Pagi setelah kejadian memalukan itu terasa seperti jurang neraka. Aku terbangun dengan rasa berat di dadaku, bukan karena beban ujian, melainkan karena bayangan wajah Kak Hana yang kecewa. Udara di rumah terasa dingin, menusuk hingga ke tulang, seolah menyerap semua kehangatan yang pernah ada di antara kami. Aku sengaja bangun lebih siang, berharap bisa menghindari pertemuanku dengan Kak Hana sebelum ia berangkat kerja. Aku mendengar ia bergerak di dapur, menyiapkan sarapan, namun aku tidak berani keluar. Aku tahu, matanya yang tajam itu akan langsung menembus jiwaku, melihat semua rasa malu dan bersalah yang tak bisa kusembunyikan.
914Please respect copyright.PENANAlIx0z0j38N
Ketika aku akhirnya keluar, ia sudah pergi. Piring sarapan yang sudah disiapkan untukku tergeletak di meja makan, dingin. Sebuah pesan singkat dari Kak Hana tertera di meja: "Belajar yang rajin, Yusuf. Jangan sampai mengecewakan." Kata-kata itu, yang seharusnya memotivasi, kini terasa seperti cambuk. Aku hanya bisa menelan ludah, rasa bersalah itu mencekikku. Sepanjang hari, fokusku buyar. Buku fisika dan matematika terasa seperti musuh yang tak bisa kutaklukkan, dan bayangan wajah Kak Hana yang sedih terus menghantuiku.
914Please respect copyright.PENANAGIDmLuyYFn
Sore harinya, sekitar pukul enam, aku mendengar suara kunci pintu berputar. Jantungku langsung berdebar. Kak Hana pulang. Aku sedang duduk di ruang tamu, berpura-pura membaca buku, namun mataku tak bisa lepas dari pintu. Langkah kakinya terdengar lelah, namun tegas. Ia masuk, menaruh tas kerjanya di sofa, lalu menatapku. Matanya yang semalam penuh amarah, kini terlihat lebih redup, lebih lelah, namun masih memancarkan kekecewaan yang tak terhapuskan.
914Please respect copyright.PENANAWXLh7D8Db7
"Yusuf," panggilnya, suaranya tenang, namun ada nada serius yang membuatku menegang. "Kemari. Kita perlu bicara."
914Please respect copyright.PENANAyK8DQlTEPX
Aku mengangguk, meletakkan bukuku, lalu beranjak duduk di sofa di hadapannya. Jarak di antara kami terasa begitu jauh, meski hanya terpisah beberapa jengkal. Aku menunduk, tak berani menatap matanya. Aroma khas tubuhnya yang lelah setelah seharian bekerja—campuran keringat, parfum, dan sedikit bau rokok dari luar—memenuhi hidungku. Itu aroma yang seharusnya menenangkan, namun kini terasa begitu asing, begitu formal.
914Please respect copyright.PENANAo6FWtsTI1H
Kak Hana menghela napas panjang, menatap tangannya yang saling bertaut di pangkuannya. "Yusuf," katanya lagi, suaranya pelan, "Kakak tidak marah. Kakak hanya... kecewa. Kakak tahu kamu punya masalah. Kakak tahu ujian ini berat. Tapi kamu harus jujur pada Kakak." Ia mengangkat kepalanya, menatapku lurus. Matanya yang gelap itu begitu dalam, seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwaku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu? Kenapa kamu tidak bisa fokus belajar?"
914Please respect copyright.PENANAqDIjAkf2T7
Pertanyaan itu terasa seperti jarum yang menusuk tepat ke ulu hatiku. Aku tahu aku harus jujur. Tapi bagaimana aku bisa mengucapkan kata-kata itu? Kata-kata yang akan mengungkap aib terbesarku, nafsu terlarang yang menggerogoti pikiranku. Rasa panas menjalar ke seluruh wajahku. Kontolku yang tadinya lemas, kini sedikit berdenyut, seolah merespons ingatan akan perbuatanku.
914Please respect copyright.PENANAD2ykYLscex
"Aku... aku minta maaf, Kak," bisikku, suaraku serak. "Aku... aku memang salah."
914Please respect copyright.PENANA06LeYjI30S
Kak Hana menggeleng pelan. "Maaf saja tidak cukup, Yusuf. Kakak butuh kejujuranmu. Apa yang membuatmu terdistraksi? Apa yang kamu tonton di ponselmu itu?" Ia menunjuk ke arah ponselku yang tergeletak di meja kopi.
