MOSAIK IV: DARAH
dr. Benjamin sejak sebelum Ana menelepon sebenarnya sudah mengetahui pelaku pembunuhan lewat sidik jari yang ditinggalkan pelaku di leher korban.
Tapi seperti biasa, dia menyembunyikan identitas pelaku dari orang yang berhubungan dengan korban demi kebaikan bersama.
-----------
"Zo" panggil Max yang berada di teras rumah Izo.
"mmm?" tanya Izo yang sedang menyeruput kopi nya sembari memandangi ponsel.
"Gua ketahuan" ujar Max, dia tersenyum, seperti senyuman orang yang sedang tertantang.
"Ketahuan apa?" tanya Izo bingung.
"Sebelumnya gua mau jujur. Selama ini ada yg gue sembunyiin dari lo." Ucap Max.115Please respect copyright.PENANA5v4u9ovI6X
"Apaan tai?" tanya Izo lagi.115Please respect copyright.PENANA5fes3WExGq
"Gue ninggalin sidik jari di leher Yousaf waktu itu, harusnya sekarang atau besok udah ketauan sama dokter forensik yang ngatur autopsi Yousaf, lu tau kan perhitungan gua selalu tepat dari dulu" ujar Max.115Please respect copyright.PENANAlfiW85gAR2
"Hah? Kok lu bisa seceroboh itu sih?! yaa.. lagian juga gapapa kali kalo di bawa ke persidangan, dia kan pelaku pembunuhan berencana 2 tahun silam, pasti lu juga bakalan diringanin secara lu mantan agen intelijen negara." Izo berusaha mencari penenang yang tepat untuk Max.115Please respect copyright.PENANAsxRSzbuQQn
Senyuman Max makin lebar, dia terlihat seperti orang yang sangat puas.
"Kenapa sih lu? kenapa malah senyum?" tanya Izo heran.
"Gapapa, gua pergi dulu, waktu gua tinggal dikit" ujar Max sembari berdiri membelakangi Izo kemudian membalikkan muka menatap Izo, dia tersenyum tipis. Izo menatap Max yang membelakangi nya dengan raut wajah terheran-heran.115Please respect copyright.PENANAaH1arPkubP
-----------
Ana terlihat sedang bersiap-siap untuk mengikuti kelas di kampusnya. Dia menggendong messanger bag nya lalu meninggalkan rumah.115Please respect copyright.PENANAuEHKFbTaEU
"Iya sabar, aku lagi di jalan" jawab Ana di panggilan telepon, dia sedang melakukan panggilan dengan temannya, Nanda. Ana pun menutup pintu rumah seraya mengucapkan salam tanda dia akan pergi.
-----------
'Tok.. tok.. tok'
Seseorang dengan pakaian formal mengetuk pintu rumah Izo. Dia terlihat bersama Dr. Ben.
Izo membuka pintu rumahnya dengan raut wajah bingung.
"Iya, ada apa?" tanya Izo.
"Kami dari kepolisian, ingin menanyakan beberapa hal berhubungan dengan kematian saudara Bi Yousaf Enevah Suhendra, boleh kami masuk?" jawab Pria itu sembari menunjukkan kartu nama keanggotaannya. Terlihat nama pria itu adalah Dicky.
"Ahh.. iya silahkan." jawab Izo yang sebenarnya takut, dia agak terlihat gugup, tapi tetap terlihat profesional.
"Baik, langsung saja, kami ke sini untuk menahan seseorang bernama Max, karena kami menemukan bukti sidik jari saudara Max di mayat korban." jelas dr. Ben dengan raut wajah yang serius.
"Jadi maksud bapak, Max adalah pelaku pembunuhan Yousaf? tunggu sebnetar, pemilik rumah ini adalah saya, Izo. Yang bapak cari adalah Max bukan?" tanya Izo bingung.
"Sebelumnya maaf jika mengganggu, tapi dari hasil pelacakan kami, Saudara Max timggal di sini, kalau begitu apa Saudara Max sering mengunjungi rumah ini?" tanya Dicky.
