×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
  • Time Remaining
    Submission Closed
Zombie Adam
0
0
0
65
0

Sehari Sebelum Kejadian

Pukul 08:33 pagi.

Di Cafe Nakama di Kota Berlian, suasana penuh kegelisahan terasa di udara.

Seorang pria tampan duduk gelisah, rambut ikalnya sering diraba, tangan kurusnya terus diusap, dan bibir tebalnya digigit sebagai tanda ketidak sabaran yang menghantuinya.

Dengan ponselnya di tangan, dia mencoba menelepon seseorang dengan nada kegelisahan.

'Tuuuttt... Tuuuttt... Tuuuttt...' Suara dering ponsel belum diangkat.

"Hallo..." suara perempuan pun terdengar di seberang sana.

"Salwa, kamu ada di mana?" tanya pria itu.

"Apaa? Aku sudah menunggu kalian selama 30 menit dan kamu bilang kalian mau sampai ke Desa Abadi?" Karena kesal pria itupun menutup panggilan.

"KKN ke Desa Abadi... Kita satu kelompok kan?" Pria itu berbicara sendiri dengan nada sedih.

Ketika pria itu menoleh ke luar kafe, dia melihat seseorang yang dikenalnya berdiri di seberang jalan.

"Asep?" Serunya.

Dia bergerak menuju kasir untuk membayar pesanannya. Saat hendak meninggalkan kafe, dia ditabrak oleh seseorang dengan cukup keras.

'BRAAKK!' Tubuhnya terhempas ke trotoar.

"Awww... Sakit brengs... Kemana dia?" gumamnya sambil menahan rasa sakit. 

Asep segera menyeberangi jalan untuk membantu pria tersebut.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Asep. "Tangan kamu terluka." sambil memperhatikan luka di tangan kanan pria itu.

Pukul 09:11 siang

Di sebuah bukit, ada lima perempuan sedang beristirahat.

"Pohon itu sangat besar, benarkan Hawa?" tanya salah satu perempuan bernama Irma, dengan mata bersinar.

"Iya, Irma. Kamu benar. Pohon yang berdiri di tengah lebih besar daripada yang lain, bahkan batangnya terlihat jelas dari sini," balas Hawa.

Perempuan berkacamata, menyentil, "Hawa, asal kamu tahu, itu bukan batang, itu rumah peri."

Perempuan bermata sipit bernama Miko, mencemooh, "Jangan berkata bodoh sambil mengenakan kacamataku Nadia!"

"Satu kacamata bukan apa-apa bagi keluarga konglomeratkan Miko?" Ejek Nadia.

"Aku rasa, istirahatnya sudah cukup, ayo kita berangkat." Kata perempuan bernama Salwa.

Nadia menggoda, "Wow, ketua... jeruknya kamu habisin?"

Salwa menjawab sambil makan jeruk, "Tidak apa-apakan?  Kan Orang bodoh tidak suka jeruk, dan jangan panggil aku 'ketua'."

Nadia menyipitkan matanya lalu berkata, "Maksudmu aku bodoh?"

Salwa, "Aku tidak bilang."

Hawa menengahi perselisihan mereka, "Sepertinya kalian akan bertengkar jika dibiarkan, lebih baik kita bergerak sekarang, Desa Abadi juga sudah terlihat dari sini."

Pukul 13:25 siang

Di depan pintu masuk Desa Abadi, lima pria terpesona oleh keindahan desa. Mereka terpukau oleh pemandangan taman yang luas, aroma bunga yang menyegarkan, dan warga yang ramah.

Nadia tiba-tiba muncul dan memarahi mereka karena keterlambatan mereka.

Nadia, "Kenapa kalian telat? Warga desa sudah menyiapkan sambutan untuk kita dengan susah payah."

Asep, "Kalian pergi dan meninggalkan kami."

Nadia, "Ketua sudah memberi tahu kita untuk berangkat pukul 07:00 pagi."

Pria kekar bernama Anton berkata, "Haha... Kami mungkin tidak memperhatikan informasi dari ketua. Maaf kami terlambat."

Pria berkulit hitam bernama Udin membalas, "Wahaha... Anton, selalu lembut dengan Nadia."

'Plaakk!' Anton memberikan tamparan ringan kepada Udin, "Diam Udin!"

Nadia, "Jangan ribut. Sebagai hukuman, kalian harus membersihkan kandang pertenakan."

Salwa mendekati mereka, "Mereka pasti lelah. Hukuman bisa ditunda."

Salwa memperhatikan luka di tangan kanan Julio, "Tangan kanan kamu kenapa, Julio?"

Julio, "Tidak apa-apa, hanya luka kecil."

Salwa khawatir, "Benarkah? Tapi kamu kelihatan pucat. Apakah kamu sakit?"

Julio, "Oh, mungkin karena semalam aku begadang."

Salwa, "Nadia, coba kamu antar para pria ke penginapan mereka, sekaligus perkenalkan mereka kepada warga sekitar. Aku akan bawa Julio ke puskesmas untuk memeriksanya."

Salwa mencoba menggenggam tangan Julio, namun Julio melepaskannya, sepertinya Julio kesal dengan Salwa.

Julio, "Maaf, ketua, aku baik-baik saja. Hari ini aku akan istirahat dan tidur sebentar, ku rasa bakalan membaik setelahnya."

Salwa, "Baiklah kalau begitu, dan jangan panggil aku 'ketua'."

Keesokan harinya, pukul 09:20, satu jam sebelum kejadian.

Julio terbangun dari tidur, "Sudah berapa lama aku tidur?" Gumamnya.

