, mungkin sedikit geli, atau mungkin... tersentuh oleh kegoblokan sekaligus kegairahan mendadak suaminya.
"Ga ada yang denger! Cepetan!" Om Suryo mendesak, mendorong Tante Wulan lebih dalam. Matanya gelap, fokusnya hanya pada istrinya yang sekarang terlihat sangat dekat dalam ruang sempit ini. Cahaya dari jendela kecil kamar mandi yang tinggi menyinari debu-debu yang menari. Di sudut, bayangan kepala shower logam bulat itu terlihat seperti mata raksasa yang mengintip.
Bam! Pintu kamar mandi kayu tua itu ditutup dengan kasar oleh Om Suryo. Suaranya menggema di ruang kecil.
Klak! Gembok kecil di dalam di geser dengan cepat. Terkunci.
Di dalam, terdengar suara tarik menarik, desahan, dan gumaman Tante Wulan yang setengah marah setengah tidak karuan, "Dasar Pi bebal! Ini daster baru tau! Aduh... jangan di sini Pi... dingin!"
Suara Om Suryo hanya menjawab dengan geraman rendah dan gemericik air yang tiba-tiba menyembur dari kran wastafel yang mungkin tidak sengaja tersenggol.
Di luar, kesunyian kos kembali menyergap. Dengung AC, kicau burung sore. Tapi dari balik pintu kamar mandi tua itu, suara percikan air, desahan, dan gumaman-gumaman yang teredam berseliweran. Di dinding kamar mandi yang basah, bayangan dua tubuh yang beradu mungkin terlihat, bergerak-gerak dalam siluet yang absurd oleh cahaya jendela tinggi.
Tiba-tiba, dari balik pintu, terdengar suara Tante Wulan yang agak keras, "Pi! Itu jari kakiku kesempit pint-- Aduh!!"
Lalu suara Om Suryo, "Sssst! Diam, Mami!"
Tangan Om Suryo menjalar dari arah belakang langsung meremas buah pepaya Tante Wulan yang masih padat walau agak melebar.Perempuan itu memejamkan mata.Tapi ada satu hal yang membuatnya langsung On Fire! Saat suaminya itu menggit telinga kirinya dengan dengusan nafas dan berbisik"Berlayar Mi..." Dan lidah itu langsung bermain di bawah telinga membuat Tante Wulan meremang dan berdesis." pii...jangan...ddi..Sinii...Shhh...!"
Tangan kiri Om Suryo yang tengah kesurupan bayangan Ririn bergerak ke bawah lalu meluncur di antara bulu-bulu hitam di bawah pusar Tante Wulan menjelajah Jurang yang rimbun dan mulai ada aliran parit kecil basah karena titik kelemahan nya yang telah terkena target serangan pria botak itu.Lutut perempuan itu bergetar menahan beban tubuh dan sentuhan maut suaminya.Perlahan tangannya mulai melipat ke belakang dan meremas liar senapan AK 47 Om Suryo yang telah diisi magazen 16 butir."Pi...sshhh...terus...aah...sst...mmmhh..." Tante Wulan mulai meracau tak terkendali.Sementara Om Suryo yang terus menelusuri punggung gempal yang sudah berubah menjadi bidadari kamar 12 itu semakin liar.Di tepuknya ringan pinggul di depannya yang bergerak seperti permukaan cendol dawet.
Tante Wulan seperti mengerti.Dia melebarkan kakinya dan" pluusshh...Creeb..." Mulutnya terbuka saat satu peluru menerjang dan tepat mengenai spot sasaran."Plep..plep...[perlahan tapi pasti..dan semakin cepat dengan rentetan presisi kuat tembakan om suryo]..." Mi....goyang...sayaang...sshh..hegh...hegr..Roaargghhh..." Mata liar Om suryo membelalak sambil menjambak rambut istrinya...Tante Wulan hanya mengerang menerima serangan brutal itu.Gemericik kran air seperti musik yang mengiringi gerakan hentakan om suryo dan Tante wulan yang mulai merasakan denyutan di ubun-ubunnya..
"Pi...sshhh...aku....mauu...ke...luaar..Shhh...aduuhh...hmmmm..kamu kesurupan apa...hmmm...aaakh..." Perempuan itu tiba-tiba berbalik dan mendorong suaminya yang terduduk di atas toilet duduk.Perut agak buncit itu mengeras saat Tante wulan langsung riding dan "Blaasst....Heegh..." Senapan itu melesak.." Goyangan itu liar tak terkendali.Tante Wulan benar-benar lupa akan bisingnya suara air kran.Matanya terpejam dan merengkuh pundak suaminya yang terus melumat stroberi yang mulai berwarna kehitaman di tengah buah pepayanya.'Terusss pi...hisap..."
"Plok..splok...Shhhh..." gerakan itu semakin kuat maju mundur.Telapak Om Suryo meremas pantat padat itu dan menariknya kuat-kuat dengan nafas seperti kerbau yang tengah menarik pedati di tanjakan.Walau sudah paruh baya.Tapi soal putaran ngebornya Tante Wulan masih juara.Lorong kenyalnya,meremas,menjepit dan memompa senapan om suryo yang sudah mulai tegang siap memuntahkan peluru terakhir..."Mi.....sebentar lagi...aahh...uuh...satu....duaaaa..."
"iya piii..tigaaaaa...aaakkh...hergghhhmm...aaaagh..." Suara Tante Wulan tercekat.
Suasana tegang, absurd, dan... sangat tidak romantis, tapi penuh dengan kehidupan (dan kerepotan) yang memompa adrenalin.
Sementara itu, di kamar nomor 12, Ririn mungkin masih terlelap atau bermimpi di ranjang besi jadul itu. Atau mungkin, tanpa disadari, sebuah senyum kecil mengembang di bibir merah alaminya, seolah menangkap gelombang kekonyolan dan gairah berdebur-debur yang baru saja meledak di kamar mandi belakang rumah kost Gang Jambu. Dan di dinding kamarnya, bayangan jeruji ranjang besi itu bergoyang pelan, seolah ikut tersenyum geli.Ririn masih memejamkan matanya.Hari yang melelahkan..
Bip...Bip...." Nada pesan masuk di hpnya.Jari lentiknya membuka pesan.
Rio?
##Bersambung###
ns216.73.216.176da2