"Iya, dia memang sering berkunjung, tapi tidak bisa dikatakan kalau dia bertempat tinggal di sini bukan? Dengar, saya memang teman Max, tapi saya tidak ada hubungan apapun dengan kasus ini, saya mantan Agen Intelije, boleh tahu cara pelacakan yang kalian lakukan?" tegas Izo sambil menunjukkan foto kartu keanggotaan inteligennya di ponsel seperti biasa.115Please respect copyright.PENANAqUSxKnwqkJ
"Kami menggunakan Alamat IP, sekarang pun masih terdeteksi jika saudara Max berada di rumah ini, sebenarnya kami telah mengepung rumah ini untuk mencegah kaburnya tersangka." jawab Dicky.
"Boleh kami menggeledah rumah Saudara? Terlihat radarnya masih menunjukkan bahwa dia masih di sini." lanjut Dicky.
Izo memasang raut wajah terkejut. "Baik, silahkan" ujar Izo.
Setelah menggeledah beberapa ruangan, Dicky menyinari kolong kasur dengan senter ponselnya, terlihat sebuah ponsel. Dia mengambilnya.
'HAI POLISI BODOH! AKAN ADA KORBAN BARU PUKUL 15.00."
Terlihat tulisan merah di wallpaper lockscreen ponsel tersebut. Dicky langsung bergegas keluar dari ruangan dan memberi tahu semua pasukan kepolisian yang berada di area dengan handy talky miliknya dengan menekan tombol PTT selama 2 detik.
"instruksi, berkumpul di kantor distrik 5." perintah Dicky kepada pasukannya di area walkie talkie kemudian melepas tombol PTT yang dia tekan tadi.
Dicky membawa ponsel yang masih hidup itu, Izo melihatnya. Dia melihay tulisan yang ada di wallpaper lockscreen tersebut.
Terlihat wajah Izo yang kebingungan disertai bunyi sirine mobil polisi yang membuat situasi menjadi menegangkan, semua polisi bergegas meninggalkan rumah dia.
Beberapa saat kemudian, setelah polisi meninggalkan rumah dia, keadaan di rumah Izo menjadi sunyi tanpa suara.
"Bukannya aku yang sudah membunuh dia ya? kenapa ma-" Izo mecoba menyadari beberapa hal. Dia pun bermaksud pergi ke kantor polisi distrik 5.
Izo berjalan cepat menuju pintu nya, untuk keluar dari rumah, lalu menutup, kemudian dia mengunci pintu rumah dia.
"Izo, boleh saya tanya mengenai obat yang saya temukan di tempat sampah ini?" tanya dr. Ben yang ternyata berdiri di samping pintu rumah Izo. Izo terkejut.
"Apa yang bapak lakukan di sini? kenapa tidak pergi bersama polisi tadi?" tanya Izo bingung.
"Jawab saja." pinta dr. Ben.
"Ah, obat itu.. Max yang memberikan padaku, memang kenapa?" tanya Izo.
"Kau telah dijebak, obat ini adalah hasil dari projek pembuatan senjata biologis yang dibuat oleh beberapa ilmuwan rahasia negara untuk menimbulkan delusi tertentu." jawab dr.Ben sembari berjalan meninggalkan izo.115Please respect copyright.PENANAB1SvFzjuQL
*Tet tet tet
Ponsel Izo berbunyi, terlihat dari nama kontak di layar ponsel nya, dia mendapat panggilan telepon dari Max.
"MAX!" getak Izo di telepon.
"Hehhh, beneran udah ketahuan ternyata" ujar Max sembari tersenyum, dia mengetahui kondisi nya saat itu.
"Jadi bener kalo lu selama ini ngejebak gua?" tanya Izo.
"Ya bener, gua ngejebak lu. Cih pasti gara gara dokter sialan itu." jawab Max.
"Apa aja? dan kenapa lu tau tentang dokter itu?" tanya Izo.