Dia merasa sangat haus dan lapar. Dia mencari makanan dan minuman, setelah menghabiskan persediaan, kehausannya belum terpuaskan.

Julio mulai merasa aneh, badannya panas, tenggorokannya kering, dan penglihatannya buram. Dia mencoba mencari pertolongan, tapi tak ada orang di sekitar.

Julio memaksakan diri keluar penginapan, meskipun dalam keadaan setengah sadar. Penglihatannya semakin kabur, dan warna merah menyelimuti dunianya.

Dia terus berjalan tanpa arah.

Orang-orang mulai memperhatikan Julio, bertanya-tanya apa yang terjadi. Beberapa bahkan mencoba mendekatinya, tetapi Julio terus berjalan.

Gejala-gejala aneh muncul satu persatu pada diri Julio. Mulai dari mata yang berubah warna menjadi merah, badannya semakin pucat, bahkan urat yang ada pada tangan kanannya membesar dan menjadi hitam.

Perlahan-lahan kesadaran Julio mulai hilang, detak jantungnya berdetak sangat kencang. 

Dan 'Crooottt!' darah menyembur dari hidungnya, dan diapun pingsan.

Saat ini, kembali ke kisah yang sedang berlangsung.

Desa Abadi, yang dulu terkenal akan keindahan dan keramahan warganya, kini telah berubah menjadi gambaran keindahan yang tercemar oleh kehadiran noda yang mengerikan.

Di sepanjang jalan dan di setiap rumah, suasana telah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. "Menyeramkan" adalah kata yang pantas untuk menggambarkan Desa Abadi saat ini. Hampir semua penduduk desa tampak seperti Julio, terinfeksi oleh sesuatu yang menyebar seperti api yang siap membakar segalanya.

"Hahhh... Huhhh... Hahhh," (Suara nafas seseorang yang sedang berlari.)

Hawa berlari menuju rumah Adam dengan pikiran yang penuh kekhawatiran. "Adam, semoga kamu baik-baik saja." Gumamnya

Dia terus berlari tanpa mempedulikan dua teman yang ikut berlari di belakangnya.

Nadia berusaha mengejar Hawa berteriak, "Hawa, kamu mau kemana? Kita harus mencari tempat yang aman!"

Asep yang ketakutan berseru, "AAAAAA... MEREKA SEMAKIN DEKAAAATTT."

'Aaarrgghh!!..' (Suara monster mengerikan menggema di kejauhan, membuat situasinya semakin mencekam.)

Mereka melihat sejumlah besar monster mengejar mereka, puluhan bahkan mungkin ratusan, mengikuti dengan niat jahat yang mengancam seluruh keberadaan mereka.

Di sudut kanan desa, sebuah rumah kayu bertingkat dua menciptakan suasana yang sangat menegangkan. Enam orang bersembunyi di lantai atas rumah tersebut, dan di antara mereka, lima adalah teman-teman mahasiswa Hawa. Suasana yang menakutkan menggelayuti mereka.

Dalam ketegangan yang melanda, Udin berkata, "A..A..A.."

Karena ketakutan Udin menjadi gagap, Antonpun memukul pundak Udin dengan cukup keras, 'Plaakk!!'

Dengan lancar dan cepat Udin berkata, "Apa yang terjadi dengan para warga?" Udin melanjutkan, "A..A..A.."

Anton menghela nafas dan memberikan pukulan kedua pada Udin, 'Plaaakkk!!!'

"Aku habis dari toilet, tiba-tiba aku melihat banyak monster berlari ke arahku, kalau bukan karena pak Budi, aku pasti sudah mati." Udin berbicara dengan nada dua kali lebih cepat, kepanikan merajalela.

Miko, dengan ketakutan di wajahnya, berusaha memberikan penjelasan, "Itu Zombie. Kalian sendiri melihatnya, kan? Di puskesmas, ketika Julio menggigit Dokter, seketika Dokter itu berubah seperti Julio, gigitan demi gigitan menyebar sangat cepat."

Irma mengamini, "Aku pikir juga begitu, mereka seperti Zombie yang ada di film-film, tapi penyebaran yang terjadi di Desa Abadi tidak seperti di film-film."

Anton menambahkan dengan suara gemetar, "Kamu benar... Teman kita Genta... Dia hanya dicakar dan sedikit tergores, berselang beberapa detik dia langsung berubah seperti mereka." Air mata hampir menetes dari matanya.

Udin berkata, "Genta pria kecil yang baik, sayang aku tidak terlalu mengenalnya, karena dia tidak banyak bicara."

Apa yang dikatakan Udin hanya ada didalam pikirannya, karena jika dia ungkapkan maka dia akan gagap. Udin sadar pukulan ketiga Anton pasti akan lebih kuat dari yang ke dua.

Salwa, dengan ekspresi prihatin, hanya diam dan merenung seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam.

Di dekat jendela, seorang pria dewasa, Pak Budi, mengintip apa yang terjadi di luar. Dia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan para mahasiswa dari kejadian mengerikan di luar sana.

"Zombie yaa?" gumamnya, lalu dia menatap lima mahasiswa yang masih ketakutan dan mencoba menenangkan mereka, "Setidaknya sekarang kita aman."

Terharu, Salwa menyampaikan rasa terima kasih, "Terima kasih, Pak Budi, karena telah menyelamatkan kami. Aku hanya berharap teman-teman kami yang lain juga selamat." Suasana tegang dan ketakutan di dalam rumah kayu tersebut semakin mendalam.

Hawa sampai di depan rumah Adam dengan perasaan tergesa-gesa, ketakutan meliputi dirinya. Ia berusaha membuka pintu rumah yang sangat kuat terkunci.