914Please respect copyright.PENANAgGyeOSLOgJ
Aku menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. "Aku... aku akhir-akhir ini memang sering... melihat video-video... di internet, Kak." Aku berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, kata yang paling halus untuk menggambarkan kehinaanku. "Video-video... yang kurang pantas, Kak. Video orang dewasa."
914Please respect copyright.PENANAyXjLb3Rt69
Wajah Kak Hana langsung menegang. Ia menatapku tanpa berkedip, sorot matanya tak terbaca. Ada sedikit warna merah yang muncul di pipinya, atau mungkin itu hanya pantulan cahaya dari luar. Dadanya naik turun dengan sedikit lebih cepat.
914Please respect copyright.PENANA6jYElGWqvF
"Jadi itu yang membuatmu tidak fokus?" tanyanya, suaranya datar.
914Please respect copyright.PENANAGnRLGDDQzr
Aku mengangguk, masih menunduk. "Iya, Kak. Aku... aku tidak bisa mengontrol diriku. Pikiran itu selalu datang."
914Please respect copyright.PENANAyUZNYJog9G
Keheningan menyelimuti kami sesaat. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berpacu kencang. Aku menunggu marahannya, kata-kata kecewa yang lebih pedih. Namun, Kak Hana hanya menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
914Please respect copyright.PENANA63edOggTKW
"Baiklah, Yusuf," katanya, suaranya terdengar lelah, namun kini ada nada yang aneh di dalamnya, sebuah nada putus asa yang mencoba mencari solusi. "Begini. Kakak tahu ini sulit bagimu. Kakak tahu itu bagian dari... pertumbuhanmu." Kata 'pertumbuhan' itu diucapkannya dengan sedikit jeda, seolah mencari-cari kata yang paling netral. "Tapi kamu harus tetap fokus pada ujianmu. Masa depanmu sangat penting."
914Please respect copyright.PENANAdURLMbcE5w
Ia menegakkan tubuhnya, menatapku lurus. "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?"
914Please respect copyright.PENANAVokACeYmlV
Aku mendongak, mataku membelalak. Kesepakatan?
914Please respect copyright.PENANAk0CM6QAsHn
"Jika kamu bisa mendapatkan nilai rata-rata delapan puluh, Yusuf," Kak Hana melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, seolah ia sendiri tidak nyaman dengan apa yang akan dikatakannya, "Kakak... Kakak akan mengizinkanmu. Mengizinkanmu untuk... menonton video-video itu. Tapi hanya jika kamu benar-benar mendapatkan nilai di atas delapan puluh. Dan itu hanya boleh setelah ujian selesai. Bagaimana?"
914Please respect copyright.PENANAxh71urDFHR
Jantungku berdegup tak karuan. Aku membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Kak Hana... mengizinkanku menonton video porno? Sebuah sensasi aneh menjalar di tubuhku—campuran rasa malu yang memuncak, namun juga secercah gairah yang tak kuduga. Ia bersedia berkompromi dengan aibku, demi masa depanku. Itu adalah tawaran yang gila, namun juga sebuah tanda kepedulian yang luar biasa dari dirinya.
914Please respect copyright.PENANAAdCQgtptZ0
Namun, di tengah semua kebingungan itu, sebuah ide gila tiba-tiba muncul di benakku, berani, tak tahu malu, namun terasa begitu mendesak. Ide yang lahir dari dorongan terlarang yang selama ini kupendam. Dorongan yang kadang-kadang, tanpa kusadari, mengarah padanya.
914Please respect copyright.PENANAByF8Y71Ecf
"Tidak, Kak," kataku, suaraku sedikit lebih lantang dari yang kuperkirakan.
914Please respect copyright.PENANAyakDTDaNwo
Kak Hana terkejut. Matanya melebar. "Tidak? Kenapa tidak? Itu sudah cukup adil, bukan? Kamu bisa belajar dengan tenang, dan ada hadiahnya."
914Please respect copyright.PENANA1lPJNIAKaj
Aku menelan ludah, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dalam diriku. Wajahku terasa panas membara, namun entah mengapa, aku harus mengatakannya. Ini adalah satu-satunya kesempatan.
914Please respect copyright.PENANAumr4GVa44z
"Aku... aku tidak mau itu, Kak," kataku, mataku masih menunduk, menghindari tatapannya. "Aku... aku punya tantangan lain."
914Please respect copyright.PENANAakcS7tqZZT
Kak Hana mengerutkan kening. "Tantangan apa?"