"Sekarang yang harus lu lakukan adalah bunuh dokter itu. Soalnya kalo engga, lu sama gua bakal ketangkep. Setelah lo bunuh dia, gua kasih tau lokasi gua dan gua bakalan ceritain semuanya." ujar Max.
"Kenapa juga gua harus percaya sama lu? hah?!" ujar Izo yang tidak percaya.
"Karena itu satu-satunya pilihan lo, sekarang ga penting mau lu percaya sama gua atau enggak. Dan kalo lu liat wallpaper hp gua yang gua tinggalin di kolong kasur lu, lu harusnya tau sih." jelas Max.
"HAH?! APA MAKSUD LU? ITU CUMA GERTAKAN BUAT POLISI BUKAN?!" tanya Izo.
"Sebenernya gua mencuri 4 peluru colt 1911 dari markas kita dulu, yang pertama udah dipake lu, dan yang kedua.. ini mau gua pake, gua cuma bawa satu peluru. Yang dua lagi ada di atas lemari lu, lu kan punya wadah tu, pake aja." jawab Max.115Please respect copyright.PENANAstcQHMfD12
"SIA-"
*tut tut tut
Disaat Izo ingin berbicara meluapkan emosi nya, panggilan telepon itu ditutup oleh Max.
------------
dr. Ben berjalan cepat meninggalkan lorong demi lorong gang perumahan. Dia mempunyai firasat buruk. Dia tidak memiliki ponsel ataupun kendaraan, sehingga dia harus berjalan sampai jalan raya agar bisa menumpang angkutan umum sampai ke kantor kepolisian.
*ciiiitttt
Di depan lorong gang, terlihat seseorang memakai helm hitam mengerem motor nya, dia menutupi jalan.
Orang itu adalah Izo, Ia bermaksud membunuh dr. Ben di gang itu. dr. Ben masih belum menyadari, dia tetap melanjutkan jalan cepat nya.
"Ah... pas sekali, lorong gang yang sepi." ujar Izo sembari mengeluarkan pistol dari saku nya. dr. Ben mengetahui suara yang didengarnya dari ujung lorong itu milik Izo, dia akhirnya menyadari bahwa diri nya sedang dalam bahaya. Dia pun berlari ketakutan ke belakang.
*Jedor
"Sisa satu peluru ya,.. huhh." ujar Izo kepada diri nya sendiri sembari membuang nafas lalu meninggalkan mayat dr. Ben.
------------
Max terlihat sedang duduk menikmati lagu yang ia putar di sebuah ruangan penuh darah dengan pisau yang tergeletak di lantai.
*Gubrak
Sebuah pintu ditendang secara paksa oleh Izo yang masih memakai helm nya setelah membunuh dr. Ben.
"Ah.. Izo, datang juga lu." Max membuka pembicaraan.
Izo kaget, dia melihat darah dimana-mana, juga pisau yang tergeletak di lantai. Dia memandangi sekitarnya. Dia shock, ia melihat mayat Ana Anggira yang terkapar di lantai dengan penuh darah.
"SIALAAAANNNN!" bentak Izo disertai air mata nya yang mengalir, mata nya merah, lutut nya terjatuh tanda dia sangat shock dan lemah.
"Huhh..." Max menghela nafas.
"Gua bakalan ceritain segalanya sesuai janji gua. Pertama, lu telen pil obat ini, ini obat buat nyembuhin sementra penyakit delusi lu" lanjut Max sembari melemparkan pil itu ke Izo.
"Kasih tau gua segalanya, abis itu, lu bakalan gua habisin, dasar bajingan!" balas Izo sembari melototi Max yang masih duduk santai.
Izo pun lalu menelan mentah-mentah pil itu. Dia sudah pasrah, dia tidak peduli kalau ternyata diri nya dijebak lagi oleh Max. Malah sebenarnya, dia ingin segera mati saja.