'Tuk! Tuk! Tuk!' Suara ketukan terdengar berdering di udara. "Adaammm!!" Teriak Hawa dengan kepanikan yang mendalam.

Nadia bergabung dengan Hawa dengan perasaan yang sama. Mereka tidak membuang waktu untuk berpikir panjang dan dengan keras memanggil Adam, sambil menendang pintu dengan penuh ketakutan.

'Bam! Bam! Bam!' Suara tendangan menggelegar. "Adaaammm!!! Berengggsseeekkk!!! Buka pintunyaaaa!!! Teriak Nadia dengan nada penuh emosi.

Tiba-tiba terdengar suara membuka kunci 'klik'. Nadia dengan cepat mendorong pintu tersebut, membuat Adam terpental ke belakang dan terjatuh dengan keras.

"Aaww.. Ada apa dengan kalian?" Kata Adam dengan rasa marah dan bingung.

"Maaf Adam, nanti kita jelaskan," kata Hawa dengan perasaan lega.

Namun, keadaan di luar masih sangat berbahaya. Nadia teriak panik, "Aseppp tolollll! Cepatlahhhh!"

Asep, yang sudah berada didekat pintu rumah Adam, melompat dengan tergesa-gesa dan berteriak, "Aaaaa!!" Namun, ketidakberuntungannya menyebabkan ia menabrak Adam, menjatuhkannya ke lantai.

'Bruukk!' Suara benturan itu menyebabkan keduanya kebingungan. Asep mencoba tersenyum konyol dan berkata, "Maafkan aku."

Namun, Adam dengan nada sinis mengusir Asep, "Tciihh... Menyingkir dariku!"

Hawa dan Nadia berusaha menutup pintu dengan cepat, sementara Asep bergegas membantu mereka. Mereka mendorong pintu sekuat tenaga karena monster-monster di luar berusaha masuk, dan mereka berhasil mengunci pintu 'klik'.

Adam sendiri tampak terkejut dan heran, "Apa itu?" pikirnya, Adam perlahan berjalan kearah jendela, diapun melihat para Monster yang ada diluar.

"Kenapa?" Gumam Adam.

Gumaman Adam terdengar oleh Asep yang berdiri disebelahnya, membuat Asep secara tidak sengaja melirik wajah Adam.

Seketika itu, Asep ketakutan, dan hanya satu hal yang muncul dipikiran Asep ketika melihat ekspresi yang dipancarkan Adam yaitu:

"Lebih baik aku diluar bermasa monster-monster itu daripada bersama Pria ini."

"Kita sudah aman," kata Nadia, mencoba menenangkan situasi yang sangat mencekam.

Tapi Adam pergi tanpa berkata-kata menuju kamar. Nadia mencoba bertanya tentang pintu atau jendela yang mungkin terbuka, tetapi Adam hanya diam dan masuk ke kamarnya.

"Tciihhh... Dia kenapa sih?" Nadia heran.

"Sepertinya kita sendiri yang harus memeriksa, Hawa. Ayo kita telusuri rumah ini, takutnya ada pintu atau jendela yang terbuka," ujar Nadia.

Namun, Hawa merasa khawatir, "Hmmm... Menurutmu pintu ini aman? Monster yang ada di luar, masih berusaha masuk."

Nadia memperhatikan pintu dengan cermat, "Menurutku aman. Mungkin ini satu-satunya rumah di Desa Abadi yang bangunannya sangat kuat dan kokoh, bahkan pintunya terbuat dari kayu yang sangat kuat, aku yakin ini kayu yang langka. Aku pernah melihatnya di tempat kerja ayahku."

Hawa setuju, "Kalau diperhatikan, kamu benar, bahkan kaca jendela ini seperti kaca anti peluru," katanya sambil menyentuh kaca jendela.

Nadia berpikir sebentar dan kemudian berkata, "Tapi untuk berjaga-jaga, mari kita coba menghalangi pintu ini dengan sesuatu. Bagaimana dengan kursi besar itu?" Dia menunjuk kursi yang ada di ruang tamu.

Asep yang sebelumnya berdiam diri tanpa reaksi tiba-tiba tersadarkan oleh Nadia, "Aseppp!"

"Aaaaa! Ada apa?" Tanya Asep heran

Nadia menghadapinya dengan rasa kesal, "Bantu aku, tolol!"

Adam berbaring di kamarnya dan melihat ke langit-langit putih di atasnya, dengan pikiran yang bercampur baur.

"Adam?" seseorang memanggil dari luar kamar.

Adam melirik pintu, dan ternyata itu Hawa dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Namun, Adam merasa terganggu, ia berdiri dan berjalan mendekati pintu, lalu tiba-tiba berkata, "Jangan dekati aku!" Kemudian ia mengunci pintu kamarnya.

Hawa yang berada di luar menatap pintu dengan raut wajah sedih yang sangat mencolok.

Adam yang sekarang berada di dalam kamar merasa bingung, sedangkan Hawa terlihat sangat sedih di luar. Suasana di dalam rumah penuh ketegangan dan rasa cemas.

Nadia menepuk pundak Hawa dan bertanya, "Kamu dibuat sedih lagi? Lagipula kenapa kamu peduli sama dia sedangkan kita baru mengenalnya hari ini, dan kita juga baru 1 hari didesa ini?"

Hawa mengalihkan pembicaraan, "Tidak apa-apa, ayo kita telusuri rumah ini, takutnya ada pintu atau jendela yang terbuka, dan bagusnya kita halangi juga dengan sesuatu agar Monster itu tidak mudah masuk."