914Please respect copyright.PENANAc75QXOiOQP
Aku mengangkat kepalaku, memaksa diriku menatap matanya. Mataku sedikit gemetar, namun aku berusaha menjaga ketegasan di dalamnya. "Jika aku dapat rata-rata delapan puluh, Kak... Kakak... Kakak harus menunjukkanku... payudaramu."
914Please respect copyright.PENANA7UL6HOn1t0
Ruangan itu langsung diselimuti keheningan yang mematikan. Waktu seolah berhenti. Wajah Kak Hana langsung memucat. Matanya melebar, pupilnya membesar hingga nyaris menutupi seluruh irisnya. Bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Napasnya tercekat.
914Please respect copyright.PENANAxRPpj4sVNg
"Yusuf!" Suaranya meledak, namun tertahan, sebuah bisikan yang lebih tajam dari jeritan. Wajahnya yang tadi sedikit memerah karena kelelahan, kini memerah padam, sangat merah, hingga ke lehernya. Urat di pelipisnya menonjol jelas. Tangannya yang tadinya saling bertaut, kini mengepal erat. "Apa yang kamu katakan?! Apa kamu sudah gila?!"
914Please respect copyright.PENANAkutRZtmpJJ
Aku menunduk lagi, rasa malu kembali melandaku dengan kekuatan penuh. Kata-kataku sendiri terasa begitu kotor di telingaku. Aku telah melampaui batas. Aku telah menghina Kak Hana.
914Please respect copyright.PENANAUr3tSJvZ0p
"Kita adik dan kakak, Yusuf! Apa yang kamu pikirkan?!" Suaranya kini bergetar, air mata mulai menggenang di matanya yang merah. "Bagaimana bisa kamu meminta hal seperti itu dariku?! Aku ini kakakmu! Aku sudah berjuang mati-matian untukmu! Dan ini balasanmu?!"
914Please respect copyright.PENANAfrCR3rEgRe
Ia bangkit dari sofa, beranjak menjauh dariku, seolah tubuhku adalah sumber penyakit. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga yang sempit itu, tangannya memegangi kepalanya, rambutnya sedikit berantakan.
914Please respect copyright.PENANAYO5xx9F8NO
"Aku tidak percaya kamu bisa mengatakan itu, Yusuf," bisiknya, suaranya penuh kepedihan yang menusuk. "Aku mencoba mengerti, mencoba membantumu, dan kamu... kamu malah meminta hal sekeji ini dariku? Apa kamu menganggapku apa?!"
914Please respect copyright.PENANA9qVwg5kQOO
Aku menatapnya, ada rasa sakit yang luar biasa di mataku. "Aku... aku tidak bermaksud begitu, Kak," bisikku. "Aku... aku hanya ingin tahu... apakah Kakak benar-benar peduli padaku. Apakah Kakak mau melakukan sesuatu yang... yang penting bagiku."
914Please respect copyright.PENANAMJjGLmXAg9
Itu adalah kebohongan. Itu adalah manipulasi. Tapi di dalam diriku, ada sedikit kebenaran di baliknya. Aku merasa begitu tidak penting, begitu tidak terlihat. Aku ingin tahu seberapa jauh ia bersedia pergi untukku. Dan dorongan terlarang ini... entah mengapa, terasa seperti satu-satunya cara bagiku untuk merasakan kehadiran, untuk merasa diinginkan.
914Please respect copyright.PENANAApTiOvnJmM
Wajah Kak Hana semakin memerah. Ia berhenti berjalan, membalikkan tubuhnya, menatapku lurus dengan mata yang berkaca-kaca. Ada kemarahan yang membara, namun di baliknya, ada juga kekecewaan yang mendalam, dan sedikit... kebingungan.
914Please respect copyright.PENANAHmlDj1aWnx
"Kamu pikir Kakak tidak peduli padamu?!" serunya, suaranya sedikit pecah. "Aku kerja mati-matian setiap hari, Yusuf! Aku menunda kuliahku, aku mengorbankan masa mudaku! Semua ini untukmu! Dan kamu bilang aku tidak peduli?!"
914Please respect copyright.PENANAVpXVbHtTvE
Aku hanya diam, menunduk. Aku tahu itu tidak benar. Aku tahu ia peduli. Tapi rasanya begitu, rasanya seperti ia hanya peduli pada masa depanku yang "ideal", bukan padaku yang sebenarnya.
