
Sitor mendesah ringan, lalu terdiam. Ia rebah di samping istrinya, mengatur napas. Tak ada pelukan setelahnya. Hanya sunyi. Lina memalingkan wajah ke arah jendela, menyeka keringat dingin di pelipisnya. Tak ada rasa puas, apalagi harapan.
“Maaf ya, Bang…” bisiknya pelan.
Sitor menoleh setengah malas. “Kenapa minta maaf?”
“Entah. Aku cuma… kayaknya aku yang salah. Udah lima tahun…”
Sitor menarik napas dalam. “Udahlah, jangan nyalahin diri sendiri terus. Kau kira aku nggak kepikiran? Semua orang nanyain terus. Apalagi Bapak…”
Lina menggigit bibirnya. “Bapak pasti pengen cucu, ya?”
“Bukan cuma pengen. Dia itu Batak, Lin. Anak tunggal. Marga itu penting banget. Kalau kita nggak punya anak, apalagi laki-laki... habis sudah garisnya.”
Hening sejenak. Suara jangkrik dari luar kamar makin terdengar jelas.
Sitor duduk, mengambil rokok dari laci dan menyalakannya. Sekali hisap, lalu berkata pelan, “Kau tahu, hari ini aku ngobrol sama Bapak. Dia bilang... ada temannya. Namanya Karim. Dukun juga, tapi lebih... modern. Katanya bisa bantu, dibantu sama asistennya juga, Ijal.”
Lina menoleh cepat. “Ijal yang sering ke rumah itu?”
“Iya. Dia bukan orang sembarangan. Kata Bapak, mereka punya metode pengobatan yang... khusus. Kadang lewat terapi tubuh, kadang pakai ramuan. Tapi banyak yang berhasil hamil setelah ditangani mereka.
Lina menelan ludah. “Maksud Abang... aku coba berobat sama mereka?”
“Kalau kau setuju. Aku cuma pengen kita usaha yang terbaik. Aku percaya mereka, apalagi Bapak yang rekomendasiin. Biar Bapak juga tenang. Biar marga kita nggak berhenti di aku.”
Lina memejamkan mata. Jantungnya berdetak lebih cepat. Entah karena harapan baru—atau karena kecanggungan membayangkan tubuhnya akan disentuh pria lain... demi harapan terakhir menjadi seorang ibu.
AIR SEHAT MENYESATKAN JIWA
Desa Panumbang sedang dilanda kelesuan. Bukan sekadar kemiskinan, tapi hawa depresi yang mengendap di tiap rumah. Para suami kehilangan gairah, para istri kehilangan arah. Warga percaya bahwa ini kutukan: pagebluk yang turun karena dosa kolektif atau makhluk halus yang marah.
Togar, tokoh berpengaruh di desa dan seorang non-muslim, melihat kesempatan dalam keterpurukan. Ia mengajak dua sekutunya: Karim, mantan ustaz yang kharismatik tapi menyimpan ambisi pribadi, dan Ijal, pemuda licik yang lihai bermain dengan psikologi orang kecil. Bersama, mereka memasarkan "Air Sehat Al-Ikhlas", racikan berisi vitamin, antioksidan, dan sedikit zat pemicu gairah—dibungkus dalam narasi keimanan dan kesembuhan.
Awalnya warga merasa bugar. Tapi efeknya tak bertahan lama. Mereka kembali lesu, apatis, dan kehilangan harapan karena memang tubuh mereka kekurangan gizi. Kondisi ini justru menjadi celah emas bagi Karim dan Ijal.
Mereka lalu menciptakan komunitas eksklusif—tempat warga yang ingin tetap sehat dan "bercahaya" bisa mendapatkan "penanganan khusus".
Di balik kedok dakwah dan pengobatan spiritual, Karim dan Ijal mulai menanamkan ajaran sesat: membebaskan tubuh dari dosa melalui ritual-ritual kebatinan yang menyentuh batas sensual dan spiritual.
Para wanita, yang lelah dengan suami mereka yang pasif, justru menemukan pelarian dalam "ruang dakwah khusus" itu.
Togar mengawasi semua ini dengan tenang. Bagi dia, ini bukan soal agama, tapi soal kontrol.
Sementara Karim mulai terjebak antara citra dakwah dan gelombang gairah yang justru membangkitkan sisi gelapnya, Ijal semakin berani membentuk jaringan rahasia yang lebih bebas, lebih dalam... dan lebih panas.
Setelah beberapa hari distribusi Air Sehat Al-Ikhlas, perubahan mulai terlihat.
Warga mulai tersenyum lagi. Beberapa perempuan tampak lebih segar, kulit cerah, pandangan hidup lebih terang. Salah satu yang paling menonjol adalah Rini, janda muda yang sebelumnya dikenal sering sakit-sakitan dan tertutup.