Tetapi Asep, yang sebelumnya ketakutan dengan ekspresi Adam, malah terkagum-kagum dengan rumah Adam, "Hmmm... Menurutku, rumah ini cukup besar, aku kira pria ini cukup kaya."

Mereka bertiga mulai menelusuri rumah Adam, seperti penjelajah yang sedang mencari harta karun.

Rumah Adam, yang berdiri megah di tengah Desa Abadi, merupakan rumah terbesar di sekitar sana. Namun, walau begitu rumah ini tidak punya pagar, sehingga para Zombie dengan mudah menginjakkan kakinya ke halaman rumah Adam.

Rumah Adam terdiri dari tiga tingkat yang cukup mengesankan.

Tingkat Pertama memuat beragam ruangan, termasuk ruang tamu, ruang keluarga, empat kamar tidur, satu kamar mandi, satu toilet, ruang makan, dan dapur yang dilengkapi dengan peralatan modern.

Tingkat Kedua menyajikan ruang olahraga yang lengkap, perpustakaan yang penuh dengan buku-buku berharga, satu kamar tidur mewah, satu kamar mandi yang layaknya spa, dan satu toilet yang dirancang dengan indah.

Tingkat Ketiga, hanya berupa satu ruang besar yang kosong.

Rumah ini juga menghadirkan kebun sayuran di atapnya. Sebuah kebun yang penuh dengan berbagai jenis sayuran, seperti tomat, wortel, dan sebagainya, meskipun tampaknya belum siap untuk dipanen.

Hawa, Nadia, dan Asep selesai memeriksa semua ruangan di rumah Adam, namun satu tempat yang belum mereka cek adalah atap rumah.

"Bagaimana mungkin monster bisa sampai ke atap? Rumah ini memiliki tiga tingkat!" kata Asep dengan rasa penasaran.

Nadia mencoba merenung, "Kita tidak mengetahui apapun tentang monster itu"

"Rasanya rumah ini cukup unik, bentuknya yang kotak, banyak ruangan, bahkan barang-barang mahal juga ada disini, yang lebih mengherankan dia tinggal sendirian?" Lanjut Nadia.

Hawa melihat pintu yang mengarah ke atap, "Apa ini pintu ke atap?" Memegang gagang pintu. "Pintunya terkunci."

Asep dengan cerdik menggunakan alat di sakunya untuk membuka pintu tersebut dengan mudah.

Mereka membuka pintu menuju atap dan menemukan sebuah kebun yang indah. Namun, ada seseorang yang duduk di salah satu kursi di tengah kebun.

"Hai, kalian siapa?" tanya orang itu, mengejutkan mereka.

Asep heran, "Siapa anak ini?"

Tiba-tiba Hawa menangis

Nadia dengan keheranan bertanya, "Kenapa kamu menangis?"

Hawa menjawab pertanyaan Nadia dengan nada lembut, "Apakah Adam sudah punya anak?"

Anak kecil itu tertawa dan menjawab, "Hahaha... Aku bukan anak kak Adam. Aku adalah Thomas, muridnya kak Adam."

Hawa, "Murid?"

Mereka bertiga melanjutkan percakapan dengan Thomas, menceritakan apa yang telah terjadi pada mereka dan bagaimana mereka berakhir di rumah Adam.

Asep, "Kenapa Julio tiba-tiba berubah jadi Monster? Apa karena kejadian itu?"

Nadia dan Hawa melirik Asep.

Thomas tertawa, "Hahaha... Monster? Mereka bukan monster."

Dengan ekspresi serius Thomas melanjutkan, "Mereka adalah ZOMBIE ADAM.

Malampun tiba, suasana gelap dan menakutkan menaungi dunia. Bulan purnama hanya menambah ketakutan dengan cahayanya yang mencorong di antara awan, menciptakan bayangan yang mencekam.

Ini adalah malam yang akan diingat sebagai malam yang merubah dunia.

Dari Desa Abadi yang sekarang dipenuhi kegelapan, zombie-zombie melangkah keluar dan menuju desa-desa yang terletak di sekitarnya.

Beberapa zombie terbawa arus sungai yang deras, sementara yang lain berjalan tak beraturan di sepanjang jalan raya.

Mereka adalah ancaman bergerak, penuh dengan kehausan akan daging manusia.

Namun, di malam yang mencekam ini, ada satu zombie yang mengerikan. Dia berbeda dari yang lain, besar dan tinggi mencapai 3 meter. Matanya berwarna hijau dengan cairan ungu yang menetes, dan bau amis yang mengikuti jejaknya.

***

"Grrrrunch!" Zombie itu tengah melahap seorang manusia, dan tak jauh dari sana, dua perempuan bersembunyi di dalam sebuah tempat sampah yang cukup besar untuk menampung mereka.

"Hikss.. Hikss.. Anton, Irma, Genta.. mereka bertiga dimakan," kata Miko dengan suara sedih dan ketakutan.

Salwa, yang ada di sampingnya, memeluk Miko untuk memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan. "Tenang Miko, kita harus tetap diam dan bersembunyi."

Meskipun Salwa mencoba menenangkan Miko, ketakutan juga merasukinya. Keringat membasahi kulit mereka, dan air mata mengalir di pipi mereka. Mereka merasa terperangkap dalam kegelapan yang mengancam.

Lalu, tiba-tiba, suasana menjadi hening. Zombie raksasa yang sedang memakan teman-teman Hawa itu mendongak dan melirik ke arah tempat sampah dengan mata penuh kehausan.

Ketidakpastian dan rasa takut merayap dalam malam yang gelap ini. Apa yang akan terjadi pada Salwa dan Miko?