*DEG
Sebuah dorongan besar dari masa lalu membuatnya pusing, dia teringat segala yang dia lupakan selama ini, apalagi kenangan tentang Bila.115Please respect copyright.PENANA33J4B311lk
Rekaman memori terputar kembali, dia seperti menonton sebuah adegan film pembunuhan berlatar hitam putih. Ia berada di sebuah ruangan dan kondisi yang sama persis seperti yang dia tempati dan rasakan saat itu. Bedanya hanya pelaku dan korbannya. Jika dulu adalah orang bernama Raka sebagai pembunuh dan Bila sebagai korban, sekarang adalah Max sebagai pembunuh dan Ana Anggira sebagai korban.115Please respect copyright.PENANAsZhTKEPBFR
"Lu sekarang inget Bila kan? cinta pertama lu, dulu dia minta dideketin sama temen lu, si Raka. Cih, cinta bertepuk sebelah tangan. Pas lu udah deketin dia sama Raka dan mereka udah jadian, Raka malah khianatin kepercayaan lu sebagai temen deketnya. Raka menyiksa Bila sampe Bila mati. Dan lu mergokin dia tepat setelah Bila udah tinggal jasad." ujar Max, ia masih duduk. Sedangkan Izo masih berlutut di lantai, dia masih lemas.
"Sebenernya, gua ikut ngerencanain pembunuhan Bila. Gua pengen banget jadi eksekutornnya si Bila saat itu. Tapi si Raka maksa banget, yaudah gua kasih aja Bila ke Raka biar dia puas, sebagai sesama Sosiopat, kami gamau bagi-bagi korban walau dengan temen sendiri, rasanya kurang puas. Alhasil gua kebagian tugas buat ngawasin keadaan di luar. Singkatnya, karena gua udah capek harus kerja sama terus sama Raka, gua buat rencana untuk menjebak dia. Isi rencana gua adalah skenario di mana lu mergokin Raka, kemudian Raka ditangkep, dan mental lu jadi lemah. Saat mental lu lemah, gua kasih lu obat-obatan hasil dari pembuatan senjata biologis yang dirahasiain negara. Obat itu membuat lu berdelusi, dan melupakan kejadian bahwa Bila udah mati. Suatu saat, gua ketemu sama seseorang yang sangat mirip dengan Bila, orang itu adalah dia, Ana Anggira. Nafsu untuk menyiksa Ana dari dalam diri gua menggebu-gebu, saat itu juga, gua ngerencanain buat nyiksa Ana dengan manfaatin penyakit lu. Tiba saatnya, saat gua temuin lu sama Ana Anggira, lu menganggap Ana adalah Bila, dan lu juga menganggap kalo Ana akan dibunuh oleh lski laki yang dekat dengan dia berdasarkan delusi lu tentang masa lslu lu bersama Bila. Sisa ceritanya lu tahu sendiri bukan? Yousaf bukan seorang psikopat. Hahah, a little push dari gua, dan akhirnya lu bunuh Yousaf yang gak bersalah itu." jelas Max.115Please respect copyright.PENANAgvQbt5ztWJ
Izo dan berdiri. Ia memegang pistol berisi satu peluru colt 1911.
Max melemparkan satu peluru colt 1911 yang ternyata tidak ia gunakan untuk membunuh Ana.
"Nih, satu peluru lagi, gua ga make pistol untuk bunuh si Ana, kurang puas. Bunuh gua sekarang juga" ujar Max sembari mengeluarkan peluru dari saku celana nya kemudian melemparkan peluru itu ke Izo.
Izo mengarahkan pistol ke kepala Max. Kemudian menarik pelatuk pistol.
*Jedor
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara sirine polisi
Izo lemas, dia sendirian, sebagai manusia hidup yang ada di ruangan penuh darah itu. Perasaan nya campur aduk. Dia merasa bersalah telah membunuh Yousaf, dia merasa gagal melindungi Bila dan Ana, dia merasa dikhianati oleh seseorang yang dia anggap sebagai sahabat selama ini, dia menyalahkan diri nya sendiri.
Tangannya mengambil peluru yang tadi dilemparkan oleh Max di lantai. Kemudian memasukkan peluru itu ke pistol nya, lalu mengarahkan pistol itu ke kepala nya sendiri.
*Jedor
ns 172.69.58.2da2