Di tengah pengajian ibu-ibu di balai desa yang dipimpin langsung oleh Karim, Rini berdiri dan menyampaikan kesaksiannya:
“Saya dulunya sering pusing, susah tidur, dan tiap pagi badan rasanya capek semua. Tapi setelah ikut program pengajian dan rutin minum air Al-Ikhlas, saya merasa lebih ringan, lebih cerah. Dan... lebih yakin menjalani hidup. Terima kasih Pak Ustaz Karim, ini berkah dari Allah.”
Ibu-ibu lain mulai saling berbisik. Mereka melihat perubahan nyata pada Rini. Bahkan ada yang bilang wajahnya seperti habis totok aura.
Tak banyak yang tahu bahwa pengajian itu bukan sekadar ceramah. Di balik tirai dan penerangan temaram, Karim dan Ijal menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam dari tubuh: kehampaan batin para perempuan desa yang selama ini ditekan, dikekang, dan tak pernah merasa diinginkan.
Lina melangkah masuk ke rumah Togar dengan langkah gugup. Rumah besar itu kini terasa seperti tempat lain—bukan sekadar rumah mertua, tapi juga pusat kesembuhan yang konon banyak membantu para perempuan desa kembali bugar.
Di ruang tengah, Ijal sudah menunggu. Ia mengenakan baju koko longgar, duduk bersila dengan kendi tanah liat di sampingnya. Rumah ini memang kini ditempati oleh Karim dan Ijal selama masa pelarian Mereka ini.
“Silakan duduk, Lina,” ucap Ijal lembut, menatapnya dari balik mata teduh yang menyimpan rencana.
Lina menunduk. “Saya... saya udah lima tahun nikah, Bang. Tapi belum juga dikasih anak. Suami saya anak tunggal… katanya kalau nggak punya keturunan, marga keluarga akan putus.”
Ijal mengangguk, mengambil segelas air dari kendi.
“Minum ini dulu. Air doa2. Biar tubuh kamu siap. Hati kamu pun jadi lebih terbuka.”
Lina menurut. Air itu terasa aneh—hangat, tapi juga membuat kulitnya geli. Seolah mengalirkan sensasi dari tenggorokan sampai ke perut. Saat dia mengangkat pandang, Ijal sudah lebih dekat.
“Terapi ini bukan cuma fisik, tapi juga batin. Kita buka simpul energi dalam tubuhmu... pelan-pelan, ya.”
Lina terdiam saat tangan Ijal menyentuh bahunya. Lembut tapi tegas. Bukan seperti sentuhan suaminya yang terburu dan sering tanpa arah. Sentuhan Ijal seperti tahu apa yang dia cari juga rasa yg di inginkan, dirangkul sebagai perempuan utuh.
“Tenangkan pikiranmu. Bayangkan tubuhmu sedang diajak bicara... dan kamu mendengarkannya...”
Dan malam itu, terapi Lina dimulai dengan aroma minyak herbal, suara Karim yang mengaji lirih dari kamar sebelah, dan sensasi baru yang perlahan mengikis hambar dalam hidup pernikahannya.
Lina memejamkan mata. Jemari Ijal bergerak perlahan di sepanjang tulang punggungnya, seperti membaca sesuatu yang tak kasat mata. Hangat, halus, dan menghanyutkan. Setiap sentuhan bukan sekadar menyentuh kulit, tapi juga menggugah sesuatu yang lebih dalam—rindu, kekosongan, dan hasrat yang telah lama terkubur.
"Aku bisa merasakan simpul energimu di sini," bisik Ijal pelan, menekan pelan di antara belikat Lina.
Lina menggigit bibir. Napasnya mulai tidak beraturan. Jemarinya mencengkeram ujung sajadah yang dibentangkan sebagai alas terapi. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena kenikmatan samar yang belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.
"Jangan ditahan... rasakan saja," lanjut Ijal, kini menurunkan pijatan ke pinggang dan perut bawah Lina.
Lina terangkat sedikit, refleks. Sentuhan itu terasa terlalu dekat ke pusat hasratnya. Tapi alih-alih meneruskan, Ijal justru mengangkat tangannya, mengusap pundak, lalu menjauh.
“Terapi hari ini cukup,” ucap Ijal pelan, dengan nada tenang yang membuat Lina frustrasi akibat gagal orgasme.
Lina membuka mata, tatapannya setengah bingung, setengah berharap. Napasnya masih terengah, rambutnya berantakan, dan tubuhnya seperti ingin dilanjutkan… tapi tak tahu harus bagaimana.
“Lanjutannya besok… kalau tubuhmu sudah siap,” bisik Ijal sebelum meninggalkannya sendirian di ruang terapi itu—basah oleh keringat dan keinginan yang belum tersalurkan.