-To Be Continued-

Sehari Sebelum Kejadian

Pukul 08:33 pagi.

Di Cafe Nakama di Kota Berlian, suasana penuh kegelisahan terasa di udara.

Seorang pria tampan duduk gelisah, rambut ikalnya sering diraba, tangan kurusnya terus diusap, dan bibir tebalnya digigit sebagai tanda ketidak sabaran yang menghantuinya.

Dengan ponselnya di tangan, dia mencoba menelepon seseorang dengan nada kegelisahan.

'Tuuuttt... Tuuuttt... Tuuuttt...' Suara dering ponsel belum diangkat.

"Hallo..." suara perempuan pun terdengar di seberang sana.

"Salwa, kamu ada di mana?" tanya pria itu.

"Apaa? Aku sudah menunggu kalian selama 30 menit dan kamu bilang kalian mau sampai ke Desa Abadi?" Karena kesal pria itupun menutup panggilan.

"KKN ke Desa Abadi... Kita satu kelompok kan?" Pria itu berbicara sendiri dengan nada sedih.

Ketika pria itu menoleh ke luar kafe, dia melihat seseorang yang dikenalnya berdiri di seberang jalan.

"Asep?" Serunya.

Dia bergerak menuju kasir untuk membayar pesanannya. Saat hendak meninggalkan kafe, dia ditabrak oleh seseorang dengan cukup keras.

'BRAAKK!' Tubuhnya terhempas ke trotoar.

"Awww... Sakit brengs... Kemana dia?" gumamnya sambil menahan rasa sakit. 

Asep segera menyeberangi jalan untuk membantu pria tersebut.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Asep. "Tangan kamu terluka." sambil memperhatikan luka di tangan kanan pria itu.

Pukul 09:11 siang

Di sebuah bukit, ada lima perempuan sedang beristirahat.

"Pohon itu sangat besar, benarkan Hawa?" tanya salah satu perempuan bernama Irma, dengan mata bersinar.

"Iya, Irma. Kamu benar. Pohon yang berdiri di tengah lebih besar daripada yang lain, bahkan batangnya terlihat jelas dari sini," balas Hawa.

Perempuan berkacamata, menyentil, "Hawa, asal kamu tahu, itu bukan batang, itu rumah peri."

Perempuan bermata sipit bernama Miko, mencemooh, "Jangan berkata bodoh sambil mengenakan kacamataku Nadia!"

"Satu kacamata bukan apa-apa bagi keluarga konglomeratkan Miko?" Ejek Nadia.

"Aku rasa, istirahatnya sudah cukup, ayo kita berangkat." Kata perempuan bernama Salwa.

Nadia menggoda, "Wow, ketua... jeruknya kamu habisin?"

Salwa menjawab sambil makan jeruk, "Tidak apa-apakan?  Kan Orang bodoh tidak suka jeruk, dan jangan panggil aku 'ketua'."

Nadia menyipitkan matanya lalu berkata, "Maksudmu aku bodoh?"

Salwa, "Aku tidak bilang."

Hawa menengahi perselisihan mereka, "Sepertinya kalian akan bertengkar jika dibiarkan, lebih baik kita bergerak sekarang, Desa Abadi juga sudah terlihat dari sini."

Pukul 13:25 siang

Di depan pintu masuk Desa Abadi, lima pria terpesona oleh keindahan desa. Mereka terpukau oleh pemandangan taman yang luas, aroma bunga yang menyegarkan, dan warga yang ramah.

Nadia tiba-tiba muncul dan memarahi mereka karena keterlambatan mereka.

Nadia, "Kenapa kalian telat? Warga desa sudah menyiapkan sambutan untuk kita dengan susah payah."

Asep, "Kalian pergi dan meninggalkan kami."

Nadia, "Ketua sudah memberi tahu kita untuk berangkat pukul 07:00 pagi."

Pria kekar bernama Anton berkata, "Haha... Kami mungkin tidak memperhatikan informasi dari ketua. Maaf kami terlambat."

Pria berkulit hitam bernama Udin membalas, "Wahaha... Anton, selalu lembut dengan Nadia."

'Plaakk!' Anton memberikan tamparan ringan kepada Udin, "Diam Udin!"

Nadia, "Jangan ribut. Sebagai hukuman, kalian harus membersihkan kandang pertenakan."

Salwa mendekati mereka, "Mereka pasti lelah. Hukuman bisa ditunda."

Salwa memperhatikan luka di tangan kanan Julio, "Tangan kanan kamu kenapa, Julio?"

Julio, "Tidak apa-apa, hanya luka kecil."

Salwa khawatir, "Benarkah? Tapi kamu kelihatan pucat. Apakah kamu sakit?"

Julio, "Oh, mungkin karena semalam aku begadang."

Salwa, "Nadia, coba kamu antar para pria ke penginapan mereka, sekaligus perkenalkan mereka kepada warga sekitar. Aku akan bawa Julio ke puskesmas untuk memeriksanya."

Salwa mencoba menggenggam tangan Julio, namun Julio melepaskannya, sepertinya Julio kesal dengan Salwa.

Julio, "Maaf, ketua, aku baik-baik saja. Hari ini aku akan istirahat dan tidur sebentar, ku rasa bakalan membaik setelahnya."

Salwa, "Baiklah kalau begitu, dan jangan panggil aku 'ketua'."

Keesokan harinya, pukul 09:20, satu jam sebelum kejadian.

Julio terbangun dari tidur, "Sudah berapa lama aku tidur?" Gumamnya.

Dia merasa sangat haus dan lapar. Dia mencari makanan dan minuman, setelah menghabiskan persediaan, kehausannya belum terpuaskan.