914Please respect copyright.PENANABqn0SlpqkR
Keheningan kembali menyelimuti kami. Hanya suara napas Kak Hana yang memburu dan detak jantungku yang berpacu kencang yang terdengar. Aku bisa merasakan tatapannya, berat, menusuk.
914Please respect copyright.PENANAgtgCroFK62
Lalu, sebuah hal yang tak kuduga terjadi. Perlahan, wajah Kak Hana yang tadi memerah padam, sedikit melunak. Kemarahan di matanya meredup, digantikan oleh ekspresi yang sulit kubaca: sebuah campuran antara keputusasaan, kelelahan, dan... cinta yang begitu besar, namun begitu membebani. Ia menghela napas panjang, sangat panjang, seolah membuang semua beban di pundaknya.
914Please respect copyright.PENANAQXBJ1eWpac
Ia kembali duduk di sofa, di hadapanku, tubuhnya terkulai lemas. Tangannya kembali saling bertaut, namun kini gemetar. Matanya menatap lantai, seolah menghindari tatapanku.
914Please respect copyright.PENANAtoxqLlu59m
"Baiklah, Yusuf," bisiknya, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar. Suara itu terdengar sangat, sangat berat, seolah setiap kata adalah beban yang luar biasa. "Kakak... Kakak terima tantanganmu."
914Please respect copyright.PENANAH4cxKLG1SS
Aku terkesiap. Mataku langsung membelalak. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ia... menerimanya?
914Please respect copyright.PENANAvDPONWEC3j
"Tapi," lanjutnya, suaranya sedikit lebih keras, namun masih bergetar, "ada syaratnya. Nilaimu harus benar-benar di atas delapan puluh. Rata-rata. Tidak boleh kurang. Dan ini... ini hanya antara kita berdua, Yusuf. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak ada. Ini rahasia kita. Rahasia yang sangat, sangat... penting."
914Please respect copyright.PENANAuyGpNJSFCE
Ia mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya merah, basah oleh air mata yang tak jadi tumpah. Ada rasa sakit yang luar biasa di dalamnya, rasa sakit karena sebuah pengorbanan yang ia sendiri tak yakin bisa ia tanggung. Tapi di balik semua itu, ada juga tekad yang kuat, tekad untuk memastikan masa depanku, bagaimanapun caranya.
914Please respect copyright.PENANAhojYQIC59b
Aku hanya bisa menatapnya, bisu. Tubuhku terasa panas dan dingin secara bersamaan. Ada gelombang kemenangan yang memabukkan membanjiriku, sebuah sensasi yang aneh dan mengerikan. Aku telah memenangkan tantangan ini. Aku telah mendorongnya melampaui batas, dan ia, demi aku, bersedia melakukannya.
914Please respect copyright.PENANAV0lSFGzMlR
Namun, di samping kemenangan itu, ada juga gelombang rasa bersalah yang menusuk. Aku telah memaksanya. Aku telah mengambil keuntungan dari cintanya, dari keputusasaannya. Dan aku tahu, aku baru saja menempatkan beban yang tak terhingga di pundaknya.
914Please respect copyright.PENANAKwWMl8WrGC
"Aku... aku akan belajar, Kak," bisikku, suaraku tercekat. "Aku janji. Aku akan dapat nilai delapan puluh."
914Please respect copyright.PENANACuNdNxjzCA
Kak Hana hanya mengangguk, matanya masih menatapku, penuh makna yang tak terucapkan. Lalu ia bangkit, melangkah ke arah kamarnya, tubuhnya terlihat begitu lelah, begitu rapuh. Ia masuk ke kamarnya, dan pintu itu tertutup dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti suara beban berat yang baru saja diletakkan di atas punggungnya.
914Please respect copyright.PENANAUVlTSgTWED
Aku masih duduk di sofa, sendirian Pikiranku berputar, kacau. Rasa bersalah, rasa gembira, rasa takut, semua bercampur aduk. Aku telah melakukan hal yang tak termaafkan, namun aku juga telah membuka sebuah pintu menuju sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Dan kini, masa depanku tidak hanya dipertaruhkan oleh angka-angka di atas kertas ujian, tetapi juga oleh sebuah janji yang mengerikan, sebuah rahasia yang akan selamanya mengikatku dengan Kak Hana, dalam sebuah ikatan yang jauh lebih intim dan berbahaya daripada sekadar adik dan kakak. Malam itu, keheningan rumah terasa semakin berat, dipenuhi oleh tawar-menawar yang baru saja terjadi, dan harapan yang kini berlumuran dosa.
ns216.73.216.79da2