Dan malam itu, Lina pulang ke rumah dengan tubuh yang ringan tapi hati yang berat. Ia tak bisa berhenti memikirkan tangan Ijal, suara lembutnya, dan sensasi yang berhenti di ambang klimaks.
Rumah Togar tak pernah seramai ini sejak beberapa bulan terakhir. Sejak Karim dan Ijal menempati kamar belakang, suasana berubah drastis. Halaman depan tak pernah sepi dari derap langkah kaki ibu-ibu yang mengenakan mukena atau kain panjang sederhana.
Di tangan mereka tergenggam botol bekas air mineral, siap diisi ulang dari gentong besar berisi “air sehat” yang disediakan oleh Karim—air yang disebutnya penuh vitamin, antioksidan, dan doa-doa khusus dari ayat suci.
Tak ada yang curiga. Warga desa ini terlalu lama hidup dalam ketakutan dan kelelahan akibat musim panen gagal dan berita pagebluk yang entah dari mana datangnya. Tubuh lemas, pikiran kusut, dan rumah tangga banyak yang mulai retak karena ketegangan terus-menerus. Maka saat Togar memperkenalkan Karim, si ustaz muda dari luar kota, dan Ijal, sahabat lamanya yang disebut-sebut pernah belajar terapi penyembuhan alternatif, harapan baru mulai tumbuh.
Di dalam rumah, antrean dibuat sederhana. Ruang tamu dijadikan tempat tunggu. Ibu-ibu duduk menunduk, kadang mengaji pelan, kadang hanya saling bisik. Dari balik pintu ruang tengah yang ditutup tirai tebal, suara samar kerap terdengar. Gemeretak kayu, helaan napas, kadang gumaman Karim yang terdengar khusyuk… kadang juga suara erangan pendek yang menggantung ambigu.
Namun siapa yang berani mencurigai? Bukankah Rini sendiri kini tampak segar, kulitnya cerah, mata bersinar, dan suaminya bahkan tak pernah lagi terdengar marah-marah di warung?
“Ustaz Karim memang luar biasa,” ujar Rini sambil menuang air dari botol ke gelas plastik, dikelilingi beberapa ibu yang tak sabar menanti giliran. “Pas dipijat, badan kita kayak diselametin dari setan. Beratnya ilang… dada jadi lapang.”
Beberapa ibu mengangguk penuh harap. Rasa penasaran dan ketertarikan halus mulai tumbuh di antara mereka.
Sementara itu, di ruang terapi, Karim dan Ijal saling bergantian menangani para wanita. Tapi hari ini, giliran Lina.
Lina berbaring dalam balutan daster tipis. Cahaya lampu bohlam yang kekuningan menerangi wajahnya yang tegang. Ini pertama kalinya ia berani datang ke tempat ini, meski suaminya sendiri yang mendorongnya. Sitor, suami Lina, anak tunggal Togar, sudah lima tahun menikah tanpa dikaruniai anak. Ia frustrasi, dan diam-diam merasa malu pada marga keluarganya. Maka ketika Karim dan Ijal menawarkan terapi pemulihan rahim dan energi keibuan, Sitor langsung mengiyakan.
“Aku titip Lina, Bang,” ucapnya pada Ijal dengan nada percaya. “Biar dia bisa jadi ibu dari anak-anakku nanti.”
Ijal hanya mengangguk, tersenyum kecil, lalu mempersilakan Lina masuk.
Lina memejamkan mata. Jemari Ijal bergerak perlahan di sepanjang tulang punggungnya, seperti membaca sesuatu yang tak kasat mata. Hangat, halus, dan menghanyutkan. Setiap sentuhan bukan sekadar menyentuh kulit, tapi juga menggugah sesuatu yang lebih dalam—rindu, kekosongan, dan hasrat yang telah lama terkubur.
"Aku bisa merasakan simpul energimu di sini," bisik Ijal pelan, menekan pelan di antara belikat Lina.
Lina menggigit bibir. Napasnya mulai tidak beraturan. Jemarinya mencengkeram ujung sajadah yang dibentangkan sebagai alas terapi. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena kenikmatan samar yang belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.
"Jangan ditahan... rasakan saja," lanjut Ijal, kini menurunkan pijatan ke pinggang dan perut bawah Lina.
Lina terangkat sedikit, refleks. Sentuhan itu terasa terlalu dekat ke pusat hasratnya. Tapi alih-alih meneruskan, Ijal justru mengangkat tangannya, mengusap pundak, lalu menjauh.
Untuk Akses Murah dan Mudah bisa cek Silahkan Cek Ke
https://victie.com/app/author/49673
Jangan Lupa BOKMARK + FOLLOW ya
ns216.73.216.30da2