Julio mulai merasa aneh, badannya panas, tenggorokannya kering, dan penglihatannya buram. Dia mencoba mencari pertolongan, tapi tak ada orang di sekitar.

Julio memaksakan diri keluar penginapan, meskipun dalam keadaan setengah sadar. Penglihatannya semakin kabur, dan warna merah menyelimuti dunianya.

Dia terus berjalan tanpa arah.

Orang-orang mulai memperhatikan Julio, bertanya-tanya apa yang terjadi. Beberapa bahkan mencoba mendekatinya, tetapi Julio terus berjalan.

Gejala-gejala aneh muncul satu persatu pada diri Julio. Mulai dari mata yang berubah warna menjadi merah, badannya semakin pucat, bahkan urat yang ada pada tangan kanannya membesar dan menjadi hitam.

Perlahan-lahan kesadaran Julio mulai hilang, detak jantungnya berdetak sangat kencang. 

Dan 'Crooottt!' darah menyembur dari hidungnya, dan diapun pingsan.

Saat ini, kembali ke kisah yang sedang berlangsung.

Desa Abadi, yang dulu terkenal akan keindahan dan keramahan warganya, kini telah berubah menjadi gambaran keindahan yang tercemar oleh kehadiran noda yang mengerikan.

Di sepanjang jalan dan di setiap rumah, suasana telah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. "Menyeramkan" adalah kata yang pantas untuk menggambarkan Desa Abadi saat ini. Hampir semua penduduk desa tampak seperti Julio, terinfeksi oleh sesuatu yang menyebar seperti api yang siap membakar segalanya.

"Hahhh... Huhhh... Hahhh," (Suara nafas seseorang yang sedang berlari.)

Hawa berlari menuju rumah Adam dengan pikiran yang penuh kekhawatiran. "Adam, semoga kamu baik-baik saja." Gumamnya

Dia terus berlari tanpa mempedulikan dua teman yang ikut berlari di belakangnya.

Nadia berusaha mengejar Hawa berteriak, "Hawa, kamu mau kemana? Kita harus mencari tempat yang aman!"

Asep yang ketakutan berseru, "AAAAAA... MEREKA SEMAKIN DEKAAAATTT."

'Aaarrgghh!!..' (Suara monster mengerikan menggema di kejauhan, membuat situasinya semakin mencekam.)

Mereka melihat sejumlah besar monster mengejar mereka, puluhan bahkan mungkin ratusan, mengikuti dengan niat jahat yang mengancam seluruh keberadaan mereka.

Di sudut kanan desa, sebuah rumah kayu bertingkat dua menciptakan suasana yang sangat menegangkan. Enam orang bersembunyi di lantai atas rumah tersebut, dan di antara mereka, lima adalah teman-teman mahasiswa Hawa. Suasana yang menakutkan menggelayuti mereka.

Dalam ketegangan yang melanda, Udin berkata, "A..A..A.."

Karena ketakutan Udin menjadi gagap, Antonpun memukul pundak Udin dengan cukup keras, 'Plaakk!!'

Dengan lancar dan cepat Udin berkata, "Apa yang terjadi dengan para warga?" Udin melanjutkan, "A..A..A.."

Anton menghela nafas dan memberikan pukulan kedua pada Udin, 'Plaaakkk!!!'

"Aku habis dari toilet, tiba-tiba aku melihat banyak monster berlari ke arahku, kalau bukan karena pak Budi, aku pasti sudah mati." Udin berbicara dengan nada dua kali lebih cepat, kepanikan merajalela.

Miko, dengan ketakutan di wajahnya, berusaha memberikan penjelasan, "Itu Zombie. Kalian sendiri melihatnya, kan? Di puskesmas, ketika Julio menggigit Dokter, seketika Dokter itu berubah seperti Julio, gigitan demi gigitan menyebar sangat cepat."

Irma mengamini, "Aku pikir juga begitu, mereka seperti Zombie yang ada di film-film, tapi penyebaran yang terjadi di Desa Abadi tidak seperti di film-film."

Anton menambahkan dengan suara gemetar, "Kamu benar... Teman kita Genta... Dia hanya dicakar dan sedikit tergores, berselang beberapa detik dia langsung berubah seperti mereka." Air mata hampir menetes dari matanya.

Udin berkata, "Genta pria kecil yang baik, sayang aku tidak terlalu mengenalnya, karena dia tidak banyak bicara."

Apa yang dikatakan Udin hanya ada didalam pikirannya, karena jika dia ungkapkan maka dia akan gagap. Udin sadar pukulan ketiga Anton pasti akan lebih kuat dari yang ke dua.

Salwa, dengan ekspresi prihatin, hanya diam dan merenung seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam.

Di dekat jendela, seorang pria dewasa, Pak Budi, mengintip apa yang terjadi di luar. Dia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan para mahasiswa dari kejadian mengerikan di luar sana.

"Zombie yaa?" gumamnya, lalu dia menatap lima mahasiswa yang masih ketakutan dan mencoba menenangkan mereka, "Setidaknya sekarang kita aman."

Terharu, Salwa menyampaikan rasa terima kasih, "Terima kasih, Pak Budi, karena telah menyelamatkan kami. Aku hanya berharap teman-teman kami yang lain juga selamat." Suasana tegang dan ketakutan di dalam rumah kayu tersebut semakin mendalam.

Hawa sampai di depan rumah Adam dengan perasaan tergesa-gesa, ketakutan meliputi dirinya. Ia berusaha membuka pintu rumah yang sangat kuat terkunci.

'Tuk! Tuk! Tuk!' Suara ketukan terdengar berdering di udara. "Adaammm!!" Teriak Hawa dengan kepanikan yang mendalam.

Nadia bergabung dengan Hawa dengan perasaan yang sama. Mereka tidak membuang waktu untuk berpikir panjang dan dengan keras memanggil Adam, sambil menendang pintu dengan penuh ketakutan.

'Bam! Bam! Bam!' Suara tendangan menggelegar. "Adaaammm!!! Berengggsseeekkk!!! Buka pintunyaaaa!!! Teriak Nadia dengan nada penuh emosi.

Tiba-tiba terdengar suara membuka kunci 'klik'. Nadia dengan cepat mendorong pintu tersebut, membuat Adam terpental ke belakang dan terjatuh dengan keras.

"Aaww.. Ada apa dengan kalian?" Kata Adam dengan rasa marah dan bingung.

"Maaf Adam, nanti kita jelaskan," kata Hawa dengan perasaan lega.

Namun, keadaan di luar masih sangat berbahaya. Nadia teriak panik, "Aseppp tolollll! Cepatlahhhh!"

Asep, yang sudah berada didekat pintu rumah Adam, melompat dengan tergesa-gesa dan berteriak, "Aaaaa!!" Namun, ketidakberuntungannya menyebabkan ia menabrak Adam, menjatuhkannya ke lantai.

'Bruukk!' Suara benturan itu menyebabkan keduanya kebingungan. Asep mencoba tersenyum konyol dan berkata, "Maafkan aku."

Namun, Adam dengan nada sinis mengusir Asep, "Tciihh... Menyingkir dariku!"

Hawa dan Nadia berusaha menutup pintu dengan cepat, sementara Asep bergegas membantu mereka. Mereka mendorong pintu sekuat tenaga karena monster-monster di luar berusaha masuk, dan mereka berhasil mengunci pintu 'klik'.

Adam sendiri tampak terkejut dan heran, "Apa itu?" pikirnya, Adam perlahan berjalan kearah jendela, diapun melihat para Monster yang ada diluar.

"Kenapa?" Gumam Adam.

Gumaman Adam terdengar oleh Asep yang berdiri disebelahnya, membuat Asep secara tidak sengaja melirik wajah Adam.

Seketika itu, Asep ketakutan, dan hanya satu hal yang muncul dipikiran Asep ketika melihat ekspresi yang dipancarkan Adam yaitu:

"Lebih baik aku diluar bermasa monster-monster itu daripada bersama Pria ini."

"Kita sudah aman," kata Nadia, mencoba menenangkan situasi yang sangat mencekam.

Tapi Adam pergi tanpa berkata-kata menuju kamar. Nadia mencoba bertanya tentang pintu atau jendela yang mungkin terbuka, tetapi Adam hanya diam dan masuk ke kamarnya.

"Tciihhh... Dia kenapa sih?" Nadia heran.

"Sepertinya kita sendiri yang harus memeriksa, Hawa. Ayo kita telusuri rumah ini, takutnya ada pintu atau jendela yang terbuka," ujar Nadia.

Namun, Hawa merasa khawatir, "Hmmm... Menurutmu pintu ini aman? Monster yang ada di luar, masih berusaha masuk."

Nadia memperhatikan pintu dengan cermat, "Menurutku aman. Mungkin ini satu-satunya rumah di Desa Abadi yang bangunannya sangat kuat dan kokoh, bahkan pintunya terbuat dari kayu yang sangat kuat, aku yakin ini kayu yang langka. Aku pernah melihatnya di tempat kerja ayahku."

Hawa setuju, "Kalau diperhatikan, kamu benar, bahkan kaca jendela ini seperti kaca anti peluru," katanya sambil menyentuh kaca jendela.

Nadia berpikir sebentar dan kemudian berkata, "Tapi untuk berjaga-jaga, mari kita coba menghalangi pintu ini dengan sesuatu. Bagaimana dengan kursi besar itu?" Dia menunjuk kursi yang ada di ruang tamu.

Asep yang sebelumnya berdiam diri tanpa reaksi tiba-tiba tersadarkan oleh Nadia, "Aseppp!"

"Aaaaa! Ada apa?" Tanya Asep heran

Nadia menghadapinya dengan rasa kesal, "Bantu aku, tolol!"

Adam berbaring di kamarnya dan melihat ke langit-langit putih di atasnya, dengan pikiran yang bercampur baur.

"Adam?" seseorang memanggil dari luar kamar.

Adam melirik pintu, dan ternyata itu Hawa dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Namun, Adam merasa terganggu, ia berdiri dan berjalan mendekati pintu, lalu tiba-tiba berkata, "Jangan dekati aku!" Kemudian ia mengunci pintu kamarnya.

Hawa yang berada di luar menatap pintu dengan raut wajah sedih yang sangat mencolok.

Adam yang sekarang berada di dalam kamar merasa bingung, sedangkan Hawa terlihat sangat sedih di luar. Suasana di dalam rumah penuh ketegangan dan rasa cemas.

Nadia menepuk pundak Hawa dan bertanya, "Kamu dibuat sedih lagi? Lagipula kenapa kamu peduli sama dia sedangkan kita baru mengenalnya hari ini, dan kita juga baru 1 hari didesa ini?"

Hawa mengalihkan pembicaraan, "Tidak apa-apa, ayo kita telusuri rumah ini, takutnya ada pintu atau jendela yang terbuka, dan bagusnya kita halangi juga dengan sesuatu agar Monster itu tidak mudah masuk."

Tetapi Asep, yang sebelumnya ketakutan dengan ekspresi Adam, malah terkagum-kagum dengan rumah Adam, "Hmmm... Menurutku, rumah ini cukup besar, aku kira pria ini cukup kaya."

Mereka bertiga mulai menelusuri rumah Adam, seperti penjelajah yang sedang mencari harta karun.

Rumah Adam, yang berdiri megah di tengah Desa Abadi, merupakan rumah terbesar di sekitar sana. Namun, walau begitu rumah ini tidak punya pagar, sehingga para Zombie dengan mudah menginjakkan kakinya ke halaman rumah Adam.

Rumah Adam terdiri dari tiga tingkat yang cukup mengesankan.

Tingkat Pertama memuat beragam ruangan, termasuk ruang tamu, ruang keluarga, empat kamar tidur, satu kamar mandi, satu toilet, ruang makan, dan dapur yang dilengkapi dengan peralatan modern.

Tingkat Kedua menyajikan ruang olahraga yang lengkap, perpustakaan yang penuh dengan buku-buku berharga, satu kamar tidur mewah, satu kamar mandi yang layaknya spa, dan satu toilet yang dirancang dengan indah.

Tingkat Ketiga, hanya berupa satu ruang besar yang kosong.

Rumah ini juga menghadirkan kebun sayuran di atapnya. Sebuah kebun yang penuh dengan berbagai jenis sayuran, seperti tomat, wortel, dan sebagainya, meskipun tampaknya belum siap untuk dipanen.

Hawa, Nadia, dan Asep selesai memeriksa semua ruangan di rumah Adam, namun satu tempat yang belum mereka cek adalah atap rumah.

"Bagaimana mungkin monster bisa sampai ke atap? Rumah ini memiliki tiga tingkat!" kata Asep dengan rasa penasaran.

Nadia mencoba merenung, "Kita tidak mengetahui apapun tentang monster itu"

"Rasanya rumah ini cukup unik, bentuknya yang kotak, banyak ruangan, bahkan barang-barang mahal juga ada disini, yang lebih mengherankan dia tinggal sendirian?" Lanjut Nadia.

Hawa melihat pintu yang mengarah ke atap, "Apa ini pintu ke atap?" Memegang gagang pintu. "Pintunya terkunci."

Asep dengan cerdik menggunakan alat di sakunya untuk membuka pintu tersebut dengan mudah.

Mereka membuka pintu menuju atap dan menemukan sebuah kebun yang indah. Namun, ada seseorang yang duduk di salah satu kursi di tengah kebun.

"Hai, kalian siapa?" tanya orang itu, mengejutkan mereka.

Asep heran, "Siapa anak ini?"

Tiba-tiba Hawa menangis

Nadia dengan keheranan bertanya, "Kenapa kamu menangis?"

Hawa menjawab pertanyaan Nadia dengan nada lembut, "Apakah Adam sudah punya anak?"

Anak kecil itu tertawa dan menjawab, "Hahaha... Aku bukan anak kak Adam. Aku adalah Thomas, muridnya kak Adam."

Hawa, "Murid?"

Mereka bertiga melanjutkan percakapan dengan Thomas, menceritakan apa yang telah terjadi pada mereka dan bagaimana mereka berakhir di rumah Adam.

Asep, "Kenapa Julio tiba-tiba berubah jadi Monster? Apa karena kejadian itu?"

Nadia dan Hawa melirik Asep.

Thomas tertawa, "Hahaha... Monster? Mereka bukan monster."

Dengan ekspresi serius Thomas melanjutkan, "Mereka adalah ZOMBIE ADAM.

Malampun tiba, suasana gelap dan menakutkan menaungi dunia. Bulan purnama hanya menambah ketakutan dengan cahayanya yang mencorong di antara awan, menciptakan bayangan yang mencekam.

Ini adalah malam yang akan diingat sebagai malam yang merubah dunia.

Dari Desa Abadi yang sekarang dipenuhi kegelapan, zombie-zombie melangkah keluar dan menuju desa-desa yang terletak di sekitarnya.

Beberapa zombie terbawa arus sungai yang deras, sementara yang lain berjalan tak beraturan di sepanjang jalan raya.

Mereka adalah ancaman bergerak, penuh dengan kehausan akan daging manusia.

Namun, di malam yang mencekam ini, ada satu zombie yang mengerikan. Dia berbeda dari yang lain, besar dan tinggi mencapai 3 meter. Matanya berwarna hijau dengan cairan ungu yang menetes, dan bau amis yang mengikuti jejaknya.

***

"Grrrrunch!" Zombie itu tengah melahap seorang manusia, dan tak jauh dari sana, dua perempuan bersembunyi di dalam sebuah tempat sampah yang cukup besar untuk menampung mereka.

"Hikss.. Hikss.. Anton, Irma, Genta.. mereka bertiga dimakan," kata Miko dengan suara sedih dan ketakutan.

Salwa, yang ada di sampingnya, memeluk Miko untuk memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan. "Tenang Miko, kita harus tetap diam dan bersembunyi."

Meskipun Salwa mencoba menenangkan Miko, ketakutan juga merasukinya. Keringat membasahi kulit mereka, dan air mata mengalir di pipi mereka. Mereka merasa terperangkap dalam kegelapan yang mengancam.

Lalu, tiba-tiba, suasana menjadi hening. Zombie raksasa yang sedang memakan teman-teman Hawa itu mendongak dan melirik ke arah tempat sampah dengan mata penuh kehausan.

Ketidakpastian dan rasa takut merayap dalam malam yang gelap ini. Apa yang akan terjadi pada Salwa dan Miko?

-To Be Continued-

favorite
coins
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X